Independensi HASIL DAN PEMBAHASAN
Seminar Nasional dan Call for Papers “Tantangan Pengembangan Ilmu Akuntansi,
Inklusi Keuangan, dan Kontribusinya Terhadap Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan”
776 seseorang yang memiliki keinginan
untuk independen, dapat diduga orang sangat ingin menjadi wirausahawan.
Guna mendapatkan informasi yang reliabel
dan valid
diajukan tiga
pertanyaan kepada informan. Pertanyaan ini seputar independensi dan motif
keinginan untuk bertransformasi menjadi wirausahawan sosial.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa sejumlah 29 informan atau 97
yang menyatakan meyakini memiliki sikap
untuk menjadi
independen. Sebagian besar menyatakan bahwa
kebebasan menjalankan bisnis dengan tidak diatur oleh aturan seperti halnya
peraturan perusahaan lebih membuat nyaman dan mengasah kedewasaan dan
terimplikasi pengambilan putusan hidup.
Sebanyak 27 informan atau 90 menyatakan
independensi membuat
mereka sangat mungkin untuk mengelola bisnis sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi pribadi. Dan 25 informan atau 83 menyatakan sikap independen
memengaruhi
karir kewirausahaan,
sehingga semakin
besar sikap
independensi akan semakin besar minat untuk
mengembangkan usaha.
Mengembangkan usaha termasuk untuk melakukan diversifikasi produk serta
membuka peluang bisnis baru. 4.3.
Upaya Kerja
Variabel ketiga adalah variabel upaya kerja. Diajukan empat pertanyaan
tentang kegiatan operasi usaha dan motif keinginan untuk bertransformasi menjadi
wirausahawan sosial. Upaya kerja
dideskripsikan sebagai kerja mental dan fisik
yang dikeluarkan
oleh wirausahawan
untuk menjalankan
bisnisnya. Untuk memulai bisnisnya seorang wirausahawan membutuhkan
kerja keras dan upaya tinggi. Terkadang membutuhkan jam kerja tambahan
dengan mengorbankan waktu istirahat dan biaya lebih. Memerhatikan aspek
tersebut dapat diduga bahwa individu yang memiliki sikap independensi dan
keinginan untuk bekerja lebih keras akan memiliki intensi menjadi wirausahawan.
Sebanyak 30 informan terdapat 29 atau 97 yang menikmati sebagai
seorang wirausahawan.
Menikmati pekerjaan sebagai wirausahawan secara
psikologis akan mengurangi beratnya beban bekerja Bygrave, 2004. Selain itu
juga keinginan untuk mengembangkan usaha yang telah menjadi cita-cita akan
mendorong wirausahawan bekerja lebih keras dan mengorbankan assetnya demi
mencapai tujuan. Sejumlah 28 atau 93 merasa tidak terpaksa untuk menjadi
seorang
entrepreneur .
Hal ini
berkesinambungan dengan
jawaban sebelumnya, sehingga beban kerja yang
berat akan terasa menjadi tantangan dan seluruh informan merasa tertantang
untuk mencapainya.
Sebanyak 22 orang atau 73 informan merasa termotivasi untuk
mencapai target usaha karena ingin mengembangkan
usaha dan
mendapatkan laba yang diharapkan. Menurut sebagian besar informan,
penetapan target telah dilakukan dengan akurat
dan memertimbangkan
kemampuan pribadi. Sehingga dengan target tersebut informan merasa telah
proporsional mengatur
waktu dan
keuangan dengan fleksibel. Sejumlah 22 atau 73 informan tidak terbebani
dengan tugas utama kuliah dengan berwirausaha.
Karena mahasiswa
wirausahawan dalam
menjalankan usahanya didukung oleh afeksi diri yang
kuat dan merasa mampu membagi waktu untuk menjalankan tugas utamanya.
4.4.
Pengambilan Risiko
Seluruh informan menyatakan bahwa motif keuntungan dan kebutuhan
berprestasi menjadi alasan utama untuk berwirausaha. Douglas and Shepperd
1999 mengemukakan bahwa semakin keras usaha kerja semakin besar
pendapatan yang diperoleh. Keputusan untuk berwirausaha adalah keputusan
strategis yang melibatkan keputusan
“Tantangan Pengembangan Ilmu Akuntansi, Inklusi Keuangan, dan Kontribusinya Terhadap Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan”
777 pengambilan risiko Indarti dan Rostiani,
2008. Wirausahawan merupakan sikap untuk berani mengambil risiko kegagalan
atas modal dan waktu yang mereka kelola.
Seluruh informan
menyadari bahwa sejatinya profesi wirausaha adalah
profesi yang sangat berisiko. Namun informan menyadari sepenuhnya bahwa
dengan mengambil risiko, dapat menjadi tempaan sehingga lebih dewasa dan lebih
berani
dalam proses
pengambilan keputusan di semua lini. 28 orang atau
93,3 responden
menyatakan sepenuhnya menyadari bahwa dengan
modal yang disertakan untuk usaha diharapkan akan memiliki produktivitas
sehingga dapat menghasilkan tingkat pengembalian. Informan sepenuhnya
mengakui bahwa memiliki toleransi terhadap terhadap ketidakpastian di masa
depan. Sehingga mengambil risiko adalah sebuah konsekuensi yang harus
dihadapi.
Sebanyak 25 orang 83,3 informan menyatakan bahwa risiko dapat
dikelola dan dengan keyakinan tinggi memiliki kompetensi untuk mengelola
risiko. Pengelolaan risiko usaha mutlak dimiliki
oleh wirausahawan,
hasil wawancara
juga didapat
strategi wirausahawan mengelola risiko yaitu
dengan melakukan riset secara terus menerus tentang bisnis, mengembangkan
kreatifitas dan selalu tanggap serta sigap mengantisipasi perubahan.
4.5.
Motif Transformasi Menjadi Kewirausahaan Sosial
Sebanyak 20 dua puluh orang informan atau sebesar 66 menyatakan
ketertarikannya untuk
menjadi wirausahawan sosial. Ketertarikan ini
dikarenakan dengan bisnis yang telah dikelola saat ini telah dinilai stabil dan
telah dapat mencukupi kebutuhan sehari- hari.
Sehingga informan
merasa membutuhkan tantangan lain selain
pengembangan usaha intinya. Selain itu keinginan untuk berbagi atau altruism
yang dimiliki telah mendorong untuk berbuat sesuatu untuk masyarakat.
Garriga dan
Mele 2004
mengungkapkan tentang teori etika, bahwa sebuah entitas bisnis yang fokus
terhadap persyaratan
etis yang
melekatkan hubungan antara bisnis dan masyarakat. Selain itu motif transformasi
menjadi kewirausahaan juga didorong oleh rasa ingin berbagi dengan orang
lain. Altruism adalah sifat mementingkan orang lain dan tidak mementingkan diri
sendiri tanpa mengharapkan imbalan materi dari orang lain Tan et al, 2005.
Sejalan dengan penelitian Gunawan 2015 bahwa mahasiswa melakukan
kegiatan sukarela karena keinginan untuk berinteraksi dengan masyarakat, bukan
untuk
mengejar keuntungan
dan kepentingan pribadi.
Penelitian ini sejalan dengan teori hirarki kebutuhan Maslow Robbins dan
Judge, 2015. Mayoritas informan menyatakan keinginannya untuk juga
mengembangkan sifat altruistik kepada masyarakat
melalui kewirausahaan
sosial. Temuan dilapangan menunjukkan bahwa informan yang berminat untuk
mengembangkan bisnisnya dengan motif sosial
adalah wirausahawan
yang memiliki usaha yang relatif telah stabil
dan hasilnya telah dapat memenuhi kebutuhan.
Berdasarkan temuan ini dapat disimpulkan bahwa wirausahawan yang
telah mapan secara finansial, merasa cukup
aman dalam
menjalankan usahanya dan statusnya telah diterima
secara sosial
yang berminat
mengembangkan konsep kewirausahaan sosial. Menurut penelitian Gunawan
2015 interaksi mahasiswa dengan masyarakat adalah bukan mendapatkan
keuntungan
materi namun
untuk berinteraksi
yaitu mendapatkan
pengakuan secara sosial dan aktualisasi diri.
Sementara ada 10 orang lainnya yang tidak memiliki keinginan untuk
menjadi wirausahawan sosial. Alasan
Seminar Nasional dan Call for Papers “Tantangan Pengembangan Ilmu Akuntansi,
Inklusi Keuangan, dan Kontribusinya Terhadap Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan”
778 mayor yang berhasil dihimpun adalah
lebih karena informan masih ingin fokus terhadap modal yang dikelola dan
meningkatkan perhatian keberlanjutan usahanya.
Namun sebenarnya
ketidakinginan itu bukan karena tidak termotivasi
untuk menyelesaikan
masalah sosial, tetapi lebih didasarkan pada ketidaktahuan dengan konsep
wirausaha sosial, merasa tidak sanggup untuk melakukannya jika sendirian, tidak
memiliki pengetahuan untuk pengelolaan lebih
lanjut serta
merasa masih
memerlukan asset
usaha guna
pengembangan usaha. Temuan lapang tersebut masih
selaras dengan teori hierarki kebutuhan Maslow Robbins dan Judge, 2015.
Wirausaha yang tidak berminat untuk mengmbangkan
usahanya mayoritas dilandasi oleh belum stabilnya usaha dan
masih membutuhkan perhatian yang lebih. Belum terpenuhinya kebutuhan
finansial dari hasil usahanya dan masih dirasa usahanya belum aman adalah
alasan utama
sehingga menjadi
pertimbangan wirausahawan untuk tidak memprioritaskan
pengembangan bisnisnya dengan motif sosial.
Temuan lain
adalah karena
informan masih belum mengetahui konsep kewirausahaan sosial secara
komprehensif. Alasan selanjutnya adalah karena ada ketidakyakinan informan
untuk dapat menjalankannya sendirian. Namun bagi informan ada kemungkinan
untuk menumbuhkan minat berwirausaha sosial apabila dapat dilakukan secara
bergotong-royong secara finansial dan upaya kerja lalu dibentuk komunitas
khusus. Komunitas dimaksud diharapkan dapat menyampaikan visi dan misi serta
tujuan sosial yang akan diemban.
Tabel 4.1. Analsis Indeks Variabel
Variabel Angka Indeks
Penciptaan Pendapatan 93
Independensi 97
Upaya Kerja 97
Pengambilan Resiko 83,3
Motiv Transformasi 66
Sumber: Data Primer diolah, 2016