Penutup Penyempurnaan Norma Dalam Undang-Undang Partai Politik
1039 perubahan terhadap norma yang mangatur. Agar nantinya dapat mewujudkan
penyelesaian perselisihan kepengurusan yang ideal di Indonesia.
Daftar Pustaka Buku
Cornelis Lay, 2010, Melawan Negara PDI 1973-1986, Yogyakarta: Research Center for Politics and Government Jurusan Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah
Mada. Deliar Noer, 2000, Partai Islam Di Pentas Nasional: Kisah Dan Analisis Perkembangan
Politik Indonesia 1945-1965. Firmanzah. 2011. Mengelola Partai Politik, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, Dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Muchamad Ali Safa’at,
, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai Politik dalam Pergulatan Republik, Jakarta: Rajawali Pers.
Muhadam Labolo dan Teguh Ilham, 2015, Partai Politik Dan Sistem pemilihan Umum Di Indonesia Teori, Konsep dan Isu Strategis, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Lainnya ado Santoso, Sejarah Konflik PKB antara Muhaimin skandar dan Gus Dur , Persda:
26 Maret 2008. Khairul Fahmi, Selasa, 31 Maret 2015, Mahkamah Partai Politik, diakses dari
http:geotimes.co.idmahkamah-partai-politik-2, pada 5 Januari, Pukul 05:53 WIB.
Muhtar aboddin, Konflik Partai: Perbandingan antara PKB dan PDP , dalam jurnal governance, Vol.1, No.2. Mei 2011.
Syamsuddin aris, Mengelola Konflik Partai Politik , Desember tth. , ttp.
Refly Harun, Sengkarut Konflik Parpol, Rabu 1 April 2015, dalam website Kementrian Sektreyariat Negara Republik Indonesia. diakses pada 12 Mei 2016, Pukul 21:20
WIB. Risalah Sidang Perkara Nomor 78PUU-XIII2015 Perihal Pengujian Undang-Undnag
Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
RFQFAT, Kamis, Maret
, Soal Konflik Gokar, Menkumham Pastikan Keputusannya Berdasarkan UU: Yakni Pasal 32 UU Tentang Partai Politik.
Menkumham Dinilai Menafsirkan Sepihak Pasal 33 UU Parpol. Diakses dari http:geotimes.co.idmahkamah-partai-politik-2 pada tanggal 18 Mei 2016,
Pukul 22:25
Ummy Kulsum,dkk, Dinamika Politik PKB Studi tentang Konflik nternal
- , Volume , -10 Agustus, 2013, Mata Budaya.
1040 http:suaramerdeka.comv1index.phpreadcetak2008072623835Nasib-
PKB-setelah-Kasasi-MA, diakses pada tanggal 4 Mei 2015 Pukul 09.32 WIB http:www.setneg.go.idindex.php?option=com_contenttask=viewid=8943
Wawancara Penunjang Bahan Marcin Walecki , A graduate of Oxford University. The Chief of the Democratic
Governance and Gender Unit at the OSCE ODIHR. Marcin has worked on anti- corruption and political finance, political party assistance in some 40 countries.
Romahurmuziy, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan PPP hasil Muktamar VIII pada Sabtu, 9 April 2016 di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta.
Profil Penulis IKAPUTRI REFFALDI, menyelesaikan studi sarjana hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Andalas, Padang, pada Juli tahun 2016. Semasa mahasiswa Ika aktif di Perhimpunan Mahasiswa Tata Negara Fakultas Hukum Unand, Unit Kegiatan Fakultas
Komunitas Basilek Lidah yang bergerak dalam bidang debat dan penulisan hukum. Dan sejak 2015 bergabung dengan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum LKBH
Fakultas Hukum Universitas Andalas.
1041
Kepengurusan Partai Politik Pusat dan Daerah Ilhamdi Taufik
270
Pendahuluan. Perkembangan partai politik parpol di Indonesia selama hampir dua dekade ini,
terutama pasca reformasi menjadi suatu hal yang menarik dan unik untuk diamati, hal ini dilatarbelakangi minimal dari dua persoalan. Pertama, kelahiran regulasi
parpol selalu berkaitan dalam rangka menyongsong pemilihan umum dan, kedua penggantian dan revisi terhadap undang-undang parpol mengarah kepada penguatan
kelembagaan parpol. Sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 UUD 1945
dilakukan saat reformasi, keberadaan parpol belum diakomodasi dalam konstitusi, Pasal 22E ayat 3 menyatakan bahwa peserta pemilu Dewan Perwakilan Rakyat
DPR dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD adalah parpol. Pasal 6A ayat 2 memberikan peran parpol atau gabungan parpol dalam rangka pencalonan dan
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dengan konstruksi yuridis seperti itu parpol sudah menjadi institusi politik resmi yang diakui.
Ketentuan Pasal 22E ayat 6 yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang. Walaupun secara faktual sangat kuat
alasan untuk mengganti ketentuan parpol yang ada untuk menghadapi kegiatan pemilihan umum pemilu, perkembangan di tanah air dari sisi sosial politik yang
dinamis dapat pula dijadikan alasan pembenaran untuk melakukan perubahan aspek normatif tentang parpol. Dapat diterima dengan akal sehat, sebagai negara yang
sedang mengalami perkembangan ketatanegaraan yang cukup pesat disebabkan reformasi konstitusi sebanyak empat kali, yang diikuti pula dengan penggantian
tampuk pemerintahan presiden sebanyak empat orang sejak tahun 1998
271
, maka penyesuaianperubahan norma hukum pengaturan di bidang politik bukan suatu hal
yang aneh untuk dilakukan. Produk undang-undang tentang parpol UU 21999 di awal reformasi dan terakhir UU
22011 jika diamati secara khusus, memang ada hal-hal istimewa yang dapat dijadikan argumentasi guna mengganti dan merevisi aturan yang ada. Misalnya, awal
reformasi dibawah rezim UU 21999 yang diganti oleh UU 312002, terlihat ada kaitannya dengan perkembangkan lahirnya lembaga negara baru Mahkamah
Konstitusi MK, yang salah satu kewenangannya memutus pembubaran partai
270
. Dosen Hukum Tatanegara Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Makalah ditulis untuk partisipasi kegiatan Konferensi Nasional Hukum Tatanegara Ke-3 diadakan oleh Pusat
Studi Konstitusi PUSaKO Fakultas Hukum Universitas Andalas 5-8 September 2016 di Bukittinggi.
271
. Perubahan pertama UUD 1945 tanggal 19 Oktober 1999, kedua tanggal 18 Agustus 2000, ketiga 9 November 2001 dan keempat 10 Agustus 2002. Sejak tahun 1998 sd 2002 empat
orang Presiden yakni : Soeharto, Bachruddin Jusuf Habibie, Megawati Soekarno Putri, dan KH Abdurrahman Wahid, dua dari Presiden tersebut sebelumnya menjabat sebagai Wakil
Presiden.
1042 poliltik. Dan yang lebih penting dari itu, ditetapkannya Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden secara langsung berdasarkan UU 232003. Munculnya lembaga negara MK dan ditetapkannya pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden membawa
dampak terhadap kehidupan parpol. Setelah pemilihan umum pemilu tahun 2004, kembali terjadi penggantian UU
parpol dengan dilahirkannya UU 22008, undang-undang ini mengakomodasi beberapa paradigma baru seiring dengan menguatnya konsilidasi demokrasi di
Indonesia, melalui sejumlah pembaruan yang mengarah pada penguatan sistem dan kelembagaan Partai Politik yang menyangkut demokratisasi internal Partai Politik,
transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan Partai Politik, peningkatan kesetaraan gender dan kepemimpinan Partai Politik dalam sistem
nasional berbangsa dan bernegara
272
. Dari perkembangan berlakunya UU 21999
273
sampai UU 22008, produk ketentuan
lama sengaja diganti, bukan diperbaharui atau direvisi, hal ini beda dengan saat kelahirannya UU 22011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 Tentang Partai Politik yang ditetapkan pada tanggal 15 Januari 2011. Beberapa Pasal dalam UU 22008 direvisi dengan alasan klasik untuk memenuhi tuntutan dan
dinamika perkembangan masyarakat. Parpol dan pemilu.
Pemilu yang sudah 4 kali diadakan sejak tahun 1999
274
sampai dengan tahun 2014 yang lalu, dapat dikatakan berhasil secara umum, secara formal semua lembaga
negara dapat diisi dengan hasil pemilu, terutama lembaga perwakilan dan Presiden. Gejolak sebelum, sedang dan pasca dilaksanakan pemilu tidak menggoyahkan tatanan
dan kestabilan politikpemerintahan yang ada dan kemudian diikuti dengan alih generasi pemerintahan kepada penguasa yang baru berjalan secara damai. Tidak
dapat dinafikan peranan parpol dan semua aturan politik yang ada telah dapat membuktikan bahwa dengan regulasi yang sudah dilahirkan sebelum pemilu, efektif
untuk dijadikan salah satu instrumen dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan kita.
Pengamatan dalam kurun waktu dilaksanakan pemilu yang dikatakan dapat memenuhi hasrat bersama dari sisi regulasi yang dilahirkan khususnya untuk
kegiatan penyelenggaran pemilu itu sendiri, disisi lain belum dapat sepenuhnya menggembirakan perkembangan parpol sebagai instrumen demokrasi yang handal
dan mapan. Parpol belum menampakkan dirinya sebagai sosok atau wadah yang dapat diandalkan dalam pelaksanaan dan manifestasi demokrasi politik kita. Pada hal
pemilu dapat dijadikan arena dan kawasan candradimuka pendewasaan bagi parpol sekaligus untuk berbenah diri, baik sebagai suatu organisasi maupun bagi para
272
. Lihat penjelasan umum UU 22008.
273
. Menjelang pemilu tahun 1999 terdaftar 141 parpol, 48 dinyatakan lolos untuk mengikuti pemilu 7 Juni 1999 dan hanya 12 parpol yang berhasil meraih kursi di parlemen. Tidak
satupun diantara parpol itu meraih suara mayoritas di DPR.
274
. Sejak Indonesia merdeka pemilu sudah 11 sebelas kali diadakan, 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, dan 2014.
1043 individu yang menyatakan dirinya sebagai
politikus . Kejadian dan fakta yang
disajikan kepada rakyat sebelum, saat dan sesudah pemilu, dan bahkan jauh setelah gaung pemilu usai, masih tercium aroma konflik parpol baik secara interen maupun
eksteren. Janedri M Gaffar
275
menyatakan : Keberadaan parpol dan mekanisme pemilu merupakan instrumen untuk mewujudkan government by discussion. Dalam hal ini,
pada umumnya dikenal empat tahap government by discussion yang menempatkan parpol pada posisi sentral. Pertama, setiap parpol bertanggungjawab menyerap,
meformulasikan, dan mempertajam pendapat publik melalui mekanisme internal. Para tokoh partai harus mampu menjadikan partainya sebagai wadah bagi
masyarakat untuk mengemukakan aspirasi dan tuntutan. Parpol juga harus dapat merumuskan aspirasi publik menjadi program partai. Pada tahap kedua program
parpol tersebut selanjutnya dipresentasikan dan dikampanyekan kepada pemilih, terutama oleh calon wakil rakyat yang diusung. Pemilih memiliki kesempatan
menganalisa dan membandingkan program-program yang ditawarkan oleh setiap parpol. Pemilih akan menilai program partai yang sesuai dengan aspirasi dan
tuntutan, serta merupakan solusi terbaik dari permasalahan yang dihadapi. Tahapan ini merupakan perluasan diskusi yang semula dilakukan internal masing-masing
parpol, serta pada akhirnya menentukan partai dan calon yang akan dipilih. Pasca pemilu proses diskusi berlanjut pada tahap ketiga, memasuki wilayah
penyelenggara negara dan pemerintahan. Semua wakil rakyat, baik dari parpol mayoritas maupun minoritas akan berupaya menyatukan agenda. Mereka juga
menyesuaikannya dengan program partai yang diusung melalui proses diskusi dalam pembuatan undang-undang dan kebijakan publik. Dalam proses ini tentu saja partai
mayoritas memiliki kekuatan yang lebih besar, sehingga program partai inilah yang paling berpotensi menjadi kebijakan negara. Namun demikian, partai kecil atau yang
tidak memenangkan pemilu tetap memiliki peran penting. Mereka berperan mengkritisi kebijakan negara dan pemerintahan, serta dapat memberikan
rekomendasi berdasarkan partainya sendiri. Proses ini merupakan tahap keempat, yang akan menjaga penyelenggaraan negara dan penyimpangan dan penyalahgunaan,
serta menajamkan perdebatan publik, sehingga tidak hanya mewakili aspirasi dan kepentingan mayoritas.
Konsepsi yang dikemukakan Janedjri M.Gaffar diatas mengarah kepada peranan dan pemberdayaan parpol dalam kontek pelaksanaan pemilu, government by discussion
hanya dapat dijalankan sesuai dengan tahap yang dikemukakannya, jika kultur demokrasi kita berupa dialog positif. Minimal dianutnya paham tersebut oleh partai-
partai yang bercokol di parlemen yang memandang kepentingan negara dan bangsa sebagai persoalan pokok, diatas segala persoalan dan kepentingan yang lain.
Perubahan
undang-undang parpol
yang dilakukan
untuk setiap
akan dilaksanakannya pemilu jika dikonstruksikan secara positif, memuat ketentuan-
ketentuan yang dapat menampung persoalan yang akan timbul dalam tahap perencanaaan, pelaksanaan dan setelah pemilu. Penggantian atau pun perubahan itu
275
. Janedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional, Praktek ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD 1945. Konpress Cetakan pertama Oktober 2012 hlm 58
1044 juga disempurnakan oleh ketentuan organik dalam tatanan operasional dengan
melahirkan beberapa aturan dari regulator lainnya seperti, Komisi Pemilihan Umum dan pihak pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Hukum Hak Asasi Manusia.
Karena subjek pemilu legislatif dan pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah parpol, maka keberadaan parpol harus diperhatikan dengan seksama, persoalan
pokoknya adalah pengaturan tentang parpol itu sendiri. Penyempurnaan aturan parpol menjadi sesuatu yang penting, modifikasi norma berdasarkan pengalaman
setiap pemilu sudah pasti membawa mamfaat, bagaimana parpol menjadi sub sistem lembaga pemilu yang dapat diandalkan dan dipercaya sehingga konsumen pemilu
masyarakat pemilih menggunakan hak pilihnya dengan antusias dan cerdas. Sisi lain mamfaat ganda dari perbaikan aturan parpol itu dapat melahirkan kader parpol
yang diharapkan, mempunyai integritas dan kemampuan yang mumpuni sebagai orang yang mewakili rakyat.
Penguatan lembaga Partai politik. Anjuran pembentukan parpol berdasarkan Maklumat Pemerintah tanggal 3
November 1945 merupakan benih dasar untuk mendirikan organisasi politik di tanah air, walaupun pemerintahan negara masih dalam masa transisi. Upaya
menganjurkan dan memperbolehkan orang mendirikan parpol saat usia kemerdekaan masih bayi adalah suatu tindakan yang cukup riskan, namun
pemerintah percaya diri dan meyakini dengan adanya parpol kehidupan demokrasi akan semakin baik. Selengkapnya dapat dikutip maklumat tersebut :
1. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan adanya partai-partai politik itulah dapat dipimpin kejalan yang teratur segala aliran paham
yang ada dalam masyarakat. 2. Pemerintah berharap supaya partai-partai itu telah tersusun, sebelumnya
dilangsungkan pemilihan anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946
276
.
Bahkan Perdana Menteri St Sjahrir sewaktu menjadi ketua BP Komite Nasional Indonesia Pusat BP KNIP mengeluarkan pengumuman pada tanggal 30 Oktober
1945 No. 3 BRI Th I No 1, h 4 dengan redaksi antara lain berhubungan dengan parpol sebagai berikut :
Maka sesuai dengan Undang-Undang Dasar kita yang memuat petunjuk adanya kemerdekaan bersidang dan berkumpul, Badan Pekerja beranggapan bahwa
sekarang sudah tiba saatnya untuk mengusahakan pergerakan rakyat dengan seksama .
anya yang menjadi pertanyaan ialah : Baik diadakan satu partai sajalah atau dibiarkan tumbuh beberapa partai menurut corak dal aliran yang hidup dalam
masyarakat kita ?
276
. Lihat M. Tolchah Mansoer, Demokrasi Sepanjang Konstitusi, Nur Cahaya, Cetakan kedua 1981 hlm 92. kutipan sudah disesuaikan dengan ejaan yang baru.
1045 Karena kita menjunjung asas demokrasi, tentu tidak dapat kita hanya membolehkan
satu partai saja yang berdiri. Dan lagi dengan adanya partai-partai itu bagi kita mudah untuk menaksir kekuatan perjuangan kita dan bagi pemerintahpun mudah
juga untuk minta tanggungjawab kepada pemimpin- pemimpin barisan perjuangan .
Maka kesimpulan Badan Pekerja tidak lain ialah pembentukan partai-partai sekarang boleh dimulai dengan leluasa asal saja pembentukan itu pada asasnya
dengan restriksi, memperkuat perjuangan kita mempertahankan kemerdekaan serta menjamin keamanan masyarakat yang kini pada beberapa tempat amat terganggu .
Berhubung dengan kesimpulan ini, maka oleh Badan Pekerja telah diusulkan kepada pemerintah supaya diberikan kesempatan kepada rakyat seluas-luasnya untuk
mendirikan partai-partai politik dengan restriksi bahwa partai-partai itu hendaknya memperkuat perjuangan kita mempertahan kemerdekaan dan menjamin keamanan
masyarakat
277
. Hampir tiga puluh tahun setelah Maklumat Pemerintah dan Pengumuman BP KNIP
tersebut, baru kemudian dilahirkan aturan dalam bentuk produk hukum positif, yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya UU
31975 yang diundangkan pada tanggal 27 Agustus 1975
278
. Dalam konsideran UU 31975 dikatakan latar belakang dilahirkannya undang-undang ini, selain untuk
penyederhanaan partai politik dari 9 sembilan partai dan 1 satu golongan menjadi 2 dua partai dan 1 satu golongan sebagai diamanatkan oleh Garis-Garis Besar
Haluan Negara GBHN. Selain itu UU 31975 itu dilahirkan guna menjamin terpeliharanya kesatuan dan persatuan bangsa, stabilitas nasional serta
terlaksananya percepatan pembangunan. Jika dibandingkan produk hukum Maklumat Pemerintah dan Pengumuman BP KNIP
dengan UU 31975 sebagai landasan didirikannya parpol, terdapat beberapa perbedaan yang cukup tajam. UU 31975 memberikan pembatasan kuantitatif jumlah
kekuatan politik di tanah air, sementara produk hukum sebelumnya memberikan ruang gerak cukup luas agar warganegara dapat mendirikan parpol, walaupun
suasana masih dalam keadaan darurat. Asas dan tujuan yang dicantumkan dalam UU 31975 dapat menjadi kerengkeng
untuk parpol sehingga mereka tidak bebas dalam menentukan secara otonom soal ideologi dan tujuan parpol. Walaupun UU31975 sebagai hukum positif adalah
produk legislasi dimana sinergi konstitusi lembaga DPR dan Presiden dapat diwujudkan yang semestinya lebih aspiratif dan mengandung nilai demokrasi,
ternyata belum sesuai dengan harapan. Fusi partai kemudian dipertegas dengan kehadiran UU 31975 dan secara tidak langsung membatasi berdirinya parpol. Sejak
277
i b i d hlm 99
278
. Sebelum dilahirkannya UU 31975 diberlakukan berturut-turut UU No 7 Pnps Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyerderhanaan Kepartaian LN RI 1959 No. 149, UU No. 13
Prps Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan dan Pembubaran partai-partai LN RI No. 1960 No.79, UU No 25 Prps 1960 tentang Perubahan Peraturan Presiden No. 13 Tahun 1960
LN RI 1960 No.139.
1046 fusi hingga memasuki periode pemilu 1977, hanya ada dua parpol dan satu golongan
karya. Jumlah itu terus bertahan hingga pemilu 1977
279
. Buat pertama kali secara hukum juga diatur soal keanggotaan dan kepengurusan
parpol sejak pusat sampai di daerah, Pemerintah Orde Baru berhasil dengan efektif mengendalikan parpol melalui instrumen hukum UU 31975 karena dalam materi UU
31975 diatur juga soal pengawasan, larangan dan tata cara pembubaran parpol, Presiden sebagai kepala pemerintahan, menjadi sentral figur menjalankan fungsi
tersebut. Tujuh dekade sejak norma pertama dicanangkan untuk mengakomodasi kehidupan
parpol di tanah air, silih berganti ketentuan undang-undang parpol telah diberlakukan, kehidupan dan perkembangan parpol semakin semarak pasca
reformasi. Pertanyaan yang perlu dilontarkan adalah, apakah dengan penggantian dan revisi undang-undang parpol selama ini sudah terjadi penguatan institusi parpol
? Materi undang-undang parpol harus menjadi objek utama sebagai alat ukurnya. Dalam kenyataannya penerapan undang-undang parpol tidak dapat berdiri sendiri,
harus ada keterkaitan dengan paket undang-undang politik lainnya, terutama sekali dengan undang-undang pemilu.
Sebagaimana dikatakan Carl Frienderich, parpol sebagai kelompok manusia yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan
kekuasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin materil dan idil kepada para anggotanya, sementara itu Soltau menjelaskan, parpol sebagai yang sedikit
banyaknya terorganisasikan, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik, dan yang memamfaatkan kekuasaannya untuk kebijakan umum yang mereka buat
280
. Fungsi utama parpol adalah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan
program-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu. Cara yang digunakan oleh suatu parpol dalam sisitem politik demokrasi untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan ialah ikut serta dalam pemilu sedangkan dalam sistem parpol tunggal dalam sistem politik totaliter berupa paksaan fisik dan psikologi oleh
suatu diktatorial kelompok komunis maupun diktatorial individu fasis
281
. UU 22008 jo UU 22011 dalam Pasal 10 dan 11 tentang tujuan dan fungsi parpol
baik yang bersifat umum atau khusus secara tersirat mengakui bahwa tujuan parpol tersebut untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, semuanya melalui
mekanisme dengan turut sertanya parpol dalam pemilu. Maka dengan demikian menjadi suatu yang dapat diterima dengan akal sehat dan logika umum, penggantian
dan penyempurnaan materi undang-undang di bidang politik selalu beriringan dengan waktu akan diadakannya atau untuk kepentingan pemilu.
Dalam jangka panjang, pemilu yang demokratis akan berkesinambungan apabila ada sejumlah kondisi yang mendukung. Kondisi itu terutama berkaitan dengan
lingkungan politik yang juga tertata secara demokratis dan terlembaga. ada 5 lima
279
. Firdaus, Desain Stabiltas Pemerintahan Demokrasi Sistem Kepartaian, Penerbit Yrama Widya Cetakan pertama September 2015 hlm 325
280
. Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Grasindo Cetakan ketujuh Maret 2010 hlm 148
281
. i b i d hlm 149
1047 kondisi agar pemilu yang demokratis dan terlembaga dapat berkesinambungan, yaitu
: 1. adanya pengadilan independen yang menginterpretasikan peraturan pemilu; 2. adanya lembaga adminsitrasi yang jujur, kompeten dan non partisan untuk
menjalakan pemilu; 3 adanya pembangunan sistem kepartaian yang cukup terorganisir untuk meletakan pemimpin dan kebijakan diantara alternatif kebijakan
yang dipilih; 4. penerimaan komunitas politik terhadap aturan main tertentu dari struktur dan pembatasan dalam mencapai kekuasaan
282
. Parpol sebagai pilar demokrasi perlu ditata dan disempurnakan untuk mewujudkan
sistem politik yang demokratis guna mendukung sistem presidensil yang efektif. Penataan dan penyempurnaan parpol di arahkan pada dua hal utama yaitu, Pertama,
membentuk sikap dan perilaku parpol yang terpola atau sistemik hingga terbentuk budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi. Hal ini
ditunjukan dengan sikap dan perilaku parpol yang memiliki sistem seleksi dan rekruitmen keanggotaan yang memadai serta mengembangkan sistem pengkaderan
dan kepemimpinan politik yang kuat. Kedua, memaksimalkan fungsi parpol baik fungsi parpol terhadap negara maupun fungsi parpol terhadap rakyat melalui
pendidikan politik dan pengkaderan serta rekruitmen politik yang efektif untuk menghasilkan kader-kader calon pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang
politik
283
.
Miriam Budiardjo menyatakan : Selain kuantitas ada hal lain yang patut dicatat dari kehidupan kepartaian di Indonesia pada masa ini. Hal pertama berkenaan dengan
konsilidasi internal. Seperti telah menjadi gejala umum bahwa kalangan elite partai- partai menjadi tidak solid setelah pemilihan umum berlalu, dengan berbagai sebab
yang melatarbelakangi. Tidak jarang friksi itu berkembang menjadi perpecahan yang berujung pada munculnya pengurus tandingan atau kepengurusan tandingan atau
kepengurusan ganda, dan ada pula yang memisahkan diri untuk mendirikan partai baru
284
. Hal kedua berkenaan dengan adanya kebebasan dalam hal asas. Sebelumnya
dalam UU 3 Tahun 1985 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya ditegaskan bahwa Pancasila harus menjadi satu-satunya asas bagi semua partai dan Golkar,
tanpa embel-embel lain. Sebaliknya UU 21999 memberikan kebebasan kepada partai politik untuk menggunakan asas lain selain Pancasila. Oleh karena itu
bermunculanlah partai-partai politik yang berasas lain seperti nasionalisme ataupun keagamaan. Hal ketiga berkenaan dengan hubungan sipil dan militer. Salah satu hal
yang membedakan periode reformasi dengan sebelumnya adalah adanya semangat untuk mengapuskan peran militer dalam politik. Hal ini mempunyai pengaruh
lengsung terhadap kehidupan kepartaian. Hal keempat berkenaan dengan masuknya orang-orang yang bukan berlatar belakang politik menjadi elite partai politik.
Diantara mereka ada yang berasal dari kalangan pengusaha, akademisi, ulama, ataupun seniman
285
.
282
. Agus Riwanto, Hukum Partai Politik dan Hukum Pemilu di Indonesia Penerbit Thafamedia Cetakan I April 2016 hlm 68
283
. Lihat penjelasan umum UU 22011
284
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik PT Gramedia PustakaUtama Edisi Revisi Cetakan Ketiga September 2009 hlm 451
285
. I b i d hlm 452.
1048 Menjalani masa dua dekade kehidupan parpol di tanah air, sejak dilahirkannya UU
21999 penguatan parpol selalu diusahakan, baik secara interen maupun eksteren. Elit parpol bukannya tidak melakukan upaya-upaya pemberdayaan parpolnya dengan
cara-cara tersendiri sesuai dengan budaya parpol masing-masing. Pembenahan ke dalam yang bersifat konsilidasi selalu dilakukan demi tercapainya parpol yang kuat
dari sisi kepengurusan. Namun terkadang pandangan pihak lain yang ada dalam kepengurusan parpol melihat upaya tersebut tiada lain sebagai kegiatan terselubung
untuk memperkuat posisi segelintir orang di elit parpol untuk tetap bercokol untuk menggenggam kekuasaan.
Penyederhaaan parpol zaman Orde Baru yang dilakukan oleh Soeharto, bisa jadi merupakan upaya untuk melakukan penguatan parpol versi rezim otoriter, namun
pengekangan yang terus dilakukan sehingga parpol tidak dapat mengembangkan diri sebagai instrumen utama demokrasi membuat upaya penguatan tersebut tidak dapat
menjadi kenyataan. Pembatasan kegiatan dan gerakan parpol yang bersifat represif oleh aparat keamanan demi terjaminnya stabilitas politik, membuat parpol sulit
bernafas dan tidak dapat menjadi instrumen demokrasi
286
. Menurut hemat kami hal demikian juga berhadapan dengan kultur yang sudah terbentuk selama hampir tiga
dekade ketika kekuasaan dipegang oleh pemerintahan Soeharto, membuat kalangan elit parpol dan para aktivisnya kehilangan semangat dan takut untuk keluar dari
kungkungan yang mengekang semangat demokrasi. Pasca reformasi ditandai dengan bermunculan parpol baru, semangat untuk berdemokrasi yang berlebihan melupakan
segala sesuatu pemikiran yang objektif untuk penguatan parpol sebagai sarana utamanya.
Penguatan lembaga parpol secara interen lebih ditentukan oleh elitekepengurusan parpol sendiri dalam berbagai kegiatan politik, terutama dalam hal memberikan
kontribusi bagi pembangunan negara, kiprah mereka dapat dipantau dalam keseharian sesuai dengan peranan setiap individu. Perhatian dan evaluasi dapat
ditujukan pada lembaga-lembaga politik dan pemerintahan, Dewan Perwakilan Rakyat DPR, Menteri dan jabatan publik lainnya yang diberikan kepada kader
parpol. Catatan Akhir.
UU 22008 jo UU 82011 sudah dua kali mengalami pemilu, pertama pada tahun 2009 dan kedua pada tahun 2014. Pemilu tahun 2009 dan 2014 menggunakan sistem
pemilu proposional dengan varian daftar calon terbuka open list yang hampir sama dengan pemilu tahun 2004, dimana peran partai relatif besar dalam menentukan
nomor urut daftar calon dalam surat suara, namun juga memberikan peran pemilih berupa hak untuk memilih tanda gambar partai maupun nama calon. Inisiatif
pertama untuk menentukan terpilihnya seorang calon berada ditangan partai, berupa
286
. Menurut Ikrar Nusa Bakti dalam orasi ilmiahnya pada acara peluncuran buku Salim Said berjudul Menyaksikan Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto : sikap dan tindakan keras
terhadap lawan politik ataupun rakyat yang menentang, menjadi ciri khas pada Orde Baru. Sebaliknya pejabat militer atau rakyat yang mendukung akan mendapat konsensi hak
politik maupun ekonomi, Era Otoritarian Orba Jadi Pelajaran Bangsa, Kompas 5 Agustus 2016 hlm 2
1049 memberikan nomor urut calon yang dipilih mewakili partai yang bersangkutan. Cara
seperti itu jelaskan memberikan peran bagi elit partai disetiap jenjang kepengurusan, dari pusat sampai ke daerah. Karena pemilu adalah helat nasional yang selalu
diperhatikan, terutama berkisar soal keterpilihan seorang calon parpol di lembaga perwakilan, tidak ayal menjadi ajang alat ukur keberhasilan sebuah parpol dan
sekaligus kadernya. Sebaliknya di setiap pemilu mencuat kepermukaan konflik internal parpol, yang
biasanya didominasi persoalan pencalonan, baik pada pemilu legislatif bahkan dalam pemilihan kepala daerah pilkada. Kekisruhan tersebut bisa dipicu oleh ketidak
setujuan dari calon atau pengurus, baik tingkat pusat maupun daerah. Hal demikian disebabkan pula oleh tidak adanya standar yang jelas, aturan baku serta mekanisme
yang fair dalam penentuan calon, baik legislatif, maupun eksekutif. Kondisi seperti itu menggambarkan ketidakberesan organisasi, khususnya soal pengkaderan dan
rekruitmen calon. Tidak jarang ricuh soal pencalonan ini berakhir dengan konflik tajam di tubuh kepengurusan, baik pusat maupun daerah.
Jika kita elaborasi dan inventaris undang-undang parpol pasca reformasi, semakin nyata gambaran, bahwa parpol kita adalah instrumen politik nasional yang terpusat
dengan penjenjangan atas ke bawah, sementara kelahirannya dititikberatkan pada syarat pembentukan yang ruwet berdasarkan kuantitatif kepengurusan yang ada.
Alasan klasik yang dilontarkan bersandarkan pada niat untuk memupuk rasa nasionalis dan mengeratkan negara kesatuan Republik Indonesia, seharusnya jargon-
jargon politik seperti ini sudah saatnya dievaluasi. Apa yang diharapkan oleh UU 22011 sebagaimana dimuat dalam penjelasan, masih
jauh panggang dari api. Terbentuknya sistem seleksi dan rekruitmen yang memadai serta mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat
sebagaimana diharapkan belum menjadi agenda penting bagi setiap parpol. Kalau persoalan tersebut dilaksanakan oleh segelintir parpol dalam bentuk sistem
pengkaderan, hal itu hanya semata tidak dilihat sebagai instrumen yang penting dan jitu. Upaya-upaya pemenuhan isu sentral yang dilaksanakan parpol cenderung
memenuhi hasrat keinginan politik pengurus pusat bahkan terkesan sangat elitis, dan kurang desentralisasi.
Dalam banyak hal, terutama kasus soal kepartaian yang mencuat di daerah maupun pusat, penyelesaiannya kurang transparan dan tidak egaliter, cara seperti itu
menggambarkan hubungan kepengurusan pusat dan daerah lebih bersifat atasan dengan bawahan.
Penetrasi pusat agar solusi yang ditawarkan harus dijalankan bisa dalam berbagai bentuk, kesemuanya bermuara bagaimana daerah
patuh dan taat dengan apa yang
telah diputuskan Dewan Pengurus Pusat DPP. Kontrol DPP terhadap kebijakan politik pengurus bawahan, Dewan Pimpinan Daerah DPD Propinsi dan
KabupatenKota mewarnai secara dominan. Anggaran Dasar AD dan Anggaran
1050 Rumah Tangga parpol adalah aturan yang memberikan legalisasi terhadap tindakan
DPP terhadap DPD
287
. Hubungan pusat dan daerah, khususnya dalam menyelesaikan konflik kepengurusan
hanya dapat diselesaikan dengan pendekatan yuridis yang adil serta terus membangun kultur interen parpol agar konflik diselesaikan dengan
gentlement .
Perhatian harus diberikan pada perbaikan materi undang-undang, seperti meletakkan
kewenangan mahkamah
partai sedemikian
rupa sebagai
instrumenlembaga penyelesaian konflik, usul kiranya mahkamah ditongkrongi oleh orang-orang yang kredibel dan komposisi keanggotaannya mayoritas pihak luar patut
dipertimbangkan. Solusi seterusnya berkaitan dengan sikapperilaku elit parpol yang berkuasa agar memberikan suri teladan dalam berpolitik yang santun dan tidak
tamak dengan kekuasaan. Periode 2014-2019 juga perlu dimamfaatkan untuk memperkuat kelembagaan
parpol dalam jangka panjang. Dengan kemajemukan yang bersifat segmented dan
bahkan fragmented segmented and fragmented pluralism apa pun kebijakan treshold untuk maksud penyederhaan parpol secara alamiah, dalam jangka panjang
jumlah parpol di Indonesia tidak akan pernah berhasil diciutkan.
287
. Lihat misalnya kasus pemecatan Ketua DPD Golkar Jawa Timur Zainudin Amali Cs, mereka menentang kebijakan DPP Partai Golkar tentang Pemilukada. Mereka berbeda sikap
dengan partainya bersama Koalisi Merah Putih yang menginginkan pilkada oleh DPRD. Kompas 3 Oktober 2014
1051
Desentralisasi Partai Politik: Sebuah Kajian Original Intent dan Pemaknaan Sistematik UUD 1945
Oleh Luthfi Widagdo Eddyono Peneliti Center for Democratization Studies
Abstrak
Perubahan UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 1999-2002 salah satunya bermaksud untuk memperkuat peran dan kedudukan partai politik dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Penguatan kedudukan partai politik tersebut terlihat pada Pasal 6A UUD 1945 yang terkait dengan pengusulan pasangan calon presiden dan
wakil presiden dan pemberian kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus pembubaran partai politik Pasal 24C UUD 1945, termasuk kedudukan partai politik
sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR dan DPRD Pasal 22E ayat 3 UUD
. Secara kumulatif, frasa partai politik hanya enam kali disebutkan dalam UUD 1945. Walaupun demikian, berdasarkan original intent, sangat terasa upaya untuk
memperkuat peran strategis partai politik sebagai sarana penunjang demokrasi konstitusional yang diupayakan terkonsolidasi secara berkesinambungan.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji original intent perubahan UUD 1945 terkait dengan peran dan kedudukan partai politik dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, termasuk dengan kebutuhan adanya desentralisasi partai politik di Indonesia. Hasilnya adalah jika dikaitkan dengan desentralisasi peran dan tanggung
jawab partai politik di tingkat pusat kepada partai politik di tingkat daerah, tidak terdapat original intent yang terkait dengan hal tersebut, akan tetapi jika dikaitkan
dengan Pasal 18 UUD 1945 yang berkenaan dengan Pemerintahan Daerah, maka pemaknaan sistematis UUD 1945 tentu saja meliputi desentralisasi peran partai
politik tersebut. Apalagi berdasarkan ketentuan normatif konstitusi, partai politik juga mempunyai kewenangan untuk mencalonkan anggota dewan perwakilan rakyat
daerah. Oleh karena itu, pengaturan mengenai desentralisasi peran dan tanggung jawab partai politik perlu dinormakan dalam format Undang-Undang agar moralitas
konstitusional desentralisasi hubungan pusat dan pemerintahan daerah dapat terjadi dan terkonsolidasi dengan baik. Dengan demikian, partai politik diharapkan mampu
menjalankan perannya sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik political socialization, pengatur konflik conflict management dan akhirnya menjadi sarana
rekruitmen politik political recruitment baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Kata kunci: Perubahan UUD 1945, partai politik, desentralisasi.
1052
Desentralisasi Partai Politik: Sebuah Kajian Original Intent dan Pemaknaan Sistematik UUD 1945
Oleh Luthfi Widagdo Eddyono
288
Kata kunci: Perubahan UUD 1945, partai politik, desentralisasi.
“...in a nation denied constitutional debate for the last four decades, perhaps the difficult process Indonesia is enduring is a necessary way to build a national understanding of
the issues and put some content into the vague rhetoric of reform, rights and democracy created by Soehartos fall.
Tim Lindsey Pendahuluan
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UUD 1945 sejak tahun 1999 sampai dengan 2002 merupakan salah satu tuntutan
gerakan reformasi pada tahun 1998.
289
Tuntutan perubahan UUD 1945 yang digulirkan tersebut didasarkan pandangan bahwa UUD 1945 tidak cukup memuat
sistem checks and balances antarcabang-cabang pemerintahan lembaga negara
290
untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan atau suatu tindak melampaui wewenang.
291
Selain itu, UUD 1945 tidak cukup memuat landasan bagi kehidupan
288
Peneliti Center for Democratization Studies. Mendapatkan pendidikan sarjana hukum internasional Universitas Gadjah Mada 2005 dan master hukum tata negara Universitas
Indonesia 2009. Pada Tahun 2015, terpilih menjadi Asia Young Leader for Democracy oleh Taiwan Foundation for Democracy. Pernah magang dan riset di High Court of Australia dan
Federal Court of Australia dalam program Indonesia-Australia Legal Development Facility IALDF pada tahun 2009 dan mengikuti Legislative Fellows Program yang diadakan United
States of America USA Department of State dan American Council of Young Political Leaders ACYPL di Washington DC dan negara bagian Washington pada tahun 2010. Karya tulis yang
pernah dihasilkan adalah Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002; Buku VIII Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi Manusia
dan Agama Setjen dan Kepaniteraan MKRI: 2010. Email: luthfi_weyahoo.com, luthficedes.or.id.
289
Jimly Asshiddiqie , mplikasi Perubahan UUD
Terhadap Sistem ukum Nasional, Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Perkembangan Sistem Hukum Nasional
Pasca Perubahan UUD 1945, diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Surabaya, 27-29 April 2006, hlm. 1.
290
Dahlan Thaib dan S.F. Marbun menyatakan bahwa pola kelembagaan negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang berlandaskan UUD 1945 sebelum perubahan sebenarnya
memiliki prinsip check and balance yang luas, terlihat dalam jabatan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan Negara tertinggi, namun apabila Dewan Perwakilan
Rakyat DPR beranggapan bahwa Presiden melangar haluan Negara, maka DPR dapat meminta Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR untuk meminta
pertanggungjawaban Presiden. Dahlan Thaib dan S.F. Marbun, Masalah-Masalah Hubungan Antar Lembaga Tinggi Negara
, dalam Sri Soemantri, dkk., Hukum dan Politik Indonesia, Tinjauan Analitis Dekrit Presiden dan Otonomi Daerah, Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1996,
hlm. 64.
291
Misalnya, menurut Jimly Asshiddiqie, tidak terdapat ketentuan yang mengatur pembatasan wewenang Presiden menolak mengesahkan suatu Rancangan Undang-Undang
1053 demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Aturan UUD 1945 juga banyak yang menimbulkan multitafsir dan membuka peluang bagi penyelenggaraan yang otoriter, sentralistik, tertutup, dan KKN.
292
Tuntutan tersebut kemudian diwujudkan dalam empat kali perubahan UUD 1945.
Perubahan Pertama yang dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 diantaranya terkait dengan pembatasan kekuasaan Presiden
293
dan penguatan kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif.
294
Perubahan Kedua dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 meliputi masalah wilayah negara dan pembagian
pemerintahan daerah, menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan yang terperinci hak asasi manusia.
295
Perubahan Ketiga yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001 meliputi ketentuan tentang asas-asas landasan bernegara, kelembagaan negara dan
hubungan antarlembaga negara, dan ketentuan-ketentuan tentang pemilihan
yang sudah disetujui DPR sebagai wakil rakyat. Selain itu, tidak ada pembatasan mengenai luas lingkup Perpu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sehingga dapat
dihindari kemungkinan penyalahgunaannya, sistem penunjukan Menteri dan pejabat publik lainnya seperti Panglima, Kepala Kepolisian, Pimpinan Bank Sentral, dan Jaksa Agung yang
semata-mata dianggap sebagai wewenang mutlak hak prerogatif Presiden, termasuk tidak membatasi pemilihan kembali Presiden sebelum diatur dalam TAP MPR 1998. Jimly
Asshiddiqie, Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Republik ndonesia , Makalah yang disampaikan pada Diklat Terpadu Sekola Staf dan Pimpinan Departemen Luar
Negeri SESPARLU Angkatan XXXV dan Diklat Kepemimpinan Tingkat II, Jakarta, 19 Oktober 2006, hlm. 2. Contoh lain diutarakan Satya Arinanto, yaitu adanya kekuasaan yang sangat
besar diberikan UUD 1945 kepada eksekutif presiden. Pada diri pesiden terpusat kekuasaan menjalankan pemerintahan chief executive yang dilengkapi dengan berbagai hak
konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif seperti memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi dan kekuasaan legislatif, karena memiliki kekuasaan membentuk undang-
undang. Dua cabang kekuasaan negara yang seharusnya dipisahkan dan dijalankan oleh lembaga Negara yang berbeda, tetapi ternyata berada di tangan presiden menyebabkan tidak
bekerjanya prinsip dan berpotensi mendorong lahirnya kekuasaan yang otoriter. Satya Arinanto, Politik Pembangunan ukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi , Jurnal
Konstitusi , Volume 3 Nomor 3, September 2006: 80.
292
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat, Jakarta:
Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2005, hlm. 4.
293
Pembatasan kekuasaan presiden memang menjadi prioritas yang utama karena sebelum perubahan UUD 1945, sistem pemerintahan yang dianut adalah concentration of power upon
the president, sehingga pembatasan kekuasaan yang seharusnya menjadi ciri suatu pemerintahan konstitusional constitustional government menjadi tidak bermakna. H.F.
Abraham Amos, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Dari Orla, Orba sampai reformasi, Telaah Sosiologi Yuridis dan Yuridis Pragmatis Krisis Jati Diri Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:
Rajawali Press, 2005, hlm. 130.
294
Perubahan Pertama yang ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999 dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 yang meliputi Pasal 5 ayat 1, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13
ayat 2, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat 2 dan 3, Pasal 20, dan Pasal 22 UUD 1945.
295
Perubahan Kedua itu sendiri memang meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat 5, Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C,
Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C UUD 1945.
1054 umum.
296
Perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002.
297
Materi perubahan pada Perubahan Keempat adalah ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan
Agung DPA, ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan
tambahan.
298
296
Perubahan Ketiga yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001 tersebut mengubah danatau menambah ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat 2 dan 3, Pasal 3 ayat
1, 3, dan 4, Pasal 6 ayat 1 dan 2, Pasal 6A ayat 1, 2, 3, dan 5, Pasal 7A, Pasal 7B ayat 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7, Pasal 7C, Pasal 8 ayat 1 dan 2, Pasal 11 ayat 2 dan
3, Pasal 17 ayat 4, Bab VIIA, Pasal 22C ayat 1, 2, 3, dan 4, Pasal 22D ayat 1, 2, 3, dan 4, Bab VIIB, Pasal 22E ayat 1, 2, 3, 4, 5, dan 6, Pasal 23 ayat 1, 2, dan
3, Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat 1, 2, dan 3, Pasal 23F ayat 1, dan 2, Pasal 23G ayat 1 dan 2, Pasal 24 ayat 1 dan 2, Pasal 24A ayat 1, 2, 3, 4, dan
5, Pasal 24 B ayat 1, 2, 3, dan 4, Pasal 24C ayat 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 UUD 1945.
297
Perubahan danatau penambahan dalam Perubahan Keempat meliputi Pasal 2 ayat 1; Pasal 6A ayat 4; Pasal 8 ayat 3; Pasal 11 ayat 1; Pasal 16, Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24
ayat 3; Bab XIII, Pasal 31 ayat 1, 2, 3, 4, dan 5; Pasal 32 ayat 1, 2, 3, dan 4; Bab IV, Pasal 33 ayat 4 dan 5; Pasal 34 ayat 1, 2, 3, dan 4; Pasal 37 ayat 1, 2, 3,
4, dan 5; Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II UUD 1945.
298
Tim Lindsay dan Susi Dwi Harijanti menyatakan, The amendments established totally new
organs of state--including a powerful new Constitutional Court; the Dewan Perwakilan Daerah DPD or Regional Representatives Council, a form of senate to represent Indonesias thirty
provinces; and a judicial commission, to supervise judicial reform. The amendments also reformed existing institutions, laws, and mechanisms, including a dramatic expansion of human
rights provisions to embrace most of the Universal Declaration of Human Rights; the introduction of a mechanism for the direct election, for the first time, of the president and vice
president; the abolition of appointed members of the Dewan Perwakilan Rakyat DPR or legislature and, thus, the end of the longstanding practice of reserving seats for the military; the
redefinition and scaling down of the MPRs role; the abolition of the controversial Elucidation to the 1945 Constitution; and finally, the strengthening of the troubled post-Soeharto regional
autonomy process through the grant of formal constitutional status for the transfer of power to regional authorities
. Tim Lindsay dan Susi Dwi arijanti, Indonesia: General Elections Test the Amended Constitution and The New Constitutional Court
, International Journal of Constitutional Law, J
anuari, : . amdan Zoelva berpendapat, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disingkat UUD 1945 sebelum perubahan dan setelah perubahan mengandung beberapa prinsip yang sama sekaligus memiliki perbedaan-
perbedaan yang mendasar. Perubahan atas sistem penyelenggaraan kekuasaan yang dilakukan melalui perubahan UUD 1945, adalah upaya untuk menutupi berbagai kelemahan
yang terkandung dalam UUD 1945 sebelum perubahan yang dirasakan dalam praktek ketatanegaraan selama ini. Karena itu arah perubahan yang dilakukan adalah, antara lain,
mempertegas beberapa prinsip penyelenggaraan kekuasaan negara sebelum perubahan yaitu prinsip negara hukum rechtsstaat dan prinsip sistem konstitusional constitutional system,
menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada dan membentuk beberapa lembaga negara yang baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip-prinsip negara
berdasar atas hukum. Perubahan ini tidak merubah sistematika UUD 1945 sebelumnya karena untuk menjaga aspek kesejarahan dan orisinalitas dari UUD 1945. Perubahan
terutama ditujukan pada penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan masing-
masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern. Hamdan Zoelva
, Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Negara Menurut UUD 1945 , Makalah
1055 Dari segi jumlah norma, jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan,
maka setelah empat kali mengalami perubahan, materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan. Dengan kata lain, terdapat 174 butir materi baru yang
terkandung dalam empat kali perubahan tersebut.
299
Dapatlah dikatakan bahwa UUD 1945 mengalami perubahan total, karena meliputi sebagian besar materi yang
esensial dan fundamental.
300
Substansi yang tercakup di dalamnya berkenaan dengan i ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia, hak-hak dan kewajiban warga negara,
serta mekanisme
hubungannya dengan
negara dan
prosedur untuk
mempertahankannya apabila hak-hak itu dilanggar; ii prinsip-prinsip dasar tentang demokrasi dan rule of law, serta mekanisme perwujudan dan pelaksanaannya, seperti
melalui pemilihan umum, dan lain-lain; dan iii format kelembagaan negara dan mekanisme hubungan antarorgan negara serta sistem pertanggungjawaban para
pejabatnya.
301
Selain perubahan dan penambahan butir-butir ketentuan tersebut, perubahan UUD 1945 juga mengakibatkan adanya perubahan kedudukan dan hubungan
beberapa lembaga negara, penghapusan lembaga negara tertentu, dan pembentukan lembaga-lembaga
negara baru.
302
Perubahan memang
ditujukan pada
penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan masing-masing lembaga negara.
303
Hal tersebut memang dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan penyelenggaraan negara agar lebih demokratis, seperti
disempurnakannya sistem saling mengawasi dan mengimbangi checks and balances.
304
Selain itu, salah satu penguatan yang dilakukan oleh UUD 1945 setelah perubahan adalah terhadap kedudukan partai politik di Indonesia.
Penguatan kedudukan partai politik tersebut terlihat pada Pasal 6A UUD 1945 yang terkait dengan pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden dan
pemberian kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus pembubaran partai politik Pasal 24C UUD 1945, termasuk kedudukan partai politik sebagai peserta
pemilihan umum anggota DPR dan DPRD Pasal 22E ayat 3. Secara kumulatif, penyebutan frasa partai politik hanya enam kali diulangi dalam UUD
, akan
disampaikan pada acara sosialisasi Mahkamah Konstitusi dan Sistem Ketatanegaraan RI, yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi kerjasama dengan APSI, di Hotel Atlet Century
tanggal 7-10 April 2005, hlm. 1.
299
Jimly Asshiddiqie , Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Republik
ndonesia , Makalah yang disampaikan pada Diklat Terpadu Sekola Staf dan Pimpinan Departemen Luar Negeri SESPARLU Angkatan XXXV dan Diklat Kepemimpinan Tingkat II,
Jakarta, 19 Oktober 2006, hlm. 8.
300
Marshaal NG, Amandemen UUD 1945 dalam Sorotan Naskah dan Beberapa Komentar Penting, Palembang: Universitas Muhammadiyah Palembang, 2003, hlm. 84.
301
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007, hlm. 140.
302
Jimly Asshiddiqie , Konstitusi dan Amandemen Konstitusi , Makalah disampaikan pada
Kuliah Umum di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 29 April 2006, hlm. 14.
303
Hamdan Zoelva , Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Negara Menurut UUD
, dalam Sutjipno, Perubahan UUD 1945 Tahun 1999-2002 dalam Bahasa Akademik, bukan Politik,
Jakarta: Konpress, November 2007, hlm. 224.
304
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Op.Cit., hlm. 13.
1056 tetapi melihat betapa stategisnya peran partai tersebut, maka penting untuk
memaknai kedudukan jelas partai politik berdasarkan original intent
305
. Hal lain yang penting untuk dimaknai berdasarkan UUD 1945 adalah
desentralisasi kewenangan partai politik di tingkat nasional ke daerah. Pentingnya desentralisasi kewenangan tersebut seperti disampaikan HM Harry Mulya Zein
sebagai berikut:
Desentralisasi partai politik menjadi sangat penting. Memberikan kewenangan secara otonom kepada pengurus DPD dan DPC untuk menentukan calon
kepala daerah yang akan diusung bisa menghambat proses politik transaksional. Yang patut diperhatikan juga meningkatkan otonomi fiskal
partai politik daerah yang bertujuan agar partai politik tingkat lokal memiliki kemandirian finansial dalam menggerakkan roda organisasi. Terakhir,
meningkatkan kekuatan masyarakat sipil sehingga akan tercipta tuntutan- tuntutan kepada partai politik untuk membuat program dan platform yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
306
Menurut Harry Mulya Zein, perkembangan otonomi daerah dan desentralisasi politik seharusnya juga dibarengi dengan otonomi daerah sistem partai politik.
Desentralisasi pada saat ini hanya dimaknai sebagai penyerahan urusan dari pusat ke daerah, sedangkan daerah sendiri tidak memiliki kekuasaan yang otonom untuk
mandiri karena masih begitu dependen terhadap pusat.
307
Beranjak dari pendapat tersebut, tulisan ini akan mencoba mencari landasan konstitusi pentingnya
desentralisasi politik oleh partai politik di tingkat pusat ke tingkat daerah dengan melakukan kajian atas original intent dan sistematika UUD 1945.
308
305
Menurut Abdul Ghoffar dan Sy ukri Asy’ari, mengetahui asal usul lahirnya sebuah pasal
perubahan adalah sangat penting untuk memahami Undang-Undang Dasar terutama dari sisi original intent maksud awal dari para perumus perubahan Undang-Undang Dasar sebagai
sebuah metode penafsiran ko nstitusi. Abdul Ghoffar, Syukri Asy’ari, Proses dan asil
Perubahan UUD 1945, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002,
Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 2, Sekretraiat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, hlm. 2.
306
M arry
Mulya Zein,
Desentralisasi Partai
Politik , [http:www.unisosdem.orgarticle_detail.php?aid=12389coid=3caid=31gid=2], diakses
18 Juli 2016.
307
Ibid.
308
Menurut Bambang Purnomo dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana, di dalam ilmu pengetahuan dikenal beberapa metode atau sistem penafsiran, yaitu: Penafsiran gramatika grammatische
interpretatie sebagai penafsiran yang menyandarkan dari kata-kata yang dipakai sehari-hari; Penafsiran logika logische interpretatie sebagai penafsiran yang menyandarkan pada akalpikiran
yang obyektif, yang biasanya dengan cara mencari perbandingan di antara beberapa undang-undang; Penafsiran sistematik systematische interpretatie sebagai penafsiran yang mendasarkan sistem dalam
undang-undang itu, dengan menghubungkan bagian yang satu dengan bagian yang lain dari undang- undang itu; Penafsiran sejarah historische interpretatie sebagai penafsiran yang didasarkan atas
sejarah pembentukannya, yang dibedakan atas: rechtshistorische interpretatie, penafsiran berdasarkan sejarah pertumbuhan hukum yang diatur di dalam undang-undang; wethistorische interpretatie,
penafsiran berdasarkan sejarah pembentukan undang-undang untuk mengetahui apa yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang; Penafsiran teleoligik teleologische interpretatie sebagai penafsiran
yang bersadarkan atas tujuan apa yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang ketika membuat undang-undang itu; Penafsiran ekstensif extensieve interpretatie sebagai penafsiran yang
berdasarkan cara memperluas peraturan yang termaksud dalam suatu undang-undang; Penafsiran
1057
Original Intent Kedudukan Partai Politik Berdasarkan UUD 1945
Political parties created democracy. Schattscheider yang menyatakan hal itu percaya bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi. Sejarah
juga membuktikan bahwa partai politik merupakan sesuatu yang esensial bagi realisasi pemerintahan yang berdasarkan pilihan mayoritas dengan cara yang
demokratis. Partai politik memang memberikan forum bagi warga negara untuk ekspresi politik tersebut dan mengagregasi kepentingan-kepentingan yang berbeda.
Di sisi lain, keberadaan partai politik merupakan wujud pelaksanaan hak asasi manusia sebagai salah satu ciri dari negara demokrasi.
309
Keberadaannya menjadi implikasi pengakuan terhadap hak-hak politik seperti hak memilih the right to vote, hak berorganisasi the right of association, hak atas
kebebasan berbicara the right of free speech, dan hak persamaan politik the right to political equality. Karena itu, partai politik merupakan pilar yang sangat penting
untuk terus diperkuat derajat pelembagaannya the degree of institutionalization.
310
Dalam pembahasan kedudukan partai politik dalam persidangan Majelis Permusyawatan rakyat dalam rentang waktu 1999-2002, tidak terdapat keinginan
dari anggota untuk melemahkan kedudukan partai politik. Bahkan adanya adalah keinginan untuk menguatkan partai politik.
311
Berikut akan dikutip beberapa pandangan para perumus perubahan UUD 1945 terkait kedudukan partai politik
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam Rapat ke-2 Panitia Ad Hoc PAH III BP MPR yang berlangsung pada 8
Oktober 1999, dilakukan pembahasan tentang pemilihan anggota-anggota DPR dan DPD. Anggota F-UG, Valina Singka Subekti menyatakan penguatan fungsi kepartaian.
Valina menyebutkan,
Selanjutnya mengenai Pasal 2 mengenai komposisi dari anggota MPR. Ia terdiri dari anggota DPR ditambah dengan Utusan Daerah. Sementara Utusan
Golongan itu dihapuskan dengan pemikiran bahwa dengan situasi perubahan politik yang luar biasa di negara kita di mana ada keinginan kuat untuk
memperdayakan masyarakat sipil dan melakukan pendidikan politik tidak
analogi analogische interpretatie sebagai penafsiran yang berdasarkan atas jalan pikiran analogi, yaitu peraturan yang ada itu diperlakukan terhadap perbuatan yang tidak diatur dengan tegas dalam
undang-undang. Baca Luthfi Widagdo Eddyono, Metode Penafsiran , Majalah Konstitusi, No. 21, Juni-
Juli 2008, hlm. 15.
309
Luthfi Widagdo
Eddyono, Penguatan
Partai Politik ,
[http:luthfiwe.blogspot.com.tr201111penguatan-partai-politik.html], diakses
1872016.
310
Ibid.
311
Fraksi yang terdapat dalam konfigurasi MPR saat itu adalah: 1. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan F-PDI Perjuangan; 2. Fraksi Partai Golkar F-PG; 3. Fraksi Partai
Persatuan Pembangunan F-PPP; 4. Fraksi Kebangkitan Bangsa F-KB, yaitu dari Partai Kebangkitan Bangsa; 5. Fraksi Reformasi F-Reformasi, terdiri dari Partai Amanat Nasional
dan Partai Keadilan; 6. Fraksi Partai Bulan Bintang F-PBB; 7.Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia F-KKI, yaitu gabungan dari beberapa partai politik, yaitu Partai Demokrasi
Indonesia PDI, IPKI, PNI-MM, PKP, PP, dan PKD, 8. Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah F-PDU, yaitu gabungan dari PNU, PKU, PP Masyumi, PDR, dan PSII; 9. Fraksi Partai
Demokrasi Kasih Bangsa F-PDKB; 10. Fraksi Utusan Golongan F-UG; 11. Fraksi TNIPolri; serta 12. Fraksi Utusan Daerah F-UD, dibentuk pada Sidang Tahunan 2001 dan baru terlibat
pembahasan pada Perubahan Keempat tahun 2002.
1058 hanya pada masyarakat tapi juga pada elite-elite partai politik, maka
kami memperkirakan bahwa partai-partai politik itu akan semakin berdaya di masa depan sehingga suara-suara dari berbagai golongan-golongan yang
ada dalam masyarakat kita itu sudah bisa terwakilkan di dalam partai-partai yang ada.
312
Pada Rapat ke-37 PAH I BP MPR pada 30 Mei 2000 dibahas mengenai DPR, Valina Singka Subekti dari F-UG menyatakan, konsekuensi dari reformasi sistem
pemilu adalah pemberdayaan partai politik. Selain itu, juga akan dengan sendirinya memberdayakan partai-partai politik.
Karena tidak ada pilihan lain bagi partai kalau dengan sistem distrik, maka partai itu harus mulai menata dirinya; mulai dari soal rekrutment, kaderisasi
sampai soal perbaikan dari struktur kepartaiannya, mulai dari tingkat pusat sampai ke bawah. Oleh karena dengan sistem distrik nanti, maka distrik-
distrik itulah yang harus betul-betul siap untuk mempersiapkan calon- calonnya, walaupun tidak membuka kemungkinan calon-calon itu muncul
tidak dari distrik-distrik yang bersangkutan. Itu nanti akan diatur di dalam mengenai UU pemilu dan kepartaian saya kira.
160
Soedijarto dari F-UG sempat mengingatkan pentingnya memasukkan hal mengenai partai politik dalam UUD sebagai konsekuensi dari ketentuan bahwa
seluruh anggota DPR dipilih langsung dalam pemilihan umum. Utusan Golongan menekankan perlunya anggota DPR dipilih melalui
pemilihan umum dengan harapan agar DPR betul-betul mampu dan diakui mampu mewakili aspirasi rakyat dalam melaksanakan fungsi legislasi dan
fungsi pengawasan kepada pemerintah. Ini membawa konsekuensi agar pemilihan umum dapat menjamin bahwa yang terpilih benar-benar diakui
mewakili rakyat, yang konsekuensi berikutnya yang pernah diusulkan oleh Utusan Golongan di pembukaan pertama bahwa UUD ini perlu juga mengatur
tentang partai politik. Kenyataan-kenyataan yang kita hadapi sekarang banyaknya demonstrasi yang datang ke MPRDPR, sepertinya mereka
tidak merasa diwakili. Karena itu perlu ada ketentuan partai politik itu supaya nantinya tidak lagi DPR terlalu banyak didatangi karena dipercaya
penuh oleh rakyat yang telah memilihnya. Untuk itu sebabnya mengapa Pasal 23 yang baru kami mengusulkan juga agar hak-hak anggota DPR secara
eksplisit dituliskan seperti hak inisiatif, hak budget, hak ratifikasi, hak perubahan, dan sebagainya.
246
Immanuel Ekadianus Blegur dari F-PG pada Rapat Paripurna ke-3 ST MPR 2002, 2 Agustus 2002 sempat berpendapat mengenai partai politik sebagai berikut.
Sekarang zaman telah berubah, reformasi telah kita gulirkan, dan tuntutan masyarakat pun berkembang, yaitu menegakkan prinsip kedaulatan rakyat.
312
Irsyad Zamjani, M. Aziz Hakim, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-
2002, Buku V, Pemilihan Umum, Sekretraiat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2008, hlm. 42.
160
Ibid., hlm. 78.
246
Ibid., hlm. 87.
1059 Salah satu yang tegas dalam prinsip kedaulatan rakyat adalah bagaimana
menegakkan prinsip keterwakilan politik. Keterwakilan politik diukur dari keterwakilan dari partai-partai politik. Di dalam hukum positif kita, partai-
partai politik memiliki afiliasi politik yang luas. Tidak ada pembatasan golongan masyarakat tertentu yang boleh melakukan afiliasi politik. Artinya
apa, yang jangkauan afiliasi politik dari partai-partai politik menyentuh seluruh kelompok masyarakat. Entah itu golongan senima, golongan
fungsional, golongan apa saja di dalam masyarakat. Dengan demikian, tingkat keterwakilan politik diukur dari afiliasi masyarakat di dalam partai-partai
politik. Kalaulah sampai masyarakat itu tidak menginginkan, menggunakan partai politik sebagai arena untuk mengagregasi dan mengafiliasi
kepentingannya dia juga bisa mengambil posisi sebagai LSM atau kelompok- kelompok penekan yang dikatakan Pak Hamdan Zoelva tadi mempengaruhi
pengambilan keputusan kebijakan publik.
313
Selanjutnya Zulkifli H. dari F-Reformasi berpendapat terkait dengan keberadaan partai politik dari faktor sejarah sebagai berikut:
Saya melihat bahwa memang betul bahwa the fouding fathers, kita tidak terlalu percaya pada meknisme sistem politik yang akan dibentuk pada awal
kemerdekaan. Karena begitu pedulinya terhadap nasib sesama anak bangsa, dia menyediakan sebuah saluran, tetapi saya melihat adanya kekeliruan dalam
memahami golongan ini. Kami memahami golongan yang dimaksud adalah kelompok powerless, kelompok yang tersingkirkan, tidak memiliki akses dalam
sistem politik, tidak memiliki akses untuk melakukan akselerasi politik, dan dia pun tidak begitu andil dalam mengagresikan kepentingannya…. Dalam hal
ini maka saya mohon perhatian kepada saudara-saudara dari utusan golongan, dalam pertumbuhan partai politik belakangan ini, itu sangat kuat mekanisme
untuk menyerap aspirasi kelompok-kelompok yang terpinggirkan itu. Kita perhatikan saja, mana partai politik yang tidak sensitif dengan aspirasi ormas,
tidak sensitif dengan aspirasi organisasi keagamaan, bahkan tempat-tempat ibadah. Mereka sangat menyesuaikan diri, itu artinya mereka melakukan
penyerapan aspirasi terhadap kelompok-kelompok yang selama ini kita anggap tidak terwakili.
314
Hartono Mardjono dari F-PDU kemudian berpendapat sebagai berikut. Konsisten dengan pandangan umum serta pengantar dari musyawarah kita
ini, saya langsung to the point ingin menyatakan bahwa saya pribadi maupun fraksi memilih alternatif 2. Di dalam kaitan dengan Pasal 2 ayat 1. Alasan-
alasan kami adalah pertama, kita semaksimal mungkin tidak ingin melakukan diskriminasi di dalam hak warga negara yang berkaitan dengan pemilihan
atau kedudukannya di dalam perwakilan. Apabila ada Utusan Golongan atau ada wakil dari golongan yang tidak dipilih atau dipilih oleh DPR, ini saya pikir
ada diskriminasi, apalagi mereka juga sudah mempunyai hak untuk dipilih ataupun memilih. Tadi Pak Zakaria menyinggung mengenai Undang-undang
atau PP yang disebut tadi. Barangkali kalau Undang-Undang Dasar ini berubah
313
Ibid., hlm. 156.
314
Ibid., hlm. 178.
1060 seperti yang kita kehendaki memang Undang-undangnya yang harus diubah,
bukan Undang- Undang Dasar harus menyesuaikan dengan Undang-undang. Saya kira, itu masalah yang amat sangat mudah, yang penting prinsipnya dulu
kita selesaikan. Yang kedua, saya ingin mendudukkan mengenai pemahaman partai politik. Memang sejak Orde Lama dan Orde Baru partai politik
dikonotasikan tidak baik, selama hampir 40 tahun partai politik dikonotasikan sebagai suatu organisasi yang tidak baik. Karena itu, ada satu partai politik
yang tidak mau menyebut namanya sebagai partai politik. Sekarang paling gagah menyampaikan, saya sekarang partai politik. Nah, ini sebetulnya ekses
dari satu keadaan. Bagi kami partai politik sebetulnya itu tidak terbatas wawasan pemikirannya, termasuk memikirkan semua kepentingan golongan.
Seandainya ada golongan tertentu yang ingin secara khusus mendirikan partai politik pun itu juga tidak dilarang. Dulu ada partai buruh, sekarang buruh
kurang
luas barangkali diganti dengan karya . Silakan, mau pakai partai karya, umpamanya. Barangkali memang, tapi ini sekedar pendekatan saja,
himbauan barangkali istilah golongan merancukan. Ada partai politik tapi pakai golongan. Ini sekadar appeal untuk dipikirkan supaya jangan golongan
merasa dirampas hak-haknya. Ya, partai Karya, begitu lho. Jangan pakai golongan, begitu lho. Tapi maaf ini ya, ini sekadar usul saja. Partai buruh boleh
didirikan, partai nelayan boleh didirikan. Jadi, tidak benar kalau golongan itu tidak boleh mendirikan partai. Partai notaris barangkali juga silakan saja ya,
partai notaris, partai pengacara, silakan saja. Karena itu adalah hak semua orang.
315
Pada Rapat ke-28 PAH I BP MPR, 12 September 2001, Pataniari Siahaan dari F-PDIP berpendapat bahwa pemberdayaan institusi-institusi demokrasi yang ada,
termasuk partai politik dan lembaga perwakilan sangatlah penting. Dalam kerangka itu sendiri tentunya sistem demokratis saya pikir semua
teman-teman yang ada di MPR sepakat sebuah partai politik merupakan satu syarat-syarat daripada sistem demokrasi dan tentunya pembangunan sistem
demokrasi lembaga-lembaga perwakilan tidak mungkin bertentangan dengan masalah demokratis itu sendiri. Tidak mungkin peran lembaga-
lembaga perwakilan dalam sistem demokrasi itu diadu konfrontatif dengan sistem pemilihan Presiden. Menurut kami, justru tidak cocok begitu karena
di manapun saya pikir masalah representatif dan masalah aspirasi itu bukan hal yang dipertentangkan. Saya sependapat bahwa kehendak rakyat
merupakah hal yang harus diperhatikan secara baik tetapi mekanisme penyampaian kehendak rakyat itu sendiri tentunya dalam aturan-aturannya
karena ada kehendak-kehendak rakyat yang kita katakan rasional, justru para pemimpin ditunjuk untuk melaksanakannya, mengarahkannya agar
kehendak tersebut menjadi lebih baik. Dan seperti ini kami melihat bahwa peran
partai politik
itu merupakan
faktor yang
harus kita
tumbuhkembangkan dalam rangka membangun demokrasi yag sedang berlansung saat ini, sehingga peran partai politik dalam melaksanakan
aspirasi rakyat termasuk memilih wakil maupun Presiden tersebut maksimal…. Dalam proses seperti ini, cobalah ide-ide yang baik tadi, ide-ide
315
Ibid., hlm. 182-183.
1061 ke masa depan, visoner dalam rangka demokrasi, kita cocokkan dulu degan
perkembangan bangsa kita sendiri. Saya ingin mengingatkan teman-teman tentang teori pemahat. Teori pemahat itu kita bisa memahat, apalagi
mengenali materialnya. Tanpa mengenali materialnya tidak mungkin merubahnya, tanpa merubahnya tidak mungkin menguasai, membawanya ke
arah yang lebih baik. Dalam prinsip seperti ini kami mengajak teman-teman untuk kita tidak terlampau mempertentangkan atau terpacu oleh berbagai
pemikiran di luar, seolah kalau tidak langsung selesai itu berarti tidak demokratis saya pikir tidak begitu pengertian kita. Dalam kerangka ini kami
masukkan dari faktor-faktor pembangunan politik, proses demokrasi dan sekaligus pelajaran politik, kami masih merasa masih sangat perlu para
pemimpin yang berkecimpung dalam politik mendidik bangsa dan rakyatnya ke arah leb
ih baik sehingga peran partai politik menjadi sangat penting… Di sisi lain kami menyadari juga bahwa ada kondisi sesuai demografis yang
berbeda, kita juga mengerti ada tingkat kesederhanaan yang tidak sama, tingkat sosiologis tidak sama sehingga kita mengharapkan dalam sistem
demokrasi kita partai politiklah yang menjembatani sekaligus pelaksanaan pendidikan bangsa dan juga menampung aspirasinya, merasionalkan hal-hal
yang hanya bersifar emosional semata.
316
Pada Rapat Komisi A ke-2 Lanjutan 1 Masa Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001, pada tanggal 5 November 2001, Ali Hardi Kiaidemak dari F-PPP berpendapat
sebagai berikut. Pertama, yang berkaitan dengan Pasal 6A, mengenai paket-paket calon
Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik peserta Pemilihan Umum, sebelum pelaksanaan Pemilihan
Umum. Menurut hemat kami, di dalam menyusun Undang Undang Dasar ini, sebagaimana yang dikatakan Bung Karno waktu lalu, kalau boleh setidak-
tidaknya 50 tahun Undang-undang itu masih up to date, bukan menyusun Undang-undang pada saat ini. Mengenai Partai Politik ini, Saudara sekalian,
memang, saya juga mungkin saya karena kita memulai demokrasi pada era reformasi ini sehingga muncul wacana para partisan dan non partisan. Jadi,
padahal kalau bicara partisan dan non partisan ini sesungguhnya perlu kita apresiasi kepada TNIPolri. Yang dikatakan non partisan itu sesungguhnya,
karena yang betul-betul tidak ikut pemilu, tidak menggunakan hak pilihnya untuk ikut Pemilu. Ketentuan kita yang ikut Pemilu Partai Politik. Orang yang
ikut Pemilu pasti dia ada keberpihakan kepada partai politik, walaupun tidak kelihatan atau mungkin saja karena belum mendapat kesempatan untuk
memimpin Partai Politik. Oleh karena itu, kita tengok Amerika, misalnya. Amerika itu, apapun yang dilakukan oleh partai politik pemenang pemilu
yang memang sah-sah dan tidak ada keberatan. Partai Republik, Partai Demokrat. Jadi kita ke depan mestinya orientasinya begitu. Jangan melihat
kepada posisi pribadi atau teman saja.
317
316
Ibid., hlm. 336-337.
317
Ibid., hlm. 364.
1062 Beberapa cuplikan dari para perumus perubahan UUD 1945 tersebut
memang tidak menyebutkan adanya kebutuhan atas desentralisasi partai politik, walau demikian terdapat norma Pasal 18 UUD 1945 yang memberikan otonomi
bagi pemerintahan daerah yang sangat penting juga bagi posisi dan kedudukan partai politik dalam sistem ketatanegaraan, mengingat partai politik memiliki
kewenangan untuk mengisi jabatan anggota dewan perwakilan rakyat daerah dan berdasarkan Undang-Undang juga berwenang mengajukan calon kepala daerah
right to propose a candidate.
Otonomi Daerah dan Desentralisasi Partai Politik
Perubahan UUD 1945 telah mengubah banyak hal terkait dengan otonomi daerah. Berawal dari satu norma saja, setelah perubahan Bab mengenai
pemerintahan daerah menjadi sebelas norma. Berikut perbandingan norma konstitusi sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945:
Sebelum Perubahan Sesudah Perubahan
Pasal 18
Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil,
dengan bentuk
susunan Pemerintahannya ditetapkan
dengan Undang-Undang,
dengan memandang
dan mengingati
dasar permusyawaratan
dalam sistem pemerintahan Negara,
dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat
istimewa.
Pasal 18
1 Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten,
dan kota
itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
2 Pemerintahan
daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
3 Pemerintahan
daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
yang anggota-anggotanya
dipilih melalui
pemilihan umum. 4
Gubernur, Bupati,
dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan
kota dipilih secara demokratis.
5 Pemerintahan
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
6 Pemerintahan
daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7 Susunan dan tata
1063 cara penyelenggaraan pemerintahan daerah
diatur dalam undang-undang.
Pasal 18A
1 Hubungan
wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan
kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
2 Hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan
selaras berdasarkan undang-undang.
Pasal 18B
1 Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
2 Negara
mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.
Proses perubahan Pasal 18 UUD 1945 mengenai pemerintahan daerah dilakukan sejak Perubahan Pertama UUD 1945 pada tahun 1999 yang didasari
semangat penerapan otonomi daerah seluas-luasnya. Walaupun begitu rumusan baru mengenai pemerintahan daerah baru dapat diputuskan pada Perubahan Kedua UUD
1945 pada 2000 secara keseluruhan.
318
Jika ditelisik secara lebih mendalam, secara sistematika norma konstitusi Indonesia UUD 1945, dengan mengaitkan atas norma yang mengatur keberadaan
partai politik dan norma mengenai pemerintahan daerah yang fokus terhadap pelaksanaan otonomi daerah, dapat dinyatakan bahwa keberadaan partai politik juga
perlu mengakomodir pelaksanaan desentralisasi sistem kepartaian juga.
Menurut HM Harry Mulya Zein, perkembangan otonomi daerah dan desentralisasi politik memang seharusnya juga dibarengi dengan otonomi daerah
sistem partai politik. Lebih lanjut Sein berpendapat, desentralisasi pada saat ini hanya dimaknai sebagai penyerahan urusan dari pusat ke daerah, sedangkan daerah sendiri
318
Abdul Ghoffar, Syukri Asy’ari, Op.Cit.,, hlm. 6.
1064 tidak memiliki kekuasaan yang otonom untuk mandiri karena masih begitu dependen
terhadap pusat. Salah satu bentuk dependensi daerah terhadap pusat adalah ketidakmampuan daerah untuk memengaruhi kebijakan politik nasional karena
daerah tidak memiliki kekuatan politik yang memadai.
319
Dengan hilangnya kekuatan otonom partai politik di tingkat lokal dalam bekerja dengan masyarakat--demi membangun kekuatan bersama--
penumbuhan partai politik di tingkat lokal di Indonesia tidak ubahnya sebagai rangkaian sistem franchise. Partai Politik di tingkat lokal hanya mengadopsi
secara serupa segala hal yang distandarisasi partai politik di tingkat pusat dan bahkan pemimpin di tingkat lokal tersebut dengan begitu mudah dapat
dipengaruhi dan diperintah pengurus tingkat pusat. Secara berjangka, kondisi ini berkontribusi kepada pelemahan institusionalisasi partai politik di
daerah.
320
Lebih lanjut, Zein mengutip pandangan Joan Richart Angulo dari Universidad Complutense de Madrid Spanyol yang mengatakan bahwa secara ideal partai politik
merupakan proses pemantapan politik, baik secara struktural dalam rangka memolakan perilaku maupun secara kultural dalam memolakan sikap dan budaya.
321
Proses pelembagaan ini mengandung dua aspek, yaitu aspek internal- eksternal dan aspek struktural-kultural. Bila kedua dimensi itu dipersilangkan,
akan tampak sebuah tabel empat sel, yaitu; pertama, dimensi kesisteman suatu partai systemness sebagai hasil persilangan aspek internal dengan
struktural. Kedua, dimensi identitas nilai suatu partai value infusion sebagai hasil persilangan aspek internal dengan kultural. Ketiga, dimensi otonomi
suatu partai dalam pembuatan keputusan decisional autonomy sebagai hasil persilangan aspek eksternal-struktural. Keempat, dimensi pengetahuan atau
citra publik reification terhadap suatu partai politik sebagai persilangan aspek eksternal-kultural. Dalam dimensi kesisteman, systemness memiliki arti
sebagai proses pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik, yang dilakukan menurut aturan, persyaratan, prosedur, dan mekanisme yang disepakati
dalam partai politik. Dalam dimensi identitas nilai, value infusion partai politik merupakan nilai yang didasarkan pada ideologi atau platform partai. Nilai
inilah yang menjadi basis ikatan bagi para kader dan simpatisan untuk mendukung partai tersebut karena value infusion adalah representasi dari pola
dan arah perjuangan partai politik. Dalam dimensi decisional autonomy, independensi partai politik akan ditentukan oleh kemampuan partai untuk
membuat keputusan secara otonom. Rendahnya nilai decisional autonomy menunjukkan bahwa pembuatan keputusan di dalam partai merupakan
transaksi kepentingan antara elite partai dan kepentingan aktor lain yang berada di luar partai. Adapun dalam dimensi yang terakhir atau citra publik,
319
M arry
Mulya Zein,
Desentralisasi Partai
Politik , [http:www.unisosdem.orgarticle_detail.php?aid=12389coid=3caid=31gid=2], diakses
18 Juli 2016.
320
Ibid.
321
Ibid.
1065 reification merupakan kedalaman pengetahuan publik atas keberadaan partai
politik tersebut.
322
Sayangnya, menurut Zein, dalam kasus di Indonesia partai politik terlihat belum memiliki kesatuan yang erat di dalam tubuh internal partai.
Sementara dari dimensi value infusion, partai politik masih belum mampu menginternalisasi nilai-nilai yang menjadi ciri partai yang dapat membawa
manfaat jangka panjang. Sebagian besar partai di Indonesia masih terfokus untuk mendapatkan popularitas dan keberhasilan secara instan, sehingga
pengabaian pada penumbuhan ideologi dan platform jangka panjang membuat partai tersebut menjual pragmatisme sebagai produk politik kepada
masyarakat. Dari dimensi decional autonomy, pembuatan keputusan partai politik biasanya sarat dengan hasil negosiasi lingkaran elite politik di level
pusat dan bukan ditentukan suara dan kepentingan para pendukungnya di tingkat daerah. Kemudian yang terakhir, dari dimensi reification, partai politik
baru mampu menanamkan citra partainya kepada rakyat melalui serangkaian simbol-simbol kepartaian saja, misalnya warna atau gambar partai, bukan
pada visi misi yang dibawa partai tersebut.
323
Pemahaman akan prinsip desentralisasi memang tidak terlalu dijadikan alasan pengambilan keputusan internal partai politik. Menurut Rahmat Al Kafi, semangat
desentralisasi di era reformasi belum dianut oleh partai politik-partai politik, meskipun masih lebih baik dibanding pada masa Orde Baru.
324
Sistem parpol yang masih sentralistik akhirnya membuat DPP Dewan PimpinanPengurus Pusat sebagai pimpinan tertinggi partai menjadi yang
paling didengar atau bahkan harus didengar dan dipatuhi. Masalahnya, terkadang instruksi partai dikeluarkan tanpa melalui mekanisme musyawarah
yang mendalam di internal parpol di tiap tingkatan. Seperti contoh dalam kasus penetapan rekomendasi parpol untuk kandidat dalam Pilkada atau
pergantian Ketua Umum DPW wilayah, pengurus DPD daerah, atau Anggota DPRD yang bila tidak dipatuhi oleh pengurus di daerah dapat
berujung pada pemecatan.
325
Saat ini, menurut Rahmat Al Kafi, besar keinginan para elit lokal agar parpol dapat menerapkan sistem desentralisasi, sehingga penentuan kebijakan partai politik
di tingkatan lokal diharapkan sesuai dengan aspirasi pengurus partai politik di daerah, yang lebih tahu banyak permasalahan lokal. Bukan malah sebaliknya,
kebijakan di daerah sesuai dengan selera elit pusat tanpa memperhatikan aspirasi elit lokal. Bila dipaksakan, cara-cara otoriter yang dilakukan elit pusat akan menjadi
bencana bagi demokrasi lokal yang mengharapkan parpol bergerak sesuai dengan geopolitik.
326
322
Ibid.
323
Ibid.
324
R ahmat Al Kafi,
Sentralisasi Parpol, Bencana Bagi Demokrasi Lokal , [http:www.rahmatalkafi.com201605sentralisasi-parpol-bencana-bagi.html], diakss 18
Juli 2016.
325
Ibid.
326
Ibid.
1066 Dengan demikian, harapan atas adanya desentralisasi partai politik didorong
atas keinginan agar partai politik mampu menjalankan perannya sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik political socialization, pengatur konflik
conflict management dan akhirnya menjadi sarana rekruitmen politik political recruitment baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Kesimpulan
Perubahan UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 1999-2002 memang bermaksud untuk memperkuat peran dan kedudukan partai politik dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Penguatan kedudukan partai politik tersebut terlihat pada Pasal 6A UUD 1945 yang terkait dengan pengusulan pasangan calon presiden dan
wakil presiden dan pemberian kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus pembubaran partai politik Pasal 24C UUD 1945, termasuk kedudukan partai politik
sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR dan DPRD Pasal 22E ayat 3 UUD
. Secara kumulatif, frasa partai politik hanya enam kali disebutkan dalam UUD 1945. Walaupun demikian, berdasarkan original intent, sangat terasa upaya untuk
memperkuat peran strategis partai politik sebagai sarana penunjang demokrasi konstitusional yang diupayakan terkonsolidasi secara berkesinambungan.
Jika dikaitkan dengan desentralisasi peran dan tanggung jawab partai politik di tingkat pusat kepada partai politik di tingkat daerah, tidak terdapat original intent
yang terkait dengan hal tersebut, akan tetapi jika dikaitkan dengan Pasal 18 UUD 1945 yang berkenaan dengan Pemerintahan Daerah, maka pemaknaan sistematis
UUD 1945 tentu saja meliputi desentralisasi peran partai politik tersebut. Apalagi berdasarkan ketentuan normatif konstitusi, partai politik juga mempunyai
kewenangan untuk mencalonkan anggota dewan perwakilan rakyat daerah.
Oleh karena itu, pengaturan mengenai desentralisasi peran dan tanggung jawab partai politik perlu dinormakan dalam format Undang-Undang agar moralitas
konstitusional desentralisasi hubungan pusat dan pemerintahan daerah dapat terjadi dan terkonsolidasi dengan baik. Dengan demikian, partai politik mampu menjalankan
perannya sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik political socialization, pengatur konflik conflict management dan akhirnya menjadi sarana
rekruitmen politik political recruitment baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
1067
Daftar Pustaka
Abdul Ghoffar, Syukri Asy’ari. 2008. Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 2, Jakarta: Sekretraiat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi. Majelis Permusyawaratan Rakyat. 2005. Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat. Jakarta: Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat.
H.F. Abraham Amos. 2005. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Dari Orla, Orba sampai reformasi, Telaah Sosiologi Yuridis dan Yuridis Pragmatis Krisis Jati Diri Hukum Tata
Negara Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Hamdan Zoelva. 2005.
Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Negara Menurut UUD 1945
, Makalah disampaikan pada acara sosialisasi Mahkamah Konstitusi dan Sistem Ketatanegaraan RI, yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi kerjasama
dengan APSI, di Hotel Atlet Century tanggal 7-10 April 2005. Irsyad Zamjani, M. Aziz Hakim. 2008. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku V, Pemilihan Umum. Jakarta: Sekretraiat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Jimly Asshiddiqie. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca Reformasi. Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer. Jimly Asshiddiqie. 2006.
Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Republik ndonesia , Makalah disampaikan pada Diklat Terpadu Sekola Staf dan Pimpinan
Departemen Luar Negeri SESPARLU Angkatan XXXV dan Diklat Kepemimpinan Tingkat II, Jakarta, 19 Oktober 2006.
Jimly Asshiddiqie. 2006.
mplikasi Perubahan UUD Terhadap Sistem Hukum
Nasional. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Perkembangan Sistem Hukum Nasional Pasca Perubahan UUD 1945, diselenggarakan oleh Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Surabaya, 27-29 April 2006. Marshaal NG, 2003. Amandemen UUD 1945 dalam Sorotan Naskah dan Beberapa
Komentar Penting. Palembang: Universitas Muhammadiyah Palembang. Luthfi Widagdo Eddyono. 2008.
Metode Penafsiran , Majalah Konstitusi, No. 21, Juni- Juli 2008.
Satya Arinanto. 2006. Politik Pembangunan ukum Nasional dalam Era Pasca
Reformasi , Jurnal Konstitusi, Volume 3 Nomor 3, September 2006.
1068 Sutjipno. 2007. Perubahan UUD 1945 Tahun 1999-2002 dalam Bahasa Akademik,
bukan Politik. Jakarta: Konpress. Sri Soemantri, dkk.. 1996. Hukum dan Politik Indonesia, Tinjauan Analitis Dekrit
Presiden dan Otonomi Daerah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Tim Lindsay dan Susi Dwi Harijanti. 2006. Indonesia: General Elections Test the
Amended Constitution and The New Constitutional Court
, International Journal of Constitutional Law, Januari, 2006.
Internet M
arry Mulya
Zein, Desentralisasi
Partai Politik ,
[http:www.unisosdem.orgarticle_detail.php?aid=12389coid=3caid=31gid=2], diakses 18 Juli 2016.
Rahmat Al Kafi, Sentralisasi Parpol, Bencana Bagi Demokrasi Lokal , [http:www.rahmatalkafi.com201605sentralisasi-parpol-bencana-bagi.html],
diakss 18 Juli 2016. Luthfi
Widagdo Eddyo
no, Penguatan
Partai Politik ,
[http:luthfiwe.blogspot.com.tr201111penguatan-partai-politik.html], diakses
1872016.
1069
Biodata Penulis Luthfi Widagdo Eddyono, S.H., M.H. adalah peneliti Center for Democratization
Studies. Mendapatkan pendidikan sarjana hukum internasional Universitas Gadjah Mada 2005 dan master hukum tata negara Universitas Indonesia 2009. Pada
Tahun 2015, terpilih menjadi Asia Young Leader for Democracy oleh Taiwan Foundation for Democracy. Pernah magang dan riset di High Court of Australia
dan Federal Court of Australia dalam program Indonesia-Australia Legal Development Facility IALDF pada tahun 2009 dan mengikuti Legislative Fellows
Program yang diadakan United States of America USA Department of State dan American Council of Young Political Leaders ACYPL di Washington DC dan
negara bagian Washington pada tahun 2010. Karya tulis yang pernah dihasilkan adalah Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Latar Belakang, Proses dan
Hasil Pembahasan 1999-2002; Buku VIII Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi Manusia dan Agama Setjen dan Kepaniteraan MKRI: 2010. Email:
luthfi_weyahoo.com, luthficedes.or.id.
1070
MANAJEMEN KONFLIK INTERNAL PARTAI GUNA MEWUJUDKAN PARTAI POLITIK YANG DEMOKRATIS
327
Abstrak
Konflik internal Partai Politik masih menjadi permasalahan yang menunjukan tingkat kedewasaan elit partai dalam berpolitik. Konflik internal Partai juga yang
menyebabkan pecahnya partai dan timbulnya partai-partai baru sebagaimana seringkali terjadi pada masa reformasi. Konflik internal yang terjadi dalam tubuh
Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan PPP yang baru saja terjadi menjadi pembelajaran politik bagi Partai tentang pentingnya untuk persatuan dalam
bermusyarawah untuk menyelesaikan konflik internal di tubuh Partai tersebut. Dualisme kepengurusan yang timbul akibat konflik internal itu harus diselesaikan
menggunakan mekanisme internal partai, yaitu Mahkamah Partai. Penyelesaian konflik internal dengan menggunakan mekanisme internal seringkali tidak efektif
karena beberapa faktor, pertama, kepentingan kekuasaan diantara elit partai lebih besar dari kepentingan menyelesaikan konflik, kedua, ADART tidak menjadi aturan
yang dipatuhi, ketiga, efektivitas Mahkamah Partai yang kurang dalam menyelesaikan perselisihan, keempat, campur tangan kekuasaan lain dalam penyelesaian yang
memperkeruh dan memperuncing keadaan konflik. Dalam hal ini manajemen sebuah konflik di internal partai diperlukan agar konflik tersebut dapat terselesaikan dengan
mengedepankan cara-cara yang demokratis yaitu bermusyarah dan konsesus. Sanksi terhadap Partai yang berselisih juga diperlukan agar para elite partai yang bertikai
berhenti mengedepankan ego masing-masing dan beritikad baik menyelesaikan perselisihan internalnya sendiri.
Kata Kunci: Demokrasi, Partai Politik, Konflik Internal, Manajemen Konflik
327
Maria Madalina, Staf Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 081215618266, mbaklinaunsgmail.com
1071
MANAJEMEN KONFLIK INTERNAL PARTAI GUNA MEWUJUDKAN Maria Madalina PARTAI POLITIK YANG DEMOKRATIS
Pendahuluan
Hampir 71 Tahun Indonesia merdeka dan mendeklarasikan diri sebagai negara hukum yang demokratis yang bersumber dari kedaulatan hukum dan kedaulatan
rakyat sebagaimana konsepsi tersebut yang sudah diidealkan oleh para pendiri bangsa Indonesia. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam alinea ke empat
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UUD
yang menyatakan …maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat ... . Penggalan
alinea tersebut mengandung arti bahwa dalam menjalankan kekuasaan sebagai bangsa yang merdeka harus didasarkan dan sesuai dengan UUD 1945, yang berarti
bahwa UUD sebagai norma hukum tertinggi mengatur bagaimana penyelenggaraan negara. Selanjutnya dalam memperoleh kedudukan sebagai hukum tertinggi tidak
lain karena dibentuk oleh seluruh rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
328
Sebagai negara hukum membawa konsekuensi bahwa tindakan segala penyelenggara negara harus berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Hukum dalam hal ini adalah
hierarki tataran norma yang berpuncak pada UUD 1945. Sebaliknya, hukum yang dibuat harus mencerminkan kehendak rakyat sehingga harus dijamin adanya peran
serta dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan. Untuk menjamin terlaksananya ketertiban dan keadilan dalam penyelenggaraan negara diperlukan
adanya pengawasan terhadap pemerintah agar kebijakan yang dibuat menjamin kepentingan warga negara dan kontrol terhadap kekuasaan yang melaksanakan
auran hukum dan kebijakan tersebut.
Sebagai pelaksanaan dari konsepsi negara hukum yang demokratis, diterapkan prinsip saling mengimbangi dan mengawasi antar lembaga negara. Terdapat lembaga
negara yang merupakan wadah mekanisme politik demokrasi untuk menentukan produk hukum dan kebijakan agar sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat serta
mengawasi pelaksanannya. Dalam hal ini dibentuklah partai politik untuk memenuhi prinsip demokrasi atau perwakilan dalam penyelenggaraan negara. Partai politik
sebagai suatu wadah untuk individu dan kelompok dalam meraih kekuasaan sehingga partai politik mempunyai andil dalam sistem demokrasi, karena partai politik
merupakan elemen dasar yang langsung berhadapa dengan masyarakat karena orang-orang dari partai politik ini yang nantinya akan dipilih oleh masyarakat sebagai
perpanjangan tangan dalam membuat sebuah kebijakan dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Dalam hal ini fungsi partai politik seperti sosialisasi politik, komunikasi
politik, rekrutmen politik, pengelola konflik, agrerasi artikulasi kepentingan dan partisipasi politik.
328
Janedri M. Gaffar, Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2013, hlm. 72-73
1072 Dalam perpolitikan Indonesia, partai politik berubah menjadi mesin pencari
kekuasaaan. Hal tersebut akibat pandangan skeptis yang timbul terhadap partai politik yang menganggap bahwa partai politik itu tidak lebih daripada kendaraan
politik bagi sekelompok kecil elite yang memiliki akses ke kekuasaan atau berniat memenuhi kepentingannya sendiri. Partai politik hanya berfungsi sebagai alat bagi
segelintir orang yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya keijakan-
kebijakan publik tertentu at the expense of the general will
’.
329
Sejumlah elite partai politik seringkali menempatkan kekuasaan sebagai tujuan utama berpolitik dan menjadikan partai politik sebagai kendaraan
untuk mengejar kekuasaan. Hadirnya partai politik dalam sebuah sistem politik dilandasai oleh tujuan dan agenda politik yang ingin dicapai melalui perebutan
kekuasaan. Dalam konteks ini, kekuasaan hanya sebagai sarana dan instrumen untuk mewujudkan cita-cita politik.
330
Hal tersebut memicu terjadinya konflik internal di dalam tubuh struktural partai politik itu sendiri. Konflik internal partai politik ini menyebabkan partai tidak bisa
menjalankan fungsinya sebagai pengatur konflik karena malah terjebak dalam konflik internalnya yang dapat berujung pada pecahnya struktural partai baik
terpecah menjadi timbulnya partai baru ataupun terbagi menjadi lebih dari satu pihak yang mengklaim atas kepengurusan yang sah didalam satu partai politik
tersebut. Konflik berkelanjutan Partai Golongan Karya Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan PPP merupakan konflik internal partai dimana masing-masing
mengklaim atas kepengurusan yang sah. Awal mula konflik tersebut terkait gesekan suksesi kepemimpinan diantara elemen elite partai atau juga dipicu oleh perbedaan
cara pandang dan ideoleogi tokoh partai mengenai isu atau kebijakan tertentu.
Problem kepemimpinan dalam manajemen partai hampir menjadi sumber dalam setiap konflik internal yang terjadi di partai politik. Partai politik yang dikelola secara
oligarkis dan kepemimpinan personal yang melebihi kepemimpinan institusional mengarahkan pada terjadinya konflik internal partai. Pempimpin partai yang
mengabaikan prinsip demokrasi, transparansi dan meritrokasi serta cenderung memaksakan kehendak dengan cara memanipulasi partai. Hal tersebut lebih
diperparah ketia sebagai pengurus dan anggota partai cenderung mengkultuskan kepemimpinan figur atau tokoh tertentu yang dianggap berjasa bagi partai. Sehingga
membuat para pemimpin partai merasa berada di atas partai dan menggunakan partai politik menjadi firma-firma pribadi dengan hak-hak istemwa yang melekat
pada kroni para pemimpin partai.
331
Selain itu, konflik internal partai juga berasal dari perselisihan terhadap hasil forum tertinggi pengambilan keputusan partai. Hasil forum pengambilan keputusan partai
yang tidak didapatkan dengan cara sesuai sebagaimana tertuang dalam ADART partai membuat kubu yang tidak terima mengadakan forum pengambilan keputusan
329
Jimly Ashdiqqie, Dinamika Partai Politik dan Demokrasi , Makalah, www.law.ui.ac.id
, diakses pada 23 Juni 2016
330
Laksono ari Wiwoho, Pragmatisme di balik Konflik nternal Partai Politk , http:www.nasional.kompas.com
diakses pada 23 Juni 2016
331
Syamsu ddin aris, Mengelola Konflik Partai Politik ,
http:syamsuddinharis.wordpres.com , diakses pada 23 Juni 2016
1073 partai tandingan yang diisi oleh orang-orang partai politik tersebut yang merasa hak
nya dicederai atau melihat adanya ketidaksesuaian dalam forum pengambilan keputusan partai tersebut. Hal tersebut memunculkan adanya kepengurusan ganda
atau dualisme kepengurusan partai. Kepengurusan ganda seperti terjadi dalam partai Golkar sebagaimana kepengurusan hasil Munas Bali dibawah pimpinan Aburizal
Bakrie kemudian disusul dengan kepengurusan hasil Munas Riau dibawah pimpinan Agung Laksono. Dan juga terjadi PPP masih memiliki kepengurusan ganda, masing-
masing dipimpin oleh M. Rohamurmuziy hasil Muktamar Surabaya dan Djan Faridz hasil Muktamar Jakarta.
Konflik yang dialami oleh kedua partai ini, setidaknya menghasilkan beberapa dampak buruk yang mempengaruhi gerak langkah partai politik tersebut. Pertama,
terganggunya kinerja anggota legislatif. Kader Parpol yang saat itu sedang menduduki kursi legislatif akan sulit bekerja karena dampak domino dari konflik tersebut juga
berimbas pada perpecahan kekuatan fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat DPR. Kedua, terganggunya konsenstrasi partai politik dalam menghadapi pilkada. Seperti
yang diketahui bahwa pada saat itu berdekatan dengan kegiatan pilkada serentak yang pertama kali akan diadaakan di Indonesia. Dengan adanya konflik internal
tersebut, konsenstari partai politik dalam upaya menguasai ranah lokal akan terhambat dengan adanya konflik internal. Bahkan dengan adannya dualisme
kepengurusan partai politik akan semakin mempersulit jalannya demokrasi elektoral di tingkat lokal tersebut. Ketiga, hilangnya kepercayaan publik terhadap parpol. Akan
menjadi konsekuensi logis dari perilaku partai politik terhadap persepsi masyarakat. Tindakan buruk yang tercermin dari gerak langkah partai politik ini tentu akan
semakin memperburuk citra publik terhadap parpol. Tingkat kepercayaan terhadap parpol ataupun elit parol aka hilang dan tentunya akan merugikan bagi parpol karena
akan kehilangan konstituennya.
332
Dari konflik internal partai politik tersebut membuktikan bahwa partai politik saat ini belum bisa melaksanakan fungsinya dengan baik terutama sebagai pengendali
konflik. Pada prinsipnya fungsi partai sebagai pengendali konflik ini adalah untuk berusaha mengendalikan konflik yang ada dengan cara berdialog dan berkompromi,
namun pada kenyatannya partai politik tidak bisa melaksanakan fungsi ini untuk internal mereka. Ketidakmampunan elit partai dalam mengelola konflik dalam tubuh
strukturalnya, mengindikasikan belum terlembaganya partai politik secara baik. Diperlukan mekanisme penyelesaian konflik interal di tubuh partai tersebut yang
mengatur bagaimana cara mengontrol, mengarahkan dan menyelesaikan konflik sehingga menjadi sesuatu yang positif bagi perubahan dan pencapaian tujuan sesuai
dengan cita-cita partai politik tersebut.
Pembahasan