550
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Politik Lokal
juga melibatkan asistensi dari UNDP dalam pengembangan indikator dan kuesionernya, tapi sejak tahun 2010 UNDP hanya memberikan dukungan teknis dalam penyelenggaraan survei rutin tahunan IDI. Klaim kepemilikan
ini bermakna politis agar IDI tidak dipandang sebagai produk lembaga donor. Dengan menegaskan bahwa IDI adalah milik Indonesia, maka klaim bahwa indikator-indikator demokrasi tersebut sudah relevan dengan kekhasan
Indonesia juga dapat diperkuat. Ada keinginan untuk membuktikan bahwa praktik demokrasi di Indonesia adalah praktik yang khas, tapi kekhasan ini juga dapat digeneralisasikan dalam bentuk indeks. Keinginan ini menarik
karena makna politis dari keberadaan IDI menjadi lebih dari sekedar tersedianya ukuran yang objektif seperti diungkapkan pada awal penyusunan IDI, tapi juga kepentingan untuk membentuk pengetahuan baru tentang
demokrasi modern di Indonesia pasca-Reformasi.
Survei IDI 2011 mengambil tema “Demokrasi Indonesia: Ledakan Tuntutan Publik vs Inersia Politik”. Inersia politik yang dimaksud adalah praktik politik yang tidak disertai oleh proses, fungsi, dan kapasitas lembaga
yang mampu untuk mengakomodasi, menindaklanjuti, dan memenuhi tuntutan publik yang sah Rauf, dkk., 2013: x. Selain kesenjangan antara menguatnya tuntutan publik dan kinerja lembaga-lembaga politik untuk
menjawabnya, Survei IDI 2011 juga mengidentifikasi kesenjangan capaian demokrasi antarprovinsi Rauf, dkk., 2013: 68. Kondisi ini memunculkan medan wacana baru bahwa demokrasi adalah proses yang dinamis yang
memerlukan upaya-upaya riil untuk mempertahankan kondisi demokratis tersebut. Analisis yang disampaikan oleh Panel Ahli dalam laporan-laporan IDI selama tahun 2009-2011 menguatkan pengetahuan tersebut dengan
menggunakan angka-angka indeks sebagai pembentuk klaim kebenaran.
Produksi pengetahuan tentang upaya-upaya mempertahankan demokrasi menjadi penting demi menjamin agar demokrasi tetap berjalan di jalur yang benar Rauf, dkk., 2013: 70. Secara eksplisit, ini ditegaskan dalam
pernyataan sebagai berikut:
«...Bagi negara demokrasi baru yang paling penting adalah memastikan bahwa demokrasi tetap dalam lintasan jalan trajektori menuju keadaan yang lebih baik dan tidak tenggelam dalam stagnasi apalagi justru kembali ke arah yang tidak demokratik.
Untuk itu diperlukan ketajaman dalam memahami dan konsistensi dalam merawat faktor kultural, institusional, dan politik yang menentukan naik dan turunnya kualitas demokrasi”. Rauf, dkk., 2013: 70.
Kepentingan utama dari IDI adalah mengarahkan jalannya perkembangan demokrasi di Indonesia demi menjamin agar otoritarian tidak kembali lagi. Sebagai sebuah dokumen Laporan, Indeks Demokrasi Indonesia IDI
telah dimanfaatkan secara resmi oleh Bappenas, dalam menetapkan target pembangunan nasional bidang politik pada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah RPJMN 2010 – 2014. Demi pencapaian target pembangunan
tersebut, peran berbagai pemangku kepentingan dalam menjaga keberlangsungan demokrasi yang sehat tentu saja sangat penting. Peran pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah provinsi, menjadi sangat menentukan terutama
dalam menjaga dinamika perkembangan demokrasi di daerah. Hal ini juga sejalan dengan era otonomi daerah, di mana proses devolusi, dekonsentrasi dan desentralisasi telah memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada pemerintah
daerah untuk mengurus dan mengatur pemerintahannya sendiri terutama terkait dengan penyediaan fasilitas dan pelayanan publik public service. Analisis dan rekomendasi yang dihasilkan dari setiap Laporan IDI yang kemudian
masuk ke dalam RPJMD Provinsi menjadikan reproduksi pengetahuan mapan sekaligus menghasilkan efek kekuasaan karena menentukan pengelolaan aspek-aspek kebebasan sipil, hak-hak politik, dan institusi politik di daerah.
Bercermin pada hal tersebut, sejak tahun 2011, telah dilakukan uji coba pemanfaatan utilisasi IDI pada sejumlah provinsi percontohan. Program ini dilakukan untuk mengajak dan meyakinkan pemerintah daerah
dalam menggunakan IDI sebagai bahan rujukan utama dalam menyusunan program-program pembangunan terutama pembangunan dalam bidang politik. Ruang terbuka pemanfaatan IDI dilakukan dimulai saat penyusunan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMD sebagai dokumen perencanaan pembangunan di daerah maupun rencana kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah SKPD. Selain peran yang dimainkan oleh
konsultan IDI di masing-masing provinsi, pembangunan kemitraan dengan para pemangku kepentingan di daerah merupakan salah satu sarana yang digunakan dalam kerangka pemanfaatan IDI. Peran Pokja Demokrasi
IDI ditunjuk melalui Surat Keputusan SK Gubernur, serta dipimpin secara langsung oleh Sekretaris Daerah Sekda menjadi sangat strategis. Dalam aktivitasnya, kegiatan pemanfaatan IDI akan dilakukan melalui kemitraan
551
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Politik Lokal
strategis dengan Pokja IDI serta asistensi teknis dari para konsultan provinsi. Kebangpolinmas, Bappeda serta BPS Provinsi merupakan mitra-mitra utama yang terlibat dalam berbagai kegiatan pemanfaat IDI di provinsi.
Teknokratisasi demokrasi tampak dari strategi pemanfaataan IDI yang diuraikan di atas, yakni sebagai instrumen penyelesaian masalah pertumbuhan demokrasi. Manfaat IDI sebagaimana termuat dalam Laporan
IDI 2009 menyatakan bahwa:
«Quantitative measurement will provide a clear picture on the level of democracy, and will enable comparison in order to address inconsistencies or deficits. The information gleaned from the Indonesia Democracy Index can be used for various purposes. The index
can be used to academically evaluate the level of democracy development in each province in Indonesia, providing an important baseline for further analysis by academics and journalists. The index can also be used for development planning at the provincial level, using
the data to pinpoint underdeveloped or less developed sectors, regions or aspects of democracy. While clear and quantitative data for economic development provides a useful basis for economic planning, the IDI can likewise provide a clear benchmark for assessing
the level of democracy development in provinces across Indonesia. The index also serves a purpose for the governments and citizens, as it can identify specific indicators with low scores, this providing the opportunity to address those particular issues directly
.”
Kata-kata kunci yang termuat dalam kutipan di atas menunjukkan keterkaitan yang erat antara hasil IDI dengan perencanaan pembangunan. Dengan menjadikan IDI sebagai milik Negara, ada klaim otoritatif dari Negara
untuk menggunakan IDI sebagai bahan perencanaan pembangunan. Ini membedakan IDI dengan pengukuran- pengukuran demokrasi lainnya yang tidak memiliki otoritas normatif sebagai bahan perencanaan pembangunan.
Tidak hanya dari sisi pengetahuan dan klaim normatif, teknokratisasi demokrasi melalui IDI juga dilakukan melalui pengorganisasian utilisasi dan diseminasi IDI yang terintegrasi dengan struktur organisasi pemerintahan
dari tingkat nasional hingga kabupatenkota. Instrumentasi melalui kelembagaan dengan memanfaatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD di tingkat provinsi dan APBD untuk menunjang pemanfaatan IDI menjadikan
IDI sebagai instrumen kekuasaan Negara dalam mengarahkan jalannya demokratisasi di tingkat lokal.
2. Indeks Demokrasi Asia dan Demonopolisasi Kekuasaan
Selain IDI, pengukuran demokrasi di negara-negara yang berada di benua Asia juga mengenal Indeks Demokrasi Asia IDA atau Asian Democracy Index. Indeks ini merupakan kerangka kerja untuk membandingkan
dan menemukan karakteristik demokrasi di negara-negara Asia. Tujuannya adalah untuk memahami kualitas demokrasi di negara-negara Asia dewasa ini. Kendati data yang tersaji dapat menjadi bahan perbandingan
antarnegara, tapi nilai indeks ini tidak dimaksudkan untuk menawarkan sebuah model panduan bagi negara- negara Asia, ataupun untuk menyusun daftar peringkat dari negara-negara tersebut.
IDA disusun dan dikembangkan oleh organisasi sipil internasional yang bersifat kolaboratif, yakni Consortium
of Asian Democracy Index CADIKonsorsium ADI, yang berlokasi di Korea Selatan. CADI terdiri atas lembaga- lembaga dari 3 tiga negara, yakni Korea Selatan Democracy and Social Movement InstituteDaSMI, Filipina
The Third World Study Center, University of Phillipines, dan Indonesia Pusat Kajian Politik FISIP UI dan DEMOS. Selain lembaga-lembaga tersebut, CADI juga menjalin kolaborasi dengan individu-individu peneliti,
antara lain Dr. Andrew Aeria Associate Professor, Faculty of Social Sciences, University Malaysia Sarawak, Tan Seng Keat Merdeka Centre for Survey Research, Malaysia, Banajit Hussain peneliti independen dan analis politik
dari Assam, India, Amrapali Basumatary Assistant Professor, K.M. College, University of Delhi, India http: twsc.upd.edu.phCADI.html, diunduh tanggal 28 November 2014.
Penyusunan IDA dilatarbelakangi oleh keinginan untuk keluar dari keterbatasan indeks-indeks demokrasi yang sudah ada dan secara objektif mengevaluasi kualitas demokrasi yang telah diimplementasikan oleh tiap negara.
Seperti juga IDI yang lahir dalam konteks transisi demokrasi, IDA pun lahir dari konteks yang sama, tapi dengan lebih berfokus pada demokratisasi yang terjadi di negara-negara Asia. Konteks Asia muncul dengan kekhasan
tersendiri, yakni pengalaman negara-negara Asia yang menjalani transisi demokrasi di tengah konflik dan krisis Cho, 2012. Fokus kajiannya adalah konsolidasi demokrasi, dengan mengidentifikasi pengalaman-pengalaman
berbagai negara Asia untuk mengatasi konflik dan krisis yang dapat menghambat konsolidasi demokrasi. IDA melakukan kontekstualisasi dengan menggunakan pengalaman negara-negara di Asia sebagai sumber pengetahuan
untuk melawan hegemoni teori-teori demokrasi universal yang terutama diproduksi oleh negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Utara.
552
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Politik Lokal
Konteks lokal yang dipakai oleh IDI dan IDA memiliki kesamaan, yakni sistem pemerintahan otoritarian atau diktatorial. Perbedaannya, IDI mengkontekstualisasikan pola relasi kekuasaan dalam sistem pemerintahan
otoritarian sebagai konteks yang khas Indonesia, sedangkan IDA membangun kontekstualisasi itu dengan memaknai rezim diktatorial sebagai kombinasi antara monopoli politik dan ekonomi-sosial CADI, 2012. Rezim
diktatorial tidak dipahami sebagai corak sistem politik yang opresif, tapi sebagai bentuk kekuasaan politik, sosial, dan ekonomi yang monopolistik. Baik IDI maupun IDA menggunakan dekonstruksi untuk membentuk konteks
demokrasi yang khas dan berbeda dengan teorisasi demokrasi arus utama.
Perspektif yang digunakan oleh para penyusun IDA adalah “postmonopoly democratic theory”, sebagaimana diuraikan dalam Cho 2008. Dengan bertitik tolak dari berbagai studi terkait kondisi demokrasi di negara-
negara Asia yang kini didominasi oleh fenomena oligarki politik maka dikembangkanlah kerangka konseptual baru yang mengukur demokrasi bukan hanya atas kebebasan politik saja tapi juga diukur dari demonopolisasi di
bidang ekonomi dan masyarakat sipil. Demokrasi yang memiliki irisan ketiga bidang tersebut juga diukur dengan memperhatikan derajat pencapaian atas dua nilaivariabel yang dianggap determinan: Liberalisasi otonom dari
kekuatan politik otoriter dan Ekualisasi akses terhadap sumber-sumber dan relasi kuasa serta kontrol terhadap substansi berdasarkan kepentingan subyek. Perspektif ini memandang demokrasi sebagai proses berkesinambungan
untuk keluar dari monopoli kekuasaan dan sumber daya, sehingga demokratisasi menjadi solusi dari kompleksitas monopoli tersebut. Perspektif ini selanjutnya dijabarkan ke dalam kerangka konseptual yang menggabungkan 2
dua prinsip inti demokrasi, yakni liberalisasi dan ekualisasi, yang digunakan untuk mengevaluasi 3 tiga ranah demokratisasi, yakni politik, ekonomi, dan civil society Cho, 2008; 2012; CADI, 2012. Penggabungan dari
kedua prinsip dan 3 tiga ranah tersebut melahirkan 6 enam unit analisis, yakni liberalisasi politik, ekualisasi politik, liberalisasi ekonomi, ekualisasi ekonomi, liberalisasi civil society, dan ekualisasi civil society CADI, 2012.
Liberalisasi dalam indeks ini diartikan sebagai sejauh mana sektor-sektor yang berbeda memperoleh independensi dan otonomi dari kekuatan politik otoriter lama dan kemudian dapat menetapkan kepentingan
mereka sendiri. Hal ini sangat tergantung pada sejauh mana monopoli kekuatan lama terdisintegrasi. Variabel liberalisasi diukur dari 2 sub variabel yaitu otonomi dan kompetisi. Variabel ekualisasi, proses sejauh mana
kelompok minoritas atau pun subaltern secara substansial dapat memiliki akses pada sumber daya di berbagai sektor dan dapat menikmati kesetaraan dalam mengakses sumber daya dan kekuasaan. Ekualisasi dengan demikian
adalah sebuah proses transformasi kekuasaan di setiap bidang yaitu politik, ekonomi maupun masyarakat sipil. Variabel ekualisasi diukur dari 2 sub variabel yaitu pluralisasi dan solidaritas. Setiap unit diasumsikan memiliki
karakteristik yang unik dan menunjukkan keterbatasan atau potensi dari unit lainnya. Keenam unit analisis ini selanjutnya dijabarkan ke dalam 57 lima puluh tujuh indikator.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan para informan ahli, yakni orang-orang yang memiliki pengetahuan dan keahlian atas areabidang yang menjadi fokus riset ini, seperti anggota parlemen area politik, pelaku
bisnis area ekonomi, dan aktivis organisasi masyarakat sipil sosial, serta akademisi atau peneliti yang fokus pada tiga area tersebut. Informan ahli yang diwawancara berjumlah 27 orang. Pemilihan para ahli didasarkan pada tiga
kriteria. Pertama berdasarkan bidang keahliannya, yang terdiri atas tiga bidang yaitu Ekonomi, Politik, dan Masyarakat Sipil. Kedua, berdasarkan spektrum pandangan ahli terhadap pemerintah yaitu Pro Pemerintah, Moderat, dan Anti
Pemerintah. Kriteria ketiga berdasarkan posisi peran di masyarakat yaitu Akademisi, Praktisi, dan Politisi. Selain itu, riset ini juga mengumpulkan data sekunder melalui penelusuran pustaka dari berbagai sumber yang terkait dengan
kondisi pada tiga bidang tersebut. Tujuannya untuk mendukung informasi terkait pertanyaan dalam kuesioner. Kategorisasi para ahli yang terpilih dalam riset ini menarik diamati karena memilah para informan tersebut tidak hanya
ke dalam kategori bidang keahlian, tapi juga spektrum pandangan terhadap pemerintah. Kategorisasi ini tampaknya berupaya memberi peluang bagi kalangan yang selama ini termarginalkan pandangannya.
Riset IDA pada tahun 2011 menemukan bahwa indeks politik berada pada capaian paling tinggi, sementara indeks ekonomi berada pada level yang paling rendah Laporan IDA, 2011. Rendahnya ekualisasi di area
ekonomi nampaknya disumbang oleh angka pluralisasi dan indeks solidaritas yang relatif rendah pula. Angka solidaritas area ekonomi juga paling rendah bila dibandingkan dengan solidaritas di dua area lain. Monopoli
553
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Politik Lokal
di area ekonomi dinilai masih tetap terjadi di mana kelompok tertentu masih menguasai. Kegagalan liberalisasi bidang ekonomi menghambat ekualisasi di bidang ekonomi. Rendahnya nilai indeks ekonomi baik untuk prinsip
liberalisasi maupun ekualisasi menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia memiliki permasalahan yang besar pada bidang ekonomi. Dari dua angka ini dapat dinyatakan bahwa demokrasi Indonesia berada pada posisi tengah
dan mengandung ancaman untuk dapat sewaktu-waktu mengalami kemunduran set back. Temuan survei IDA 2011 menunjukkan bahwa demokratisasi belum dapat mengatasi persoalan-persoalan monopolisasi atas sumber-
sumber daya, khususnya sumber daya ekonomi.
Survei IDA pada tahun 2012 menemukan hasil pengukuran indeks demokrasi di Indonesia mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, tapi kedua prinsip utama demokrasi ini sama-sama memiliki nilai
indeks yang cukup rendah Laporan IDA, 2012. Temuan penting dalam survei tahun 2012 ini adalah tentang ranah demokratisasi yang masih terpusat pada negara dan tentang keberfungsian lembaga-lembaga politik yang
masih belum berpihak pada kepentingan publik. Laporan IDA 2012 memuat pernyataan sebagai berikut:
«Dibanding dengan penilaian tahun 2011, pada tahun 2012 tidak ada perubahan yang signifikan; liberalisasi lebih tinggi dari equalisasi dan itu juga ditentukan oleh rendahnya nilai pluralisasi. Perubahan yang lain terletak pada kualitas otonomi 5,48 turun
menjadi 5,43, sementara yang lain cenderung membaik. Peningkatan skor ini mungkin mengindikasikan semakin terlembaganya institusi-institusi politik dan para pelaku politik beradaptasi dengannya. Namun mereka tidak serta merta menggunakannya
untuk kepentingan publik.
Hal ini sekaligus menunjukan gerakan demokrasi masih lebih terfokus pada ranah negara. Sementara itu pelembagaan di bidang politik tidak disertai dengan pelembagaan atau dibangunnya mekanisme yang dapat menjamin pemenuhan
hak-hak sosial ekonomi warga .”
Laporan IDA, 2012
Capaian IDA di tahun 2013 justru mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Laporan IDA pada tahun ini memunculkan temuan tentang korupsi sebagai pemicu munculnya permasalahan dalam
demonopolisasi kekuasaan dan ekonomi. Kontekstualisasi ini bergeser dari konteks pada tahun 2011 yang masih memunculkan fenomena konglomerasi sebagai penyebab monopolisasi ekonomi, sementara di tahun 2012,
tidak secara eksplisit dibahas konteks yang menyebabkan monopoli ekonomi masih terjadi. Fenomena korupsi memang sudah muncul dalam Laporan tahun 2012, tapi masih dikaitkan dengan maraknya pemilihan kepala
daerah secara langsung, sehingga fenomena korupsi seolah diposisikan sebagai efek samping dari pemilihan langsung tersebut. Survei IDA tahun 2013 justru menemukan kecenderungan kembalinya monopolisasi politik.
Menguatnya monopolisasi di bidang masyarakat sipil terutama disebabkan oleh semakin lemahnya kehadiran negara melakukan kewajiban melindungi hak-hak asasi warga negaranya khususnya kebebasan berpikir dan
berkeyakinan; ketika kelompok-kelompok intoleran di tengah masyarakat semakin mengganas. Di samping itu juga ditandai tingginya konflik antara masyarakat marginal dengan pemilik modal tanpa perlindungan
dari negara. Sementara itu monopolisasi di bidang ekonomi tampak mengendur disinyalir karena disahkannya undang-undang tentang jaminan sosial UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan UU Sistem Jaminan
Sosial Nasional. UU ini memang belum diterapkan secara formal menurut UU berlaku efektif 2014 namun jaminannya telah tersedia. Adanya undang-undang ini menjadi tanda dan batu pijakan untuk mematerialisasi
perlindungan sosial lebih lanjut.
Pada tahun 2014, survei IDA menunjukkan capaian skor indeks demokrasi yang sedikit meningkat Laporan IDA, 2014. Dari dua variabel pembentuknya, liberalisasi lebih tinggi daripada ekualisasi. Kondisi
ini menunjukkan struktur dan kekuatan otoritarian masih bertahan dalam sistem demokrasi Indonesia di tiga ranah politik, ekonomi, masyarakat sipil. Ini diperburuk dengan masih rendahnya skor ekualisasi yang
menunjukkan sempitnya akses warga negara pada sumber daya politik, ekonomi dan sosial. Demonopolisasi dalam ranah politik diindikasikan oleh ketatnya persaingan antarpartai. Persaingan antar elit oligarkis semakin
ketat sehingga monopoli kekuasaan politik mendapatkan tantangan. Partisipasi politik warga meningkat dalam momen elektoral. Skor indeks untuk ranah ekonomi, cenderung stagnan. Prinsip liberalisasi dan ekualisasi untuk
ranah ekonomi pun yang paling rendah dibanding yang ditemukan di dua ranah lainnya politik dan masyarakat sipil. Dalam demonopolisasi kekuasaan ekonomi, skor indeks untuk ekualisasi lebih buruk daripada liberalisasi.
Artinya demonopolisasi ekonomi yang masih rendah skornya itu terjadi dengan otonomi dan kompetisi yang
554
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Politik Lokal
lebih besar ketimbang pluralisasi dan solidaritas. Indeks 2014 menemukan persepsi tentang pluralisasi kekuasaan ekonomi yang kondisinya sangat buruk. Skor pluralisasi paling rendah dalam keseluruhan indeks. Skor pluralisasi
yang rendah terjadi akibat rendahnya indikator-indikator di dalamnya: bertahannya struktur ekonomi yang monopolistik dan rendahnya pluralisasi dalam ranah ekonomi, yang diindikasikan oleh: monopoli aset, kesenjangan
pendapatan antarkelompok dan antarwilayah, ketidaksetaraan dan diskriminasi dalam pasar tenaga kerja.
Hasil survei IDA 2014 kembali menegaskan bahwa peningkatan capaian indeks demokrasi tidak bisa secara otomatis menggambarkan peningkatan kualitas praktik kekuasaan. Survei IDA menawarkan perspektif yang
berbeda untuk menjelaskan belum berhasilnya demokrasi membawa kesejahteraan bagi masyarakat, yakni dari sisi penguasaan atas sumber-sumber daya ekonomi. Pengelolaan sumber-sumber daya tidak hanya merupakan
konsekuensi dari keberfungsian lembaga-lembaga dan prosedur yang ada, tapi juga ditentukan oleh pola relasi kekuasaan yang berlangsung antara elit dan massa. Kadar liberalisasi, otonomi, dan ekualisasi akses yang dihasilkan
melalui survei ini memberi pengetahuan tentang perubahan substansial dari demokrasi di Indonesia.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan pada uraian ebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pengukuran demokrasi melalui IDI maupun IDA memberikan pengetahuan tentang dinamika demokratisasi yang berlangsung di Indonesia
secara kontekstual. Baik IDI maupun IDA menempatkan transisi demokrasi sebagai momentum utama yang membentuk urgensi pengukuran demokrasi di Indonesia. Bagi IDI, transisi demokrasi mengawali berkembangnya
wacana pembangunan institusional, sedangkan IDA lebih berfokus ada konsolidasi demokrasi sebagai momentum penting bagi penyelesaian konflik dan krisis yang seringkali terjadi negara-negara Asia yang tengah menjalani
transisi demokrasi.
Meskipun kedua indeks ini lahir dalam semangat memperjuangkan keberlangsungan demokrasi, tapi keduanya memiliki beberapa perbedaan. Dalam hal dimensi analisis, IDI lebih memperhatikan aspek-aspek formal
dan prosedural dari transisi demokrasi, khususnya kelembagaan dan prosedur yang termuat dari variabel-variabel yang digunakan, meliputi kebebasan sipil, hak-hak politik, dan institusi politik. Pemanfaatan dari hasil survei
IDI diarahkan untuk perencanaan pembangunan politik, untuk kepentingan penyusunan agenda pembangunan yang mendukung demokratisasi dan kinerja pemerintah. Pemanfaatan ini cenderung bersifat normatif, dengan
sasaran perubahan pada elit terdidik di kalangan pemerintahan yang terkait dengan perencanaan pembangunan.
Dimensi analisis IDA berfokus pada demonopolisasi kekuasaan dan sumber daya yang tercakup dalam dua variabel, yakni liberalisasi dan ekualisasi dalam ranah politik, ekonomi, dan masyarakat sipil. Fokus ini lebih
mengarah pada pemaknaan demokrasi sebagai praktik kekuasaan atas sumber daya. Dengan menggunakan perspektif monopoli kekuasaan, IDA bermaksud memproduksi pengetahuan alternatif untuk menunjukkan secara
obyektif bahwa perjalanan demokrasi masih memunculkan persoalan-persoalan kesenjangan dan monopoli di bidang politik, ekonomi, dan masyarakat sipil. Untuk memperoleh pengetahuan-pengetahuan tentang kesenjangan
dan kadar monopoli tersebut, elit terdidik menjadi sumber pengetahuan, tapi juga terbuka peluang bagi elit yang selama ini termarginalkan untuk memberikan informasi. Pemanfaatan IDA jauh lebih longgar ketimbang IDI. Arah
pemanfaatan IDA lebih pada memberikan masukan bagi pembaca kritis dari kalangan masyarakat sipil, jurnalis, aktivis, ataupun akademisi untuk memandang demokratisasi dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya.
Pengukuran demokrasi secara statistik dalam bentuk indeks perlu dipahami dari perspektif politik sebagai praktik kekuasaan untuk mengarahkan perkembangan demokrasi. Karena itu, hasil-hasil pengukuran ini tidak
pernah bersifat netral tapi senantiasa mengandung kepentingan untuk menonjolkan sisi tertentu dari demokratisasi dan mempermasalahkan sisi lainnya, sehingga ada perlakuan tertentu bagi sisi-sisi yang bermasalah. Dengan
memaknai indeks sebagai bagian dari praktik kekuasaan, maka pembacaan terhadap hasil-hasil survei atau pengukuran demokrasi perlu disertai dengan pikiran dan sikap kritis, terutama dengan mempertimbangkan
tujuan, konsep, dan metode pengukuran yang digunakan. Memaknai hasil pengukuran, dengan begitu, tidak boleh sekedar membaca angka indeks tapi proses di balik lahirnya angka indeks tersebut.