872
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Pemilu dan Parlemen
konvensional merupakan bentuk-bentuk partisipasi yang umum dan lazim ditemui, yaitu berupa pemberian suara, diskusi politik, kegiatan kampanye, bergabung dengan kelompok kepentingan, berkomunikasi secara individual
dengan pejabat-pejabat politik maupun adminisitratif. Sedangkan pola non-konvensional merupakan bentuk- bentuk partisipasi yang tidak umum dan tidak lazim ditemui berupa pengajuan petisi, demonstrasi, konfrontasi,
mogok, tindak kekerasan, perang grilya, makar, dan revolusi Almond dalam Miriam, 2008.
Sementara itu Michael Rush dan PhillipAlthoff menggambarkan partisipasi politik sebagai sebuah piramida dengan sepuluh tingkat bentuk partisipasi politik. Bentuk paling rendah dari partisipasi politik adalah apatis,
kemudian tingkat kedua adalah voting atau pemberian suara, tingkat ketiga adalah partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam politik; tingkat keempat adalah partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan
lain-lain; tingkat kelima adalah keanggotaan pasif dalam organisasi semu politik seperti kelompok penekan dan kelompok kepentingan; tingkat keenam adalah keanggotan aktif dalam organisasi semu politik; tingkat ketujuh
adalah keanggotaan pasif dalam organisasi politik seperti partai politik; tingkat kedelapan adalah keanggoataan aktif dalam organisasi politik; tingkat kesembilan adalah mencari jabatan politik atau administratif; dan tingkat
kesepuluh adalah menduduki jabatan politik atau administratif Rush dan Althoff, 2009.
Berdasarkan pendapat McClosky, Almond, Rush dan Althoff di atas dapat difahami bahwa partisipasi politik pada tingkat yang paling rendah adalah keikutsertaan seseorang dalam proses pemberian suara dalam suatu
pemilihan umum. Dan dalam konteks partisipasi dalam pemilihan umum ini terdapat pula bentuk-bentuknya yang lain yaitu keikutsertaan dalam kampanye, memberikan sumbangan untuk kegiatan kampanye, bekerja
sebagai penyelenggara pemilu, mencari dukungan bagi seorang calon atau menjadi tim sukses, dan melakukan tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi hasil proses pemilu, dan sebagainya.
2.2 Konsep Perilaku Memilih
Perilaku memilih adalah bentuk dari partisipasi pemilu atau partisipasi politik dan merupakan bentuk partisipasi yang paling elementer dari demokrasi. Pertanyaan penting mengenai partisipasi politik dalam pemilu
adalah mengapa seseorang memilih partai politik atau calon tertentu dan bukan partai atau calon yang lain. Dalam kajian-kajian perilaku memilih yang dikenal selama ini, mengikuti Evans 2004, Bartels 2008, dan Antunes
2010 telah dibentuk oleh tiga mazhab school of thought utama, yaitu mazhab sosiologi, mazhab psikologi, dan mazhab ekonomi atau rasional. Mazhab soiologi kerap diidentifikasikan sebagai School of Columbia yang
bersumber pada hasil-hasil penelitian Lazarsfeld, Berelson, dan Gaudet yang dibukukan di bawah judul The People’s Choice 1944, yang berfokus pada pengaruh faktor-faktor sosial terhadap perilaku memilih. Disebut
School of Columbia karena peneliti-peneliti dalam mazhab ini seperti Lazarsfeld, Berelson, dan Gaudet berasal dari Universitas Columbia, Amerika Serikat.
Mazhab kedua disebut mazhab psikologi yang diidentifikasikan sebagai School of Michigan dengan rujukan utama karya-karya Campbell, Coverse, Miller dan Stokes yang berjudul The American Voter 1960, yang
mengasumsikan bahwa identifikasi partai merupakan faktor utama dibalik perilaku memilih. Disebut School of Michigan karena para peneliti yang berhimpun dalam mazhab ini berasal dari Universitas Michigan, Amerika Serikat.
Mazhab ketiga adalah mazhab ekonomi atau rasional yang merujuk kepada model memilih ekonomi model of economic voting yang dikenali sebagai School of Rochester yang didasarkan pada karya besar Anthony Downs yang
berjudul An Economic Theory of Democracy 1957, yang menekankan pada variabel-variabel seperti rasionalitas, pilihan, ketidakpastian dan informasi sebagaimana dikembangkan dalam teori-teori ekonomi mengenai pasar.
Disebut School of Rochester karena para peneliti dalam mazhab ini berasal dari Universitas Rochester, Amerika Serikat.
Para sarjana lain ada yang menambahkan mazhab keempat, yaitu model ideologi dominan the dominat ideology model yang digagas oleh Heywood 2007. Tetapi model keempat ini yang percaya bahwa proses
manipulasi dan kontrol ideologi akan sangat berpengaruh terhadap preferensi pemilih dalam pemilu, relatif kurang berkembang dibandingkan dengan tiga mazhab atau model terdahulu. Model ini berasal dari negara-negara sosialis
yang memiliki jumlah pilihan yang sangat terbatas Heywood dalam Ali Nurdin, 2014.
873
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Pemilu dan Parlemen
Mazhab sosiologi — tapi sebetulnya ketiga mazhab — memandang perilaku memilih masyarakat dalam pemilu dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial-ekonomi atau sosio-demografi pemilih seperti umur, jenis kelamin
atau gender, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, status perkawinan, etnik atau suku bangsa, agama, tempat tinggal, sejarah, dan bahasa, tujuan kelompok, tipe kepemimpinan, komunikasi internal, dan sebagainya. Pandangan
model sosiologi sebagai pemikiran utama yang dirujuk dalam tulisan ini adalah untuk memetakan bagaimana perilaku memilih — atau untuk kepentingan penelitian ini disebut partisipasi pemilih dalam pemilu — masyarakat
Kabupaten Pesisir Selatan dalam Pemilu Legislatif 2014. Melalui mazhab atau model sosiologi ini akan dipetakan partisipasi masyarakat dalam Pemilu Legislatif 2014 berdasarkan umur, jenis kelamin, asal kecamatan, agama,
suku bangsa, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan tingkat pendapatan
Meskipun sangat disadari bahwa model sosiologi banyak menuai kritik terutama dari mazhab psikologi dan model ekonomi karena model sosiologi dianggap terbatas dalam menjelaskan perilaku memilih. Menurut
dua mazhab yang disebut belakangan, model sosiologi terbatas dalam menjelaskan variasi yang terjadi dalam perilaku memilih karena faktor-faktor ekonomi yang khas yang berlaku dalam setiap pemilihan. Faktor- faktor
sosial, menurut kedua mazhab tersebut, mungkin dapat menjelaskan stabilitas jangka panjang long-term stability dalam perilaku memilih. Tetapi ia tidak dapat menjelaskan variasi-variasi yang terjadi dalam perilaku memilih
dalam pemilu yang berbeda, misalnya mengapa seseorang yang tergolong dalam golongan sosial tertentu memilih sesuai dengan apa yang diharapkan oleh individu-individu atau kandidat- kandidat atau partai dari golongan
sosial yang berbeda.
Menurut pengkritik model sosiologi itu perilaku memilih tidak mesti dilakukan dari perspektif pemilih, tetapi boleh dilakukan dengan menilai faktor-faktor kontekstual seperti program partai politik, peran media,
struktur ekonomi negara, dan konteks di mana hubungan antara pemilih dan partai politik menjadi lebih kuat. Tetapi, tulisan ini tidak berurusan atau ambisius untuk menggunakan ketiga mazhab sekaligus seperti pernah
digambarkan oleh Evans 2004, yakni menggunakan pendekatan the “full” voting model, yang pernah dilakukan oleh Mujani et.al 2012. Jadi, tulisan ini hanya terbatas pada faktor-faktor sosial-ekonomi yang memengaruhi
perilaku memilih seperti sudah diuraikan di atas.
2.3 Konsep Politik Uang
Perilaku memilih yang telah didiskusikan di atas belakangan ini telah mendapat ancaman dengan apa yang marak disebut dengan politik uang. Sebagaimana sudah dikedepankan, politik uang telah menjadi fakta yang tak
terbantahkan dalam Pemilu Legislatif 2014 dan terjadi secara ‘massif” yang tak pernah terbayangkan sepanjang sejarah pemilu di Indonesia. Meskipun sebetulnya diskusi dan penelitian politik uang dalam khazanah ilmu
politik telah muncul sekitar tahun 1990-an dan 2000-an. Misalnya dalam tulisan tulisan-tulisan yang berjudul Vote-buying in Thailand’s Northeast Callahan dan Duncan 1996; 2002; Buying Votes in Japan Cox and Thies
2000; The Ideology of Vote-Buying dan Comparative Politics of Vote Buying Callahan 2002; The Effects of Vote- Buying in Taiwan Rigger 2002; What is Vote Buying? Schedler 2002; Vote-Buying in Argentina Brusco et al.
2004; Vote-Buying in East Asia Schaffer 2004; Vote Buying and Voter Education in the Philippines Schaffer 2005; What is Vote Buying? Schaffer and Schedler 2005; Elections for Sale: the Causes and Consequences of Vote
Buying Schaffer 2007; Vote Buying Dekel et al. 2005; How to Buy Votes Wang Kuzman 2007; Is Vote Buying Effective?: Evidence from a Field Experiment in West Africa Vicente 2007; Vote Buying and Violence in Nigeria
Bratton 2008; Clientelism and Vote Buying: Lessons from Filed Experiment in Africa Vicente and Wantchekon 2009; Vote Buying and Political Behavior in Kenya Kramon 2009; Violence, Bribery, and Fraud: the Political
Economy of Elections in Africa Collier and Vicente 2009; dan sebagainya.
Menurut Schaffer 2007 vote buying atau jual beli suara telah terjadi di hampir semua kawasan di dunia, mulai dari Asia India, Taiwan, Jepang, Thailand, Malaysia, Kamboja, Indonesia, Filipina, Korea Selatan, Afrika Benin,
Nigeria, Kenya, Zambia, Senegal, Maroko, Zimbabwe, Eropa dan negara-negara pecahan Uni Soviet Rusia, Ukraina, Armenia, kawasan Timur Tengah Yaman, Kuwait, Lebanon, Amerika Tengah dan Selatan Peru, Brazil,
Chili, Panama, Guatemala, Kolumbia, Venezuela, Argentina, dan kawasan Amerika Utara Meksiko dan Amerika Serikat. Selanjutnya menurut Schaffer 2007, dalam politik uang itu terdapat berbagai jenis material yang biasa
874
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Pemilu dan Parlemen
dipertukarkan dengan dukungan politik pemilih dalam rangka vote buying. Selain uang tunai dan jasa, materi yang ditawarkan kepada pemilih dapat berupa: sabun, ban, kursi, sarung, jam tangan, ayam, semen, wiski, kopi, gula, mie
instan, rokok, pemotong rambut, kemeja, telepon genggam, kue ulang tahun, kipas angin, minyak goreng, beras, pagar kawat, penggiling jagung, kantung plastik, mesin cuci, pasta gigi, dan sebagainya Schaffer dalam Ali Nurdin,
2014. Sementara di Nigeria, menurut peneliti lain yaitu Bratton 2008, bentuk politik uang yang ditawarkan pada umumnya berupa uang tunai 68, komoditi pakaian dan makanan 26, juga peluang kerja 6 Bratton dalam
Ali Nurdin, 2014.
Sedangkan untuk kasus Indonesia, politik uang mulai dibincangkan di tahun 2000-an oleh beberapa penulis sejalan dengan praktik politik uang yang marak terjadi dalam pemilihan umum. Untuk menyebut beberapa
diantaranya, misalnya dalam tulisan-tulisan yang berjudul: Politik Uang dalam Pilkada di Indonesia Amzulian Rifai 2003; Antara Uang dan Ketokohan: Kasus Kota Medan dan Kabupaten Simalungun Sri Nuryanti 2005; Politik Uang
dalam Pilkada Tedy Lesmana 2007; Politik Uang dan Pengaturan Dana Politik di Era Reformasi Bima Arya Sugiarto 2009; dan Politik Uang dan Perilaku Memilih dalam Pemilihan Gubernur Banten 2011 di Kabupaten Pandeglang Ali
Nurdin 2014. Dan penelitian yang relatif terbaru mengenai politik uang telah dilakukan oleh Aspinall et al 2015 yang dibukukan menjadi Politik Uang di Indonesia. Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014.
Penelitian Ali Nurdin 2014 misalnya menunjukkan bahwa: 1 status sosial ekonomi pemilih tidak berpengaruh terhadap praktik politik uang; 2 pengetahuan politik uang memberi pengaruh negatif terhadap
praktik politik uang; 3 praktik politik uang berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku memilih; 4 politik uang tidak terkait dengan model perilaku memilih tertentu, baik model sosiologis, sosial-psikologis, maupun
rasional; dan 5 politik uang terjadi bukan semata-mata karena pemilih mengharapkan kuntungan materi dari kandidat. Hasil penelitian ini pula menemukan bahwa politik uang dipengaruhi oleh persaingan antar-kandidat,
kemampuan materi kandidat, tradisi politik yang sudah membudaya di Banten, serta pengawasan dan penegakan hukum yang relatif lemah dari penyelenggara pemilu Ali Nurdin, 2014.
Sementara itu, Aspinall dan Sukmajati 2015 menunjukkan bahwa politik uang yang terjadi di Indonesia begitu beragam baik bentuk ataupun jenisnya. Menurut mereka, politik uang vote-buying terjadi dalam Pemilu
Legislatif 2014 di Indonesia sejak Bireuen Aceh hingga Jayapura Utara Papua. Bagi Aspinall dan Sukmajati, istilah politik uang digunakan untuk menggambarkan tindakan para kandidat yang membagikan uang kepada
para pemilih, memberikan barang serta menyuap para penyelenggara pemilu KPU dan BAWASLU dalam taraf yang sebelumnya tidak pernah terjadi dalam sejarah pemilu di Indonesia.
Karena istilah plitik uang itu beragam maka untuk menghindari kekaburan arti mengenai istilah ini, Aspinall dan Sukmajati 2015 mendefinsikan istilah politik uang sesuai dengan standar-standar yang ada dalam berbagai
kajian komparatif politik elektoral di berbagai negara. Mereka mendefinisikan istilah politik uang dengan fokus pada konsep patronase dan klientelisme. Dengan merujuk pada Shefter 1994 mereka mendefinisikan patronase
sebagai “sebuah pembagian keuntungan di antara politisi untuk mendistribusikan sesuatu secara individual kepada pemilih, para pekerja atau pegiat kampanye, dalam rangka mendapatkan dukungan politik dari para pemilih”
Shefter dalam Aspinall dan Sukmati 2015. Jadi patronase dapat berupa pemberian uang tunai, barang, jasa, dan keuntungan ekonomi lainnya seperti pekerjaan atau kontrak proyek yang didistribusikan oleh politisi, termasuk
keuntungan yang ditujukan untuk individu misalnya, amplop berisi uang tunai dan kepada kelompok pemuda misalnya, lapangan sepak bola baru untuk para pemuda di sebuah kampung. Patronase dapat juga berupa uang
tunai atau barang yang didistribusikan kepada pemilih yang berasal dari uang pribadi misalnya, dalam pembelian suara atau dari uang publik misalnya, proyek- proyek pork barrel yang dibiayai pemerintah.
Aspinall dan Sukmajati selanjutnya mengelaborasi perbedaan antara patronase dan klientelisme sebagai berikut: patronase merujuk pada materi atau keuntungan lain yang didistribusikan oleh politisi kepada pemilih atau
pendukung”, sedangkan kelientelisme merujuk pada “karakter relasi antara politisi dan pemilih atau pendukung”. Mereka secara konsisten menggunakan istilah patronase yang terwujud dalam bentuk-bentuk politik uang seperti:
“pembelian suara” vote-buying, “pemberian-pemberian pribadi individual gifts, “pelayanan dan aktivitas” services and activities, ”barang-barang kelompok” club goods, “proyek-proyek gentong babi” atau “proyek-proyek
875
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Pemilu dan Parlemen
pemerintah yang ditujukan untuk wilayah geografis tertentu” pork barrel projects. Bentuk lain dari politik uang model Aspinall dan Sukmajati adalah: “kandidat memberikan pembayaran kepada anggota-anggota tim sukses
dan menyediakan keuntungan-keuntungan lain yang sifatnya lebih klientelistik dan lebih berkesinambungan, seperti memberikan pekerjaan atau bantuan untuk mendapatkan alokasi proyek-proyek pemerintah.
Selain itu, Aspinall dan Sukmajati pula menjelaskan istilah politik uang vote- buying dengan istilah yang lebih luas yaitu retail vote buying “kandidat menginvestasikan uang mereka untuk membeli suara kepada pemilih
secara individual”. Atau membeli suara dari anggota penyelenggara pemilu, misalnya dengan menukar perolehan suara kandidat dari partai politik yang sama kulakan suara atau wholesale vote buying.
Berdasarkan dengan kenyataan di atas, maka konsep ketiga yang dirujuk dalam tulisan ini adalah konsep politik uang money politics yang sering dikacaukan dengan konsep uang politik political money atau pembiayaan
politik political finance seperti pernah dibahas oleh Ward 2003. Uang politik atau pembiayaan politik berkaitan dengan biaya-biaya yang dibutuhkan untuk misalnya membiayai kegiatan kampanye, operasional partai, sosialisasi
melalui media massa, dan pengeluaran yang bersifat legal berdasarkan peraturan yang ada Dagan 2008; Ohman dan Zainulbhai 2009.
Sebetulnya istilah politik uang money politics tidak dikenal dalam khazanah ilmu politik. Politik uang adalah istilah khas Indonesia untuk menggambarkan gejala politik serba uang dalam pelaksanaan pemilihan
umum. Menurut Ali Nurdin 2014, politik uang mengacu kepada perilaku para pemilih yang diduga lebih mempertimbangkan tawaran uang kontan atau materi lainnya agar bersedia memilih calon tertentu, ketimbang
melihat indikator-indikator lain seperti kredibilitas kandidat, kepribadian, serta pengalamannya dalam menduduki jabatan politik. Istilah politik uang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi money politics, suatu
istilah yang sebenarnya tidak dikenal dalam pustaka politik di luar Indonesia.
Konsep yang biasa digunakan dalam khazanah ilmu politik di Barat untuk menjelaskan gejala politik uang seperti terjadi di Indonesia adalah vote buying yang berarti pembelian suara. Istilah lain yang biasa digunakan
untuk vote buying adalah compra de votos Spanyol, achat de voix Perancis, dan stimmenkauf Jerman Schaffer dalam Ali Nurdin, 2014.
Dalam konteks Indonesia, Supriyanto 2005 misalnya memberikan dua pengertian mengenai politik uang. Pengertian yang pertama mengacu kepada praktik politik uang secara umum, yang disebutnya sebagai “pertukaran
uang dengan posisi atau kebijakan atau keputusan politik”. Pengertian yang kedua mengacu kepada praktik politik uang yang lebih khusus, yaitu “pembelian suara langsung kepada pemilih, bentuknya berupa pemberian ongkos
transportasi kampanye, janji membagi uangbarang, pembagian sembako atau semen untuk membangun tempat ibadah, ‘serangan fajar’, dan lain-lain”. Dari pengertian ini dapat dikategorisasikan bahwa vote buying sekurang
kurangnya mencakup pelaku aktor, jenis-jenis vote buying berupa barang atau jasa yang dipertukarkan, dan spektrum persebarannya apakah luas atau terbatas. Dalam konteks pemilu, pelaku politik uang atau vote buying
dapat melibatkan sedikitnya lima pihak yang memiliki kepentingan berbeda, yaitu pemilih, kandidat pemilu, partai politik, penyelenggara pemilu, dan penyandang dana pengusaha atau donor.
Tetapi bagaimanapun sejauh ini belum ada kesepakatan di antara para ilmuwan politik mengenai hubungan politik uang dengan perilaku memilih. Menurut Kramon 2009 seperti dikutip Nurdin 2014 sejauh ini belum
ada kesimpulan yang meyakinkan bahwa vote-buying memiliki pengaruh nyata terhadap perilaku memilih. Menurut Nurdin penelitian fenomena vote buying di Kenya, mempertanyakan apakah politik uang memengaruhi
perilaku politik, terutama dalam konteks pemilihan umum yang rahasia dan bersifat sukarela, mengingat hanya sedikit teori yang memiliki pandangan sama tentang hal tersebut. Kramon 2009 misalnya mengatakan bahwa:
“There is little theoretical convergence regarding the relationship of vote buying to voting behavior, partaicularly in the context of the secret ballot and voluntary voting. Does vote buying influence the political behavior of
potential voters? And if so, why?” Kramon dalam Ali Nurdin, 2014.
Dalam penelitian di Afrika Barat tersebut, pendidikan politik diduga sebagai faktor yang menentukan terhadap efektif tidaknya politik uang dalam memengaruhi preferensi pemilih. Semakin gencar kampanye masyarakat