Penutup Sebagai sarana rekrutmen politik ;
                                                                                746
BUKU-BUKU
Asshiddiqie,  Jimly,  2008.  Pokok-Pokok  Hukum  Tata  Negara  Indonesia,  Jakarta:  PT Bhuana Ilmu Populer.
Budiardjo,  Miriam,  2008.  Dasar-Dasar  Ilmu  Politik,  Jakarta:  PT  Gramedia  Pustaka Utama
Gatara, A.A., Sahid , 2009. Ilmu Politik : Memahami dan Menerapkan, Bandung: CV Pustaka Setia
Lubis, Solly, 2008. Hukum Tata Negara, Bandung:  CV Mandar Maju Marijan, Kacung, 2015. Sistem Politik Indonesia : Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde
Baru, cetakan keempat, Jakarta: Prenadamedia Group. Sanit,  Arbi,  2002.  Sistem  Politik  Indonesia  :  Kestabilan,  Peta  Kekuatan  Politik  dan
Pembangunan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Suharizal, 2011. Pemilukada : Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
JURNAL Jeane Neltje Saly, 2007.
ubungan Antar Lembaga Negara Dalam Perspektif Pasca Amandemen  UUD  194
,  Jurnal  Legislasi  Indonesia,  Volume  4  Nomor  3, September  2007,  Jakarta:  Direktorat  Jenderal  Peraturan  Perundang-
Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
UNDANG-UNDANG
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Republik  Indonesia,  Undang-Undang  Republik  Indonesia  Nomor  8  Tahun  2015
tentang  Penetapan  Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang
INTERNET
Christian,  Huwae,  Peran  Partai  Politik  dalam  Pemilihan  Kepala  Daerah  Secara Langsung
Suatu Studi
di Kota
Bitung., ejournal.unsrat.ac.idindex.phpgovernancearticleviewFile1449114
9, diakses tanggal 12 Juni 2016
747 ndra,
Pahlevi, Politik
Dinasti dan
UU Pilkada.,
nasional.kompas.comread2015040616125681Politik.Dinasti.dan. UU.Pilkada., diakses tanggal 10 Juli 2016.
Ridho,  Imawan,  Hanafi,  Pemilihan  Langsung  Kepala  Daerah  di  Indonesia  : Beberapa
Catatan Kritis
Untuk Partai
Politik., ejournal.lipi.go.idindex.phpjpparticledownload19781,
diakses tanggal 10 Juli 2015
Konvensi, Golkar,
dan Ical.,
nasional.kompas.comread201309180820309Konvensi.Golkar.dan.Ic al, diakses tanggal 10 Juli 2016.
Revisi UU
Pilkada Diminta
Pertegas Sanksi
Politik Uang.,
nasional.kompas.comread2016031007360101Revisi.UU.Pilkada.D iminta.Pertegas.Sanksi.Politik.Uang, diakses tanggal 1 Juli 2016
BIOGRAFI SINGKAT PENULIS
Penulis  bernama  lengkap  Mahesa  Rannie,  S.H.,  M.H.,  dilahirkan  di  Palembang,  23 Januari 1980. Saat ini  penulis bekerja sebagai Dosen Fakultas Hukum Universitas
Sriwijaya  sejak  tahun  2010.  Mata  Kuliah  yang  penulis  asuh  adalah  Ilmu  Negara, Hukum  Tata  Negara,  Hukum  Konstitusi,  dan  Sistem  Politik  Indonesia.  Penulis
menyelesaikan pendidikan Sarjana Strata 1 S1 pada Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya  Tahun  2003  dan  menyelesaikan  Pendidikan  Sarjana  Strata  1  S2  pada
Program  Pascasarjana  Ilmu  Hukum  dengan  Bidang  Kajian  Utama  BKU  Hukum Tata  Negara.  Saat  ini  selain  mengajar,  penulis  juga  aktif  terlibat  dalam  penelitian
dan  penyuluhan  di  kampus,  serta  menjabat  sebagai  Ketua  Redaksi  Jurnal  Ilmiah Simbur Cahaya Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
748
PENGUATAN KADERISASI SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN DEMOKRATISASI PENCALONAN ANGGOTA PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN LEGISLATIF DAN
EKSEKUTIF
Oleh Masduri
Abstrak
Penguatan kaderisasi anggota partai politik adalah dasar yang harus dibangun setiap partai politik yang membayangkan partainya maju dan mampu menegakkan
keadaban dalam berpolitik. Segenap konflik internal partai politik, terutama berkaitan dengan penentuan kandidat calon yang bakal maju dalam Pemilu, baik
legislatif ataupun eksekutif, terjadi karena lemahnya kaderisasi. Lemahnya kaderisasi memiliki implikasi yang sangat kuat bagi buruknya tatanan organisasi
partai. Sehingga secara berkesinambungan sulit membangun iklim demokrasi. Karena pengurus partai merasa memiliki kuasa yang lebih ketimbang anggota
yang lain.  Kuasa  itu lalu dimaknai sebagai mandat bersama tanpa persetujuan dari yang lain. Akibatnya konflik internal tidak terelakkan karena mereka tidak
puas pada kebijakan partai. Oleh karena itu, penguatan kaderisasi adalah langkah dasar membangun kualitas sumber daya manusia anggota partai yang memiliki
kapabilitas dan integritas yang baik, sehingga ketika menjelang Pemilu, partai politik tidak kelimpungan mencari calon, karena calon di internal sudah banyak.
Tinggal, pengurus dan anggota partai diberikan kesempatan dan hak yang sama untuk memilih dan dipilih melalui sistem yang demokratis.
Pendahuluan
Sejak kehadiran Reformasi 1998, kita menemukan momentum menegakkan demokrasi  sebagai  jalan  bersama  membangun  bangsa  yang  lebih  beradab.
Reformasi  telah  memberikan  angin  segar  bagi  segenap  kebebasan  yang sebelumnya  terkekang  oleh  otoritarianisme  rezim  Orde  Baru.
876
Salah  satu dampak  paling  nyata  dari  bangunan  sistem  demokrasi  pasca  reformasi  adalah
terbukanya  kesempatan  bagi  semua  rakyat  Indonesia  untuk  mendirikan  partai politik.  Sehingga  pada  Pemilu  1999  setelah  reformasi,  ada  48  partai  politik  yang
ikut dalam kontestasi tersebut.
877
Tentu  saja  berbeda  dengan  sebelumnya  ketika  masa  Orde  Baru,  setelah mengalami  perjalanan  yang  sangat  ribet,  serta  pasang-surut  partai  politik  yang
tidak  sederhana,  akhirnya  Orde  Baru  mengukuhkan  tiga  partai  besar  sebagai partai politik yang terus secara berkelanjutan menjadi peserta Pemilu, yakni Partai
Golongan  Karya  Golkar,  Partai  Demokrasi  Indonesia  Perjuangan  PDIP,  dan
876
Abdurrahman Wahid dkk, Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 sampai Pemilihan Presiden, Jakarta: Alvabet, 1999, hlm. 30.
877
Syamsuddin  Haris,  Partai,  Pemilu,  dan  Parlemen  Era  Reformasi,  Jakarta:  Pustaka  Obor,  2014, hlm. 69. Lihat juga dalam, Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi,
Jakarta:  Gramedia,  2010,  hlm.  118.  Penjelasan  yang  sama  juga  bisa  dibaca  pada,  Budi  Winarno, Sistem Politik Era Reformasi, Cetakan Kedua, Yogyakarta: MedPress, 2008, hlm. 48.
749 Partai  Persatuan  Pembangunan  PPP.
878
Terbatasnya  akses  kehadiran  partai politik baru dalam Pemilu, tentu saja memberikan konsekuensi yang sangat besar
bagi iklim demokrasi di negara kita waktu itu. Dalam  wacana  demokrasi,  sedikitnya  partai  politik  semakin  menunjukkan
kesadaran  berpolitik  dan  berdemokrasi  yang  tinggi.  Berbeda  dengan  yang  terjadi pada  masa  Ode  Baru.  Apa  yang  terjadi  ini  justru  berbanding  terbalik,  sedikitnya
partai  politik  pada  masa  Orde  Baru  menunjukkan  rendah  kesadaran  politik  dan berdemokrasi,  terutama  dari  para  penyelenggara  negara,  dengan  pimpinan
Presiden  Suharto.  Pembatasan  partai  politik  ini  sebenarnya  untuk  mengukuhkan status  quo  kekuasaan  Orde  Baru.  Terbukti  Golkar  selalu  memenangkan  Pemilu
dengan  presentasi  yang  sangat  fantastis.  Ada  permainan  politik  yang  sangat  licik, hingga kekerasan politik, agar partai Orde Baru selalu terdepan sebagai pemenang
Pemilu.
Perjalanan panjang Orde Baru  dari tahun  1967 hingga 1998 adalah drama sejarah  kebangsaan  yang  tidak  sederhana.
879
Kita  mungkin  saja  sempat  terlintas pertanyaan-pertanyaan aneh, mengapa Orde Baru yang sangat otoriter dan sangat
keras  kepada  rakyatnya  mampu  berkuasa  hingga  31  tahun.  Tidak  adakah  orang yang berani menggugat kekuasaannya dalam waktu yang sangat panjang itu?
Tentu  saja  menjawab  pertanyaan  ini  tidak  sederhana  dan  sangat  panjang. Tetapi  sedikit  yang  dapat  menjadi  penjernih  bagi  pertanyaan  itu,  kita  bisa
mencoba  menganalisis  kekuataan  politik  militer  Orde  Baru.  Kekerasan,  perang, dan  kematian  adalah  sesuatu  yang  sangat  menyakitkan.  Orde  Baru  bisa  eksis
sampai  31  tahun  lamanya,  karena  rezim  itu  berani  membunuh  rakyatnya  sendiri atas nama tegaknya sebuah negara.
880
Ketika yang terjadi seperti ini, masih adalah aktivis  dan  intelektual  yang  berani  menggerakkan  massa,  apalagi  kekuatannya
sangat  lemah  ketimbang  militer  Orde  Baru.  Tentu  saja  tidak  ada  yang  berani, karena ancamannya adalah kematian.
Tidak  sedikit  aktivis  yang  tiba-tiba  hilang  entah  ke  mana,  atau  intelektual yang  selalu  pindah  penjara  karena  dianggap  meresahkan  masyarakat  sekaligus
menganggu  stabilitas  keamanan  negara.
881
Fakta  ini  menjadi  penanda  betapa sistem  politik  dan  demokrasi  kita  pada  masa  lalu  sangat  rendah  kualitasnya.
Kehendak  besar  para  pemuda  setelah  mengalami  keresahan  yang  sangat  panjang serta  mengumpulkan  kekuatan  massa  yang  sangat  banyak.  Akhirnya,  reformasi
1998 membuahkan hasil dengan pengunduran diri Presiden Suharto pada tanggal
878
Patrick  Ziegenhain,  The  Indonesian  Parliament  and  Democratization,  Singapore:  Institute  for Southeast  Asian  Studies,  2008,  hlm.  47.  Baca  juga  dalam,  Muchtar  Effendi  Harahap,  Demokrasi
dalam Cengkraman Ordea Baru, Jakarta: Tewas Orba, 2004, hlm. 51.
879
Rezim Orde Baru di bawah kekuasan Presiden Suharto berlangsung dari tanggal 12 Maret 1967 sampai  21  Mei  1998.  Reformasi  mengakhiri  kekuasaan  rezim  yang  sangat  panjang  dan  penuh
kontroversi ini. Baca dalam, Andi Mappetahang Fatwa,  Dari Cipinang ke Senayan: Catatan Gerakan Reformasi  dan  Aktivitas  Legislatif  hingga  ST  MPR  2002,  Jakarta:  Institute  for  Transformation
Studies, 2003, hlm. 71.
880
Sri-Bintang Pamungkas, Ganti Rezim Ganti Sistim: Pergulatan Menguasai Nusantara, JakartaL El- Bisma,  2014,  hlm.  304.  Pembunuhan  terhadap  rakyat  pada  masa  rezim  Orde  Baru,  tak  hanya
dilakukan  dalam  bentuk  fisik,  tetapi  juga  pembunuhan  terhadap  karakter  seorang  tokoh  yang dianggap  membayakan  oleh  Rezim  Suharto,  lihat  dalam,  Komaruddin  Hidayat,  Politik  Panjat
Pinang: Di Mana Peran Agama?, Jakarta: Kompas, 2006, hlm. 11.
881
Mugiyanto, Mereka yang Hilang dan Mereka yang Ditinggalkan, Jakarta: Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia, 2004, hlm. 30.
750 21 Mie 1998.
882
Peristiwa bersejarah itu adalah babak baru perjalanan kebangsaan kita. Partai politik bebas berdiri tegak di republik ini, sebagai bagian penting dari
pembangunan sebuah negara demokratis. Kilas balik perjalanan sejarah yang tidak sederhana itu adalah cermin bagi
kita  untuk  membaca  dinamika  partai  politik  yang  berkembang  hari  ini.  Terutama berkaitan  dengan  demokratisasi  di  internal  partai  berkaitan  dengan  pencalonan
anggota  legislatif  dari  tingkat  pusat  sampai  daerah  ataupun  pemilihan  pemimpin eksekutif  dari  presiden,  gubernur,  hinga  bupatiwali  kota  di  masing-masing
daerah. Selama ini kita sering menyaksikan keriuhan politik berkaitan dengan hal tersebut.  Hal  ini  pasti  berkaitan  dengan  ekspektasi  yang  sangat  besar  untuk
memenangkan Pemilu. Sehingga wajar, bila pencalonan anggota legislatif ataupun pemimpin  eksekutif  pada  Pemilu  mengalami  keriuhan  yang  sangat  besar,  agar
mendapatkan pilihan terbaik dari calon-calon lain yang sudah baik.
Hanya  saja,  belakangan  ini  kita  menemukan  gejala  kebangkrutan  partai politik.  Gejala  itu  dapat  kita  lihat  dari  fenomena  banyaknya  calon  dai  luar  partai
politik menjadi calon dari partai politik tertentu. Fakta ini berkaitan dengan rumor bahwa  sekarang  ini  partai  politik  tidak  terlalu  penting.  Ketokohan  seorang  calon
jauh  lebih  penting  ketimbang  partai  politik  yang  mengusungnya.
883
Kemenangan Pemilu lebih menjadi prioritas ketimbang merealisasikan cita-cita ideologis sebuah
partai politik. Pragmatisme ini berimplikasi sangat besar bagi partai politik. Partai tak  ubahnya  sebagai  mesin  penggerak  yang  bisa  mendudukkan  seseorang  untuk
menjadi  pemimpin,  namun  pemimpin  itu  tidak  memiliki  landasan  ideologis  yang kuat untuk mengarahkan kepemimpinan yang dipegangnya.
Partai  politik  berdiri  di  atas  cita-cita  ideologis  yang  menjadi  ruh perjuangannya.  Ketika  muncul  calon  peserta  Pemilu,  baik  legislatif  ataupun
eksekutif, dari luar partai politik namun diusung partai politik tertentu. Kita sudah dapat  menangkap  pragmatisme  besar  sebuah  partai  politik  untuk  meraih
keuntungan  sebesar-besarnya  dari  calon  tersebut.  Karena  tentu,  ketika  mereka terpilih  nanti  memliki  tangggung  jawab  untuk  menjadi  pundi-pundi  penghasilan
partai  yang  mengusungnya.  Saya  tidak  percaya  kalau  orang  dari  luar  partai  yang sebelumnya  tidak  pernah  mengikuti  tahapan  kaderisasi  bakal  memiliki  dasar
ideologis  yang  kuat.  Kepemimpinan  itu  harus  berdiri  di  atas  akar  ideologi  yang kuat.
884
Supaya memiliki arah yang jelas serta daya tahan yang kuat dari berbagai kritik dan kecaman yang muncul atas kebijakan yang dikeluarkannya.
882
A.  Makmur  Makka,  Sidang  Kabinet  Terakhir  Orde  Baru:  12  Jam  Sebelum  Presiden  Suhato Mengundurkan  Diri,  Jakarta:  Republika,  2008,  hlm.  ix.  Baca  juga  dalam,  Lalu  Misbah  Hiayat,
Reformasi Administrasi: Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden,  Jakarta: Gramedia, 2007, hlm. 29.
883
R. Siti Zuhro, Demokrasi Lokal: Perubahan dan Kesinambungan Nilai-Nilai Budaya Politik Lokal di Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Bali, Yogyakarta: Ombak, 2009, hlm. 50.
884
Kepemimpinan  yang  memliki  landasan  ideologi  yang  kuat  bakal  mampu  menggerakkan tanggungjawabnya  dengan  sangat  baik.  Karena  pemimpin  model  ini  memiliki  pikiran  yang  hidup
dan  gagasan  segar  tentang  kemajuan  bangsanya.  Ia  juga  dapat  memetakan  rencananya  dengan sangat baik serta mampu menggerakkan bawahannya agar sesuai dengan instruksinya. Baca dalam,
A.M. Mangunhardjana, SJ.,  Kepemimpinan, Yogyakarta: Kanisius, 1976, hlm. 16. Lihat juga dalam, Firdaus  Syam,  Membangun  Peradaban  Indonesia:  Renungan  Bacharuddin  Jusuf  Habibie  Setelah  10
Dasawarsa  Kebangkitan  Nasional,  10  Windu  Sumpah  Pemuda,  dan  10  Tahun  Reformasi,  Jakarta: Gema Insani, 2009, hlm. 188.
751 Kepemimpinan  tanpa  ideologi  itu  ibarat  perjalanan  tanpa  tujuan.
Kepemimpinan  yang  tidak  memiliki  tujuan  akan  menjadi  petaka  bagi  rakyatnya. Karena  biasnaya  model  kepemimpinan  yang  seperti  ini  hanya  memprioritaskan
penghasilan  yang  besar  dari  kepemimpinan  yang  dipegangnya.  Tak  sedikit  fakta pemimpin yang tidak memiliki latar ideologis yang kuat
—baru jadi anggota partai tiba-tiba dicalonkan dalam Pemilu, atau tanpa memiliki latar apapun dengan partai
itu,  tapi  karena  memiliki  ketokohan  yang  kuat  atau  keuangan  yang  banyak  tiba- tiba  dimunculkan  sebagai  calon
—memiliki  rekam  jejak  yang  kurang  baik  hingga terjerat kasus korupsi.
Sedikit  uraian  di  atas  itu,  bisa  menjadi  catatan  bagi  kita  untuk  menatap masa depan partai politik di negeri ini, terutama berkaitan dengan bangunan iklim
demokrasi  di  internal  partai  politik  dalam  mencalonkan  anggotanya  pada  Pemilu legislatif  ataupun  eksekutif.  Saya  sebenarnya  merasa  sangat  iba,  ketika  ada
anggota  partai  politik  yang  sudah  lama  aktif,  memiliki  pengalaman  yang  panjang, dan akar ideologi politik yang kuat, namun tidak dicalonkan sebagai peserta dalam
Pemilu.  Alasannya  beragam,  dari  tidak  memiliki  daya  jual,  ketokohannya  kurang, hingga  beragam  alasan  lain,  yang  ujung-ujungnya  karena  tidak  memiliki  finansial
yang  kuat  atau  terlalu  ideologis,  sehingga  dirinya  sangat  idealis,  sedangkan pemimpin partainya sangat pragmatis dan selalu ingin menjadi pengendali tunggal
di internal partainya.
Sekarang ini banyak sekali partai politik yang  dikuasai oleh pemimpinnya. Segenap  aturan  main  di  internal  partai  banyak  tidak  terlaksana  dengan  baik.
Karena  yang  menjadi  rujukan  bersama  dalam  setiap  pengambilan  keputusan bukan  berdasar  dari  aturan  main  internal  partai,  tapi  lebih  kepada  kebijakan
individual  tokoh  tertentu,  biasanya  ketua  umum.  Privatisasi  partai  politik  ini memiliki  implikasi  yang  besar  bagi  demokrasi  di  internal  partai  politik,  sekaligus
menjadi  kendala  dalam  membangun  kaderisasi  partai  politik  yang  kuat.  Karena partai  tidak  lagi  menjadi  milik  bersama,  partai  menjadi  miliki  individu,  yang
kebijakannya  ditentukan  oleh  tokoh  tertentu.  Sedangkan  mestinya,  demokrasi  di internal  partai  harus  dibangun  dengan  sangat  baik  melalui  kaderisasi  partai.
Sehingga  partai  politik  bisa  bergerak  secara  dinamis,  tanpa  memiliki  keterkaitan tunggal dengan tokoh tertentu. Implikasinya juga hadir dalam pencalonan anggota
partai  pada  Pemilu,  mereka  akan  dipilih  secara  demokratis  berdasarkan kesepakatan  bersama  melalui  rekam  jejak,  integritas,  dan  kapabilitas  diri  yang
dimilikinya.
Kondisi Internal Partai Politik yang Tidak Demokratis
Angin  segar  reformasi  yang  menumbuhkan  kebebasan  partai  politik  tak berbanding  lurus  dengan  kondisi  internal  partai  politik.  Pertumbuhan  partai
politik  yang  sangat  banyak  pasca  reformasi,  semakin  menumbuhkan  keriuhan politik  yang  sangat  besar.  Karena  kebebasan  berpolitik  dan  pertumbuhan  partai
yang  banyak  tidak  didasari  oleh  kesadaran  berdemokrasi  yang  baik.  Akibatnya bukan  keadaban  berpolitik  yang  hadir  melainkan  silang  sengkarut  yang  tumpang
tindih  serta  kegaduhan  kebangsaan.  Lantaran  partai  politik  berdiri  di  atas pragmatisme  meraup  kursi  kekuasaan  serta  berupaya  secara  maksimal  bisa
mendapatkan keuntungan materil dari kedudukan tersebut.
752 Korupsi yang mewabah pasca reformasi merupakan kenyataan yang sangat
paradoks.  Cita-cita  awal  reformasi  adalah  membangun  sistem  bernegara  yang demokratis serta berupaya menegakkan kepemimpinan yang bersih dari korupsi,
kolusi,  dan  nepotisme.
885
Cita-cita  ini  melawan  fakta  kepemimpinan  Orde  Baru yang  sangat  represif  dan  memainkan  politik  busuk  demi  melanggengkan
kekuasaannya. Sehingga korupsi, kolusi, dan nepotisme merupakan fakta yang tak terbantahkan. Karena itulah, ketika pasca reformasi praktik korupsi  makin besar,
tentu  saja  kita  sangat  prihatin.  Kebebasan  berpolitik  tidak  dilandasi  dengan landasan  ideologis  dan  kesadaran  berdemokrasi  yang  baik.  Banyaknya  partai
politik  justru  menggambarkan  pragmatisme  politik,  baik  atas  dasar  kehausan kekuasaan  ataupun  upaya  menumpuk  kekayaan  dengan  cara-cara  kotor
mengambil hak-hak rakyat.
Efek  besar  dari  pragmatisme  berpolitik  ini  memiliki  implikasi  besar  bagi kondisi  internal  partai  politik.  Buruknya  iklim  demokrasi  di  internal  partai
menjadi  penanda  betapa  pragmatisme  partai  politik  justru  mengabaikan  cita-cita reformasi dalam membangun sistem bernegara yang demokratis yang bisa dicapai
salah satunya melalui teladan partai politik yang demokratis.
Kita sebenarnya membayangkan agar partai politik mampu menggerakkan mesin  partainya  dengan  sangat  baik  untuk  menumbuhkan  pemimpin-pemimpin
visioner,  berintegritas,  serta  memiliki  kapabilitas  baik.  Harapannya  ini  ternyata berbanding  terbalik  dengan  fakta  yang  ada.  Sehingga  ketika  mendekati  Pemilu,
partai  politik  berburu  calon  untuk  partainya,  baik  untuk  maju  pada  Pemilu legislatif ataupun eksekutif. Sayangnya, pemburuan calon untuk partai ini kadang
tidak  dilandasi  cita-cita  ideal  untuk  menghadirkan  kepemimpinan  yang  bisa memberikan kontribusi besar bagi bangsa dan negara. Banyaknya calon-calon dari
pengusaha menjadi penanda dari budaya pragmatis partai politik kita.
Setidak-tidaknya  pemburuan  partai  politik  mencari  calon  untuk  Pemilu merupakan  penanda  yang  sangat  jelas  jika  kaderisasi  partai  politik  tidak  bekerja
dengan  baik.  Sehingga  sulit  bagi  partai  politik  mencari  calon  dari  internal partainya.  Kalaupun  ada    dari  internal,  negosiasinya  sangat  alot.  Tarik-menarik
kepentingan tidak bisa dihindarkan meskipun nyata-nyata ada calon dari internal. Belum  lagi  di  sebagian  partai  politik  dikuasai  oleh  tokoh  sentral  tertentu.  Kuasa
pimpinan  partai  yang  besar  membuat  sulit  tumbuhnya  iklim  demokrasi pencalonan anggota partai dalam kontestasi Pemilu.
Pencalonan  seseorang  dalam  Pemilu  tentu  harus  melalui  pertimbangan yang sangat matang. Modal untuk maju dalam Pemilu tidak sedikit, baik dari partai
sendiri  ataupun  dari  calon  bersangkutan.
886
Namun  besarnya  modal,  jangan sampai  mengabaikan  nilai-nilai  demokrasi  yang  mesti  dikembangkan  oleh  partai
politik.  Keterbukaan  akses  bagi  setiap  anggota  partai  politik  untuk  maju  dalam Pemilu  harus  dibuka  selebar-lebarnya.  Keterbukaan  askes  ini  agar  memiliki
kualitas  yang  sangat  bagus  harus  diikuti  dengan  kaderisasi  partai  yang  kuat.  Bila
885
Saifullah  Yusuf    Fahruddin  Salim,  Pergulatan  Indonesia  Membangun  Demokrasi,  Jakarta: Pimpinan  Pusat  Gerakan  Pemuda  Ansor,  2000,  hlm.  274.  Lihat  juga  dalam,  HM.  Nasruddin
Anshory, Ch, Dekonstruksi Kekuasaan: Konsolidasi Semangat Kebangsaan, Yogyakarta: LKiS, 2008, hlm.185.
886
Syamsuddin Haris ed., Pemilihan Langsung di Tengah Oligarki Partai: Proses Noramalisasi dan Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004, Jakarta: Gramedia, 2005, hlm. 232.
753 tidak,  pilihan  dari  internal  hanya  jalan  bunuh  diri.  Sebab  bila  pilihan  calon  dari
internal  tidak  memiliki  kualitas  bagus,  calon  tersebut  pasti  tidak  akan  memiliki daya tawar yang kuat, sehingga sulit memenangkan kontestasi Pemilu.
Akibatnya  partai  politik  akan  mengambil  jalan  alternatif.  Sedikitnya melalui:
Pertama,  mencari  tokoh  sentral  di  daerah  yang  memiliki  karisma  yang bagus  untuk  dicalonkan  dalam  Pemilu.  Pilihan  ini  diharapkan  mampu
mendongkrak suara partai dan memenangkan Pemilu. Karena tokoh pasti memiliki ikatan  emosional  yang  kuat  dengan  masyarakat,  serta  memiliki  pengikut  yang
banyak. Biasanya tokoh macam ini adalah tokoh agama, dalam Islam misalnya kyai. Fenomena ini sudah merebak sejak awal reformasi. Turunnya kyai ke gelanggang
politik  praktis  banyak  di  lakukan  oleh  warga  Nahdliyyin  melalui  Partai Kebangkitan  Bangsa  PKB.
887
Kehadiran  kyai  diharapkan  mampu  mengubah kondisi  kepemimpinan  di  negeri  ini,  terutama  berkaitan  dengan  korupsi  yang
sudah  sistemik  melalui  warisan  Orde  Baru.  Hanya,  kenyataan  yang  terjadi  justru paradoks. Banyak kyai yang terjerat korupsi karena tidak mampu mengendalikan
nafsu kekuasaan materil.
Fenomena  terus  berlanjut.  Meksi  kepercayaan  masyarakat  terhadap  kyai semakin  memudar,  sampai  sekarang  masih  banyak  kyai  yang  maju  ke  partai
politik.  Hanya  saja  petanya  berbeda,  kini  kyai  bisa  muncul  di  partai  apapun. Artinya, kyai tidak lagi hanya muncul sebagai calon dari partai Islam, namun bisa
juga  dari  partai  nasionalis.
888
Kehadiran  tokoh  agama  ini  merupakan  efek  dari minimnya kepercayaan rakyat terhadap partai politik, sehingga partai politik tidak
hanya memunculkan calon untuk bertarung dalam Pemilu dari anggota partai saja. Pilihan pencalonan kyai adalah salah satu cara terbaik memenangkan Pemilu.
Pada  pilihan  ini  tentu  memiliki  konsekuensi  finansial.  Karena  tokoh masyarakat biasanya secara finansial tidak terlalu kaya. Menghadapi kebuntuan ini
partai  politik  biasanya  mencari  pengusaha  yang  bisa  memberikan  bantuan ataupun  pinjaman  modal  bagi  pencalonan  tokoh  tertentu.  Kerjasamanya  ini  pasti
bukan  kerjasama  tanpa  upah  timbal  balik.  Biasanya  tetap  ada  kaitan  dengan keberlangsungan  bisnis  pengusaha  bersangkutan.  Kontrak  politik  antara  kyai,
partai  politik,  dan  pengusaha  merupakan  sesuatu  yang  sulit  dihindari.  Ujung- ujungnya rakyat selalu manjadi korban pragmatisme politik.
Kedua, mencari pengusaha kaya sebagai alternatif calon. Pilihan ini lagi-lagi sebagai  upaya  mendongkrak  perolehan  suara  partai  ataupun  memenagkan
kontestasi Pemilu. Pencalonan pengusaha juga dianggap sebagai pilihan terbaik di tengah  kondisi  pragmatisme  politik  yang  sangat  kuat  dalam  masyarakat.
Belakangan  ini  sulit  membayangkan  kehadiran  Pemilu  tanpa  politik  uang  money politic.
889
Cara berpikir rakyat sudah sangat pragmatis. Untung rugi pilihan tidak lagi  pada  efek  jangka  panjang  dari  kepemimpinan  calon  namun  lebih  pada
keuntungan jangka pendek melalui politik uang yang diterima.
887
Khoira Ummatin, Perilaku Politik Kyai, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 106. lihat juga dalam Momhammad Luqman Hakiem, Negeri Tanpa Kyai: Esai Politik Sufi, Pustaka Ciganjur, 2002,
hlm. 41.
888
Nur Syam, Islam Pesisir, Yogyakarta: LKiS, 2005, hlm. 15.
889
Firmanzah,  Marketing  Politik:  Antara  Pemahaman  dan  Realitas,  Cetakan  Kedua,  Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008, hlm. 329.
754 Kondisi  ini  membuat  partai  politik  berburu  modal  yang  besar  demi
mendapatkan suara yang banyak serta memenangkan Pemilu. Bagaimanapun uang selalu menggiurkan. Bahkan tidak sedikit calon yang muncul ke gelanggang Pemilu
didasari  oleh  kepentingan  materi.  Menjadi  calon  peserta  Pemilu  seperti  ladang mencari  pekerjaan.  Menjadi  pemimpin  seolah  sama  dengan  menjadi  seorang
pekerja  yang  berhak  atas  bayaran  yang  mahal.  Tidak  sedikit  pula,  mereka menghalalkan segala cara demi meraup keuntungan yang besar.
Strategi  politik  yang  dimainkan  juga  tidak  sederhana.  Karena  tidak  semua masyarakat suka dengan politik uang, meski secara mayoritas menyukainya. Cara
meraup simpati dari masyarkat yang tidak suka politik uang, partai politk biasanya memunculkan  tokoh  sentral  di  daerahnya  sebagai  tokoh  yang  mendukung
pengusaha  yang  dicalonkan.  Kehadiran  tokoh  pendukung  akan  memunculkan simpati  yang  besar  sebagai  alasan  atas  pilihannya,  sekaligus  memantapkan
langkah politik partai dan calon bersangkutan.
Politik  seperti  bahasa  kasarnya  memang  licik ,  strategi  apapun  bisa dimainkan.
890
Geraknya yang sangat dinamis dalam sekejap bisa membuat kawan menjadi  lawan,  dan  lawan  menjadi  kawan.  Karena  dalam  permainan  politik  yang
selalu  menggiurkan  serta  menjadi  orientasi  utama  adalah  keuntungan  dan kepentingan.
891
Sehingga  konsepsi  ini  secara  riil  memiliki  efek  yang  besar  bagi cara  pandang  aktivis  partai  politik.  Penghalalan  segala  cara,  seperti  bahasa
Machiavelli, merupakan keniscayaan dalam politik demi kekuasaan.
892
Logika politik yang menganjurkan  kemenangan  dalam kontestasi Pemilu, membuat  politik  menjadi  banal,  dari  seni  memimpin  seperti  bahasa  Socrates,
893
menjadi  ladang  kemungkaran  dengan  merebaknya  fitnah,  black  campaign, kekerasan,  pembunuhan,  dan  segenap  tindakan  destruktif  demi  menegakkan
kemenangan  dalam  Pemilu.  Tak  terkecuali  di  dalamnya  ada  tokoh  agama  atau tidak, politi
k faktanya memang sangat keras. Karena  kemenangan  dalam politik selalu  menjadi  pujaan  bersama,  baik  atas  nama  kekuasaan,  kehormatan  diri,  dan
atau apapun yang mampu mendongkrak kebanggaan pada diri sendiri. Logika  seperti  ini  sesungguhnya  hadir  karena  para  kader  partai  politik
tidak memiliki kesadaran berdemokrasi yang utuh. Mereka menilai politik adalah logika memenangkan, bukan menghadirkan kesejahteraan dan kebaikan bersama,
agar  rakyat  yang  berada  di  bawah  kekuasaan  negara  seperti  bahasa  Thomas
890
J. Kristiadi, dkk., Who Wants to Be the Next President? A-Z Informasi Politik Dasar  Pemilu 2009, Yogyakarta: Kanisius, a2009, hlm. 27.
891
D
ALAM  POLITIK  BERLAKU  ADIGIUM
, T
IDAK  KAWAN  DAN  LAWAN  ABADI  DALAM  POLITIK
,
KECUALI KEPENTINGAN
,
LIHAT  DALAM
                