Pemimpin Partai; Berpikir dan Bertindak
386 tidaknya dapat dianalogikan bahwa pemimpin partai politik itu menjadi wajar
kiranya jika digolongkan dalam beberapa kriteria, diantaranya: Pertama, ada pemimpin yang mampu berpikir dan mampu bertindak.
Kriteria ini merupakan yang paling ideal dan dicitakan, bahkan dapat diasumsikan sebagai suatu tingkatan yang paling sempurna. Artinya pemimpin benar-benar
mampu berpikir secara matang dan hati-hati dalam menentukan dan merumuskan tindakannya, sekaligus mampu mengimplementasikan berbagai buah pikirannya.
Kedua, ada pemimpin yang mampu berpikir dan tidak mampu bertindak. Kriteria ini dapat diasumsikan sebagai pemimpin yang tidak memiliki nyali atau
oleh karena patut diduga dalam keadaan terpaksa tidak berani bertindak. Artinya pada prinsipnya pemimpin mampu berpikir secara matang dan hati-hati dalam
menentukan dan merumuskan tindakannya, akan tetapi oleh karena satu dan lain hal buah pikirannya tidak mampu diwujudkan.
Ketiga, ada pemimpin yang tidak mampu berpikir dan mampu bertindak. Kriteria ini dapat diasumsikan sebagai pemimpin yang lemah akal, tetapi memiliki
nyali dan nafsu yang besar dalam bertindak. Artinya kadangkala sering ditemui ada sekelompok pembisik tim ahlistaf ahli yang berseliweran disekitar
pemimpin, untuk membantu menentukan dan merumuskan segala sesuatu, sehingga dengan penuh keberaniannya pemimpin mengimplementasikan
tindakannya.
Keempat, ada pemimpin yang tidak mampu berpikir dan tidak mampu bertindak. Kriteria ini dapat diasumsikan sebagai kriteria yang terburuk, bahkan
bukanlah sesuatu yang berlebihan betapa besarnya kerugian yang dialami oleh kader partai bersangkutan jika memiliki pemimpin dengan kriteria tersebut.
Artinya setali tiga uang, bahwa selain sosok pemimpin yang lemah akal, juga tidak memiliki nyali dalam bertindak. Maka tidak jarang terdengar nada sumbang yang
mengkategorikan pemimpin dengan kriteria ini sebagai boneka dari pihak yang lain.
Menelisik hal tersebut, sudah tentu masyarakat mampu berasumsi bahwa berbagai pemimpin partai politik yang ada dalam kehidupan sehari-hari, baik
diruang lingkup desakelurahan, diruang lingkup kabupatenkota, diruang lingkup provinsi, dan diruang lingkup negara, berada pada kriteria yang manakah
pemimpin yang ada pada saat sekarang ini ? sekaligus cukupkah masyarakat dipimpin oleh para pemimpin yang hanya memiliki kriteria dengan saat sekarang
ini ?
Sebagai garda terdepan, para kader partai juga semestinya berpikir dengan penuh seksama dan melakukan revolusi dalam menjaring calon pemimpin.
Mengingat segala sesuatunya dimulai dari kerangka berpikir yang ada dimasing- masing kader, dalam hal ini HAMKA
265
berujar bahwa Bagaimana akan dapat berpikir tinggi, bangsa yang hidupnya hanya segobang sehari, bangsa yang tinggal
celana pendek sehelaipun masih bersyukur. Oleh karena jiwanya sudah semestinya tidak ada lagi dibadannya, akibat sebegitu melarat dan tertindasnya .
2.
Loyalitas vs Integritas
265
Hamka, Falsafah Hidup, Jakarta: Umminda, 1983, hlm. 10 – 20.
387 Berbagai preseden yang menggerus eksistensi partai politik, hal ini
menimbulkan kesan salah satunya dikarenakan para pemimpin acapkali menutup mata dan telinga, pura-pura tidak sadar dan tidak tahu menahu dengan berbagai
teriakan yang terjadi dilingkungannya, sehingga tanpa disadari membenturkan para kader terbaik antara yang memiliki sikap loyalitas dengan yang memiliki
sikap integritas.
Ketidakp edulian dalam menerapkan adagium the right man on the right
place , bermuara dengan mencuatnya berbagai gesekan dilingkungan internal
partai politik, sehingga tujuan dan hakikat partai politik tidak jarang telah terkesampingkan. Dengan demikian hendaknya para kader dituntut mampu
menjunjung sikap loyalitas dan sikap integritas, sehingga dapat tercapai maksud tertentu dan dalam periode waktu yang ditentukan.
Frasa loyalitas secara sederhana didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
266
sebagai suatu kepatuhan, suatu kesetiaan. Adanya sikap loyalitas tentu disatu sisi adalah hal yang positif, mengingat dalam menjalankan roda partai
politik sepantasnya berbagai kebijakan dijabarkan oleh mereka yang memiliki sikap yang patuh, dan atau sikap yang setia. Namun demikian, loyalitas yang
diemban semata-mata dijalankan sesuai dengan kehendak pemimpin partai politik atau didasarkan pada amanat peraturan perundang-undangan ?
Adapun frasa integritas, juga didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
267
sebagai suatu mutu, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan
dan kejujuran. Maka dapat dianalogikan bahwa seseorang yang memiliki sikap integritas adalah yang mampu menyelaraskan berbagai potensi dalam dirinya,
untuk terwujudnya kewibawaan dan kejujuran.
Merujuk pada definisi yang menafsirkan secara sederhana antara loyalitas dan integritas, setidak-tidaknya dapat dipahami bahwa disatu sisi terdapat benang
merah antara loyalitas dan integritas. Akan tetapi, disisi yang lain terdapat dikotomi dalam memaknai unsur loyalitas dan integritas, sehingga dalam
menggerakkan mesin-mesin partai politik, seorang kader sering dihadapkan pada pilihan untuk mengedepankan sikap loyalitas, atau lebih mengutamakan sikap
integritas.
Berkaca dari berbagai friksi yang melingkupi internal partai politik, baik secara nasional maupun sebatas di daerah otonom, maka jika cita kemakmuran
atau kesajehtaraan masyarakat yang diutamakan, pemimpin partai politik jangan memaksakan diri hanya dikelilingi oleh mereka yang bangga diberi label sikap
loyalitas semata, tetapi sudah sepantasnya sikap integritas agar diutamakan.
Sebagai failasuf, pada suatu masa Plato
268
berujar disertai penambahan penafsiran bahwa negara atau organisasi partai politik jika sekali telah dimulai
dengan baik, maka akan bergerak kearah kebaikan dengan kekuatan yang terhimpun, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menghindari
ketidaksetaraan, ketidaksamaan, ketidakteraturan, yang selalu dan dalam segala tempat menjadi sebab kebencian dan permusuhan, maka besi jangan dicampur
dengan perak, kuningan jangan dicampur dengan emas.
266
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2012, hlm. 843.
267
Ibid., hlm. 541.
268
Plato, Op. Cit, hlm. 351 - 360
388