Mereka Tidak Bisa Dikarbit

anak yang mampu membentuk pandangannya sendiri bahwa mereka mempunyai hak untuk menyatakan pandangan-pandangan secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak dipertimbangkan sesuai dengan usia dan kematangan anak. Dengan mempertimbangkan masa tumbuh anak tentu hak berpendapat tidak hanya dimaknai pada saat anak berbicara secara verbal, karena hak berpendapat ini mencakup kebebasan yang terlepas dari pembatasan untuk meminta, menerima, dan memberi informasi serta gagasan dalam segala jenis, baik lisan, tulisan, atau cetakan, dalam bentuk seni ataupun media yang lain. Sifat hak asasi anak yang universal memberikan arti bahwa hak ini dilekatkan pada anak tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, warna kulit, kelamin, bahasa, pandangan, politik dan lain- lain, asal-usul bangsa, harta kekayaan, cacat, kelahiran, atau status lain dari anak atau orangtua. Mendengar suara anak dan mengikutsertakan anak dalam rencana kebijakan kota terutama yang terkait dengan anak tentu menjadi bagian dari kewajiban pemerintah untuk turut menghargai hak asasi anak. Untuk mendengar suara anak, pemerintah bisa memfasilitasi terbentuknya forum- forum anak. Karena, dalam penyelenggaraan forum anak, banyak hal yang bisa digali dari anak seperti apa yang terjadi pada anak termasuk kekerasan yang menimpanya dan apa yang menjadi keinginan anak. Sebagaimana terungkap dalam CRC Pasal 12 ayat 2, mendengar pendapat anak dapat dilakukan baik secara langsung ataupun tak langsung melalui perwakilan atau suatu badan yang tepat. Jadi, memulai dengan mendengar pendapat anak kita termasuk anak sebagai generasi penerus akan semakin dididik untuk menghargai perbedaan dalam berpendapat dan menjadi pilar untuk membangun negara Indonesia yang lebih demokratis.

0852002: Mereka Tidak Bisa Dikarbit

Tidak seorang pun meragukan pentingnya prestasi intelektual dalam diri seorang anak. Namun prestasi intelektual itu jangan sampai melemahkan keyakinan kita bahwa anak akan mencapai hasil yang sebaik-baiknya kalau mereka diberi kesempatan berkembang sesuai dengan langkah yang ditentukan alam bagi mereka. Soalnya, kalau perkembangan intelektual mereka diburu-buru dan didesak-desak, hasilnya justru akan kurang dibandingkan dengan jika mereka dibiarkan berkembang dengan wajar. Berikut tiga kasus yang sering dijumpai para psikolog yang bisa dipetik sebagai pelajaran. 1. Nani, siswa kelas I SD yang kepandaiannya sedang, dipaksa-paksa oleh orangtuanya untuk belajar komputer. Soalnya orangtuanya pernah membaca bahwa kebanyakan anak perempuan kalah dari anak laki-laki dalam pelajaran matematika. Padahal mereka ingin Nani kelak bisa masuk universitas terbaik. 2. Boby, anak kelas V SD yang kecerdasannya di atas rata-rata, ternyata mundur sekali prestasinya. Ia selalu lelah dan tegang, karena selain harus membuat PR dan belajar di sekolah, ia juga harus pergi ke perpustakaan, belajar piano, dan latihan renang. Kami ingin agar ia jangan ketinggalan dalam semua bidang, kata ayahnya, yang tidak mau membuka mata betapa anaknya merasa tertekan dan frustasi. 3. Dina, murid SMU. Gurunya pernah menyebutnya sebagai calon genius. Hal itu dianggap ayahnya sebagai isyarat untuk memaksa pelbagai pihak agar membolehkan Dina lompat kelas. Maksudnya, agar Dina bisa masuk universitas setahun lebih awal dari usia normal. Dina tampak bingung dan kehilangan harapan untuk berhasil, tapi orangtuanya tak kenal kompromi. Ia diharuskan meninggalkan minatnya untuk menari, meninggalkan teman- temannya dan juga pacarnya, yang menurut orang- tuanya hanya hanya membuang- buang waktunya saja. Ketiga kasus seperti itu tidak jarang kita jumpai. Banyak anak menjadi korban dari kecenderungan yang keliru, yaitu menghapuskan masa kanak-kanak secepatnya dan menggantikannya dengan kedewasaan. Masalahnya banyak orangtua beranggapan supaya anak nantinya bisa survive, bisa bertahan di masa yang akan datang yang penuh tantangan, sehingga mereka harus secepatnya menjadi dewasa. Anak yang diburu-buru seperti itu bukan cuma kehilangan kesejahteraan jiwanya, tetapi juga kehilangan kemampuannya untuk menangani stres. Di lain pihak ada orangtua yang tidak mau kalah dari orangtua lain, bertekad membesarkan generasi bayi super berupa genius-genius muda yang kekuatan otaknya didorong sampai batas maksimal mulai saat meninggalkan rahim. Bayi-bayi bukan diajak bermain dengan gembira, melainkan dicekoki dengan hal-hal yang dianggap bekal masuk universitas. Anak belum berumur 4 tahun pun dijejali daftar kata-kata, karena tahun depan akan dimasukkan ke TK elite. Bahkan masa liburan pun kini sering tidak bisa dimanfaatkan untuk bersenang-senang dan mengkhayal lagi oleh anak-anak. Sebaliknya, mereka disuruh les macam-macam. Memang betul bahwa bayi pun lebih mampu menerima pelajaran daripada yang kita bayangkan. Namun mencoba memajukan kemampuan intelektual seorang anak prematur sama saja dengan mengacaukan jadwal biologis perkembangan manusia yang sudah built-in. Perkembangan kemampuan seorang anak bergantung pada perkembangan otak dan sistem sarafnya. Langkah kemajuan anak yang satu bisa beda sekali dari anak yang lain. Dengan memaksa anak menyamakan derapnya dengan anak yang lebih cepat melangkah, kita hanya akan membuat si anak bingung dan frustasi. Psikolog David Elkind, dalam bukunya The Hurried Child, melaporkan sekarang banyak anak yang mendapatkan perawatan psikologis, karena dipaksa belajar macam-macam pada saat masih kecil sekali. Menurut Elkind, anak-anak itu diciutkan masa kanak-kanaknya. Stres yang mereka alami sering muncul dalam bentuk gejala-gejala fisik, seperti anak umur 4 tahun yang tadinya selalu sehat, kini sering sakit kepala. Anak-anak membutuhkan kesempatan di samping belajar, untuk berangan- angan di samping melakukan sesuatu. Kenyataannya anak-anak yang mengalami masa kanak-kanak yang utuh biasanya lebih berhasil sebagai orang dewasa. Bagaimanapun, buah yang matang di pohon tetap lebih enak daripada buah karbitan. Makanya, Roussseau pun berpesan, Biarlah masa kanak- kanak matang sendiri.

0852002: Hakikat Bermain Bagi Anak