544
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Politik Lokal
POLITIK INDEKS DAN ARAH PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA
Caroline Paskarina
Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran E-mail: caroline.paskarinaunpad.ac.id
A b s t r a k
Tulisan ini menganalisis arah perkembangan demokrasi di Indonesia dengan mengungkapkan sistem pengetahuan di balik berbagai indeks pengukuran kualitas demokrasi. Berbagai ukuran yang dipakai dalam asesmen demokrasi
membentuk batasan tersendiri tentang mana yang termasuk kategori demokrasi dan mana yang bukan. Hal ini mengindikasikan bahwa perkembangan demokrasi bukan sebuah proses yang netral, tapi merupakan pertarungan
kekuasaan untuk membentuk realitas tentang demokrasi, termasuk meminggirkan konsep-konsep alternatif yang tidak sejalan dengan konsep demokrasi yang diterima secara universal. Untuk membuktikannya, dipakai metode
analisis diskursus untuk mengungkap makna dari setiap metodologi indeks. Penelitian difokuskan pada analisis terhadap 2 dua indeks pengukuran demokrasi yang saat ini digunakan di Indonesia, yakni: Indeks Demokrasi
Indonesia IDI dan Indeks Demokrasi Asia IDA. IDI dikembangkan oleh Bappenas dan UNDP sejak tahun 2007, sedangkan IDA dikembangkan oleh Pusat Kajian Politik FISIP UI, DEMOS Lembaga Kajian Demokrasi dan
Hak Asasi, Institut Demokrasi dan Gerakan Sosial Universitas Sungkonghoe Korea Selatan dan Pusat Studi Dunia Ketiga Universitas Filipina sejak tahun 2012. Analisis difokuskan pada dimensi kontekstual, dimensi konseptual, dan
dimensi metodologis dari setiap indeks, untuk mengidentifikasi parameter yang digunakan, teknik perhitungan, dan selanjutnya diinterpretasi implikasi dari ketiga dimensi tersebut terhadap arah perkembangan demokrasi di Indonesia.
Kata kunci: pengukuran demokrasi, politik indeks
PENDAHULUAN
Perjalanan demokrasi di Indonesia sesungguhnya telah berlangsung cukup panjang. Dalam kerangka kepentingan pembangunan politik, pertumbuhan demokrasi di Indonesia sejak masa awal kemerdekaan hingga
masa Orde Baru mengarah pada pembentukan dan penguatan kapasitas berbagai institusi politik formal, seperti partai politik, pemilu, kelompok-kelompok kepentingan, dan pemenuhan hak-hak politik sipil, seperti kebebasan,
keterbukaan, dan partisipasi politik. Pada masa reformasi, diskursus demokratisasi juga masih mengusung isu- isu tersebut, dengan penekanan yang lebih kuat pada pemenuhan hak-hak politik sipil secara substantif dan
akuntabilitas politik negara yang ditandai oleh pengaturan ulang relasi kekuasaan antarlembaga-lembaga politik formal.
Tidak hanya di Indonesia, perjalanan demokratisasi juga menjadi perhatian penting bagi banyak negara di dunia, termasuk juga di Amerika Serikat sebagai negara yang dianggap pelopor demokrasi di dunia. Perhatian
ini tampak dari banyaknya kajian keilmuan yang menghasilkan teori dan metode penelitian untuk mengkaji fenomena demokratisasi. Perkembangan kajian demokrasi juga merambah pada pembentukan berbagai pusat
kajian, institut, dan program studi yang berfokus pada demokrasi, yang kemudian berperan besar sebagai produsen pengetahuan untuk mendukung demokratisasi di berbagai negara lain di dunia.
Produk lain yang lahir sebagai instrumen pendukung demokratisasi adalah berbagai instrumen pengukuran atau asesmen demokrasi. Pengukuran demokrasi dibangun atas dasar kerangka metodologi yang beragam, yang
menunjukkan keluasan perkembangan gagasan demokrasi saat ini. Kendati dibangun atas dasar konsep demokrasi yang beragam, keberadaan instrumen-instrumen asesmen demokrasi saat ini semakin strategis karena sejumlah
alasan. Pertama, untuk melihat sejauh mana telah terjadi kemajuan atau justru kemunduran dari proses demokrasi di Indonesia. Di manakah masalah-masalah utama yang dihadapi dalam demokratisasi yang sedang berlangsung.
Kedua, seperti dikatakan sejumlah ahli, demokrasi adalah proses ‘menjadi’ becoming yang berlangsung secara terus menerus. Oleh karena itu perhatian pada konteks menjadi sangat penting. Sebagai negara yang lama dikendalikan
oleh pemerintahan otoriter yang sarat perselingkuhan bisnis dan politik, dan dikelola secara sentralistik, maka penting mengamati transisi dari sifat otoritarian ke demokrasi.
545
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Politik Lokal
Hingga saat ini, tercatat 2 dua indeks demokrasi yang dikembangkan di Indonesia, baik oleh Pemerintah Republik Indonesia maupun oleh lembaga kajian demokrasi di Indonesia. Kedua indeks tersebut adalah Indeks
Demokrasi Indonesia IDI dan Indeks Demokrasi Asia IDA. IDI dikembangkan oleh Bappenas dan UNDP sejak tahun 2007, sedangkan IDA dikembangkan oleh Pusat Kajian Politik FISIP UI, DEMOS Lembaga Kajian
Demokrasi dan Hak Asasi, Institut Demokrasi dan Gerakan Sosial Universitas Sungkonghoe Korea Selatan dan Pusat Studi Dunia Ketiga Universitas Filipina sejak tahun 2012.
Indeks-indeks pengukuran demokrasi memberikan gambaran umum tentang pencapaian demokrasi di suatu negara sekaligus menunjukan perbandingan kemajuan demokratisasi antarnegara di dunia. Pemeringkatan
ini bermakna ganda, tidak saja menjadi indikasi prestasi dalam hal pelaksanaan demokrasi, tapi juga menjadi pintu masuk bagi berbagai lembaga internasional untuk melakukan asistensi bagi pengembangan demokrasi
di negara yang bersangkutan. Berbeda dengan instrumen-instrumen politik konvensional, politik indeks menggunakan pengetahuan sebagai basis untuk memberikan justifikasi bagi perkembangan demokrasi. Kondisi ini
mengindikasikan bahwa perkembangan demokrasi bukan sebuah proses yang netral, tapi merupakan pertarungan kekuasaan untuk membentuk realitas tentang demokrasi, termasuk meminggirkan konsep-konsep alternatif yang
tidak sejalan dengan konsep demokrasi yang diterima secara universal. Karena itu, menarik untuk diungkapkan bagaimana politik indeks ini mengarahkan perkembangan demokrasi di Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA
Perdebatan tentang demokrasi sampai saat ini masih berlangsung dengan sangat dinamis. Dinamika teorisasi demokrasi tersebut tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sosial dalam suatu masyarakat. Selama periode
1950-an sampai setelah 1970-an, teorisasi demokrasi menunjukkan pergeseran pusat perhatian dari konsep demokrasi substantif ke demokrasi prosedural. Teoretisasi demokrasi sebelum tahun 1970-an mengasumsikan
suatu model demokrasi yang didasarkan pada pengalaman negara-negara Barat, yang ditandai oleh 3 tiga ciri, yaitu: 1 ekonomi yang makmur dan merata; 2 struktur sosial yang modern, mengenal diversifikasi dan
didominasi oleh kelas menengah yang independen; dan 3 budaya politik nasional yang secara implisit sudah demokratis, yaitu toleran terhadap perbedaan dan cenderung akomodatif Mas’oed, 1994: 6. Pemikiran ini
menunjukkan bahwa teori-teori demokrasi pada masa sebelum 1970-an sangat hirau dengan substansi demokrasi yang berwujud jiwa, kultur, atau ideologi demokratis yang mewarnai pengorganisasian internal partai politik,
lembaga-lembaga pemerintahan maupun perkumpulan kemasyarakatan. Sebaliknya, pada masa setelah 1970-an, teori-teori demokrasi yang berkembang banyak bercorak prosedural, yang sangat hirau pada ketersediaan prosedur
dan institusi politik formal untuk menjamin fungsi perwakilan politik masyarakat.
Pada dekade 1990-an muncul kecenderungan baru yang menggeser kembali konsepsi demokrasi pada dimensi substantif. Kecenderungan ini tampak dari berkembangnya pemikiran-pemikiran kritis yang mempertanyakan
dampak positif dari penerapan demokrasi prosedural terhadap perbaikan kehidupan masyarakat. Sikap kritis ini muncul melihat praktik demokrasi di negara-negara yang telah memasuki transisi demokrasi ternyata justru
menampakan ciri melemahnya kapasitas negara dalam memenuhi nilai-nilai demokrasi. Kecenderungan- kecenderungan inilah yang kemudian memunculkan isu baru tentang instrumentasi demokrasi.
Demokrasi pascaberakhirnya Perang Dunia II telah menjadi agenda global yang tidak hanya diperjuangkan oleh institusi negara, tapi juga oleh lembaga-lembaga internasional bahkan komunitas epistemik Gills, 2002.
Seiring dengan mengglobalnya penyebaran demokrasi, konseptualisasi demokrasi pun mengalami pergeseran yang semula bertopang pada negara-bangsa menjadi suatu proses yang dilakukan bersama secara multi-stakeholders. Di
sisi lain, perjuangan untuk menjadikan demokrasi sebagai tatanan global juga melahirkan rezim baru, yakni rezim standardisasi demokrasi. Hal ini yang kemudian mendasari lahirnya berbagai standar pengukuran demokrasi.
Terdapat sejumlah instrumen pengukuran demokrasi yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga internasional. Freedom House misalnya, melakukan pengukuran demokrasi di seluruh dunia setiap tahun dan
menghasilkan ranking demokrasi negara-negara di seluruh dunia. Ada dua kategori yang digunakan untuk mengaudit, yakni hak politik dan kebebasan sipil. Ketersediaan hak politik adalah hal penting yang dapat menjamin
546
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Politik Lokal
bekerja tidaknya demokrasi. Hak politik ini misalnya hak untuk bergabung dalam partai politik dan organisasi politik, mencalonkan diri untuk menduduki posisi publik dalam pemilu, bebas memberikan suara dalam pemilu,
dan memilih wakil yang dianggap dapat diminta pertanggungjawaban accountable. Sementara itu, kebebasan sipil mencakup hak kebebasan berpendapat dan membentuk perserikatan, adanya supremasi hukum, dan adanya
kemandirian individual termasuk kemandirian di bidang ekonomi dari campur tangan Negara.
Selain Freedom House, lembaga lain yang mengembangkan instrumen pengukuran demokrasi adalah Economist Intellegence Unit EIU. Lembaga ini mempublikasikan laporannya secara rutin tentang Democracy Index, yang
menggunakan lima kategori, yakni proses pemilu dan derajat pluralisme, kebebasan sipil, pemerintah yang berfungsi, partisipasi politik, dan kebudayaan politik. Data EIU berasal dari hasil wawancara dengan pengamat
atau ahli politik yang berasal dari Negara-negara yang dievaluasi. EIU menggabungkan hasil auditnya dengan hasil survey yang dilakukan lembaga lain yang juga memfokuskan pada kinerja demokrasi di Negara-negara yang
sedang dievaluasi.
Berikutnya adalah indeks Demokrasi Dunia yang dikembangkan oleh World Democracy League WDL. Lembaga ini memfokuskan diri pada empat parameter mengukur demokrasi yakni hak asasi manusia, hak politik,
hak untuk berbicara dan mengemukakan pendapat, dan adatidaknya korupsi di sebuah Negara. WDL mendasari laporannya pada laporan yang ditulis oleh lembaga lain seperti Freedom House, Transparency International, Amnesty
International, Human Right Watch, dan the International Commission of Jurists. Dengan mengkompilasi data keluaran keempat lembaga ini WDL membuat pengelompokan kadar demokrasi di dunia. Juga ada beberapa
metode yang didesain oleh beberapa perguruan tinggi, namun sifatnya masih dalam tahap pengembangan. Misalnya, Project Polity IV yang dipimpin oleh Ted Robert Gurr, profesor di University of Maryland, atau
Vanhanen’s Index of Democracy yang didesain oleh Tatu Vanhanen emiritius professor di University of Tampere dan University of Helsinki. Di Indonesia, pengukuran demokrasi juga dikembangkan oleh Bappenas 2009
dengan nama Indeks Demokrasi Indonesia IDI. Parameter yang digunakan oleh IDI mengandaikan pada bekerjanya gagasan demokrasi sebagai prinsip universal yang ditandai dengan adatidaknya indikator jaminan
hak politik tanpa mempertimbangkan aspek kontekstual.
Instrumen-instrumen ini tentu saja dibangun dengan perspektif berbeda, menggunakan asumsi-asumsi berbeda, alat ukur, dan metode pengukuran yang juga berbeda. Keberadaan berbagai indeks pengukuran demokrasi
ini bukan semata-mata bertujuan untuk memperoleh angka atau peringkat, tapi menentukan arah pelembagaan demokrasi di suatu negara.
METODE PENELITIAN
Tulisan ini menggunakan metode analisis diskursus, yakni metode yang berfokus pada pemakaian bahasa teks secara lisan maupun tulisan sebagai bentuk dari praktik sosial Eriyanto, 2001. Praktik sosial yang dimaksud
adalah politik indeks, atau penggunaan indeks sebagai teknologi untuk membentuk realitas praktik demokrasi. Analisis pada masing-masing indeks didasarkan pada ketiga unsur dari diskursus kekuasaan tersebut. Lembaga
penerbit indeks sebagai subjekobjek kuasa dianalisis dari kedudukannya dalam negara, fungsi atau aktivitas yang dijalankannya, latar belakang pembentukan, dan hubungan jejaring kerja lembaga tersebut dengan lembaga-
lembaga lainnya. Dari sisi teks kuasa, indeks dianalisis dengan menguraikan konsep demokrasi yang dipakainya, kerangka filosofis yang mendasari pilihan konsep tersebut, penjabaran konsep tersebut ke dalam variabel,
parameter, atau indikator dan instrumen yang dipakai untuk melakukan pengukuran, serta metode pengukuran yang digunakan. Dari sisi konteks kekuasaan, analisis difokuskan pada pengungkapan maksud dan tujuan yang
melatarbelakangi pembuatan dan penggunaan indeks, aksesibilitas hasil pengukuran, dan pemanfaatan indeks untuk mempengaruhi kebijakan publik.
Metode ini dilakukan dengan mengamati naskah untuk menemukan apa medan wacana yang ada di sana; siapa yang menjadi pelibat wacananya, dan bagaimana sarana wacananya. Kemudian menafsirkannya sesuai
perspektif teori yang dipergunakan dalam penelitian yang sedang dilakukan. Naskah tekstual yang digunakan dalam penelitian ini meliputi laporan-laporan dan dokumen-dokumen lain yang terkait dengan pengembangan Indeks
547
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Politik Lokal
Demokrasi Indonesia IDI dan Indeks Demokrasi Asia IDA sebagai dua indeks demokrasi yang menjadi unit analisis. Kendati ada juga pengukuran demokrasi di Indonesia lainnya, seperti Indeks Demokrasi yang diterbitkan
oleh Komunitas Demokrasi Indonesia KDI, tapi dengan mempertimbangkan regularitas penerbitan indeks, maka studi ini memilih IDI dan IDA sebagai unit analisis.
Hasil pengolahan data dianalisis dengan teknik interpretasi untuk mengungkapkan dimensi kontekstual, dimensi konseptual, dan dimensi metodologis dari setiap indeks, untuk selanjutnya menginterpretasi implikasi
dari ketiga dimensi tersebut terhadap arah perkembangan demokrasi di Indonesia.
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
1. Indeks Demokrasi Indonesia dan Konstruksi Demokrasi yang Teknokratis
Indeks Demokrasi Indonesia IDI merupakan pengukuran ‘resmi’ yang diterbitkan oleh negara dalam hal ini Badan Perencanaan Pembangunan Nasional untuk mengetahui derajat pertumbuhan demokrasi di Indonesia.
Lahirnya Indeks Demokrasi Indonesia didorong oleh keinginan untuk menunjukkan tingkat perkembangan demokrasi di Indonesia secara kuantitatif. Hal ini secara eksplisit dinyatakan dalam situs resmi Indeks Demokrasi
Indonesia, yang menyatakan sebagai berikut:
«... Sampai kini demokrasi hanya diukur secara kualitatif – yaitu berdasarkan estimasi personal, tanpa melalui data standar yang jelas
... Indeks-indeks yang cukup populer dan sering dikutip adalah indeks milik The Freedom House dan The Economist Intelligent
Unit. Terlepas dari keakuratannya, kedua indeks tersebut merefleksikan pembangunan demokrasi di Indonesia dari luar, hanya mengukur dalam skala nasional dan tidak menampilkan apa yang terjadi di tingkat provinsi.” http:www.idiproject.orgindex.php
idtentang-kamisejarah, diunduh tanggal 15 April 2015.
Pernyataan yang dikutip di atas menunjukkan alasan utama dari disusunnya Indeks Demokrasi Indonesia adalah keinginan untuk melakukan pengukuran hasil dan kemajuan demokrasi di Indonesia secara kuantitatif
dengan menggunakan standar yang jelas. Keinginan ini juga diperkuat dengan membandingkan pengukuran- pengukuran lain yang sejenis yang dianggap sebagai indikator yang telah mapan untuk menilai praktik demokrasi,
seperti yang diterbitkan oleh The Freedom House dan The Economist Intelligent Unit. Kendati ada pernyataan bahwa kedua indikator dari luar tersebut memiliki keterbatasan, tapi argumen utama yang ingin disampaikan
adalah soal kemapanan yang bisa diperoleh dari standarisasi pengukuran demokrasi secara kuantitatif. Dengan memapankan pengukuran demokrasi, pencapaian demokrasi memperoleh pembenaran ilmiah yang kuat,
sebagaimana ditegaskan melalui pernyataan bahwa yang diperlukan adalah evaluasi perjalanan demokrasi yang tidak bersifat subjektif. Dengan melakukan pengukuran secara objektif, Negara ingin memberikan kepastian
kepada publik bahwa demokrasi berjalan pada jalur yang direncanakan on the right track.
Medan wacana yang dipakai untuk membangun argumentasi tentang pentingnya penyusunan IDI tidak hanya terkait dengan demokratisasi yang menjadi agenda reformasi, tapi juga bagaimana mengintegrasikan
demokrasi ke dalam ranah pembangunan. Penyusunan IDI merupakan projek kerjasama antara United Nations Development Program UNDP dan Bappenas. UNDP merupakan badan Perserikatan Bangsa-bangsa PBB yang
memfasilitasi negara-negara berkembang untuk mengatasi kemiskinan, kesenjangan, dan ketertinggalan. Peran serta UNDP dalam penyusunan IDI menunjukkan bahwa isu demokrasi telah menjadi isu global yang tidak lagi
bersifat parsial, semata untuk kepentingan politik. Ada kepentingan pembangunan yang juga menjadi sasaran perubahan dengan hadirnya IDI, terutama dari sisi kebijakan pembangunan dan pelembagaan institusi-institusi
demokrasi formal. Hal ini termuat dalam dokumen Project Facts IDI, pada bagian Utilisation of the Index atau pemanfaatan indeks yang menyebutkan dua kegunaan IDI, yakni sebagai berikut:
1 As a tool for political development planning by BAPPENAS, which will be included in Indonesia’s Mid-Term
Development Plan 2010-2014; and
2 As a tool to understand democratic development in Indonesia by the public represented by CSOs, universities,
and other stakeholders. UNDP, 2011: 2.
548
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Politik Lokal
Dalam perspektif UNDP, IDI merupakan alat untuk mengintegrasikan demokrasi ke dalam perencanaan pembangunan. Ini merupakan hal baru setelah selama lebih dari 3 tiga dekade, pembangunan menjadi praktik
yang seolah-olah abai terhadap politik. Di sisi lain, IDI juga menjadi alat untuk memahami perkembangan demokrasi di Indonesia, tidak hanya bagi orang Indonesia, tapi juga bagi seluruh warga dunia. Perkembangan
demokrasi di Indonesia turut dipantau secara internasional, sehingga melalui IDI, Pemerintah Indonesia telah mengikatkan diri pada konsensus global terhadap model demokrasi tertentu.
Pilihan terhadap model demokrasi tersebut dikuatkan oleh kerangka konseptual yang lahir dari proses akademik. Untuk menunjukkan bahwa indeks tersebut lahir dari proses yang ilmiah, dibentuk Panel Ahli yang
terdiri dari para akademisi yang berasal dari beragam perguruan tinggi di Indonesia. Awalnya ada 4 empat akademisi yang terseleksi sebagai Panel Ahli, yakni Prof. Dr. Maswadi Rauf, Saiful Mujani, Ph.D, Abdul Malik
Gismar, Ph.D, dan Syarif Hidayat Ph.D. Keempat orang yang menjadi Panel Ahli di awal penyusunan IDI memiliki latar belakang pendidikan yang hampir sama, yakni pernah menempuh pendidikan di Amerika Serikat
atau Australia dan berpengalaman dalam riset-riset politik yang bersifat behavioralis. Dengan latar belakang tersebut, kerangka pengetahuan yang mendasari penyusunan indikator-indikator dalam IDI turut terpengaruhi
pula oleh pengalaman pengetahuan yang dimiliki para anggota awal Panel Ahli tersebut. Pada penyusunan IDI 2009 dan IDI 2010, keanggotaan Panel Ahli ditambah menjadi 5 lima orang, dengan masuknya Prof.
Dr. Musdah Mulia menggantikan Dr. Saiful Mujani, dan penambahan anggota baru yakni Agust Parengkuan. Meskipun terjadi perubahan dalam keanggotaan Panel Ahli, tapi kerangka pikir yang dipakai tidak mengalami
perubahan karena perubahan keanggotaan tersebut bertujuan untuk memenuhi keterwakilan unsur-unsur dalam masyarakat dan bukan untuk mengubah kerangka konseptual yang dipakai untuk membangun indeks.
IDI disusun dengan berpatokan pada 3 tiga aspek demokrasi, yakni kebebasan sipil civil liberties, hak-hak politik political rights, dan lembaga demokrasi institutions of democracy Rauf, dkk., 2011: 15. Ketiga aspek ini
merupakan pilar demokrasi liberal yang juga digunakan sebagai indikator perkembangan demokrasi oleh lembaga- lembaga riset internasional, antara lain digunakan oleh Freedom House mencakup kebebasan sipil dan hak-hak politik.
Secara historis, ketiga dimensi ini memiliki kaitan erat dengan dokumen-dokumen pengakuan hak asasi manusia secara internasional, yang termuat dalam Universal Declaration of Human Rights dan International Covenant on Civil
and Political Rights, yang menjadi dasar penegasan pentingnya hak-hak politik dan kebebasan sipil sebagai prasyarat bagi demokrasi yang bermakna. Pembatasan pada ketiga dimensi ini juga berimplikasi pada arah pengembangan
demokrasi yang diharapkan dilakukan di Indonesia. Dalam kata sambutan yang termuat dalam buku Laporan Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2009, United Nations Resident Coordinator Indonesia menyatakan sebagai berikut:
«The United Nations Development Programme is pleased that the Government of Indonesia has made a commitment to the Indonesia Democracy Index, which signifies the priority it places on strengthening democracy. We hope that this report, and the others that follow,
will help the government to consolidate its efforts in empowering democratic institutions to realize the civil liberties and political rights
of all Indonesian citizens” El-Mostafa Benlamlih, UN Resident Coordinator Indonesia, 2011: vi.
Pernyataan di atas menegaskan bagaimana UNDP memposisikan IDI sebagai instrumen politik untuk meminta komitmen Pemerintah Indonesia dalam penguatan demokrasi di ketiga dimensi tersebut. Tidak hanya
komitmen politik yang dituntut, tapi juga sudah mengarah pada upaya yang lebih implementatif, mencakup penentuan prioritas kebijakan, konsolidasi langkah-langkah program-program pemberdayaan institusi demokrasi
untuk menjamin tercapainya kebebasan sipil dan hak-hak politik.
Seperti juga indeks-indeks lain yang dikembangkan UNDP, seperti Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Kebahagiaan, dan sejenisnya, penggunaan indeks ini diharapkan menjadi sarana untuk saling belajar pengalaman
dari provinsi lain yang mencapai indeks lebih tinggi. Pendekatan ini sebenarnya rentan mereduksi IDI sekedar sebagai angka-angka statistik yang tidak sepenuhnya menggambarkan persoalan-persoalan demokrasi dalam
praktik sehari-hari. Dengan berpatokan pada keinginan untuk meningkatkan capaian IDI, kebijakan dan program pemerintah semata-mata memprioritaskan pemberdayaan dalam dimensi dan indikator yang dipakai
IDI, sedangkan dimensi-dimensi lain yang tidak termasuk dalam IDI beresiko terabaikan.
549
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Politik Lokal
Pemanfaatan IDI sebagai alat atau instrumen pembangunan demokrasi ditegaskan dengan masuknya IDI sebagai bahan penyusunan rencana pembangunan jangka menengah. Indikator-indikator yang digunakan IDI
dijadikan sebagai dasar penentuan prioritas pengembangan demokrasi di tingkat nasional maupun provinsi. Indikator-indikator dengan capaian rendah diprioritaskan untuk ditingkatkan, sedangkan capaian yang sudah
tinggi dipertahankan. Pemaknaan IDI sebagai alat atau instrumen dan pemanfaatannya yang mekanistik untuk menunjukkan capaian indikator demokrasi yang masih kurang untuk diperbaiki telah menempatkan pelembagaan
demokrasi sebagai proses linear dan simplistik. Pengukuran IDI tidak dapat mengungkapkan keterkaitan antarvariabel ataupun indikator, sehingga lebih fungsi utamanya adalah mengidentifikasi apa saja yang menjadi
kelemahan dari pelembagaan demokrasi di tingkat provinsi.
Hasil pengukuran IDI pada tahun 2009 menemukan bahwa capaian perkembangan demokrasi di seluruh provinsi di Indonesia berada pada kategori tinggi, khususnya pada aspek kebebasan sipil. Sebaliknya, aspek hak-
hak politik mendapat nilai terendah di tahun 2009. Interpretasi dari rendahnya capaian indeks untuk hak-hak politik ini diduga karena warga negara Indonesia belum sepenuhnya dapat menggunakan hak-hak politiknya
dengan benar Rauf, dkk., 2011: 80. Demikian pula dengan aspek institusi politik, capaian indeksnya tergolong dalam kategori sedang. Perkembangan demokrasi yang dipotret dalam survei IDI 2009 menunjukkan bahwa
demokrasi di Indonesia baru mencapai tahap liberalisasi tapi tidak diimbangi dengan meningkatnya kapasitas individu untuk memanfaatkan kebebasan tersebut dengan kesadaran politik yang otonom. Tidak hanya kapasitas
individu, kapasitas lembaga-lembaga politik juga belum menunjukkan perbaikan berarti. Survei IDI 2009 menamakan kondisi ini sebagai ‹demokrasi jalanan›, yang berpotensi mengarah pada anarkhi.
Temuan ini menjadi tema lanjutan dari survei IDI 2010 yang laporannya diberi judul «Kebebasan yang Bertanggung Jawab dan Substansial: Sebuah Tantangan». Survei IDI 2010 ini memang diperbandingkan dengan
hasil survei IDI 2009, sehingga aspek, variabel, maupun indikatornya tidak mengalami perubahan. Dalam Laporan IDI 2010, ditegaskan bahwa IDI bukan instrumen untuk mengevaluasi kinerja pemerintah, tapi memberikan
gambaran bagi prioritas pembangunan politik yang berfokus pada penilaian indeks yang masih rendah. Penegasan ini dinyatakan dalam pengantar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan juga Menteri
Perencanaan Pembangunan NasionalKepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Kepala Badan Pusat Statistik dalam Laporan IDI 2010 Rauf, dkk., 2012. Pernyataan dari para pejabat negara ini membentuk
medan wacana baru yang menempatkan Negara bukan sebagai satu-satunya aktor yang bertanggung jawab dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Di satu sisi, hal ini bermakna bahwa ada ruang partisipasi publik yang
diperluas dalam pelembagaan demokrasi, tapi di sisi lain juga memindahkan posisi Negara bukan sebagai sasaran evaluasi dalam pelembagaan demokrasi.
Laporan IDI 2010 juga memunculkan penegasan tentang kekhasan Indeks Demokrasi. Pengukuran demokrasi merupakan praktik universal yang dilakukan di banyak negara, bahkan di tingkat global juga ada lembaga-lembaga
internasional yang melakukan pengukuran demokrasi untuk membandingkan pencapaian demokrasi di berbagai negara. Karena itu, pernyataan bahwa IDI adalah indeks yang khas Indonesia yang secara eksplisit ditegaskan dalam
Laporan IDI 2010 menjadi wacana yang menarik. Tidak hanya disampaikan oleh para pejabat tinggi Indonesia yang bertanggung jawab dalam pengembangan IDI, pernyataan kekhasan IDI juga dikemukakan oleh Country
Director UNDP untuk Indonesia. Dalam bagian Pengantar pada buku Laporan IDI 2010, Beate Trankmann Country Director UNDP untuk Indonesia menuliskan sebagai berikut:
«Mulai tahun 2011, pemerintah telah mengalokasikan dana APBN untuk mendukung BPS mengumpulkan data untuk laporan ini serta Kementerian Dalam Negeri untuk mensosialisasikan hasil indeks. Hal ini telah menunjukkan kepemilikan dan komitmen
pemerintah. UNDP percaya bahwa IDI akan terus digunakan sebagai alat yang penting untuk membantu Indonesia menguatkan proses perencanaan pembangunan dan konsolidasi demokrasi lebih lanjut.” dalam Rauf, dkk., 2012: xii.
Alokasi APBN untuk penyelenggaraan survei IDI menjadi ukuran komitmen Pemerintah dalam perkembangan demokrasi. Selain penanda komitmen terhadap perkembangan demokrasi, pengalihan penganggaran kepada
Pemerintah juga menandai kepemilikan Indonesia atas IDI. Kendati indikator ini awalnya dikembangkan dengan merujuk pada indeks sejenis yang dikembangkan di lembaga-lembaga global, seperti Freedom House,
550
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Politik Lokal
juga melibatkan asistensi dari UNDP dalam pengembangan indikator dan kuesionernya, tapi sejak tahun 2010 UNDP hanya memberikan dukungan teknis dalam penyelenggaraan survei rutin tahunan IDI. Klaim kepemilikan
ini bermakna politis agar IDI tidak dipandang sebagai produk lembaga donor. Dengan menegaskan bahwa IDI adalah milik Indonesia, maka klaim bahwa indikator-indikator demokrasi tersebut sudah relevan dengan kekhasan
Indonesia juga dapat diperkuat. Ada keinginan untuk membuktikan bahwa praktik demokrasi di Indonesia adalah praktik yang khas, tapi kekhasan ini juga dapat digeneralisasikan dalam bentuk indeks. Keinginan ini menarik
karena makna politis dari keberadaan IDI menjadi lebih dari sekedar tersedianya ukuran yang objektif seperti diungkapkan pada awal penyusunan IDI, tapi juga kepentingan untuk membentuk pengetahuan baru tentang
demokrasi modern di Indonesia pasca-Reformasi.
Survei IDI 2011 mengambil tema “Demokrasi Indonesia: Ledakan Tuntutan Publik vs Inersia Politik”. Inersia politik yang dimaksud adalah praktik politik yang tidak disertai oleh proses, fungsi, dan kapasitas lembaga
yang mampu untuk mengakomodasi, menindaklanjuti, dan memenuhi tuntutan publik yang sah Rauf, dkk., 2013: x. Selain kesenjangan antara menguatnya tuntutan publik dan kinerja lembaga-lembaga politik untuk
menjawabnya, Survei IDI 2011 juga mengidentifikasi kesenjangan capaian demokrasi antarprovinsi Rauf, dkk., 2013: 68. Kondisi ini memunculkan medan wacana baru bahwa demokrasi adalah proses yang dinamis yang
memerlukan upaya-upaya riil untuk mempertahankan kondisi demokratis tersebut. Analisis yang disampaikan oleh Panel Ahli dalam laporan-laporan IDI selama tahun 2009-2011 menguatkan pengetahuan tersebut dengan
menggunakan angka-angka indeks sebagai pembentuk klaim kebenaran.
Produksi pengetahuan tentang upaya-upaya mempertahankan demokrasi menjadi penting demi menjamin agar demokrasi tetap berjalan di jalur yang benar Rauf, dkk., 2013: 70. Secara eksplisit, ini ditegaskan dalam
pernyataan sebagai berikut:
«...Bagi negara demokrasi baru yang paling penting adalah memastikan bahwa demokrasi tetap dalam lintasan jalan trajektori menuju keadaan yang lebih baik dan tidak tenggelam dalam stagnasi apalagi justru kembali ke arah yang tidak demokratik.
Untuk itu diperlukan ketajaman dalam memahami dan konsistensi dalam merawat faktor kultural, institusional, dan politik yang menentukan naik dan turunnya kualitas demokrasi”. Rauf, dkk., 2013: 70.
Kepentingan utama dari IDI adalah mengarahkan jalannya perkembangan demokrasi di Indonesia demi menjamin agar otoritarian tidak kembali lagi. Sebagai sebuah dokumen Laporan, Indeks Demokrasi Indonesia IDI
telah dimanfaatkan secara resmi oleh Bappenas, dalam menetapkan target pembangunan nasional bidang politik pada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah RPJMN 2010 – 2014. Demi pencapaian target pembangunan
tersebut, peran berbagai pemangku kepentingan dalam menjaga keberlangsungan demokrasi yang sehat tentu saja sangat penting. Peran pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah provinsi, menjadi sangat menentukan terutama
dalam menjaga dinamika perkembangan demokrasi di daerah. Hal ini juga sejalan dengan era otonomi daerah, di mana proses devolusi, dekonsentrasi dan desentralisasi telah memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada pemerintah
daerah untuk mengurus dan mengatur pemerintahannya sendiri terutama terkait dengan penyediaan fasilitas dan pelayanan publik public service. Analisis dan rekomendasi yang dihasilkan dari setiap Laporan IDI yang kemudian
masuk ke dalam RPJMD Provinsi menjadikan reproduksi pengetahuan mapan sekaligus menghasilkan efek kekuasaan karena menentukan pengelolaan aspek-aspek kebebasan sipil, hak-hak politik, dan institusi politik di daerah.
Bercermin pada hal tersebut, sejak tahun 2011, telah dilakukan uji coba pemanfaatan utilisasi IDI pada sejumlah provinsi percontohan. Program ini dilakukan untuk mengajak dan meyakinkan pemerintah daerah
dalam menggunakan IDI sebagai bahan rujukan utama dalam menyusunan program-program pembangunan terutama pembangunan dalam bidang politik. Ruang terbuka pemanfaatan IDI dilakukan dimulai saat penyusunan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMD sebagai dokumen perencanaan pembangunan di daerah maupun rencana kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah SKPD. Selain peran yang dimainkan oleh
konsultan IDI di masing-masing provinsi, pembangunan kemitraan dengan para pemangku kepentingan di daerah merupakan salah satu sarana yang digunakan dalam kerangka pemanfaatan IDI. Peran Pokja Demokrasi
IDI ditunjuk melalui Surat Keputusan SK Gubernur, serta dipimpin secara langsung oleh Sekretaris Daerah Sekda menjadi sangat strategis. Dalam aktivitasnya, kegiatan pemanfaatan IDI akan dilakukan melalui kemitraan