596
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Politik Lokal
Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum lihat tabel 5.8. Praktek politik uang dilakukan dengan berbagai cara dan bentuk, mulai dari
pemberian hadiahuang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan bahkan sampai
kepada praktek jual beli suara.
Tabel 5.8: Siapakah yang memberikan tawaran uang atau barang kepada IbuBapak
Yang Memberikan Uangbarang Persen
Pengurus Partai Politik 19.7
Tim sukses caleg 54.5
Kepala DesaWali NagariWali JorongPerangkat Nagari 6.1
Tetangga yang jadi simpatisan caleg 9.1
Tokoh masyarakat 1.5
Lainnya 9.1
Total 100.0
Sumber: diolah dari data primer
Dari temuan data dilapangan praktek money politic sangat bervariasi baik dari bentuk maupun modusnya. Diantarnya adalah seperti jual beli suara vote buying merupakan bentuk transaksi politik yang mudah ditemui
dalam pemilu kita selama ini. Kandidat melalui tim sukses atau pihak lain, membagi-bagikan uang kepada pemilih di suatu wilayah. Kisaran uang yang biasa di tebar mulai dari sepuluh ribu rupiah hingga seratus ribu rupiah atau
berupa barang seperti jilbab, garam dan sembako lainnya.
Tabel 5.9: Bentuk pemberian ini yang mungkin di terima bila ada caleg yang menawarkannya saat menjelang Pemilu legislatif 2014
Bentuk Pemberian Persen
Uang 28.1
Layanan Kesehatan gratis 17.2
Kaos Jilbab 32.8
Sarung 7.8
perbaikan jalan 1.6
Bentuk lainnya 6.2
Tidak menerima pemberian dalam bentuk apapun 6.2
Total 100.0
Sumber: diolah dari data primer
Modus lain adalah adanya kesepakatan antara kandidat dengan warga atau komunitas. Kesepakatan dukungan suara dengan syarat pemberian imbalan materi oleh kandidat. Modus seperti ini disebut juga klientalisme. Dalam
klientilisme, warga dijadikan mesin politik kemenangan kandidat. Seperti yang diakui oleh salah seorang aktivis LSM dan sekaligus tim sukses beberapa orang caleg. Ia menyatakan bahwa menjual suara orang-orang yang
dekat dengannya dan LSMnya kepada kandidat. Demikian juga pengakuan seorang tokoh partai yang tidak maju menjadi caleg, mengaku mengarahkan suara pada pendukungnya untuk memilih salah satu caleg yang
memberinya imbalan.
Kemudian ada yang disebut Bias Partisan. Bentuk transaksi itu lebih lazim dilakukan oleh kandidat petahana yang sedang menjabat. Kandidat menyalurkan bantuan kepada program, sebagai sebuah sumbangan terselubung
untuk membangun simpati warga. Sifat bantuannya tidak merata. Menggunakan dana pemerintah, menyasar daerah tertentu seperti basis partai atau pendukungnya saja. Selain itu ada bentuk lainnya dari perilaku money
poltics yaitu melakukan aksi sosial seperti pengobatan gratis, perbaikan jalan, perbaikan jembatan, perbaikan rumah ibadah dengan perjanjian warga akan memilih sang kandidat.
597
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Politik Lokal
KESIMPULAN
Sulit dipungkiri bahwa praktek transaksi politik yang melemahkan memang masih marak dilakukan oleh kandidat dan pemilih kita. Penawaran hadiah atau barang dari para kandidat dan timnya disambut baik oleh
pemilih secara terbuka. Pemilih sangat permisif terhadap praktek politik uang, meskipun mereka menyadari bahwa hal itu adalah tidak baik. Padahal semestinya, transaksi politik harus bersifat jangka panjang dan programatik. Ciri-
cirinya adalah adanya proses pengumpulan informasi masalah dan kebutuhan warga, penghimpunan kepentingan warga dan menghadirkan kepentingan kolektif warga sebagai hasil dari proses diskusi warga melalui kontrak
politik. Praktek money politics memang memiliki dilema, disatu sisi praktek ini mampu memecahkan problem yang dihadapi masyarakat pemilih seperti bantuan kesehatan gratis, bantuan modal, atau bantuan sembako bagi
para pemilih yang miskin. Namun disisi lain praktek ini juga melemahkan pemilih dalam tawar menawar dengan para elit yang terpilih. Proses pendistribusian barang publik ataupun kebijakan para politisi terpilih akan lebih
cenderung mengarahkannya kepada kepentingan-kepentingan jaringan politik pendukung mereka dalam pemilu. Begitu juga dengan dampaknya terhadap kualitas partispasi, disatu sisi pembelian suara vote buying dapat menjadi
lemahnya daya tawar pemilih dalam menentukan pilihan pada kandidat yang berkualitas, namun disisi lain tak jarang pembelian suara vote buying meningkatkan angka partisipasi pemilih dalam voting. Namun yang jelas
permisifnya pemilih menambah suburnya praktek politik uang maupun pembelian suara.
DAFTAR PUSTAKA
Aspinall, Edward dan Mada Sukmajati, Politik Uang di Indonesia, Patronase dan Klientalisme pada Pemilu Legislatif 2014, PolGov, Yogyakarta, 2015
Camp, Edwin JW, 26 Juni 2014, “The Mayor›s Panopticon: Broker Effort and Party Dominance”, Working Papers, http:www.eddiecamp.comresearch.html
Gans-Morse, Jordon, Sebastian Mazzuca, and Simeon Nichter. 2010, Varieties of clientelism: machine politics during elections. CDDRL Working Paper No 119, Oktober 2010..
Jensen, Peter Sandholt and Mogens K. Justesen, Poverty and vote buying: Survey-based evidence from Africa, Electoral Studies No 33 2014 pp 220–232, journal homepage: www.elsevier.comlocateelectstud
Jonathan Hopkin, 31 August – 3 September 2006, “Conceptualizing Political Clientelism: Political Exchange and Democratic Theory”, Paper prepared for APSA annual meeting, Panel 46-18 ‘Concept Analysis: Unpacking
Clientelism, Governance and Neoliberalism’, Philadelphia. Lasswel, Harold l, 1971, Politics: Who gets what, when, how, New York, The World Publication Comp.
Mujani, Saiful, R. William Lidle, Kuskrido Ambardi, Kuasa Rakyat, Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, Mizan, Jakarta, 2012.
Raharjo, Judy, 16 Juni 2014, Pemilu di Negara Pasar Belajar dari Pemilihan Legislatif di Makassar, http: rumahkonsumen.blogspot.com201406pemilu-di-negara-pasar-belajar-dari_makasar.
RFQ, Senin, 21 April 2014, Praktik Politik Uang dalam Pileg 2014 Masif, http:www.hukumonline.comberita bacalt5354fb0073589praktik-politik-uang-dalam-pileg-2014-masif, diakses 23 oktober 2014, jam 20:45.
Roniger, Luis, “Political Clientelism, Democracy, and Market Economy”, dalam Comparative Politics, Vol. 36, No. 3 Apr., 2004, pp. 353-375.
Scott, James C., “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia”, dalam The American Political Science Review, Vol. 66, No. 1 Mar., 1972, pp. 91-113.
Stokes, Susan C, Thad Dunning, Marcelo Nazareno, and Valeria Brusco. 2013. Brokers, voters, and clientelism: the puzzle of distributive politcs. Cambridge University Press.
KEBIJAKAN PUBLIK, ADMINISTRASI PUBLIK
600
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Kebijakan Publik, Administrasi Publik
KONSEKUENSI PENUTUPAN LOKALISASI TELEJU DI PEKANBARU
M. Zainuddin
Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fisipol, Universitas Abdurrab Pekanbaru E-mail: jay_sazainyahoo.com
A b s t r a k
Prostitusi merupakan penyakit masyarakat yang ‘tidak bisa’ diselesaikan. Keinginan untuk melarang keberadaan prostitusi bagaikan makan buah simalakama, jika lokalisasi ditutup maka efeknya ia akan muncul di setiap sudut kota.
Jika dibiarkan, maka hal ini menyalahi aturan kehidupan sosial keagamaan. Pemerintah Kota Pekanbaru telah menutup lokalisasi Teleju sebagai salah satu bentuk upaya penghambatan perkembangan prostitusi di Pekanbaru. Penutupan
lokalisasi ini menimbulkan dampak positif yakni pemerintah merealisasikan niat baiknya untuk menyelesaikan penyakit masyarakat. Namun, dampak negatifnya tentu juga lebih banyak lagi. Efek domino negatif tersebutlah
yang menjadi fokus penelitian. Konsep kebijakan sosial dari Quide dianggap relevan untuk mengkaji masalah dalam penelitian ini. Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif, mengingat kegiatan prostitusi dan pelarangan
oleh pemerintah merupakan penilaian yang perlu dilakukan dengan menganalisa dokumen dan wawancara yang tidak terstruktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Pekanbaru merasa sudah cukup berhasil
memberantas prostitusi dengan hanya menutup satu lokalisasi dan tidak mempertimbangkan akibatnya yakni lokalisasi-lokalisasi mini yang baru, seperti yang terdapat di Jondul, Maredan, Jalan Riau Ujung, dan lokasi sederhana
lainnya di setiap sudut Kota Pekanbaru. Kepuasan terhadap kebijakan tersebut terbukti dengan tidak dilakukannya kebijakan serupa terhadap lokalisasi-lokalisasi mini sebagaimana di Teleju.
Kata kunci: prostitusi, kebijakan, efek.
PENDAHULUAN
Penelitian ini mengkaji tentang konsekuensi negatif dari kebijakan Pemerintah Kota Pekanbaru terhadap penutupan lokalisasi Teleju di Pekanbaru. Kajian ini merupakan kajian lanjutan dari penelitian yang dilakukan oleh
Bambang Hermanto 2010 dengan judul Penanganan Patologi Sosial dalam Perspektif Sosiologi Hukum Islam: Studi Kasus Penutupan Lokalisasi Teleju oleh Pemko Pekanbaru. Hermanto hanya mengkaji upaya pemerintah
untuk menutup lokalisasi dan ditinjau dalam perspektif sosiologi hokum Islam. Hasil penelitiannya meninggalkan pekerjaan rumah untuk diteliti kembali yakni perkembangan lokalisasi pasca ditutupnya lokalisasi Teleju.
Penutupan lokalisasi Teleju telah dilakukan pada tahun 2010. Kebijakan tersebut dianggap kontroversial, sebab akan menimbulkan berbagai dampak dan sarat dari kepentingan politik politisasi kebijakan. Dampaknya
dapat dilihat pada dua hal; pertama, bersifat positif bagi pemerintah yang telah melaksanakannya dan mendapat kepercayaan penuh kembali dari masyarakat untuk menata Kota Pekanbaru. Kedua, lokalisasi akan seperti ‘mati
satu tumbuh seribu’. Sebab, banyak kota yang menutup lokalisasi namun berdampak pada menyebarnya penyakit masyarakat ini dalam bentuk yang legal dan berserakan di sudut kota. Sehingga, upaya untuk memberantas akan
menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri.
Istilah lokalisasi dan resosialisasi secara sepintas sebenarnya memiliki kesamaan makna, namun secara politis memiliki makna yang berbeda. Lokalisasi memiliki arti konotatif yang bermakna sekedar membatasi perkembangan
dan membatasi praktik prostitusi agar tidak lebih berkembang di masyarakat. Apabila istilah lokalisasi digunakan oleh pemerintah dapat diartikan bahwa pemerintah mengakui adanya praktik pelacuran dan perdagangan wanita
untuk tujuan komersialisasi pelayanan seks Koentjaraningrat, 1996.
Kemunculan lokalisasi merupakan salah satu gejala sosial yang termasuk penyakit masyarakat yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari disamping gelandangan tuna wisma, tuna karya, penyalahgunaan narkotika
dan alkoholisme, penyakit jiwa, tuna netra kriminal, dan korelasi antara penyakit masyarakat dan kriminalitas. Jelas bahwa pelacuran atau prostitusi termasuk salah satu penyakit masyarakat, dikarenakan kemerosotan di
bidang pendidikan dan agama bisa mengakibatkan kemerosotan moral. Norma-norma sosial yang ada di dalam masyarakat mengharamkan adanya pelacuran dalam segala bentuknya, misalnya saja pelacuran tidak hanya
dalam bentuk rumah-rumah bordil atau sering disebut lokalisasi pelacuran, tetapi juga dalam bentuk pelacuran
601
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Kebijakan Publik, Administrasi Publik
terselubung yang telah menjadi rahasia umum. Tempat-tempat seperti klub malam, panti pijat, tempat dansa bahkan ada salon kecantikan yang dipergunakan sebagai tempat pelacuran Dirdjosisworo, 1997.
Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah Kota Pekanbaru untuk menanggulangi lokalisasi tersebut. Salah satunya adalah dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2008 tentang Ketertiban Sosial.
Pengaturan tentang wanita tuna susila, waria dan mucikari terdapat pada pasal 10 ayat 1, 2, 3, 4 dan pasal 11 ayat 1, 2, dan 3. Berdasarkan Perda tersebut, kemudian Pemerintah Kota Pekanbaru menutup lokalisasi
Teleju yang merupakan perkampungan pelacuran terbesar di kota ini.
Pasca ditutupnya lokalisasi, kegiatan prostitusi semakin marak di Kota Pekanbaru. Dinas sosial dan petugas satuan polisi pamong praja Satpol PP terus melakukan razia di sejumlah tempat http:www. rimanews. com.
Pada kenyataannya usaha-usaha untuk menanggulangi permasalahan ini tetap sulit untuk mencapai hasil yang optimal. Tutupnya lokalisasi bukan berarti prostitusi tidak ada lagi di Kota Pekanbaru.
Kajian ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang muncul berdasarkan uraian di atas, yakni bagaimana perkembangan prostitusi di Kota Pekanbaru pasca ditutupnya Lokalisasi Teleju atau apa konsekuensi negatifnya?
Permasalahan tersebut akan dianalisa berdasarkan data dan konsep yang relevan. Hasil analisanya akan dideskripsikan, sehingga berkontribusi terhadap pengembangan teorisasi dan menjadi tools rekayasa sosial untuk menanggulangi prostitusi.
TINJAUAN PUSTAKA
Khusus kajian tentang prostitusi di Teleju telah diteliti oleh Hermanto 2010, tentang potologi sosial dan ditinjau dari sosiologi hukum Islam. Selain Hermanto, Silalahi 2008 juga telah membahas tentang Teleju yang
ditinjaunya dalam perspektif penggunaan kondom di Teleju dan Katon 2002 yang mengkaji upaya Pemerintah Kota Pekanbaru untuk menanggulangi prostitusi yang ditinjau dalam perspektif hukum Islam.
Telaah tentang prostitusi telah dilakukan oleh Sitepu 2004 yang menegaskan bahwa prostitusi merupakan masalah sosial yang berpengaruh terhadap perkembangan moral. Suhar Nanik, Kamto, dan Yuliati 2012 dengan
temuan bahwa prostitusi terjadi karena adanya dukungan dalam setiap elemen fungsi yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Elemen dalam terbentuknya prostitusi ini adalah Mucikari, Wanita Tuna Susila dan
Tokoh Formal. Selain itu keberadaan prostitusi pada wanita pada dasarnya adalah adanya ketidakberdayaan dari kaum wanita dalam aspek kehidupan apabila dibandingkan dengan kaum laki-laki.
Kajian tentang prostitusi yang termuat dalam artikel ini berbeda dari dengan kajian yang telah dilakukan tersebut di atas. Penulis lebih menekankan pada dampak atau konsekuensi negatif dari penutupan lokalisasi,
Banyak analis hanya melihat fenomena prostitusi pada tahap proses berlangsungnya dan tahap penindakan prostitusi. Tetapi pada kajian ini melihat dari efek dari penindakan prostitusi yang dilakukan oleh pemerintah.
1. Konsep Kebijakan
Munurut Dye dalam Subarsono, 2008, kebijakan adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan policy is whatever governments choose to do or not to do. Konsep ini sangat luas karena mencakup
sesuatu yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Seorang pakar ilmu politik lain, Richard Rose menyarankan bahwa kebijakan dapat dipahami sebagai serangkaian kegiatan saling berhubungan serta konsekuensi-
konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri Winarno, 2008.
a. Mengimplementasikan Kebijakan
Implementasi merupakan fenomena yang kompleks dan dapat dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran, dan sebagai suatu dampak Lester dan Stewart dalam Winarno, 2008. Meter dan Horn dalam Winarno, 2008
membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok- kelompok pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Lebih lanjut menurutnya, tahap implementasi ini terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut.
602
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Kebijakan Publik, Administrasi Publik
Anderson dalam Putra, 2003 yang mengemukakan bahwa implementasi kebijakan dapat dilihat dari empat aspek, yakni: Siapa yang mengimplementasikan kebijakan, hakekat dari proses administrasi, kepatuhan
kompliansi kepada kebijakan, dan efek atau dampak dari implementasi kebijakan. Setiap kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan akan membawa dampak tertentu terhadap kelompok sasaran, baik yang positif maupun
yang negatif Islamy dalam Putra, 2003. Ini berarti bahwa konsep dampak menekankan pada apa yang terjadi secara aktual pada kelompok yang ditargetkan dalam kebijakan. Jadi, dengan melihat konsekuensi dari dampak
maka dapat dijadikan sebagai salah satu tolak ukur keberhasilan implementasi kebijakan dan juga dapat dijadikan sebagai masukan dalam proses perumusan kebijakan yang akan meningkatkan kualitas kebijakan tersebut.
b. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan
Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya. Ada beberapa faktor penghambat dalam implementasi kebijakan
menurut Sunggono 1994, yakni: Isi kebijakan, informasi, dukungan dan pembagian potensi. Adanya penyesuaian waktu khususnya bagi kebijakan-kebijakan yang kontroversial yang lebih banyak mendapat
penolakan warga masyarakat dalam implementasinya. Menurut James Anderson dalam Sunggono, 1994, faktor- faktor yang menyebabkan anggota masyarakat tidak mematuhi dan melaksanakan suatu kebijakan publik, yaitu :
a. Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum, dimana terdapat beberapa peraturan perundang-
undangan atau kebijakan publik yang bersifat kurang mengikat individu-individu; b. Karena anggota masyarakat dalam suatu kelompok atau perkumpulan mempunyai gagasan atau pemikiran
yang tidak sesuai atau bertentangan dengan peraturan hukum dan keinginan pemerintah; c. Adanya keinginan untuk mencari keuntungan dengan cepat diantaranya anggota masyarakat yang
mencenderungkan orang bertindak dengan menipu atau dengan jalan melawan hukum; d. Adanya ketidakpastian hukum atau ketidakjelasan “ukuran” kebijakan yang mungkin saling bertentangan
satu sama lain, yang dapat menjadi sumber ketidakpatuhan orang pada hukum atau kebijakan publik; e. Apabila suatu kebijakan ditentang secara tajam bertentangan dengan system nilai yang dianut masyarakat
secara luas atau kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.
2. Masalah Sosial dan Kebijakan Sosial
Quide dalam Ali dan Alam, 2012 melihat bahwa kebijakan sosial dianggap sebagai suatu kinerja, evaluasi terhadap hasil, atau pencapaian rencana tujuan. Hal ini menyangkut kegiatan analisa terhadap dampak atau
pengaruh dari kebijakan baik yang bersifat positif maupun negatif. Setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah harus diperhatikan dampaknya bagi kehidupan sosial.
Masalah sosial terjadi karena ada sesuatu yang “salah” dalam kehidupan sosial. Untuk mendiagnosis masalah sosial berarti mencari apa dan siapa yang dianggap “bersalah” dalam realitas kehidupan sosial tersebut. Ada dua
pendekatan dalam mendiagnosis masalah sosial, yakni: 1. Person blame approach. Dalam pendekatan ini pemecahan masalah akan difokuskan pada perubahan dan
perbaikan individu sebagai penyandang masalah. 2. System blame approach. Dalam pendekatan ini upaya pemecahan masalah lebih dititikberatkan pada perubahan
dan perbaikan pada sistem dan struktur sosialnya, apabila perlu sampai pada transformasi struktural Eitzen dalam Soetomo, 2011.
Untuk penanganan masalah sosial yang lebih komprehensif kedua pendekatan tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dalam mendiagnosis masalah. Apabila sumber masalah berasal dari level sistem, maka
pemecahan masalahnya tidak akan efektif jika penanganan pada individu penyandang masalah. Kesan efektifnya hanya berjangka waktu pendek. Sumber masalah utama tidak atau belum tersentuh, maka dalam jangka panjang
masalahnya akan muncul kembali. Seperti analogi, ibarat seorang pasien hanya diberi obat penghilang rasa sakit atau obat panas. Apabila sumber penyakitnya belum ditangani atau dihilangkan, maka rasa sakitnya akan datang
kembali setelah habis masa kerja obatnya.
603
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Kebijakan Publik, Administrasi Publik
Campur tangan negara dalam bentuk kebijakan sosial yang mendorong terwujudnya redistribusi didasarkan pada pertimbangan bahwa berbagai komponen dalam sistem sosial tidak memiliki kepekaan atau kemampuan
respon yang sama terhadap peluang kesejahteraan. Jika dalam sistem sosial memiliki kepekaan yang sama akan tetapi dampak terhadap kesejahteraan sosial dapat berbeda apabila negara memberikan ransangan yang diskriminatif.
Kebijakan yang seperti ini akan berdampak pada kesenjangan yang semakin lebar antar lapisan masyarakat.
METODE PENELITIAN
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah policy research penelitian kebijakan. Pendekatan ini digunakan karena masalah-masalah sosial harus diselesaikan melalui kebijakan yang tepat, sesuai
dengan konsep yang digunakan. Akhirnya, ada rekomendasi kebijakan yang akan disampaikan kepada para pemangku tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan bentuk penyajian
datanya adalah deskriptif.
Pengumpulan data atau informasi dalam penelitian ini menggunakan teknik puposive sampling. Penggunaan teknik ini dapat membantu peneliti untuk memilah siapa saja yang akan diwawancarai sesuai dengan tema
penelitian ini. Sebab, tidak semua orang dapat memahami fenomena ini. Triangulasi data tetap dilakukan untuk melakukan cek ulang terhadap data yang disampaikan oleh informan. Hal ini akan dapat memudah peneliti untuk
menganalisa data tanpa harus memperhatikan sisi lain dari informan utama.
Bentuk wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara tidak terstruktur. Hal ini mempermudah Peneliti untuk menggali informasi secara lebih mendalam. Adapun informan penelitian yang
akan diwawancarai adalah Unsur Pimpinan Dinas Sosial dan Pemakaman Kota Pekanbaru, tokoh masyarakat Kota Pekanbaru, dan eks WTS Teleju yang berpindah ke lokalisasi lainnya. Selain wawancara, juga menggunakan
dokumentasi yang didapat melalui data yang dikumpulkan dari surat, memorandum, pengumuman resmi, agenda, kesimpulan-kesimpulan pertemuan, dokumen-dokumen administratif, penelitian-penelitian atau evaluasi-evaluasi
resmi pada situs yang sama, kliping-kliping baru, dan artikel-artikel lain di media massa.
Setelah data terkumpul, peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas data sebelum dilakukan analisa terhadap data yang ada. Jadi, data yang valid adalah data “yang tidak berbeda” antara data yang dilaporkan oleh
peneliti dengan data yang sesungguhnya terjadi pada obyek penelitian. Analisa data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi sehingga
mudah dipahami dan temuan dapat diinformasikan kepada orang lain. Adapun langkah analisa datanya adalah : 1. Mengorganisasikan data ke dalam kategori;
2. Menjabarkan kedalam unit-unit; 3. Melakukan sintesa;
4. Menyusun kedalam pola; 5. Memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari; dan
6. Membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
1. Sekilas tentang Teleju
Lokalisasi Teleju merupakan lokalisasi terbesar di Propinsi Riau yang berada di Kota Pekanbaru. Lokalisasi ini sudah ada sejak tahun 1960 pada saat pemerintahan Datuk Wan Abdul Rahman periode 1959-1956. Keberadaan
lokalisasi ini seolah-olah menjadi resmi karena pada masa itu banyaknya lokasi pelacuran di Pekanbaru. Sejalan dengan itu, ada pengusaha dengan panggilan Daeng yang mau mengelola lokalisir Wanita Tuna Susila WTS
ini dan ditempatkan di tanah miliknya. Di lokasi tersebut Teleju terus berkembang dari masa ke masa karena adanya turut campur tangan dari oknum-oknum terkait atau instansi yang mem-back up lokalisasi. Setiap WTS
menyetorkan sejumlah uang keamanan kepada oknum terkait setiap bulannya untuk mengamankan aktivitas yang mereka lakukan Dinas Sosial dan Pemakaman Kota Pekanbaru, 2016.
604
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Kebijakan Publik, Administrasi Publik
Dalam tulisan Hermanto 2010, Teleju merupakan tempat untuk menjalin asmara sesaat, tempat dimana para hidung belang melampiaskan hasrat. Lokalisasi ini terletak di Kelurahan Rejosari dan mencakup area dua
Rukun Warga yaitu RW 16 dan 15 yang terletak di pinggiran Sungai Siak. Nama Teleju sendiri diambil dari nama Sungai Teleju yang merupakan anak Sungai Siak yang berhulu dari wilayah Kel. Sail, Kec. Tenayan Raya.
Pada tahun 2010, Pemerintah Kota Pekanbaru menutup lokalisasi Teleju dan disulap menjadi Perkampung Melayu. Upaya penutupan lokalisasi ini sudah pernah dilakukan sebelumnya. Pada tahun 1998 bersama Forum
Komunikasi Pemuda dan Remaja Mesjid Kota Pekanbaru pernah disepakati upaya penutupan lokalisasi ini bersama DPRD Kota Pekanbaru, namun setelah sekian tahun kesepakatan ini justru hilang tidak ada kejelasannya. Menurut
Hermanto 2010, ada dua persepsi yang berkembang di tengah masyarakat dengan ditutupnya lokalisasi ini. Pertama, merupakan salah satu hal yang bijaksana dalam penanganan patologi sosial di Kota Pekanbaru. Kedua,
dianggap hal ini tidak bijak karena akan semakin menyulitkan penanganan patologi sosial di Kota Pekanbaru.
2. Embrio Teleju Jilid II
Prostitusi merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia itu sendiri Kartono, 1997. Di Indonesia, fenomena prostitusi terjadi pada masa penjajahan Jepang. Pada masa itu banyak wanita
Indonesia yang dijadikan sebagai seorang pelacur disebut sebagai Jugun Ian Fu. Hingga saat ini, wanita pelaku prostitusi tersebut beragam namanya: lonte, perempuan jalang, sundal, pelacur, pramunikmat, pramuria, kupu-
kupu malam, wanita penghibur, pekerja seks komersil, wanita tuna susila, atau sebutan lain berdasarkan daerahnya.
Secara umum, prostitusi merupakan adanya proses transaksi atau jasa yang diberikan oleh seseorang untuk memenuhi nafsu seks orang lain dengan imbalan materil atau uang. Menurut Hermanto 2010, transaksi
prostitusi di Kota Pekanbaru dibagi dalam tiga bentuk. Pertama, transaksi prostitusi yang terjadi di lokalisasi pelacuran. Di lokalisasi ini terjadi transaksi prostitusi dengan dalih tempat hiburan yang juga menyediakan
WTS sekaligus tempat bagi berlangsungnya aktifitas prostitusi tersebut. Kedua, transaksi prostitusi yang terjadi di berbagai tempat hiburan yang berdalih sebagai bar atau karaoke yang menyediakan wanita sebagai pelayan
yang pada umumnya juga bisa dilanjutkan dengan transaksi prostitusi. Ketiga, transaksi prostitusi yang terjadi di lingkungan perumahan yang memiliki tingkat keamanan tertentu dan legalisasi dari lingkungan setempat dengan
dalih sebagai tempat kost-kosan ataupun panti pijat. Jika pola yang kedua dan ketiga tidak bisa terealisasi, maka umumnya dilanjutkan di hotel yang ada di Pekanbaru.
Ketiga pola atau bentuk di atas akhirnya terjadi juga setelah lokalisasi Teleju resmi ditutup. Namun, tidak ada kebijakan yang tidak memiliki imbas atau dampak. Begitulah model formulasi kebijakan inkrementalis
menjelaskan, bahwa setiap kebijakan dikhawatirkan muncul dampak yang tidak diinginkan Wibawa dalam Dwijowijoto, 2004. Demikian juga halnya dengan kebijakan menutup lokalisasi ini. Jika pemerintah tidak
secara matang menyiapkan perangkat kebijakan dan solusi dari dampak kebijakan tersebut, maka ini akan menjadi boomerang bagi sosiologis masyarakat Pekanbaru. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa memang
Pemerintah Kota Pekanbaru pada waktu penutupan lokalisasi tersebut tidak siap terhadap efek yang ditimbul dari kebijakan tersebut.
Berbeda dengan yang dilakukan oleh Walikota Surabaya terhadap Dolly di Surabaya. Risma telah menyiapkan seperangkat solusi dari permasalahan baru yang akan ditimbulkan dari penutupan lokalisasi Dolly. Risma
tahu benar bahwa penyebab utama pelacuran adalah kemiskinan yang merupakan buah dari keterbelakangan pendidikan, keterampilan dan ketersediaan lapangan pekerjaan. Untuk itu, Risma menyiapkannya terlebih dahulu
baru dilakukan penutupan dengan cara yang persuasif. Sehingga, sekarang Dolly menjadi sentra ekonomi yang menjadiperhatian nasional. Demikian yang dikatakan Ife dan Tesoriero 2008 bahwa harus dipikirkan prinsip
keberlanjutan dalam penanganan masalah sosial, harus dievaluasi bukan sekedar dalam peranan dan fungsi jangka pendeknya tetapi juga untuk jangka panjangnya.
Inilah bedanya dengan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru pada tahun 2010. Pemerintah hanya menyiapkan dua program, yakni mengembalikan WTS ke daerah asal atau memberikan pelatihan menjahit dan
membordir. Tetapi tidak tuntas hingga ke lapangan pekerjaan dan mempromosikannya ke khalayak. Disebabkan
605
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Kebijakan Publik, Administrasi Publik
ketidaksiapan tersebut, maka bermunculan praktik prostitusi di berbagai daerah dengan berbagai kedoknya. Diantara kawasan prostitusi yang baru adalah Jondul, Maredan, Jalan Riau Ujung, serta berbagai tempat panti
pijat dan karaoke remang.
Padahal, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial sudah mengatur bahwa masyarakat yang memiliki ketunaan sosial menjadi prioritas untuk ditindaklanjuti dalam program kesejahteraan sosial
di suatu daerah. Pasal 6 dalam undang-undang tersebut menegaskan bahwa kesejahteraan sosial perlu diprioritaskan bagi mereka yang sedang mengalami ketunaan sosial dan penyimpangan prilaku. Bentuk dari penyelenggaraan
kesejahteraan sosial itu meliputi: rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami
disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Namun, yang lebih penting adalah menyiapkan mereka dari sisi ekonomi untuk bisa menghadapi kenyataan hidup di masa depan agar lebih baik lagi.
Memang, menurut Hermanto 2010, secara umum usaha untuk menanggulangi prostitusi dapat dilakukan secara preventif, represif, dan rehabilitatif. Usaha preventif dilakukan dengan cara memberikan sanksi hukum
kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pelacuran, baik berupa denda maupun kurungan. Usaha penanggulangan dengan cara ini dapat dilakukan oleh kepolisian. Usaha represif dilakukan dengan cara memberikan tekanan,
yaitu dengan melakukan razia-razia ke tempat-tempat prostitusi. Usaha ini dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja Satpol PP. Sedangkan usaha rehabilitatif dilakukan oleh Dinas Sosial, yakni dengan memberikan motivasi
dan diagnosis psikososial, perawatan dan pengasuhan, pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan, bimbingan mental spritual, bimbingan fisik, bimbingan sosial dan konseling psikososial, pelayanan aksesibilitas,
serta bantuan dan asistensi sosial.
Implementasi kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 12 Tahun 2008 tentang Ketertiban Sosial sebagai senjata untuk membasmi prostitusi di Pekanbaru bisa dinilai
dalam dua versi. Pertama, dapat disebut berhasil karena sasaran utamanya adalah lokalisasi Teleju. Pada tahun 2010, perkampungan prostitusi Teleju berhasil disulap pemerintah menjadi perkampungan melayu. Tidak ada
lagi praktik prostitusi di Teleju. Kehidupan sosial masyarakatnya berjalan dengan baik sebagaimana dengan cita- cita Pemerintah Kota Pekanbaru.
Kedua, dapat disebut gagal, karena kebijakan pemerintah tersebut harus dinilai secara utuh. Teleju memang berhasil disulap, tetapi pekerjaan pemerintah tidak boleh hanya sampai pada Teleju saja. Poin penting yang terdapat
pada Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 12 Tahun 2008 adalah pemberantasan penyakit masyarakat. Salah satu objek perda tersebut adalah WTS. Sebaran lokasi WTS pasca Teleju cukup banyak. Salah satu penampung
WTS yang paling banyak ada di Jondul dengan berbagai kedok kegiatan untuk menutupi praktik prostitusi.
Lokalisasi Teleju hanya tinggal sejarah, akan tetapi kegiatan ini tidak otomatis tertutup rapat atau berhenti. Dari wawancara dengan Kepala Dinas Sosial dan Satpol PP serta masyarakat dapat disimpulkan bahwa
kegiatan prostitusi ini semakin terbuka merata. Hal ini jugalah yang dikhawatirkan Hermanto 2010 dari hasil penelitiannya. Kegiatan prostitusi ini semakin tersebar di hampir semua kawasan kota. Menjamurnya tempat
hiburan malam dan panti pijat menjadi indikasi bahwa prostitusi di kota ini tak pernah ada matinya.
Kepala Bidang Ketertiban Umum Satpol PP Kota Pekanbaru 2016 juga menyatakan hal yang sama, bahwasannya prostitusi di Kota Pekanbaru telah menjelma dalam berbagai bentuk. Bisa di tempat biliar, karaoke,
wisma, dan panti pijat. Tempat yang terkenal saat ini dan sering dilakukan razia oleh Satpol PP Kota Pekanbaru adalah daerah Jondul 1 dan 2 yang terletak di Kecamatan Kuantan Raya, Maredan, Jalan Riau Ujung dan di Jalan
Arengka 2. Razia yang dilakukan oleh Satpol PP ini berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat sekitar.
Jondul, kawasan yang berada di Kecamatan Sail tersebut sebelum tahun 2011 awalnya hanya ada 2 rumah yang dijadikan tempat pijat tradisional biasa. Namun, ketika Teleju ditutup oleh pemerintah pada tahun 2010,
maka para WTS menyebar ke berbagai tempat dengan melakukan praktik yang sama. Sasarannya adalah Jondul. Dari tahun 2011 hingga 2016, Jondul menjadi tempat praktik prostitusi yang berkedok panti pijat terbesar
di Pekanbaru. Para ‘pemijat’ yang berada di Jondul mayoritas migrasi dari Teleju. Tidak ada data pasti untuk menjelaskan jumlah WTS yang ada di Jondul. Karena pemerintah tidak pernah mendata WTS pasca Teleju.