Peta Partisipasi Pemilih Dalam Pemilu Legislatif 2014

881 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Pemilu dan Parlemen

4.2.1 Pengetahuan masyarakat tentang jenis-jenis politik uang

Pada Tabel 4.2.1 berikut ini Nampak bahwa pengetahuan masyarakat tentang jenis-jenis politik uang adalah bervariasi. Namun persentase jawaban tertinggi adalah berupa bahan makanan yakni 45,8 atau 183 responden, kemudian diikuti berupa uang tunai 15,0 atau 60 responden, dan 12,5 atau 50 responden bahan pakaian, kemudian 9.8 atau 39 responden berupa transportasi dan konsumsi ketika mengikuti kampanye. Tabel 4.2.1: Pengetahuan Masyarakat Tentang Jenis-jenis Politik Uang di Kabupaten Pesisir Selatan Jenis-jenis politik uang Jumlah responden dan persentase Persentase kumulatif Bahan makanan 183 45.8 45.8 Uang tunai 60 15.0 100.0 Bahan pakaian 50 12.5 58.3 Bantuan transportasi dan konsumsi ketika mengikuti kampanye 39 9.8 74.5 Alat-alat pertanian 19 4.8 63,0 Traktir makan warga 16 4.0 81.8 Bahan-bahan lainnya seperti ikan 13 3.3 85.0 Alat-alat olah raga 7 1.8 64.8 Pengobatan katarak gratis 2 0.5 75.0 Total 400 100.0 Sumber: Data Primer 2015 Selanjutnya dari data di atas juga terlihat bahwa jenis-jenis politik uang yang lain yang diketahui oleh responden adalah berupa “transportasi dan konsumsi ketika ikut kampanye”, yaitu 9,8 atau 39 responden, kemudian berupa “bahan pertanian” 4,8 atau 19 responden, “mentraktir makan warga” 4,0 atau 16 responden. Jenis politik uang yang lain yang telah umum menjadi pengetahuan masyarakat adalah berupa “bahan lainnya seperti helm dan ikan” sebesar 3,3 atau 13 responden, serta berupa “sunatan masal” sebesar 2,8 atau 11 responden, dan berupa “bahan olah raga” sebesar 1,8 atau 7 responden, dan yang paling kecil persentasenya adalah 0,5 atau 2 responden, yakni berupa “pengobatan katarak gratis”.

4.2.2 Pengetahuan masyarakat tentang waktu pembagian politik uang

Pengetahuan lain yang dimiliki oleh masyarakat yang diwakili responden adalah mengenai waktu pembagian politik uang sebagai terlihat pada Tabel 4.2.2, dengan persentase jawaban tertinggi adalah “pada saat kampanye” yaitu 82,8 atau 331 responden ketika diajukan pertanyaan “kapan Anda pernah melihat politisi membagikan hadiah kepada warga?”. Selanjutnya pada pagi hari menjelang pemilihan di peringkat kedua yaitu sebesar 12,8 atau 51 responden, dan setelah pemilihan berlangsung sebesar 3,8 atau 15 responden serta 0,8 atau 3 responden pada peringkat ketiga dan keempat. Sebaran persentase mengenai waktu pembagian politik uang ini dapat dilihat pada Tabel 4.3.2 beikut ini. Tabel 4.2.2 Pengetahuan Masyarakat Tentang Waktu Pembagian Politik Uang dalam Pemilu 2014 di Kabupaten Pesisir Selatan Waktu pembagian politik uang Jumlah responden dan persentase Persentase kumulatif Pada saat kampanye 331 82.8 82.8 Pagi menjelang pemilihan 51 12.8 95.5 Sebelum pemilihan berlangsung 3 0.8 96.3 Setelah pemilihan berlangsung 15 3.8 74.5 Total 400 100.0 Sumber: Data Primer 2015 882 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Pemilu dan Parlemen

4.2.3 Pengetahuan masyarakat tentang Aktor yang membagikan politik uang

Pengetahuan masyarakat tentang politik uang yang terungkap dalam survei ini adalah mengenai aktor atau siapa yang membagikan politik uang tersebut. Pertanyaan yang diajukan kepada responden adalah “jika Anda pernah melihat pembagian hadiah, siapa yang membagikannya?”. Persentase jawaban responden yang tertinggi adalah “tim sukses dan simpatisan” yakni sebesar 61,0 atau 244 responden, diikuti kemudian oleh “istri, anak, kerabat calon” sebesar 15,3 atau 70 responden, dan 16,3 atau 65 responden oleh “anggota partai”, 4,8 atau 19 responden oleh “calon”, dan persentase jawaban terendah adalah oleh “anggota DPRD” dan “aparatur pemerintah” yang masing-masing 0,3 atau 1 orang responden. Sebaran jawaban responden mengenai aktor yang membagikan politik uang ini dapat dilihat pada Tabel 4.2.3 berikut ini: Tabel 4.2.3 Pengetahuan Masyarakat Tentang Aktor Yang Membagikan Politik Uang Dalam Pemilu 2014 di Kabupaten Pesisir Selatan Aktor yang membagikan politik uang Jumlah responden dan persentase Persentase kumulatif Tim sukses dan simpatisan 244 61.0 61.0 Anggota partai 65 16.3 77.3 Istrianakkerabat calaon 70 15.3 97.8 Calon atau kandidat 19 4.8 82.3 Anggota DPRD 1 0.3 77.5 Aparatur pemerintahan BupatiCamatWali NagariWali JorongPNS 1 0.3 82.5 Total 400 100.0 Sumber: Data Primer 2015

4.2.4 Sikap Masyarakat Terhadap Politik Uang

Sudah umum diketahui bahwa sikap masyarakat terhadap politik uang adalah cukup sulit untuk diungkapkan, karena pada umumnya masyarakat cukup enggan untuk mengungkapkan sikapnya secara terbuka ataupun tertulis. Masyarakat umumnya bersikap tertutup jika diajak berdiskusi atau diwawancarai secara resmi mengenai politik uang. Meskipun demikian penelitian ini menemukan berbagai variasi sikap masyarakat terhadap politik uang tersebut. Pada Tabel 4.2.4 berikut ini terdapat jawaban sikap yang cukup mengagetkan, yaitu 224 responden atau 56,0 menjawab “terima dulu, soal pilihan urusan nanti”, ketika ditanyakan “bagaimana sikap Anda jika diberi uang atau jasa dari calon?”. Selanjutnya, 122 responden atau 30,5 yang bersikap “menolak karena haram”, kemudian 37 responden atau 9,3 menjawab “terima tapi tidak pilih oraangnua”. Jawaban selebihnya adalah 12 responden atau 3,0 “terima dan akan saya pilih orangnya”, dan yang terakhir adalah “bersedia ikut membagi-bagikan uang atau barang, yakni 5 responden atau 1,3. Tabel 4.2.4 Sikap masyarakat terhadap politik Uang Sikap masyarakat terhadap politik uang Jumlah responden dan persentase Persentase kumulatif Terima dulu, soal pilihan urusan nanti 224 56.0 98.8 Menolak karena haram 122 30.5 30.5 Terima tapi tidak pilih orangnya 37 9.3 39.8 Terima dan akan saya pilih orangnya 12 3.0 42.8 Bersedia ikut membagi-bagikan uangbarang 5 1.3 100.0 Total 400 100.0 Sumber: Data Primer 2015 Dari data di atas memperlihatkan meskipun terdapat cukup banyak yang menolak politik uang dengan jawaban “menolak karena haram”, yakni 30,5 atau 122 responden namun masalah politik uang tetap memprihatinkan karena adanya fakta “terima dulu, soal pilihan urusan nanti”, menunjukkan persentase yang tertinggi yaitu 56,0 atau 224 responden. Kenyataan ini jika dibiarkan tentu saja akan merusak nilai-nilai demokrasi. 883 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Pemilu dan Parlemen Meskipun tanpa disadari persoalan politik uang ini memang sangat meresahkan bagi mereka yang masih berniat membangun demokrasi secara baik dan benar. Keresahan tersebut dapat dimaklumi karena praktik politik uang memang sudah menggejala di mana-mana dalam konteks kontestasi kekuasaan atau pencarian jabatan politik. Bahkan politisi sekalipun juga melakukan politik uang dengan mengganti modus operandi-nya berdasarkan perkembangan sikap dan perilaku masyarakat terhadap politik uang. Dalam FGD dengan tokoh masyarakat, politisi, anggota DPRD, tim sukses, dan penyelenggara pemilu semakin mengungkapkan perilaku politik uang yang semakin menggejala ini. Dalam dua bagian berikut ini akan dipaparkan bagaimana sikap calontim sukses, dan penyelenggara pemilu mengenai sikap terhadap politik uang ini.

4.2.5 Sikap KandidatTim Sukses kandidat terhadap Politik Uang

Bagaimana sikap calontim sukses terhadap politik uang terungkap dalam Fokus Group Diskusi selanjutnya disebut FGD yang dilakukan oleh peneliti dengan tokoh masyarakat, calontim sukses, anggota DPRD, politisi, wartawan, dan penyelenggara pemilu anggota KPU dan anggota PPK serta PPS di lingkungan Kabupaten Pesisir Selatan, semakin memperlihatkan masalah keprihatinan terhadap politik uang ini. Meskipun pandangan para peserta FGD menunjukkan variasi sikap tetapi pada umumnya membernarkan bahwa praktik politik uang memang terjadi di Kabupaten Pesisir Selatan. Para peserta membenarkan sikap masyarakat terhadap politik uang ketika dikonfirmasi mengenai temuan survei di atas. Seorang politisi yang enggan disebutkan namanya menambahkan bahwa “siapa yang memulai praktik uang ini tidak dapat ditelusuri secara pasti karena praktik politik uang ini tidak berdiri sendiri. Semua mempunyai andil menurut kapasitas mereka masing-masing. Artinya menyalahkan politisi atau calon agaknya tidak adil juga karena masyarakat sendiri tanpa sadar menuntut politik uang”. Peserta yang lain juga menambahkan bahwa agaknya sebagian masyarakat “menjadi pintar” karena selama ini mereka hanya diberi janji-jani oleh calon di mana ketika calon tersebut terpilih, calon tersebut segera lupa dengan janji-janjinya. Oleh karena itu, masyarakat lalu menuntut sesuatu lebih kongkrit daripada sekedar janji-jani. Sesuatu yang lebih kongkrit itu adalah politik uang dengan jenis-jenis yang bervariasi seperti uang tunai, bahan makanan, bahan pakaian, bahan atau alat-alat pertanian, alat-alat olah raga, dan sebagainya. Seorang politisi lain peserta anggota FGD tersebut juga menambahkan bahwa hampir semua calon baik secara sadar ataupun secara terpaksa terjebak dalam masalah politik uang tersebut, karena banyak dari anggota masyarakat menuntut sesuatu yang kongkrit dan bukan hanya janji-janji dari para calon. “Inilah salah satu penyebab mengapa politik uang marak terjadi di tengah masyarakat setiap kali pemilu dan pilkada diselenggarakan”, katanya menambahkan. Seorang politisi lain menceritakan bahwa dia sudah dua kali ikut mencalonkan diri untuk menjadi anggota DPRD di Kabupaten Pesisir Selatan. Pada kali pertama dia menghabiskan biaya hampir 100 juta tetapi hasilnya dia tidak terpilih. Biaya sebesar tersebut sebagian memang dapat dikategorikan sebagai “biaya politik” political cost, yaitu biaya pasti atau obyektif yang harus dikeluarkan oleh seorang politisi ketika dia mencalonkan diri seperti biaya untuk mencetak dan membagikan atribut kampanye berupa spanduk, baliho, stiker, dan sejenisnya, serta biaya transportasi dan konsumsi baik untuk dirinya maupun tim suksesnya, termasuk uang saku untuk tim suksesnya. Biaya ini adalah biaya riil yang harus dikeluarkan oleh seorang calon karena ketika seorang calon maju untuk berkompetisi untuk meraih jabatan politik, di situ berlaku pepatah: “tidak ada makan siang gratis” dalam kompetisi jabatan politik. Biaya lain di luar “political cost”, menurutnya, mungkin dapat disebut sebagai “politik uang” money politics karena seorang calon juga harus mengeluarkan biaya misalnya berupa “berupa biaya negosiasi” atau sering disebut sebagai “biaya adminsitrasi” yang harus dikeluarkan untuk partai di mana dia mencalonkan diri. Bahkan, tambahnya, seorang calon harus mengeluarkan “biaya negosiasi” kepada partai pengusungnya agar dia mendapat nomor urut calon yang stragegis. Selain itu, dalam pencalonan kali pertama tersebut dia banyak mempercayakan jalan kesuksesannya kepada tim sukses. Meskipun biaya yang sudah dikeluarkan cukup besar tetapi ternyata tidak ada jaminan bahwa seseorang calon akan terpilih, karena faktor penentu terpilihnya seorang calon adalah di tangan para pemilih. Jadi, tim 884 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Pemilu dan Parlemen sukses bukanlah penentu terpilihnya seseorang calon. Menyadari pengalaman yang berharga tersebut maka dalam pencalonan yang kedua, dia mengubah modusnya yaitu dia tidak lagi percaya kepada tim sukses, tetapi langsung “turun lapangan” sendiri. Di sinilah kemudian, menurutnya, seorang calon mengalami dilema moral antara menyerahkan keterpilihannya kepada “dinamika pemilihan” atau melakukan “politik uang” kepada para pemilih. Ia menambahkan, karena dinamika para pemilih dan juga para tim sukses pada umumnya sudah terjebak ke dalam pusaran “politik uang”, maka pada pencalon kedua, yaitu pada Pemilu Legislatif 2014, dia mengganti modusnya menjadi suatu modus yang menurutnya juga dilakukan oleh hampir semua calon yang lain, yaitu apa yang disebutnya sebagai “direct selling”“jual beli langsung” kepada para pemilih. Itu dilakukan sebagian pada masa-masa kampanye dan sebagian pada masa-masa menjelang beberapa hari sebelum hari H pemilihan. Hasilnya dia terpilih menjadi salah seorang anggota DPRD terpilih pada Pemilu Legislatif 2014 yang lalu. Tapi, sayangnya ketika ditanya berapa nilai nominal uang tunai yang diberikan pada para pemilih orang peorangnya dengan modus “direct selling” tersebut, dia sama sekali keberatan untuk menyebutkannya. Apa yang dapat disimpulkan dari informasi yang didapatkan pada FGD di atas adalah bahwa informasi sebagaimana disajikan dalam tabel-tabel di atas mendapatkan bukti penguatannya. Namun demikian, satu hal yang tidak dapat dibuktikan adalah “apakah keterpilihan calon tersebut berhubungan langsung dengan politik uang?”. Apakah tidak mungkin ada faktor lain yang bekerja misalnya “faktor keberuntungan”. Dengan kata lain, sampai saat ini belum ada seorang peneliti pun yang meneliti tentang politik uang dapat membuktikan bahwa para pemilih memang telah memilih calon yang telah memberinya uang. Tidak seorang pun tahu “apa yang dipilih oleh seorang pemilih di bilik suara”, hanya pemilih dan Allah swt yang tahu pasti mengenai ini.

4.2.6 Sikap Penyelenggara Pemilu terhadap Politik Uang

Tidak banyak data yang dapat diambil dalam FGD khususnya mengenai sikap penyelenggara pemilu terhadap politik uang. Pada umumnya baik anggota KPU maupun anggota PPK dan PPS yang hadir dalam FGD berpendapat bahwa politik uang adalah haram dan mencederai nilai-nilai demokrasi. Mereka prihatin terhadap sikap masyarakat yang “terima dulu, soal pilihan urusan nanti” yang menunjukkan persentase tertinggi dalam sikap masyarakat terhadap politik uang, yaitu 56,0 sebagaimana terungkap dalam Tabel 4.2.4 di atas. Meskipun demikian mereka juga bergembira karena masih ada 30,5 masyarakat yang diwakili oleh 122 responden yang bersikap “menolak politik uang karena haram”. Ini merupakan peluang bagi penyelenggara pemilu untuk lebih giat lagi dalam melakukan pendidikan politik kepada masyarakat pada umumnya dan para pemilih di masa- masa yang akan datang bahwa “politik uang adalah haram” dan akan mencederai nilai-nilai demokrasi. Ke depan perlu dipikirkan suatu model pendidikan politik yang tepat agar politik uang ini dapat dihilangkan. Salah satunya adalah mengarahkan perilaku memilih masyarakat menjadi pemilih yang rasional.

4.3 Temuan Khusus: Uji Hipotesis

4.3.1 Perbedaan Sikap Masyarakat Terhadap Politik Uang Menurut Umur

H 1.1 Terdapat perbedaan sikap terhadap politik uang dalam Pemilu Legislatif 2014 di Kabupaten Pesisir Selatan berdassarkan kelompok umur Dari hasil analisis chi kuadrad pada tingkat kepercayaan 95 didapatkan bahwa H1.1 ditolak. Artinya tidak terdapat perbedaan sikap masyarakat terhadap politik uang berdasarkan umur α hitung = 0,257. Jadi antara pemilih muda dan pemilih tua tidak memiliki perbedaan sikap terhadap politik uang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel tabulasi silang berikut: