Permasalahan Sub Bidang Hukum

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2015 | BIDANG HUKUM DAN APARATUR 8-3 khusus menciptakan potensi tumpang tindih kewenangan dalam pelaksanaan proses penyidikan; b tahap penuntutan, kemungkinan terjadinya perbedaan penafsiran antara penyidik dan penuntut umum dalam menerapkan ketentuan pidana kepada tersangka menyebabkan seringnya terjadi bolak-balik berkas perkara antara Kejaksaan dan Kepolisian.; c tahap pelaksanaan putusan, belum diaturnya peran Lembaga Pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana secara memadai, khususnya dalam menjalin keterhubungan dengan sub sistem peradilan pidana lainnya. Permasalahan ketidaksinkronan maupun ketidakterpaduan di atas mengakibatkan degradasi konsep sistem peradilan pidana yang idealnya terpadu menjadi semata proses peradilan pidana. Padahal, suatu sistem, utamanya sistem peradilan pidana membutuhkan interkoneksi antar setiap instansi yang terkait. Oleh karenanya, dibutuhkan strategi untuk menguatkan mekanisme koordinasi sistem peradilan pidana secara umum; menguatkan fungsi koordinasi dan supervisi penanganan tindak pidana korupsi; serta mengoptimalkan forum komunikasi dan koordinasi antar lembaga penegak hukum. Selain itu, permasalahan lainnya sebagai penyebab belum optimalnya ketidakterpaduan dalam sistem peradilan pidana adalah belum terkoneksinya sistem teknologi informasi yang memuat tentang sistem komunikasi dan database yang terpadu dan terintegrasi pada masing-masing lembaga penegak hukum serta diantara lembaga penegak hukum. Selanjutnya, selain isu hukum acara terdapat juga isu dalam hukum pidana yang perlu segera direspon dan berdampak strategis terhadap distribusi keadilan dan berkontribusi dalam mengurangi overcrowding pada lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara. Batasan tindak pidana ringan tipiring dalam KUHP, yang meliputi pencurian ringan, penipuan ringan, penggelapan ringan, belum pernah disesuaikan kembali sejak keberlakuan Perpu No. 16 dan 18 Tahun 1960 padahal batasan tindak pidana ringan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini, yaitu tindak pidana yang nilai barang atau obyek pidana tak lebih dari Rp 250,00. Hal ini berimplikasi pada diberlakukannya pasal tindak pidana pencurian biasa yang diatur dalam Pasal 362 KUHP atas tindak pidana yang diatur dalam pasal 364 KUHP. Apabila dilakukan penyesuaian batasan tindak pidana ringan, maka kasus-kasus pencurian ringan, penggelapan ringan dan sejenisnya dapat ditangani secara proporsional dan terhadap tersangka atau 8-4 | RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2015 BIDANG HUKUM DAN APARATUR terdakwa tidak perlu dikenakan penahanan serta digunakannya acara pemeriksaan cepat yang tidak dapat diajukan upaya hukum tidak perlu upaya banding. Apabila dilakukan penyesuaian melalui Undang-Undang atau melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu, sebagaimana dilakukan di tahun 1960, maka akan berkontribusi pada pengurangan jumlah tahanan negara dan overcrowding di lapas yang sebagian juga terdiri dari tahanan titipan. Selain penyesuaian batasan tipiring, Perma No. 22012 ini juga mengatur pada penyesuaian denda pada berbagai Pasal di KUHP. Sebagai contoh adalah pasal 310 2 KUHP tentang pencemaran nama baik secara tertulis, dimana disebutkan bahwa ancaman pidana untuk kejahatan ini yaitu penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau denda Rp 4.500. Suatu jumlah yang sangat kecil yang tentunya tidak dapat menjadi alternatif yang dapat dipilih oleh Jaksa atau Hakim dalam menentukan dakwaan atau putusan. Hal ini hanya salah satu contoh kecil, namun secara umum denda tertinggi yang ada di KUHP saat ini hanyalah Rp 9.000,00, kecuali untuk pasal perjudian Pasal 303 dan Pasal 303 bis. Akibatnya hanya ada satu macam pemidanaan yang akan didakwakan oleh Jaksa dan atau akan dijatuhkan oleh Hakim yaitu pemenjaraan, yang lagi-lagi berdampak pada overcrowding di Lapas. Pada saat ini konsep restorative justice tengah coba dikembangkan, yang pertama kalinya melalui UU Sistem Peradilan Anak Nomor 11 Tahun 2012. Upaya mengefektifkan kembali hukuman denda akan menjadi salah satu jalan untuk mengembangkan alternatif pemidanaan di luar pemenjaraan. Dampak yang sama akan dirasakan dalam mengurangi overcrowding pada lembaga pemasyarakatan. Lebih jauh lagi akan mampu menekan anggaran negara untuk biaya operasional penegakan hukum, karena proses beracara singkat dan pengurangan jumlah anggaran untuk tahanan dan terpidana pada lembaga pemasyarakatan. Mahkamah Agung telah mencoba merespon hal ini melalui Perma Nomor 2 tahun 2011 yang mengatur penyesuaian batasan tipiring dan denda, namun Perma ini tidak efektif dalam pelaksanaannya karena tidak hanya mengikat hakim. Meskipun telah dilakukan MoU dengan Kepolisian dan Kejaksaan untuk melaksanakan Perma ini, namun mengingat materi dari pengaturan ini merupakan materi UU, maka lebih tepat dibentuk dalam revisi Undang-Undang KUHP, atau RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2015 | BIDANG HUKUM DAN APARATUR 8-5 Peraturan Pengganti Undang-Undang. Urgensi Perpu menjadi relevan apalagi mengingat urgensi dari ketentuan ini yang berdampak pada terus terjadinya ketidakadilan pada masyarakat dan berkontribusi pada overcrowding yang menjadi masalah mendesak yang perlu diselesaikan saat ini. Salah satu variabel penting lain yang menunjang tercapainya kualitas penegakan hukum adalah ketersediaan biaya operasional dalam proses penegakan hukum. Biaya penegakan hukum pidana antara lain meliputi biaya pencegahan, pengungkapan, penangkapan, dan penjatuhan sanksi pidana. Dalam realitanya masih terdapat perdebatan mengenai kecukupan atau ketidakcukupan dana operasional penegakan hukum. Di satu sisi terdapat kebutuhan untuk menambah dana operasional, namun sayangnya belum didasarkan pada argumentasi penghitungan beban kerja yang memadai. Keterpaduan dan kelengkapan informasi dan data pada lembaga penegak hukum diharapkan dapat secara bertahap membantu lembaga penegak hukum membangun argumentasi yang kuat untuk mendorong perencanaan dan penganggaran berbasis data kinerja. Permasalahan lainnya dalam mewujudkan sistem peradilan berkualitas di Indonesia adalah masih belum optimalnya sistem pengawasan baik internal dan eksternal pada instansi penegak hukum. Dengan adanya sistem pengawasan yang baik akan dapat meningkatkan kualitas penegakan hukum dan dapat mencegah adanya penyalahgunaan kewenangan dalam pelaksanaan penegakan hukum. Oleh karena itu diperlukan adanya peningkatan kualitas pengawasan internal dan penguatan kelembagaan yang memiliki fungsi pengawasan eksternal serta membangun kerjasama yang erat dalam pelaksanaan pengawasan tersebut. Selain membangun Sistem Peradilan Pidana Terpadu, pada RPJMN tahap III khususnya akan fokus pada penanganan anak yang berhadapan dengan hukum melalui optimalisasi dan percepatan pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UU No.112012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam membangun Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengedepankan prinsip diversi dan restorative justice, maka beberapa hal yang penting untuk dilakukan adalah melakukan penyusunan peraturan pelaksana UU SPPA, membangun sarana prasarana dan infrastruktur dalam pelaksanaan sistem peradilan anak, peningkatan kualitas SDM aparatur penegak hukum serta 8-6 | RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2015 BIDANG HUKUM DAN APARATUR pihak lainnya yang terkait dengan penanganan ABH Anak yang Berhadapan dengan Hukum serta membangun kerangka kerja dalam bentuk SOP pelaksanaan sistem diversi dan keadilan restoratif restorative justice yang dapat menjadi panduan dan pedoman bagi seluruh pihak yang terkait. Dalam upaya peningkatan daya saing, selain dari sisi pembenahan sistem peradilan pidana, juga dilakukan pembenahan dalam sistem penyelesaian sengketa perdata. Berdasarkan hasil penelitian mengenai kemudahan berbisnis di Indonesia ease of doing business, salah satu permasalahan yang dihadapi dalam sengketa terkait kontrak bisnis adalah tidak efisiennya penyelesaian sengketa pada pengadilan tingkat pertama. Hal ini ditandai oleh jangka waktu yang lama rata-rata 498 hari, biaya perkara yang tinggi rata-rata 139,4 biaya klaim, serta prosedur yang berbelit-belit rata- rata 40 prosedur. Di sisi lain banyaknya jumlah perkara perdata termasuk di dalamnya sengketa kontrak bisnis yang diajukan ke pengadilan mencapai ratusan ribu perkara di setiap tahunnya. Melalui pelaksanaan reformasi sistem hukum perdata diharapkan dapat lebih meningkatkan kepastian hukum dalam dunia usaha dan untuk mendongkrak pelaksanaan investasi dan bisnis di Indonesia terutama untuk Unit Usaha Kecil Menengah. Mahkamah Agung dalam hal ini dapat menjadi pendorong pelaksanaan sidang dengan nilai terbatas small claim procedure ke dalam proses peradilan terhadap sengketa bisnis, sehingga kepastian hukum akan dapat mendukung iklim usaha nasional. Small claim procedure juga sangat bermanfaat bagi masyarakat untuk menyelesaikan perkara perdata keseharian yang pada umumnya memiliki nilai sengketa yang relatif kecil small claim dan pembuktian sederhana. Dengan demikian muncul insentif bagi masyarakat untuk menggunakan pengadilan sebagai mekanisme penyelesaian sengketa akan semakin meningkat. Penguatan lembaga mediasi di pengadilan juga merupakan hal penting untuk dilakukan sebagai salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak untuk menemukan penyelesaian perkara dengan cara yang lebih memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Pada saat ini mediasi telah dilaksanakan secara terintegrasi dengan proses ajudikasi perdata sebagai bentuk kewajiban bagi para pihak. Namun demikian tingkat keberhasilan mediasi ternyata masih sangat kecil. Oleh karena itu perlu disusun mekanisme untuk RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2015 | BIDANG HUKUM DAN APARATUR 8-7 meningkatkan efektifitas dan keberhasilan mediasi, sehingga mediasi menjadi alternatif yang menarik bagi pencari keadilan, antara lain dengan meningkatkan kapasitas mediator dan peran hakim sebagai mediator. Pelaksanaan mediasi juga akan mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian sesuai dengan hukum acara yang berlaku pasal 130 HIR dan 154 RBg yang diintegrasikan dalam proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di pengadilan. Di samping persoalan mekanisme peradilan, kualitas SDM merupakan penentu utama keberhasilan pembangunan hukum secara terpadu. Oleh karenanya, kualitas SDM perlu menjadi prioritas pembenahan dalam mewujudkan sistem peradilan di Indonesia. Membangun sistem pengelolaan SDM berbasis kompetensi merupakan hal penting dalam kerangka penguatan SDM pada lembaga penegak hukum. Pengelolaan SDM berbasis kompetensi merupakan suatu siklus terintegrasi mulai dari pembentukan profil kompetensi yang kemudian menjadi dasar bagi reformasi sistem rekrutmen, penempatan, pembinaan dan pendidikan latihan, penilaian kinerja dan pemberian kompensasi remunerasi. Hal ini sejalan dengan reformasi birokrasi yang saat ini juga tengah dilaksanakan oleh lembaga-lembaga penegak hukum. Pemberian remunerasi aparat penegak hukum dan aparat lainnya di lembaga penegak hukum, sampai dengan saat ini sudah diberikan secara bertahap, dengan tujuan untuk mendorong kualitas kinerja aparat penegak hukum dan pegawai di lembaga penegak hukum. Diharapkan pelaksanaan remunerasi dilaksanakan seiring dengan perbaikan kualitas kinerja penegakan hukum yang komprehensif, meliputi perbaikan mekanisme promosi dan mutasi aparat penegak hukum; sistem rekrutmen yang dilakukan secara transparan dan adanya pengawasan secara efektif. Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Sejak awal reformasi, pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan korupsi telah menjadi prioritas pemerintah dalam upaya meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik good governance. Berbagai upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi terus ditingkatkan oleh pemerintah. Salah satu capaian yang menggambarkan pelaksanaan pemberantasan korupsi adalah meningkatnya nilai Indeks Persepsi Korupsi IPK dari tahun ke tahun meskipun dalam pelaksanaannya masih membutuhkan upaya yang luar biasa untuk memberantas korupsi di seluruh aspek pembangunan. 8-8 | RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2015 BIDANG HUKUM DAN APARATUR Namun demikian, skor IPK Indonesia tersebut masih meleset dari target Pemerintah yang menargetkan Indonesia untuk mencapai skor IPK 3,5 pada tahun 2012. Terlebih lagi, jika melihat bahwa skor Indonesia masih sangat jauh dari skor ideal yakni 10 negara terbersih. Sehingga, Indonesia masih perlu meningkatkan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di masa mendatang. Dari sisi penanganan perkara korupsi, berbagai upaya telah dilakukan oleh aparat penegak hukum. Beberapa upaya yang telah dilakukan adalah adanya perkembangan dalam penanganan perkara korupsi yang tidak hanya fokus pada perkara dalam skala kecil tetapi juga dalam skala besar. Hal tersebut dapat dilihat dari tren kemajuan penanganan perkara korupsi yang ditangani oleh lembaga penegak hukum. Kemudian untuk memperkuat koordinasi diantara lembaga penegak hukum dalam proses penanganan perkara korupsi telah disusun Peraturan Bersama Penegak Hukum Criminal Justice System antara Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian RI No. 151KMASKBIX2011; No. M.HH-08.HM.03.02 Th. 2011; No. KEP-215AJA092011; B24IX2011 tentang Koordinasi Antar Aparat Penegak Hukum dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, pada prakteknya masih ditemui kendala dalam penanganan perkara korupsi. TABEL 8.1 PENANGANAN PERKARA KORUPSI OLEH KEJAKSAAN RI TAHUN 2010-2013 No Kegiatan Satuan Jumlah Perkara 2010 2011 2012 2013 1 Penyidikan Perkara 2.315 1.729 1.401 1.603 2 Penuntutan Perkara 1.706 1.499 1.511 2.023 Sumber : Kejaksaan RI RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2015 | BIDANG HUKUM DAN APARATUR 8-9 TABEL 8.2 PENANGANAN KASUS KORUPSI OLEH KPK TAHUN 2010-2013 No Kegiatan Satuan 2010 2011 2012 2013 2014 1 Penyelidikan Kasus 54 78 77 81 19 2 Penyidikan Perkara 40 39 48 70 12 3 Penuntutan Perkara 32 40 36 41 13 4 Inckracht Perkara 34 34 28 40 3 5 Eksekusi Perkara 36 35 32 44 13 Sumber: ACCH KPK Data sampai dengan bulan Maret 2014 Berbagai upaya di bidang pencegahan yang telah dilakukan oleh Pemerintah adalah melalui upaya peningkatan program pendidikan dan budaya anti korupsi untuk meningkatkan integritas aparatur pemerintah baik di tingkat pusat dan daerah. Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan Stranas PPK khususnya tentang strategi pendidikan dan budaya anti korupsi, telah menunjukkan hasil yang memuaskan dari tahun ke tahun. Berbagai kerjasama dalam pelaksanaan pendidikan dan budaya anti korupsi telah banyak dilakukan baik itu di tingkat sekolah serta di KL baik pusat dan daerah. Di samping itu, telah dilakukan terobosan penting dalam upaya mensinergikan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi baik di tingkat pusat maupun daerah adalah dengan dirumuskannya Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi disingkat Stranas PPK melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 tentang Stranas PPK Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014. Melalui Stranas PPK, dilakukan penyusunan aksi PPK setiap tahun yang mencerminkan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi baik di tingkat pusat maupun daerah. Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan Stranas PPK khususnya untuk Aksi PPK Tahun 2013 menunjukkan bahwa terdapat capaian memuaskan yang signifikan oleh KementerianLembaga terkait strategi pencegahan dan pendidikan budaya anti korupsi. Namun di 8-10 | RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2015 BIDANG HUKUM DAN APARATUR sisi lain, terdapat pula capaian mengecewakan pada strategi pencegahan, penegakan hukum, kerjasama internasional dan penyelamatan aset, pendidikan dan budaya anti korupsi, serta mekanisme pelaporan. Dengan demikian, dalam pelaksanaan RPJMN tahap III perlu diadakan peningkatan baik dari segi peningkatan kualitas aksi PPK KL per tahun, maupun pelaksanaan monitoring, evaluasi serta pelaporan Stranas PPK. Selain beberapa kemajuan tersebut, masih terdapat beberapa kendala dalam penanganan perkara korupsi yaitu masih adanya permasalahan dari aspek regulasi dimana masih terdapat ketidakharmonisan beberapa peraturan perundang- undangan di bidang korupsi dan beberapa ketentuan UNCAC yang belum diakomodir dalam peraturan perundang- undangan dan sistem hukum nasional. Kendala ini secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan permasalahan dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Antara lain belum optimalnya penanganan pengembalian, penanganan, dan pemeliharaan aset hasil tindak pidana korupsi baik di dalam maupun di luar negeri. Berbagai permasalahan ini mengakibatkan minimnya pemulihan keuangan negara yang dikorupsi, sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat Indonesia secara luas. Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan HAM Pembangunan hukum di bidang HAM merupakan hal yang sangat penting mengingat bahwa isu HAM merupakan isu yang terkait masalah internasional dan domestik intermestik. Kesenjangan perspektif terhadap HAM masih menjadi tantangan ke depan, terlebih dalam melaksanakan prinsip universalitas yang berbenturan dengan kondisi, situasi, dan budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain, Indonesia sebagai negara anggota berbagai konvensi terkait HAM telah membangun pola hubungan politik luar negeri bebas dan aktif secara unik dan progresif dengan negara-negara lainnya. Meskipun sudah banyak kemajuan tetapi masih ada catatan- catatan penting yang perlu ditindaklanjuti untuk menjawab tantangan diplomasi Pemerintah Indonesia di lingkungan global. Politik diplomasi luar negeri perlu diimbangi dengan kondisi HAM di dalam negeri yang lebih kondusif. Tantangan Indonesia ke depan adalah meningkatkan posisi tawar Indonesia pada isu-isu terkait HAM global, regional, dan nasional. RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2015 | BIDANG HUKUM DAN APARATUR 8-11 Penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM merupakan tanggung jawab negara, sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Dasar dari pelaksanaan tanggung jawab tersebut adalah peraturan perundang-undangan. Namun dari segi kualitas, masih banyak peraturan perundang-undangan, baik pusat maupun daerah, yang tidak harmonis dan belum berperspektif HAM. Baik hak-hak dasar yang tercantum dalam UUD 1945 dan sekian banyak hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari ratifikasi konvensi internasional HAM, belum dijabarkan dan dilaksanakan secara optimal oleh negara. Substansi dari pelaksanaan hak-hak dasar, tindak lanjut dari hak dan kewajiban ratifikasi, serta parameter HAM yang sesuai dengan konteks Indonesia, belum diwujudkan dalam suatu kerangka kebijakan pembangunan HAM yang komprehensif, terutama terkait peraturan perundang-undangan. Salah satu kelemahan Pemerintah dalam melakukan harmonisasi adalah belum banyak dilakukan kajian analisis kesenjangan gap analysis tentang peraturan perundang-undangan di Indonesia dengan konvensi internasional, maupun konstitusi. Dengan demikian, strategi Pemerintah perlu difokuskan untuk melakukan pemetaan kesenjangan secara menyeluruh terhadap seluruh ketentuan konstitusi maupun konvensi HAM internasional yang telah diratifikasi. Hasil dari pemetaan kesenjangan ini diharapkan mampu menjadi panduan bagi penyusun kebijakan dalam melakukan harmonisasi. Di era negara demokrasi seperti saat ini, Pemerintah dituntut bekerja lebih transparan dan akuntabel. Demikian juga dalam hal pelaksanaan kinerja Pemerintah terutama dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kritik dan pengaduan terhadap kinerja Pemerintah dari tahun ke tahun terus meningkat. Hal ini merupakan pertanda bahwa masyarakat mempunyai tuntutan yang tinggi dalam memperoleh pelayanan dari Pemerintah. Di samping itu, perlu adanya respon yang positif terhadap meningkatnya sejumlah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum aparat Pemerintah, korporasi maupun sesama anggota masyarakat, dimana pelanggaran HAM rentan terjadi di ranah publik maupun di ranah privat. Oleh karena itu, diperlukan adanya pemantauan dan evaluasi secara menyeluruh untuk melihat kembali sejauhmana pelaksanaan tanggung jawab Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dalam upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM, bila disandingkan dengan jumlah pengaduan 8-12 | RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2015 BIDANG HUKUM DAN APARATUR pelanggaran HAM yang setiap tahunnya terus meningkat. Pemantauan dan evaluasi dari penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM tidak hanya semata-mata untuk menjawab tuntutan dunia internasional, tetapi karena negara harus mempertanggungjawabkan kelembagaan dan mekanisme yang sudah dibentuk dalam rangka tanggung jawabnya. GAMBAR 8.1 STATISTIK PENGADUAN PELANGGARAN HAM TAHUN 2008-2012 Sumber: Komnas HAM, 2013. Penanganan dan pengelolaan pengaduan pelanggaran HAM di tahun 2015 akan menjadi salah satu fokus dimana koordinasi penegakan HAM atas rekomendasi-rekomendasi pelanggaran HAM ditindaklanjuti secara maksimal. Kerjasama diantara aparat penegak hukum perlu dilaksanakan sehingga pelanggaran HAM yang terjadi di masyarakat dapat diminimalisir. Di sisi lain, pelaksanaan mediasi perlu didorong untuk mencegah konflik-konflik sosial yang berkepanjangan dan meluas di masyarakat. Salah satu bentuk pemenuhan HAM terkait hak atas keadilan adalah pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Sasaran masyakarat miskin merupakan komitmen internasional dan nasional dalam rangka pengentasan kemiskinan yang komprehensif. Masyarakat miskin merupakan golongan masyarakat yang paling tidak berdaya untuk mengakses hak-hak dasarnya karena kendala ekonomi. Kebijakan bantuan hukum bagi masyarakat miskin semakin dikukuhkan melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Namun, pelaksanaan 4.843 5.853 6.437 6.358 6.284 2008 2009 2010 2011 2012 RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2015 | BIDANG HUKUM DAN APARATUR 8-13 pemberian bantuan hukum belum berjalan optimal dikarenakan beberapa keterbatasan baik dalam hal pengelolaan, kapasitas Pemberi Bantuan Hukum dan dukungan institusi lainnya dalam pengelolaan bantuan hukum secara nasional. Di tahun 2015 yang merupakan tahun ke-3 pelaksanaan bantuan hukum perlu difokuskan ke arah penguatan institusi penyelenggara bantuan hukum, penguatan kapasitas Pemberi Bantuan Hukum dan masyarakat penerima beneficiaries empowerment dan pelibatan pemangku kepentingan lainnya dalam pelaksanaan bantuan hukum secara nasional. Upaya negara dalam melakukan penghormatan dan perlindungan HAM juga menghadapi tantangan, khususnya terkait penanganan kekerasan terhadap perempuan. Dengan adanya komitmen Pemerintah baik internasional dan nasional, berbagai bentuk peraturan perundang-undangan dan kelembagaan sudah dilaksanakan untuk menjawab permasalahan ini. Namun secara faktual, angka yang menunjukkan praktek kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat, dan merupakan fenomena gunung es. Hal ini berarti masih sangat banyak perempuan korban yang tidak mampu dan tidak berani menceritakan pengalaman kekerasannya, apalagi mendatangi lembaga penyedia layanan untuk meminta pertolongan. Kondisi ini menunjukkan bahwa secara umum penyusunan kebijakan dan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah belum efektif menangani tindak kekerasan terhadap perempuan. Sehingga, dibutuhkan peningkatan upaya penanganan hukum terhadap segala bentuk kekerasan terhadap perempuan maupun peningkatan perlindungan perempuan korban kekerasan. Peningkatan penanganan hukum terhadap bentuk kekerasan terhadap perempuan dapat difokuskan kepada optimalisasi penanganan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan SPPT-PKKTP. Sedangkan untuk peningkatan perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan yang baru mencapai angka 25 sebagaimana diberikan kepada pusat-pusat pelayanan seperti rumah sakit, puskesmas, Women Crisis Center, Rumah Perlindungan Trauma Center RPTC, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak P2TP2A, Rumah Aman, dan lembaga yang sejenisnya perlu ditingkatkan agar upaya pemulihan dan perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan dapat dilaksanakan dengan optimal. 8-14 | RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2015 BIDANG HUKUM DAN APARATUR GAMBAR 8.2 STATISTIK JUMLAH KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Sumber: Komnas Perempuan, 2013. Maraknya kasus pelanggaran HAM antara lain disebabkan oleh belum memadainya pemahaman HAM yang dimiliki oleh sebagian besar penyelenggara negara, terutama aparat penegak hukum. Hal ini dapat dilihat pada cukup tingginya jumlah pengaduan terkait pihak Kepolisian, Peradilan, dan Kejaksaan maupun pihak Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai pihak pelanggar HAM. Selain itu, tantangan mengenai rendahnya kesadaran masyarakat masyarakat HAM, tidak hanya merupakan beban negara saja, melainkan merupakan tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan. Salah satu peran yang dapat diambil oleh negara adalah terkait potensi kebijakan penelitian, pengkajian dan kerjasama HAM, dengan kelembagaan dan mekanisme tertentu. Keberlanjutan atas kebijakan, kajian dan kerjasama HAM perlu ditingkatkan dengan inovasi pola advokasi bagi pembuat kebijakan dan di dalam tahap pelaksanaan, disamping upaya pendampingan dan pengawasan antara lain oleh masyarakat.

8.1.2 Sasaran Sub

Bidang Hukum Tahun 2015 Sasaran pembangunan di bidang hukum dalam mendukung pencapaian sasaran pembangunan nasional meliputi a menciptakan penegakan hukum yang berkualitas dan berkeadilan; b meningkatkan kontribusi hukum untuk peningkatan daya saing ekonomi bangsa; dan c meningkatkan kesadaran hukum di segala bidang. 14.020 20.391 22.512 25.522 54.425 143.586 105.103 119.107 216.156 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2015 | BIDANG HUKUM DAN APARATUR 8-15 8.1.3 Arah Kebijakan dan Strategi Pembangunan Tahun 2015 Pada RKP tahun 2015 yang merupakan tahun pertama dalam pelaksanan RPJMN Tahap III 2015-2019 akan fokus kepada pencapaian sasaran utama, yaitu meningkatkan daya saing perekonomian berdasarkan sumber daya alam, sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pencapaian sasaran utama tersebut, telah disusun tiga arah kebijakan dan beberapa strategi yang dilakukan dalam rencana pembangunan hukum dan HAM sebagai berikut :

1. Peningkatan kualitas penegakan hukum

Upaya untuk meningkatkan kualitas penegakan hukum dilaksanakan melalui strategi : a. Peningkatan keterpaduan dalam sistem peradilan pidana, dilakukan melalui beberapa strategi yaitu: i Percepatan harmonisasi baik hukum acara maupun hukum materi, baik yang terdapat dalam KUHP dan KUHAP dengan peraturan perundang-undangan lainnya; ii Meningkatkan kualitas sistem teknologi dan informasi penanganan perkara di masing- masing lembaga penegak hukum dan membangun sistem informasi yang terpadu dan terintegrasi diantara lembaga penegak hukum sehingga dapat menciptakan database yang terintegrasi dan dapat digunakan bersama oleh lembaga penegak hukum; iii Membangun pendidikan dan pelatihan terpadu aparatur penegak hukum untuk menciptakan kesamaan pemahaman diantara aparat penegak hukum khususnya dalam penanganan perkara-perkara pidana yang menarik perhatian publik thematic seperti korupsi, penanganan Tindak Pidana