Konsep Partisipasi Pemilu KERANGKA KONSEPSUAL

875 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Pemilu dan Parlemen pemerintah yang ditujukan untuk wilayah geografis tertentu” pork barrel projects. Bentuk lain dari politik uang model Aspinall dan Sukmajati adalah: “kandidat memberikan pembayaran kepada anggota-anggota tim sukses dan menyediakan keuntungan-keuntungan lain yang sifatnya lebih klientelistik dan lebih berkesinambungan, seperti memberikan pekerjaan atau bantuan untuk mendapatkan alokasi proyek-proyek pemerintah. Selain itu, Aspinall dan Sukmajati pula menjelaskan istilah politik uang vote- buying dengan istilah yang lebih luas yaitu retail vote buying “kandidat menginvestasikan uang mereka untuk membeli suara kepada pemilih secara individual”. Atau membeli suara dari anggota penyelenggara pemilu, misalnya dengan menukar perolehan suara kandidat dari partai politik yang sama kulakan suara atau wholesale vote buying. Berdasarkan dengan kenyataan di atas, maka konsep ketiga yang dirujuk dalam tulisan ini adalah konsep politik uang money politics yang sering dikacaukan dengan konsep uang politik political money atau pembiayaan politik political finance seperti pernah dibahas oleh Ward 2003. Uang politik atau pembiayaan politik berkaitan dengan biaya-biaya yang dibutuhkan untuk misalnya membiayai kegiatan kampanye, operasional partai, sosialisasi melalui media massa, dan pengeluaran yang bersifat legal berdasarkan peraturan yang ada Dagan 2008; Ohman dan Zainulbhai 2009. Sebetulnya istilah politik uang money politics tidak dikenal dalam khazanah ilmu politik. Politik uang adalah istilah khas Indonesia untuk menggambarkan gejala politik serba uang dalam pelaksanaan pemilihan umum. Menurut Ali Nurdin 2014, politik uang mengacu kepada perilaku para pemilih yang diduga lebih mempertimbangkan tawaran uang kontan atau materi lainnya agar bersedia memilih calon tertentu, ketimbang melihat indikator-indikator lain seperti kredibilitas kandidat, kepribadian, serta pengalamannya dalam menduduki jabatan politik. Istilah politik uang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi money politics, suatu istilah yang sebenarnya tidak dikenal dalam pustaka politik di luar Indonesia. Konsep yang biasa digunakan dalam khazanah ilmu politik di Barat untuk menjelaskan gejala politik uang seperti terjadi di Indonesia adalah vote buying yang berarti pembelian suara. Istilah lain yang biasa digunakan untuk vote buying adalah compra de votos Spanyol, achat de voix Perancis, dan stimmenkauf Jerman Schaffer dalam Ali Nurdin, 2014. Dalam konteks Indonesia, Supriyanto 2005 misalnya memberikan dua pengertian mengenai politik uang. Pengertian yang pertama mengacu kepada praktik politik uang secara umum, yang disebutnya sebagai “pertukaran uang dengan posisi atau kebijakan atau keputusan politik”. Pengertian yang kedua mengacu kepada praktik politik uang yang lebih khusus, yaitu “pembelian suara langsung kepada pemilih, bentuknya berupa pemberian ongkos transportasi kampanye, janji membagi uangbarang, pembagian sembako atau semen untuk membangun tempat ibadah, ‘serangan fajar’, dan lain-lain”. Dari pengertian ini dapat dikategorisasikan bahwa vote buying sekurang kurangnya mencakup pelaku aktor, jenis-jenis vote buying berupa barang atau jasa yang dipertukarkan, dan spektrum persebarannya apakah luas atau terbatas. Dalam konteks pemilu, pelaku politik uang atau vote buying dapat melibatkan sedikitnya lima pihak yang memiliki kepentingan berbeda, yaitu pemilih, kandidat pemilu, partai politik, penyelenggara pemilu, dan penyandang dana pengusaha atau donor. Tetapi bagaimanapun sejauh ini belum ada kesepakatan di antara para ilmuwan politik mengenai hubungan politik uang dengan perilaku memilih. Menurut Kramon 2009 seperti dikutip Nurdin 2014 sejauh ini belum ada kesimpulan yang meyakinkan bahwa vote-buying memiliki pengaruh nyata terhadap perilaku memilih. Menurut Nurdin penelitian fenomena vote buying di Kenya, mempertanyakan apakah politik uang memengaruhi perilaku politik, terutama dalam konteks pemilihan umum yang rahasia dan bersifat sukarela, mengingat hanya sedikit teori yang memiliki pandangan sama tentang hal tersebut. Kramon 2009 misalnya mengatakan bahwa: “There is little theoretical convergence regarding the relationship of vote buying to voting behavior, partaicularly in the context of the secret ballot and voluntary voting. Does vote buying influence the political behavior of potential voters? And if so, why?” Kramon dalam Ali Nurdin, 2014. Dalam penelitian di Afrika Barat tersebut, pendidikan politik diduga sebagai faktor yang menentukan terhadap efektif tidaknya politik uang dalam memengaruhi preferensi pemilih. Semakin gencar kampanye masyarakat 876 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Pemilu dan Parlemen untuk meningkatkan kesadaran politik pemilih, maka tingkat efektivitas politik uang untuk mengubah perilaku memilih akan semakin lemah. Sebaliknya di tempat kesadaran politik masyarakatnya masih rendah, politik uang dapat menjadi alat yang efektif untuk mengubah preferensi dan pilihan politik pemilih.

3. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian yang dirujuk dalam tulisan ini adalah paduan metode kuantitatif dan metode kualitatif. Teknik sampel yang digunakan adalah teknik probability sampling. Maksudnya adalah bahwa seluruh unsur populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel. Dalam penelitian ini cara pemilihan sampel dilakukan secara acak random. Demikian pula dengan jumlah sampel minimum, dihitung secara matematis berdasarkan probabilitas sehingga hasil penelitian ini dapat menggambarkan kondisi populasi sesungguhnya yang akurat. Teknik yang digunakan adalah berdasarkan metode Slovin Sevilla et. al., 1960:182. Berdasarkan metode Slovin ini diketahui jumlah polulasi berdasarkan Daftar Pemilih Tetap DPT akhir Pemilu Legislatif 2014 sebanyak 325,997 149 orang dengan batas tolerasi 0,05, maka diperoleh jumlah sampel sebanyak 398 orang atau dibulatkan mejadi 400 orang. Karena penelitian ini akan memetakan partisipasi masyarakat di semua Kecamatan dan Nagari maka ditetapkan semua Kecamatan dan Nagari sebagai desa nagari sampel. Pada masing-masing desanagari kemudian ditetapkan jumlah responden dengan menggunakan teknik sampel acak bersistem systematic random sampling secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk di Kecamatan dan Nagari. Melalui metode di atas maka diperoleh kerangka sampel Kabupaten Pesisir Selatan. Untuk menetapkan Rumah Tangga Sampel maka jumlah sampel yang telah ditetapkan untuk tiap-tiap KecamatanNagari dibagi dengan jumlah Jorong yang terpilih secara acak sistematik. Kemudian untuk menentukan responden yang akan diwawancarai di dalam rumah tangga dilakukan proses pemilihan secara obyektif dengan mengacu Kish Grid yang ada pada kuesioner. Adapun lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar di bawah ini: 149. Berdasarkan dokumen KPU Kabupaten Pesisir Selatan, jumlah DPT pada Pileg 2014 adalah 323,149 orang, sedangkan untuk Pilpres 2014 adalah 325,997 orang. Jumlah voter turnout Pileg 2014 adalah 238,193 orang 73,71 dan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih dalam Pileg 2014 adalah 84,196 26,29, sedangkan jumlah voter turnout dalam Pilpres 2014 adalah 206,888 orang 63 dan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih dalam Pilpres 2014 adalah 119,109 orang 37. Berdasarkan data ini yang dijadikan populasi adalah jumlah DPT Piplres mengingat data ini merupakan data terbaru dari KPU Kabupaten Pesisir Selatan.