7-6 | Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2015
BIDANG PERTAHANAN DAN KEAMANAN Sebagai salah satu bagian proses reformasi, Kepolisian Negara
Republik Indonesia Polri telah menjadi institusi yang mandiri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sejak 1
April 1999. Polri yang sebelumnya disubordinasi oleh militer kini dituntut menjadi kekuatan sipil negara yang melindungi
jiwa, harta benda dan hak rakyat Indonesia serta tugas dan tanggungjawabnya dengan kemampuan teknis profesional
yang khusus. Kemampuan profesional tersebut antara lain intelijen kepolisian, reserse, satuan bhayangkara, lalu lintas,
dan brigade mobil yang didukung pula dengan teknologi kepolisian seperti laboratorium kriminil, identifikasi kriminil,
komunikasi elektronik, serta manajemen kepolisian yang dibarengi dengan kualitas sumber daya manusia dan
dukungan anggaran. Tugas polisi akan jauh lebih mudah jika masyarakat mendukung, bekerjasama, dan mempercayai polisi
sebagai institusi keselamatan publik. Dukungan ini vital karena tugas p
olisi sendiri merupakan ‘the impossible mandate
mandat mustahil , yang mencakup penerapan hukum yang terkadang tidak populer, melindungi dari
kejahatan dari yang ringan, terkejam, sampai dengan yang paling berbahaya, menyelesaikan masalah dari yang ringan
hingga paling berat, melayani kebutuhan publik terlepas dari sikap dan pendirian publik dengan santun, rasa hormat,
profesionalisme dan sikap tidak berpihak Haberfeld, 1998. Kolaborasi masyarakat dengan Polri dalam menciptakan dan
memelihara keamanan dan ketertiban yang efektif hanya dimungkinkan jika Polri tidak terkesan sebagai pelaku
kekerasan, penembakan, atau pemburuan di mata masyarakat. Alih-alih menjadi dekat dan mendukung polisi, dengan kesan
sangar seperti itu, masyarakat akan cenderung merasa awas dan menjaga jarak terhadap polisi. Dukungan masyarakat
terhadap Polri menjadi lebih sulit lagi didapatkan ketika citra yang tertanam di benak publik adalah yang negatif yang pada
gilirannya akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri. Ketidakpercayaan terhadap polisi
terlihat dari banyaknya aksi penyerangan terhadap markas dan anggota Polri. International Crisis Group ICG mencatat
sejak Agustus 2010 - Februari 2012 terdapat 40 aksi penyerangan terhadap markas dan anggota Polisi. Hal ini
merupakan salah satu bukti bahwa pemolisian masyarakat Polmas belum berjalan secara optimal. Fakta ini juga
didukung oleh masih tingginya pelanggaran anggota Polri meskipun kecederungannya semakin menurun. Dalam kurun
waktu tahun 2009
– Juni 2013 sebanyak 79.984 anggota
Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2015 | BIDANG PERTAHANAN DAN KEAMANAN
7-7 melanggar tata tertib, 25.512 anggota melanggar disiplin,
2.749 anggota melakukan pidana, 2.001 anggota melakukan pelanggaran etika profesi, dan 1.442 anggota diberhentikan
dengan tidak hormat. Bahkan hasil survei Lembaga Survei Indonesia LSI pada 2013 menunjukkan bahwa lebih dari
50 responden yang disurvei menyatakan tidak puas dengan penegakan hukum dan hampir 50 responden tidak percaya
polisi
dapat bersikap
adil. Risiko
ketidakpercayaan masyarakat
terhadap polisi
dapat berujung
pada ketidakpercayaan terhadap pemerintah, pelanggaran hukum,
serta main hakim sendiri.
7.1.4 Peralatan dan
koordinasi intelijen
Kegiatan intelijen dan kontra intelijen memiliki peran sangat penting dalam upaya deteksi dini seperti kejadian konflik
sosialkomunal, teorisme, separatisme, kerawanan wilayah perbatasan, dan, kejahatan lintas negara serta dalam upaya
pengamanan informasi rahasia negara. Berkenaan dengan hal tersebut, dalam rangka menghadapi dan mengantisipasi
terjadinya gangguan keamanan dalam negeri, telah dilakukan intensifikasi operasi deteksi dini, cipta opini dan cipta kondisi
dengan melibatkan instansi terkait dan peran aktif tokoh masyarakat, koordinasi dan pertukaran informasi antar
seluruh aparat keamanan terkait, mengoptimalkan tugas dan fungsi BIN Daerah BINDA, dan penggalangan dan pembinaan
kepada masyarakat di wilayah perbatasan untuk tetap mempertahankan rasa nasionalisme. Selanjutnya dalam hal
pengamanan rahasia negara, sampai dengan tahun 2012 telah mencakup 44 persen, dan ditargetkan pada akhir 2013
mencapai 46 persen. Jumlah perwakilan RI yang telah terfasilitasi peralatan sandi, baik berupa cryptofax, email
encryption, atau file mencapai 96 perwakilan RI di luar negeri. Operasi siaga pengamanan informasi sejak tahun 2007-2013
telah dilaksanakan melalui kegiatan: 1 Operasi siaga kontra pengindraan yang dilaksanakan di 45 instansi pusat dan 25
instansi pemerintahan daerah dan operasi kontra pengindraan yang dilaksanakan di 6 negara wilayah Amerika, 6 negara
wilayah Eropa, 9 negara wilayah Asia Pasifik, 1 negara wilayah Timur Tengah, dan 33 titik di jajaran pemerintah pusat.
Sedangkan dalam bidang pembinaan persandian, selama tahun 2007-2012 telah terealisasi 281 lulusan Ahli Sandi Tk.III, 1.008
Ahli Tk. I, dan 329 Ahli Tk.II.
Intelijen memiliki fungsi sentral dalam keamanan nasional dan proses pengambilan kebijakan pemerintah. Dalam proses
pengambilan keputusan kebijakan pemerintah, intelijen
7-8 | Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2015
BIDANG PERTAHANAN DAN KEAMANAN berperan dalam menyediakan perspektif dan data yang
dibutuhkan sehingga dapat menghasilkan satu keputusan yang tepat informed decision. Dalam peperangan modern yang
merupakan pergeseran dari perang fisik tradisional ke perang informasi, penguasaan informasi menjadi sangat
mutlak diperlukan oleh negara sebagai alat deteksi dini atas upaya-upaya yang dapat membahayakan pertahanan dan
keamanan negara. Dalam intelijen sendiri informasi yang diperoleh dihargai atas ketepatan waktu dan relevansinya.
Selain fungsi intelijen, terdapat fungsi kontra intelijen yang salah satunya merupakan kegiatan preventif untuk mencegah
pihak asing melakukan infiltrasi berupa kegiatan spionase, subversi dan sabotase yang dapat membahayakan keamanan
negara. Kontra intelijen mencakup intelijen domestik, fungsi pengamanan informasi dalam negeri, kontra spionase, dengan
tujuan melakukan penetrasi terhadap kegiatan rahasia intelijen asing di dalam negeri. Untuk dapat menjalankan
fungsi peringatan dini secara efektif, lembaga-lembaga intelijen dan kontra intelijen harus mampu mengidentifikasi
sumber ancaman maupun dinamika lingkungan lokal, nasional, dan global yang berpotensi mengancam keamanan nasional.
Tidak hanya mengidentifikasi, lembaga intelijen dan kontra intelijen juga harus dapat menilai, menganalisis, menafsirkan,
dan menyajikan intelijen terhadap dinamika sumber ancaman.
Walaupun UU Nomor 172011 tentang Intelijen sudah dua tahun ditetapkan, fungsi koordinasi BIN belum dapat
terselenggara dengan baik dan lembaga-lembaga intelijen masih terkesan masih berjalan secara sendiri-sendiri.
Maraknya gangguan keamanan yang terjadi akhir-akhir ini, seperti peristiwa Cebongan, Cikeusik, Pasuruan, penembakan
anggota Polisi, teror bom dan sebagainya, merupakan indikasi fungsi intelijen tidak berjalan dengan baik. Peraturan Presiden
No. 67 Tahun 2013 tentang Koordinasi Intelijen Negara, masih mengandung kelemahan terutama terkait dengan mekanisme
koordinasi. Dengan rapat koordinasi dilaksanakan sebulan sekali dan pelaporan setiap enam bulan, dikhawatirkan
relevansi dan ketepatan waktunya kurang valid. Bekenaan dengan hal ini, mekanisme koordinasi seharusnya didukung
system data sharing yang memadai. Selain masalah koordinasi, di bidang kontra intelijen permasalahan utama yang dihadapi
adalah security awareness dari pejabat publik yang masih rendah, payung hukum persandian yang belum kuat, kualitas
dan kuantitas peralatan sandi belum ideal, serta sumber daya