Peralatan dan Permasalahan Dan Isu Strategis

7-8 | Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2015 BIDANG PERTAHANAN DAN KEAMANAN berperan dalam menyediakan perspektif dan data yang dibutuhkan sehingga dapat menghasilkan satu keputusan yang tepat informed decision. Dalam peperangan modern yang merupakan pergeseran dari perang fisik tradisional ke perang informasi, penguasaan informasi menjadi sangat mutlak diperlukan oleh negara sebagai alat deteksi dini atas upaya-upaya yang dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara. Dalam intelijen sendiri informasi yang diperoleh dihargai atas ketepatan waktu dan relevansinya. Selain fungsi intelijen, terdapat fungsi kontra intelijen yang salah satunya merupakan kegiatan preventif untuk mencegah pihak asing melakukan infiltrasi berupa kegiatan spionase, subversi dan sabotase yang dapat membahayakan keamanan negara. Kontra intelijen mencakup intelijen domestik, fungsi pengamanan informasi dalam negeri, kontra spionase, dengan tujuan melakukan penetrasi terhadap kegiatan rahasia intelijen asing di dalam negeri. Untuk dapat menjalankan fungsi peringatan dini secara efektif, lembaga-lembaga intelijen dan kontra intelijen harus mampu mengidentifikasi sumber ancaman maupun dinamika lingkungan lokal, nasional, dan global yang berpotensi mengancam keamanan nasional. Tidak hanya mengidentifikasi, lembaga intelijen dan kontra intelijen juga harus dapat menilai, menganalisis, menafsirkan, dan menyajikan intelijen terhadap dinamika sumber ancaman. Walaupun UU Nomor 172011 tentang Intelijen sudah dua tahun ditetapkan, fungsi koordinasi BIN belum dapat terselenggara dengan baik dan lembaga-lembaga intelijen masih terkesan masih berjalan secara sendiri-sendiri. Maraknya gangguan keamanan yang terjadi akhir-akhir ini, seperti peristiwa Cebongan, Cikeusik, Pasuruan, penembakan anggota Polisi, teror bom dan sebagainya, merupakan indikasi fungsi intelijen tidak berjalan dengan baik. Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2013 tentang Koordinasi Intelijen Negara, masih mengandung kelemahan terutama terkait dengan mekanisme koordinasi. Dengan rapat koordinasi dilaksanakan sebulan sekali dan pelaporan setiap enam bulan, dikhawatirkan relevansi dan ketepatan waktunya kurang valid. Bekenaan dengan hal ini, mekanisme koordinasi seharusnya didukung system data sharing yang memadai. Selain masalah koordinasi, di bidang kontra intelijen permasalahan utama yang dihadapi adalah security awareness dari pejabat publik yang masih rendah, payung hukum persandian yang belum kuat, kualitas dan kuantitas peralatan sandi belum ideal, serta sumber daya Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2015 | BIDANG PERTAHANAN DAN KEAMANAN 7-9 manusia persandian yang belum mencukupi. Untuk peralatan sandi yang berbasis suara dari kebutuhan 12.598 unit baru terpenuhi sebanyak 4.406 unit, dan untuk peralatan sandi berbasis data dari kebutuhan 10.664 unit baru terpenuhi sebanyak 2.598 unit. Sementara itu untuk sumber daya manusia persandian diperlukan paling tidak 360 orang lulusan STSN dan 1.500 orang lulusan diklat persandian.

7.1.5 Gangguan

keamanan dan pelanggaran hukum laut dan di wilayah perbatasan darat Pembangunan bidang pertahanan dan keamanan telah menyentuh wilayah perbatasan dan pulau terluar. Capaian pentingnya adalah terbangunnya pos-pos pengamanan perbatasan dan tergelarnya pasukan TNI secara terbatas di pos-pos perbatasan maupun di pulau-pulau kecil terluar dalam rangka menjamin kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa. Pengamanan terhadap pulau kecil terluar dilaksanakan dengan membangun dan meningkatkan kondisi pos di P. Berhala, P. Nipah, P. Laut, P. Enggano, P. Karimata, P. Serutu, P. Maratua, P. Derawan, P. Sebatik, P. Miangas, P. Marore, P. Marampit, P. Batek. P. Mangudu, P. Dana Kep. Rote, P. Dana Kep. Sabu, P. Lirang, P. Wetar, P. Kisar, P. Marotai, P. Fani, P. Bras, P. Rondo, P. Nasi, P. Bengkaru, dan P. Haloban. Sedangkan dalam rangka pengamanan perbatasan darat di Kalimantan Indonesia-Malaysia, perbatasan di Papua Indonesia-Papua NuginiePNG, dan perbatasan Nusa Tenggaran Timur Indonesia-Timor Leste, saat ini telah menggunakan standar internasional Custom, Immigration, Quarantine And Security System CIQS. Secara total, sampai dengan tahun 2013 telah terbangun 25 pos perbatasan darat. Indonesia mempunyai perbatasan laut yang memiliki dimensi ekonomi, sejarah, politik, dan hukum yang berbeda dari perbatasan darat. Dalam perspektif geostrategis, perbatasan laut memiliki peran penting bagi penguasaan dan pemanfaatan potensi laut: potensi sumber daya yang dapat diperbaharui, potensi sumber daya tidak dapat diperbaharui, potensi sumber energi, maupun potensi strategis. Potensi- potensi yang dimiliki perbatasan laut inilah yang mengundang potensi konflik maritim. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memang tidak terlibat secara langsung di dalam konflik Laut China Selatan, namun hal tersebut secara langsung dapat mempengaruhi geopolitik Indonesia. Klaim teritorial China yang disebut nine-dotted line, yaitu garis demarkasi yang digunakan China dan Taiwan untuk menunjuk klaim mereka di Laut China Selatan, menjangkau dan tumpang tindih dengan ZEE Indonesia di Laut Natuna. Dilihat dari segi hukum 7-10 | Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2015 BIDANG PERTAHANAN DAN KEAMANAN internasional, peta Laut China Selatan yang dibuat oleh Cina tersebut bertentangan dengan ketentuan dalam UNCLOS 1982. Nine-dotted line telah diprotes tidak hanya oleh Indonesia, namun juga Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Secara umum kecenderungan pelanggaran hukum di laut mengalami penurunan. Namun demikian, permasalahan regulasi dan institusi membuat pengelolaannya belum optimal. Secara regulasi, pengelolaan laut belum dilaksanakan dalam satu koridor regulasi yang komprehensif dan konsisten. Pada saat ini ada 13 KementerianLembaga KL penegak hukum di laut dengan kewenangan yang berbeda-beda. Dari ke-13 KL tersebut hanya TNI AL, Polri Dit Polair, Kementerian Perhubungan Ditjen Hubla, Kementerian Kelautan dan Perikanan Ditjen PSDKP, Kementerian Keuangan Ditjen Bea Cukai, dan Bakorkamla yang memiliki Satuan Tugas Patroli di laut dengan jumlah total kapal patroli sebanyak 923 kapal. Jumlah ini cukup besar, namun pengoperasiannya masih berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan tupoksi masing-masing lembaga. Bakorkamla yang sesuai dengan tupoksi sebagai koordinator keamanan laut hanya memiliki 9 kapal patroli. Dalam mekanisme koordinasi, kondisi ini kurang optimal karena permasalahan ego sektoral belum sepenuhnya terselesaikan. Ke depan, penguatan Bakorkamla menjadi lembaga yang lebih operasional dengan dukungan sarana dan prasarana yang memadai perlu dilaksanakan agar permasalahan keselamatan dan keamanan di laut dapat diatasi secara optimal. Sasaran pembangunan pos pertahanan di wilayah perbatasan pada RPJMN 2010 – 2014 adalah terbangunnya 106 pos pertahanan baru menjadi 295 pos pertahanan dari 395 pos pertahanan yang dibutuhkan, serta terbangunnya pos pertahanan baru di 11 pulau terdepan terluar dan memantapkan pos pertahanan di 12 pulau terdepan terluar beserta penggelaran prajuritnya. Untuk pos perbatasan darat dengan jumlah awal sebanyak 189 pos pertahanan dan dibandingkan dengan jumlah sampai dengan 2013 yang hanya 200 pos pertahanan, maka secara riil hanya menambah 11 pos perbatasan, masih jauh dari sasaran yang ingin dibangun. Namun apabila memperhatikan status dan kondisi pos perbatasan yang ada, sangat dimungkinkan bahwa alokasi pembangunan tidak hanya untuk membangun pos pertahanan baru, tetapi digunakan untuk meng-upgrade kondisi darurat atau semi permanen menjadi permanen. Dengan demikian,