Menjadi Miskin Karena Kita

hal-hal yang berbau materi dan pujian orang? Apakah saya terancam kehilangan makna Natal yang sejati? Saya kira Tuhan tak pernah menghendaki kita mengurangi kesenangan di hari Natal. Lagi pula, Dia sendiri telah memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati 1Timotius 6:17. Mungkin, sebaiknya tahun ini, kita membuat daftar baru di hari Natal yang berisi: Memberi lebih banyak perhatian kepada anak-anak. Memberi lebih banyak waktu dan penghargaan kepada orangtua dan pasangan hidup. Lebih mampu menerima tanpa syarat keberadaan anak-anak yang mulai beranjak remaja. Lebih mengasihi dan memperhatikan teman-teman. Lalu, bagaimana dengan hadiah kita bagi Pribadi yang ulang tahun-Nya kita rayakan? Yang diminta-Nya adalah penyerahan diri kita, dengan segala kesalahan dan kegagalan, masalah dan ketakutan. Dan inilah Natal yang sejati: Allah memberi, kita menerima, Allah menggenapi. Sungguh Natal yang penuh berkat

2082004: Menjadi Miskin Karena Kita

Menurut Paulus, Natal adalah ketika Kristus menjadi miskin. Menjadi miskin karena kita. Menjadi miskin untuk kita 2Korintus 8:9. Di dalam Dia, manusia tak lagi terbagi atas kaya dan miskin. Pada dasarnya, seluruh umat manusia, Anda dan saya adalah miskin. Mengapa? Karena sesungguhnya, tak seorang manusia pun di dunia ini, yang kini masih memiliki kemanusiaannya. Dengan kata lain, seluruh umat manusia dikatakan miskin karena manusia telah kehilangan dirinya sendiri. Kehilangan dirinya sendiri? Ya Karena ketika manusia menganggap kemanusiaan dan dirinya itulah satu-satunya yang penting di dunia ini; ketika ia mulai mempersetankan Tuhan dan sesamanya, kecuali dirinya sendiri; justru ketika itulah, ia hanya menjadi budak dari nafsunya. Ia tidak lagi menjadi manusia yang penuh. Ia miskin, karena kemanusiaannya larut di dalam rangsangan-rangsangan nafsu dan kekerasan hati. Tetapi, juga ketika manusia berpendapat bahwa kemanusiaannya itu bukanlah apa-apa. Dan ia menjadi makhluk yang serba pasrah dan mengalah. Serba tergantung dan bergantung. Ketika ia meyakinkan dirinya bahwa semua itu serba hebat dan kuat, serba raksasa, dan mahakuasa, kecuali dirinya. Ketika itulah, ia menjadi budak dari sekitarnya, hamba dari sesamanya. Ia tidak lagi menjadi manusia yang penuh. Ia miskin, karena kemanusiaannya dihanyutkan oleh arus dan gelombang keadaan sekitarnya. Karena kemiskinan kita itulah, Kristus menjadi miskin. Dan ketika Dia menjadi miskin itulah, kata Paulus, itulah Natal Agar kita menyadari kembali tentang kemiskinan kita. Tetapi, bukankah persiapan-persiapan Natal yang kita selenggarakan, betapa acap, justru menunjukkan hal yang sebaliknya? Tidak menunjukkan keprihatinan dan kemiskinan kita, tetapi kelimpahan dan kekayaan kita? Tidakkah pesta-pesta Natal kita paling sedikit ingin memperlihatkan semua kehebatan yang dapat kita usahakan? Tentu saja Bukan karena kita tidak tahu akan kemiskinan kita, melainkan karena kita berusaha untuk tidak mau tahu. Sama seperti seorang berwajah buruk, tetapi menjadi marah besar ketika melihat wajahnya melalui sebuah cermin. Ia membanting cermin itu, supaya dapat terus hidup dalam khayalannya. Ia tidak mau menerima kenyataan dirinya yang telanjang. Oleh karena itulah, kita juga sering berusaha untuk menyulap Natal. Dari sebuah pesta yang miskin dan sederhana, menjadi pesta yang mewah melimpah-ruah. Cermin itu kita pecahkan, supaya kita dapat terus hidup dalam khayal kita yang indah. Sebab itu, tidak cukup mengembalikan arti Natal hanya dengan sekadar melarang orang berpesta-pesta. Karena pesta-pesta itu hanya lahir sebagai akibat, bukan sebagai penyebab. Soal yang paling utama adalah apakah kita mau menerima kenyataan, betapa miskinnya kita? Tetapi di lain pihak memang benar bahwa Natal adalah juga ketika Kristus memproklamirkan, bahwa kita semua kini menjadi kaya di dalam Dia. Meskipun demikian, kenyataan ini juga tidak dapat memaafkan pemborosan pesta-pesta Natal kita Karena kalau Dia mengatakan bahwa kita kaya di dalam Dia, maka kekayaan kita tidak terletak pada kemampuan kita mengumpulkan dana. Tidak juga terletak pada kesanggupan kita mengorganisir pesta-pesta yang meriah. Tidak juga terletak pada kemampuan kita mengerahkan massa dan semua persiapan pesta Natal yang kita lakukan. Sebab betapa sering Natal itu hanyalah pesta di antara kita sendiri, pesta yang kita adakan tanpa Dia Natal memang menyajikan sebuah kesukaan yang abadi, bila kita menemukan diri kita kembali. Dan kita pun menjadi kaya di dalam Dia. Namun betapa sia-sianya pesta-pesta itu sekiranya kita hanya melanjutkan khayal kita yang indah, dan terus hidup tanpa Kristus

2102005: Membimbing Para Pelajar Dalam Beribadah Di Sekolah Minggu