Penutup Sebagai sarana rekrutmen politik ;

746 BUKU-BUKU Asshiddiqie, Jimly, 2008. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. Budiardjo, Miriam, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Gatara, A.A., Sahid , 2009. Ilmu Politik : Memahami dan Menerapkan, Bandung: CV Pustaka Setia Lubis, Solly, 2008. Hukum Tata Negara, Bandung: CV Mandar Maju Marijan, Kacung, 2015. Sistem Politik Indonesia : Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, cetakan keempat, Jakarta: Prenadamedia Group. Sanit, Arbi, 2002. Sistem Politik Indonesia : Kestabilan, Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Suharizal, 2011. Pemilukada : Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada JURNAL Jeane Neltje Saly, 2007. ubungan Antar Lembaga Negara Dalam Perspektif Pasca Amandemen UUD 194 , Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 4 Nomor 3, September 2007, Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang- Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia UNDANG-UNDANG Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang INTERNET Christian, Huwae, Peran Partai Politik dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Suatu Studi di Kota Bitung., ejournal.unsrat.ac.idindex.phpgovernancearticleviewFile1449114 9, diakses tanggal 12 Juni 2016 747 ndra, Pahlevi, Politik Dinasti dan UU Pilkada., nasional.kompas.comread2015040616125681Politik.Dinasti.dan. UU.Pilkada., diakses tanggal 10 Juli 2016. Ridho, Imawan, Hanafi, Pemilihan Langsung Kepala Daerah di Indonesia : Beberapa Catatan Kritis Untuk Partai Politik., ejournal.lipi.go.idindex.phpjpparticledownload19781, diakses tanggal 10 Juli 2015 Konvensi, Golkar, dan Ical., nasional.kompas.comread201309180820309Konvensi.Golkar.dan.Ic al, diakses tanggal 10 Juli 2016. Revisi UU Pilkada Diminta Pertegas Sanksi Politik Uang., nasional.kompas.comread2016031007360101Revisi.UU.Pilkada.D iminta.Pertegas.Sanksi.Politik.Uang, diakses tanggal 1 Juli 2016 BIOGRAFI SINGKAT PENULIS Penulis bernama lengkap Mahesa Rannie, S.H., M.H., dilahirkan di Palembang, 23 Januari 1980. Saat ini penulis bekerja sebagai Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya sejak tahun 2010. Mata Kuliah yang penulis asuh adalah Ilmu Negara, Hukum Tata Negara, Hukum Konstitusi, dan Sistem Politik Indonesia. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Strata 1 S1 pada Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Tahun 2003 dan menyelesaikan Pendidikan Sarjana Strata 1 S2 pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum dengan Bidang Kajian Utama BKU Hukum Tata Negara. Saat ini selain mengajar, penulis juga aktif terlibat dalam penelitian dan penyuluhan di kampus, serta menjabat sebagai Ketua Redaksi Jurnal Ilmiah Simbur Cahaya Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya 748 PENGUATAN KADERISASI SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN DEMOKRATISASI PENCALONAN ANGGOTA PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN LEGISLATIF DAN EKSEKUTIF Oleh Masduri Abstrak Penguatan kaderisasi anggota partai politik adalah dasar yang harus dibangun setiap partai politik yang membayangkan partainya maju dan mampu menegakkan keadaban dalam berpolitik. Segenap konflik internal partai politik, terutama berkaitan dengan penentuan kandidat calon yang bakal maju dalam Pemilu, baik legislatif ataupun eksekutif, terjadi karena lemahnya kaderisasi. Lemahnya kaderisasi memiliki implikasi yang sangat kuat bagi buruknya tatanan organisasi partai. Sehingga secara berkesinambungan sulit membangun iklim demokrasi. Karena pengurus partai merasa memiliki kuasa yang lebih ketimbang anggota yang lain. Kuasa itu lalu dimaknai sebagai mandat bersama tanpa persetujuan dari yang lain. Akibatnya konflik internal tidak terelakkan karena mereka tidak puas pada kebijakan partai. Oleh karena itu, penguatan kaderisasi adalah langkah dasar membangun kualitas sumber daya manusia anggota partai yang memiliki kapabilitas dan integritas yang baik, sehingga ketika menjelang Pemilu, partai politik tidak kelimpungan mencari calon, karena calon di internal sudah banyak. Tinggal, pengurus dan anggota partai diberikan kesempatan dan hak yang sama untuk memilih dan dipilih melalui sistem yang demokratis. Pendahuluan Sejak kehadiran Reformasi 1998, kita menemukan momentum menegakkan demokrasi sebagai jalan bersama membangun bangsa yang lebih beradab. Reformasi telah memberikan angin segar bagi segenap kebebasan yang sebelumnya terkekang oleh otoritarianisme rezim Orde Baru. 876 Salah satu dampak paling nyata dari bangunan sistem demokrasi pasca reformasi adalah terbukanya kesempatan bagi semua rakyat Indonesia untuk mendirikan partai politik. Sehingga pada Pemilu 1999 setelah reformasi, ada 48 partai politik yang ikut dalam kontestasi tersebut. 877 Tentu saja berbeda dengan sebelumnya ketika masa Orde Baru, setelah mengalami perjalanan yang sangat ribet, serta pasang-surut partai politik yang tidak sederhana, akhirnya Orde Baru mengukuhkan tiga partai besar sebagai partai politik yang terus secara berkelanjutan menjadi peserta Pemilu, yakni Partai Golongan Karya Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDIP, dan 876 Abdurrahman Wahid dkk, Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 sampai Pemilihan Presiden, Jakarta: Alvabet, 1999, hlm. 30. 877 Syamsuddin Haris, Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi, Jakarta: Pustaka Obor, 2014, hlm. 69. Lihat juga dalam, Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi, Jakarta: Gramedia, 2010, hlm. 118. Penjelasan yang sama juga bisa dibaca pada, Budi Winarno, Sistem Politik Era Reformasi, Cetakan Kedua, Yogyakarta: MedPress, 2008, hlm. 48. 749 Partai Persatuan Pembangunan PPP. 878 Terbatasnya akses kehadiran partai politik baru dalam Pemilu, tentu saja memberikan konsekuensi yang sangat besar bagi iklim demokrasi di negara kita waktu itu. Dalam wacana demokrasi, sedikitnya partai politik semakin menunjukkan kesadaran berpolitik dan berdemokrasi yang tinggi. Berbeda dengan yang terjadi pada masa Ode Baru. Apa yang terjadi ini justru berbanding terbalik, sedikitnya partai politik pada masa Orde Baru menunjukkan rendah kesadaran politik dan berdemokrasi, terutama dari para penyelenggara negara, dengan pimpinan Presiden Suharto. Pembatasan partai politik ini sebenarnya untuk mengukuhkan status quo kekuasaan Orde Baru. Terbukti Golkar selalu memenangkan Pemilu dengan presentasi yang sangat fantastis. Ada permainan politik yang sangat licik, hingga kekerasan politik, agar partai Orde Baru selalu terdepan sebagai pemenang Pemilu. Perjalanan panjang Orde Baru dari tahun 1967 hingga 1998 adalah drama sejarah kebangsaan yang tidak sederhana. 879 Kita mungkin saja sempat terlintas pertanyaan-pertanyaan aneh, mengapa Orde Baru yang sangat otoriter dan sangat keras kepada rakyatnya mampu berkuasa hingga 31 tahun. Tidak adakah orang yang berani menggugat kekuasaannya dalam waktu yang sangat panjang itu? Tentu saja menjawab pertanyaan ini tidak sederhana dan sangat panjang. Tetapi sedikit yang dapat menjadi penjernih bagi pertanyaan itu, kita bisa mencoba menganalisis kekuataan politik militer Orde Baru. Kekerasan, perang, dan kematian adalah sesuatu yang sangat menyakitkan. Orde Baru bisa eksis sampai 31 tahun lamanya, karena rezim itu berani membunuh rakyatnya sendiri atas nama tegaknya sebuah negara. 880 Ketika yang terjadi seperti ini, masih adalah aktivis dan intelektual yang berani menggerakkan massa, apalagi kekuatannya sangat lemah ketimbang militer Orde Baru. Tentu saja tidak ada yang berani, karena ancamannya adalah kematian. Tidak sedikit aktivis yang tiba-tiba hilang entah ke mana, atau intelektual yang selalu pindah penjara karena dianggap meresahkan masyarakat sekaligus menganggu stabilitas keamanan negara. 881 Fakta ini menjadi penanda betapa sistem politik dan demokrasi kita pada masa lalu sangat rendah kualitasnya. Kehendak besar para pemuda setelah mengalami keresahan yang sangat panjang serta mengumpulkan kekuatan massa yang sangat banyak. Akhirnya, reformasi 1998 membuahkan hasil dengan pengunduran diri Presiden Suharto pada tanggal 878 Patrick Ziegenhain, The Indonesian Parliament and Democratization, Singapore: Institute for Southeast Asian Studies, 2008, hlm. 47. Baca juga dalam, Muchtar Effendi Harahap, Demokrasi dalam Cengkraman Ordea Baru, Jakarta: Tewas Orba, 2004, hlm. 51. 879 Rezim Orde Baru di bawah kekuasan Presiden Suharto berlangsung dari tanggal 12 Maret 1967 sampai 21 Mei 1998. Reformasi mengakhiri kekuasaan rezim yang sangat panjang dan penuh kontroversi ini. Baca dalam, Andi Mappetahang Fatwa, Dari Cipinang ke Senayan: Catatan Gerakan Reformasi dan Aktivitas Legislatif hingga ST MPR 2002, Jakarta: Institute for Transformation Studies, 2003, hlm. 71. 880 Sri-Bintang Pamungkas, Ganti Rezim Ganti Sistim: Pergulatan Menguasai Nusantara, JakartaL El- Bisma, 2014, hlm. 304. Pembunuhan terhadap rakyat pada masa rezim Orde Baru, tak hanya dilakukan dalam bentuk fisik, tetapi juga pembunuhan terhadap karakter seorang tokoh yang dianggap membayakan oleh Rezim Suharto, lihat dalam, Komaruddin Hidayat, Politik Panjat Pinang: Di Mana Peran Agama?, Jakarta: Kompas, 2006, hlm. 11. 881 Mugiyanto, Mereka yang Hilang dan Mereka yang Ditinggalkan, Jakarta: Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia, 2004, hlm. 30. 750 21 Mie 1998. 882 Peristiwa bersejarah itu adalah babak baru perjalanan kebangsaan kita. Partai politik bebas berdiri tegak di republik ini, sebagai bagian penting dari pembangunan sebuah negara demokratis. Kilas balik perjalanan sejarah yang tidak sederhana itu adalah cermin bagi kita untuk membaca dinamika partai politik yang berkembang hari ini. Terutama berkaitan dengan demokratisasi di internal partai berkaitan dengan pencalonan anggota legislatif dari tingkat pusat sampai daerah ataupun pemilihan pemimpin eksekutif dari presiden, gubernur, hinga bupatiwali kota di masing-masing daerah. Selama ini kita sering menyaksikan keriuhan politik berkaitan dengan hal tersebut. Hal ini pasti berkaitan dengan ekspektasi yang sangat besar untuk memenangkan Pemilu. Sehingga wajar, bila pencalonan anggota legislatif ataupun pemimpin eksekutif pada Pemilu mengalami keriuhan yang sangat besar, agar mendapatkan pilihan terbaik dari calon-calon lain yang sudah baik. Hanya saja, belakangan ini kita menemukan gejala kebangkrutan partai politik. Gejala itu dapat kita lihat dari fenomena banyaknya calon dai luar partai politik menjadi calon dari partai politik tertentu. Fakta ini berkaitan dengan rumor bahwa sekarang ini partai politik tidak terlalu penting. Ketokohan seorang calon jauh lebih penting ketimbang partai politik yang mengusungnya. 883 Kemenangan Pemilu lebih menjadi prioritas ketimbang merealisasikan cita-cita ideologis sebuah partai politik. Pragmatisme ini berimplikasi sangat besar bagi partai politik. Partai tak ubahnya sebagai mesin penggerak yang bisa mendudukkan seseorang untuk menjadi pemimpin, namun pemimpin itu tidak memiliki landasan ideologis yang kuat untuk mengarahkan kepemimpinan yang dipegangnya. Partai politik berdiri di atas cita-cita ideologis yang menjadi ruh perjuangannya. Ketika muncul calon peserta Pemilu, baik legislatif ataupun eksekutif, dari luar partai politik namun diusung partai politik tertentu. Kita sudah dapat menangkap pragmatisme besar sebuah partai politik untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dari calon tersebut. Karena tentu, ketika mereka terpilih nanti memliki tangggung jawab untuk menjadi pundi-pundi penghasilan partai yang mengusungnya. Saya tidak percaya kalau orang dari luar partai yang sebelumnya tidak pernah mengikuti tahapan kaderisasi bakal memiliki dasar ideologis yang kuat. Kepemimpinan itu harus berdiri di atas akar ideologi yang kuat. 884 Supaya memiliki arah yang jelas serta daya tahan yang kuat dari berbagai kritik dan kecaman yang muncul atas kebijakan yang dikeluarkannya. 882 A. Makmur Makka, Sidang Kabinet Terakhir Orde Baru: 12 Jam Sebelum Presiden Suhato Mengundurkan Diri, Jakarta: Republika, 2008, hlm. ix. Baca juga dalam, Lalu Misbah Hiayat, Reformasi Administrasi: Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden, Jakarta: Gramedia, 2007, hlm. 29. 883 R. Siti Zuhro, Demokrasi Lokal: Perubahan dan Kesinambungan Nilai-Nilai Budaya Politik Lokal di Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Bali, Yogyakarta: Ombak, 2009, hlm. 50. 884 Kepemimpinan yang memliki landasan ideologi yang kuat bakal mampu menggerakkan tanggungjawabnya dengan sangat baik. Karena pemimpin model ini memiliki pikiran yang hidup dan gagasan segar tentang kemajuan bangsanya. Ia juga dapat memetakan rencananya dengan sangat baik serta mampu menggerakkan bawahannya agar sesuai dengan instruksinya. Baca dalam, A.M. Mangunhardjana, SJ., Kepemimpinan, Yogyakarta: Kanisius, 1976, hlm. 16. Lihat juga dalam, Firdaus Syam, Membangun Peradaban Indonesia: Renungan Bacharuddin Jusuf Habibie Setelah 10 Dasawarsa Kebangkitan Nasional, 10 Windu Sumpah Pemuda, dan 10 Tahun Reformasi, Jakarta: Gema Insani, 2009, hlm. 188. 751 Kepemimpinan tanpa ideologi itu ibarat perjalanan tanpa tujuan. Kepemimpinan yang tidak memiliki tujuan akan menjadi petaka bagi rakyatnya. Karena biasnaya model kepemimpinan yang seperti ini hanya memprioritaskan penghasilan yang besar dari kepemimpinan yang dipegangnya. Tak sedikit fakta pemimpin yang tidak memiliki latar ideologis yang kuat —baru jadi anggota partai tiba-tiba dicalonkan dalam Pemilu, atau tanpa memiliki latar apapun dengan partai itu, tapi karena memiliki ketokohan yang kuat atau keuangan yang banyak tiba- tiba dimunculkan sebagai calon —memiliki rekam jejak yang kurang baik hingga terjerat kasus korupsi. Sedikit uraian di atas itu, bisa menjadi catatan bagi kita untuk menatap masa depan partai politik di negeri ini, terutama berkaitan dengan bangunan iklim demokrasi di internal partai politik dalam mencalonkan anggotanya pada Pemilu legislatif ataupun eksekutif. Saya sebenarnya merasa sangat iba, ketika ada anggota partai politik yang sudah lama aktif, memiliki pengalaman yang panjang, dan akar ideologi politik yang kuat, namun tidak dicalonkan sebagai peserta dalam Pemilu. Alasannya beragam, dari tidak memiliki daya jual, ketokohannya kurang, hingga beragam alasan lain, yang ujung-ujungnya karena tidak memiliki finansial yang kuat atau terlalu ideologis, sehingga dirinya sangat idealis, sedangkan pemimpin partainya sangat pragmatis dan selalu ingin menjadi pengendali tunggal di internal partainya. Sekarang ini banyak sekali partai politik yang dikuasai oleh pemimpinnya. Segenap aturan main di internal partai banyak tidak terlaksana dengan baik. Karena yang menjadi rujukan bersama dalam setiap pengambilan keputusan bukan berdasar dari aturan main internal partai, tapi lebih kepada kebijakan individual tokoh tertentu, biasanya ketua umum. Privatisasi partai politik ini memiliki implikasi yang besar bagi demokrasi di internal partai politik, sekaligus menjadi kendala dalam membangun kaderisasi partai politik yang kuat. Karena partai tidak lagi menjadi milik bersama, partai menjadi miliki individu, yang kebijakannya ditentukan oleh tokoh tertentu. Sedangkan mestinya, demokrasi di internal partai harus dibangun dengan sangat baik melalui kaderisasi partai. Sehingga partai politik bisa bergerak secara dinamis, tanpa memiliki keterkaitan tunggal dengan tokoh tertentu. Implikasinya juga hadir dalam pencalonan anggota partai pada Pemilu, mereka akan dipilih secara demokratis berdasarkan kesepakatan bersama melalui rekam jejak, integritas, dan kapabilitas diri yang dimilikinya. Kondisi Internal Partai Politik yang Tidak Demokratis Angin segar reformasi yang menumbuhkan kebebasan partai politik tak berbanding lurus dengan kondisi internal partai politik. Pertumbuhan partai politik yang sangat banyak pasca reformasi, semakin menumbuhkan keriuhan politik yang sangat besar. Karena kebebasan berpolitik dan pertumbuhan partai yang banyak tidak didasari oleh kesadaran berdemokrasi yang baik. Akibatnya bukan keadaban berpolitik yang hadir melainkan silang sengkarut yang tumpang tindih serta kegaduhan kebangsaan. Lantaran partai politik berdiri di atas pragmatisme meraup kursi kekuasaan serta berupaya secara maksimal bisa mendapatkan keuntungan materil dari kedudukan tersebut. 752 Korupsi yang mewabah pasca reformasi merupakan kenyataan yang sangat paradoks. Cita-cita awal reformasi adalah membangun sistem bernegara yang demokratis serta berupaya menegakkan kepemimpinan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. 885 Cita-cita ini melawan fakta kepemimpinan Orde Baru yang sangat represif dan memainkan politik busuk demi melanggengkan kekuasaannya. Sehingga korupsi, kolusi, dan nepotisme merupakan fakta yang tak terbantahkan. Karena itulah, ketika pasca reformasi praktik korupsi makin besar, tentu saja kita sangat prihatin. Kebebasan berpolitik tidak dilandasi dengan landasan ideologis dan kesadaran berdemokrasi yang baik. Banyaknya partai politik justru menggambarkan pragmatisme politik, baik atas dasar kehausan kekuasaan ataupun upaya menumpuk kekayaan dengan cara-cara kotor mengambil hak-hak rakyat. Efek besar dari pragmatisme berpolitik ini memiliki implikasi besar bagi kondisi internal partai politik. Buruknya iklim demokrasi di internal partai menjadi penanda betapa pragmatisme partai politik justru mengabaikan cita-cita reformasi dalam membangun sistem bernegara yang demokratis yang bisa dicapai salah satunya melalui teladan partai politik yang demokratis. Kita sebenarnya membayangkan agar partai politik mampu menggerakkan mesin partainya dengan sangat baik untuk menumbuhkan pemimpin-pemimpin visioner, berintegritas, serta memiliki kapabilitas baik. Harapannya ini ternyata berbanding terbalik dengan fakta yang ada. Sehingga ketika mendekati Pemilu, partai politik berburu calon untuk partainya, baik untuk maju pada Pemilu legislatif ataupun eksekutif. Sayangnya, pemburuan calon untuk partai ini kadang tidak dilandasi cita-cita ideal untuk menghadirkan kepemimpinan yang bisa memberikan kontribusi besar bagi bangsa dan negara. Banyaknya calon-calon dari pengusaha menjadi penanda dari budaya pragmatis partai politik kita. Setidak-tidaknya pemburuan partai politik mencari calon untuk Pemilu merupakan penanda yang sangat jelas jika kaderisasi partai politik tidak bekerja dengan baik. Sehingga sulit bagi partai politik mencari calon dari internal partainya. Kalaupun ada dari internal, negosiasinya sangat alot. Tarik-menarik kepentingan tidak bisa dihindarkan meskipun nyata-nyata ada calon dari internal. Belum lagi di sebagian partai politik dikuasai oleh tokoh sentral tertentu. Kuasa pimpinan partai yang besar membuat sulit tumbuhnya iklim demokrasi pencalonan anggota partai dalam kontestasi Pemilu. Pencalonan seseorang dalam Pemilu tentu harus melalui pertimbangan yang sangat matang. Modal untuk maju dalam Pemilu tidak sedikit, baik dari partai sendiri ataupun dari calon bersangkutan. 886 Namun besarnya modal, jangan sampai mengabaikan nilai-nilai demokrasi yang mesti dikembangkan oleh partai politik. Keterbukaan akses bagi setiap anggota partai politik untuk maju dalam Pemilu harus dibuka selebar-lebarnya. Keterbukaan askes ini agar memiliki kualitas yang sangat bagus harus diikuti dengan kaderisasi partai yang kuat. Bila 885 Saifullah Yusuf Fahruddin Salim, Pergulatan Indonesia Membangun Demokrasi, Jakarta: Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor, 2000, hlm. 274. Lihat juga dalam, HM. Nasruddin Anshory, Ch, Dekonstruksi Kekuasaan: Konsolidasi Semangat Kebangsaan, Yogyakarta: LKiS, 2008, hlm.185. 886 Syamsuddin Haris ed., Pemilihan Langsung di Tengah Oligarki Partai: Proses Noramalisasi dan Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004, Jakarta: Gramedia, 2005, hlm. 232. 753 tidak, pilihan dari internal hanya jalan bunuh diri. Sebab bila pilihan calon dari internal tidak memiliki kualitas bagus, calon tersebut pasti tidak akan memiliki daya tawar yang kuat, sehingga sulit memenangkan kontestasi Pemilu. Akibatnya partai politik akan mengambil jalan alternatif. Sedikitnya melalui: Pertama, mencari tokoh sentral di daerah yang memiliki karisma yang bagus untuk dicalonkan dalam Pemilu. Pilihan ini diharapkan mampu mendongkrak suara partai dan memenangkan Pemilu. Karena tokoh pasti memiliki ikatan emosional yang kuat dengan masyarakat, serta memiliki pengikut yang banyak. Biasanya tokoh macam ini adalah tokoh agama, dalam Islam misalnya kyai. Fenomena ini sudah merebak sejak awal reformasi. Turunnya kyai ke gelanggang politik praktis banyak di lakukan oleh warga Nahdliyyin melalui Partai Kebangkitan Bangsa PKB. 887 Kehadiran kyai diharapkan mampu mengubah kondisi kepemimpinan di negeri ini, terutama berkaitan dengan korupsi yang sudah sistemik melalui warisan Orde Baru. Hanya, kenyataan yang terjadi justru paradoks. Banyak kyai yang terjerat korupsi karena tidak mampu mengendalikan nafsu kekuasaan materil. Fenomena terus berlanjut. Meksi kepercayaan masyarakat terhadap kyai semakin memudar, sampai sekarang masih banyak kyai yang maju ke partai politik. Hanya saja petanya berbeda, kini kyai bisa muncul di partai apapun. Artinya, kyai tidak lagi hanya muncul sebagai calon dari partai Islam, namun bisa juga dari partai nasionalis. 888 Kehadiran tokoh agama ini merupakan efek dari minimnya kepercayaan rakyat terhadap partai politik, sehingga partai politik tidak hanya memunculkan calon untuk bertarung dalam Pemilu dari anggota partai saja. Pilihan pencalonan kyai adalah salah satu cara terbaik memenangkan Pemilu. Pada pilihan ini tentu memiliki konsekuensi finansial. Karena tokoh masyarakat biasanya secara finansial tidak terlalu kaya. Menghadapi kebuntuan ini partai politik biasanya mencari pengusaha yang bisa memberikan bantuan ataupun pinjaman modal bagi pencalonan tokoh tertentu. Kerjasamanya ini pasti bukan kerjasama tanpa upah timbal balik. Biasanya tetap ada kaitan dengan keberlangsungan bisnis pengusaha bersangkutan. Kontrak politik antara kyai, partai politik, dan pengusaha merupakan sesuatu yang sulit dihindari. Ujung- ujungnya rakyat selalu manjadi korban pragmatisme politik. Kedua, mencari pengusaha kaya sebagai alternatif calon. Pilihan ini lagi-lagi sebagai upaya mendongkrak perolehan suara partai ataupun memenagkan kontestasi Pemilu. Pencalonan pengusaha juga dianggap sebagai pilihan terbaik di tengah kondisi pragmatisme politik yang sangat kuat dalam masyarakat. Belakangan ini sulit membayangkan kehadiran Pemilu tanpa politik uang money politic. 889 Cara berpikir rakyat sudah sangat pragmatis. Untung rugi pilihan tidak lagi pada efek jangka panjang dari kepemimpinan calon namun lebih pada keuntungan jangka pendek melalui politik uang yang diterima. 887 Khoira Ummatin, Perilaku Politik Kyai, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 106. lihat juga dalam Momhammad Luqman Hakiem, Negeri Tanpa Kyai: Esai Politik Sufi, Pustaka Ciganjur, 2002, hlm. 41. 888 Nur Syam, Islam Pesisir, Yogyakarta: LKiS, 2005, hlm. 15. 889 Firmanzah, Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, Cetakan Kedua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008, hlm. 329. 754 Kondisi ini membuat partai politik berburu modal yang besar demi mendapatkan suara yang banyak serta memenangkan Pemilu. Bagaimanapun uang selalu menggiurkan. Bahkan tidak sedikit calon yang muncul ke gelanggang Pemilu didasari oleh kepentingan materi. Menjadi calon peserta Pemilu seperti ladang mencari pekerjaan. Menjadi pemimpin seolah sama dengan menjadi seorang pekerja yang berhak atas bayaran yang mahal. Tidak sedikit pula, mereka menghalalkan segala cara demi meraup keuntungan yang besar. Strategi politik yang dimainkan juga tidak sederhana. Karena tidak semua masyarakat suka dengan politik uang, meski secara mayoritas menyukainya. Cara meraup simpati dari masyarkat yang tidak suka politik uang, partai politk biasanya memunculkan tokoh sentral di daerahnya sebagai tokoh yang mendukung pengusaha yang dicalonkan. Kehadiran tokoh pendukung akan memunculkan simpati yang besar sebagai alasan atas pilihannya, sekaligus memantapkan langkah politik partai dan calon bersangkutan. Politik seperti bahasa kasarnya memang licik , strategi apapun bisa dimainkan. 890 Geraknya yang sangat dinamis dalam sekejap bisa membuat kawan menjadi lawan, dan lawan menjadi kawan. Karena dalam permainan politik yang selalu menggiurkan serta menjadi orientasi utama adalah keuntungan dan kepentingan. 891 Sehingga konsepsi ini secara riil memiliki efek yang besar bagi cara pandang aktivis partai politik. Penghalalan segala cara, seperti bahasa Machiavelli, merupakan keniscayaan dalam politik demi kekuasaan. 892 Logika politik yang menganjurkan kemenangan dalam kontestasi Pemilu, membuat politik menjadi banal, dari seni memimpin seperti bahasa Socrates, 893 menjadi ladang kemungkaran dengan merebaknya fitnah, black campaign, kekerasan, pembunuhan, dan segenap tindakan destruktif demi menegakkan kemenangan dalam Pemilu. Tak terkecuali di dalamnya ada tokoh agama atau tidak, politi k faktanya memang sangat keras. Karena kemenangan dalam politik selalu menjadi pujaan bersama, baik atas nama kekuasaan, kehormatan diri, dan atau apapun yang mampu mendongkrak kebanggaan pada diri sendiri. Logika seperti ini sesungguhnya hadir karena para kader partai politik tidak memiliki kesadaran berdemokrasi yang utuh. Mereka menilai politik adalah logika memenangkan, bukan menghadirkan kesejahteraan dan kebaikan bersama, agar rakyat yang berada di bawah kekuasaan negara seperti bahasa Thomas 890 J. Kristiadi, dkk., Who Wants to Be the Next President? A-Z Informasi Politik Dasar Pemilu 2009, Yogyakarta: Kanisius, a2009, hlm. 27. 891 D ALAM POLITIK BERLAKU ADIGIUM , T IDAK KAWAN DAN LAWAN ABADI DALAM POLITIK , KECUALI KEPENTINGAN , LIHAT DALAM

M. A

LFAN A LFIAN , M ENJADI P EMIMPIN P OLITIK : P ERBINCANGAN K EPEMIMPINAN DAN K EKUASAAN , C ETAKAN K EDUA , J AKARTA : G RAMEDIA , 2009, HLM . 321. P EMBAHASAN LAIN LIHAT JUGA DALAM , Y ASRAF A MIR P ILIANG , H ANTU -H ANTU P OLITIK DAN M ATINYA S OSIAL , S OLO : T IGA S ERANGKAI , 2003, HLM . 7. B ACA JUGA , A BDUL M UNIR M ULKHAN , P OLITIK S ANTRI : C ARA M ENANG M EREBUT H ATI R AKYAT , Y OGYAKARTA : K ANISIUS , 2009, HLM . 242. L IHAT PULA PADA , A. M UHAIMIN I SKANDAR , G US D UR YANG S AYA K ENAL : S EBUAH C ATATAN T ENTANG T RANSISI D EMOKRASI K ITA , Y OGYAKARTA : LK I

S, 2004,

HLM . 203. 892 Franz Magnis-Suseno, Mencari Makna Kebangsaan, Jakarta: Kompas, 1998, hlm. 176. 893 Muhammad Alexander, Luqmanul Hakim adalah Socrates Berkulit Hitam: Menyingkap Rahasia Ahli Falsafah Agung Yunani, Kuala Lumpur: PTS Islamica, 1972, hlm. 249. 755 Hobbes, bisa mendapatkan hak-haknya sebagai manusia. 894 Minimnya kesadaran ini sebenarnya adalah efek dari belum adanya budaya berdemokrasi yang baik di internal partai politik. Pemilihan calon untuk maju dalam kontestasi Pemilu misalnya, sering mengambil dari orang luar partai, dari pada memberdayakan anggota partai yang sudah lama memberikan kontribusi. Pemilihan orang dari luar partai, sebenarnya memang bukan tanpa alasan. Seperti telah diuraikan di atas, biasanya karena tidak ada calon kuat dari internal partai, sehingga para pimpinan partai menyasar mencari dari luar. Keadaan ini sebenarnya akibat minimnya kaderisasi partai, dalam segala aspeknya. Seperti, pengembangan sumber daya manusia, pemantapan idelogi partai dan pelaksanannya, serta kemampuan memimpin dengan mambawa integritas dan kepemimpinan visioner. Kalau partai mampu melahirkan kader militan, ketika menjelang momen Pemilu mereka tidak akan kelimpungan mencari calon dari internal partainya. Karena mereka memiliki stok yang sangat banyak. Minimnya kaderisasi partai tak hanya memiliki implikasi pada pencalonan anggota partai saat Pemilu, namun juga berkaitan dengan permainan dan langkah politik anggota partai. Termasuk seberapa cantik permainan politik yang mereka lakukan dengan tetap menjaga etika, integritas, dan logika politik yang sangat demokratis dengan memberikan penghargaan yang sangat tinggi terhadap lawan politik yang berseberangan partai dan ideologi. Merebaknya fitnah, black campaign, kekerasan, pembunuhan, dan segenap tindakan destruktif dalam berpolitik merupakan efek nyata dari minimnya kaderisasi idelogis partai politik. Angota partai yang seperti ini, sebenarnya bukan menaikkan martabat partai politiknya, namun secara perlahan dan pasti, justru