858
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Pemilu dan Parlemen
Tahun 1971 diselenggarakan pemilu pertama di era orde baru. Penyelenggara pemilu dibentuk oleh Presiden dengan nama Lembaga Pemilihan Umum LPU yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri. LPU terdiri dari dewan
pimpinan, dewananggota petimbangan dan sekretariat. Apabila terdapat persoalan yang konfliktual, presiden memberikan ketentuan akhir.
129
Regulasi yang sama dilaksanakan untuk penyelenggaraan pemilu tahun 1977. Pada pemilu tahun 1982, terdapat beberapa perubahan dimana didalam kepanitiaan pemilu dilibatkan
unsur partai politik Golkar, PDI dan PPP. Pada pemilu ini untuk pertama kali dikenal istilah Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu Panwaslak Pemilu. Anggotanya berasal dari unsur pemerintah, partai politik dan ABRI.
Penyelengaaraan pemilu selanjutnya pada tahun 1987, 1992 dan 1997 memakai landasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1985 yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1985. LPU mengalami
“penyempurnaan” dimana Dewan Pimpinannya terdiri dari Mentri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan dan Keamanan, Menteri Perhubungan, Menteri Pariwisata, Menteri Luar Negeri
dan Panglima ABRI. Sedangkan Dewan Pertimbangan terdiri atas 1 Ketua, 4 wakil ketua, perwakilan Golkar, PDI, PPP dan ABRI masing-masing 3 orang.
Setelah orde baru runtuh dan digantikan dengan era reformasi, Pemilu tahun 1999 diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum KPU yang diisi oleh unsur partai politik peserta pemilu masing-masing 1 orang dan
unsur pemerintah sebanyak 5 orang. Pembentukan KPU diresmikan oleh Presiden melalui Keputusan Presiden. Untuk menggantikan Panwaslak Pemilu, dibentuk Panitia Pengawas dari tingkat pusat sampai kecamatan. Secara
berturut-turut Panitia Pengawas dibentuk oleh Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri. Panitia pengawas ini terdiri dari unsur hakim, perguruan tinggi dan unsur masyarakat.
130
Pemilu kemudian dimandatkan oleh konstitusi sebagai indikator untuk melaksanakan keadaulatan rakyat dalam Pasal 22E yang disahkan pada Perubahan Ketiga tahun 2001.
131
Masuknya Pemilu dalam Bab tersendiri yaitu Bab VIIB tentang Pemilihan Umum dalam Pasal 22E Ayat 1 sampai 6 yang disahkan pada Perubahan Ketiga, merupakan
respons atas tuntutan reformasi dalam rangka menyelenggarakan pemilihan umum yang demokratis. Dalam Pasal 22E Ayat 1 sampai Ayat 6 ini mengatur mengenai sifat Pemilu, anggota dari lembaga apa saja yang akan dipilih,
siapa peserta pemilu, dan siapa penyelenggaranya. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik [Ayat 3], dan peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan [Ayat
4]. Penyelenggara pemilihan umum adalah komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri [Ayat 5].
132
Secara legal framework, KPU telah diatur dalam konstitusi. KPU termasuk lembaga negarakomisi negara yang bersifat independen berdasarkan konstitusi atau memiliki conctitutional importance.
133
Dalam hal ini sejajar dengan Komisi Yudisial, Bank Indonesia, TNI, Polri, Kejaksaan Agung, KPK dan Komnas HAM.
Pemilu Tahun 2004 diselenggarakan pertama kali oleh penyelenggara yang langsung mendapat mandat dari UUD 1945 Pasal 22 E ayat 5 yang berbunyi “pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum
yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Selanjutnya dibentuk Komisi Pemilihan Umum KPU berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Anggota KPU berjumlah 11 orang ditingkat pusat dan 5 orang ditingkat Provinsi dan KabupatenKota. Pada Pemilu ini juga diselenggarakan untuk pertama kali
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.
Untuk mengantisipasi adanya pelanggaran dalam melaksanakan tugasnya, KPU menyusun kode etik dan membentuk Dewan Kehormatan yang bersifat ad hoc. Dewan Kehormatan ini beranggotakan 3 orang yang
berasal dari anggota KPU yang dipilih. Kemudian Panitia Pengawas Pemilu dibentuk dari tingkat pusat sampai kecamatan oleh KPU. Unsur keanggotaanya berasal dari kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, tokoh masyarakat
129. Jimly Asshiddiqie, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, 2013, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal 29. 130. Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, Perspektif Baru tentang Rule of Law and Rule Of Ethics Constitutional
Law and Constitutional Ethics, 2015, Sinar Grafika, Jakarta, hal 278 131. Valina Singka Subekti, 2015, Dinamika Konsolidasi Demokrasi Dari Ide Pembaruan Sistem Politik Hingga ke Praktek Pemerintahan
Demokratis, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, hal 251 132. Ibid hal 16
133. ibid
859
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Pemilu dan Parlemen
dan pers. Diluar Panwaslu, diatur juga tentang pemantau pemilu yang harus bersifat independen, mempunyai sumber dana yang jelas dan harus terakreditasi oleh KPU.
Pemilu tahun 2009 badan penyelenggara pemilu semakin kokoh. KPU bukan saja menyelenggaraakan pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden, tetapi juga menyelenggarakan pemilu kepala daerah
dan wakil kepala daerah. KPU semakin diperkuat dengan semangat lembaga yang bersifat nasional, tetap dan mandiri sesuai konstitusi. Ditegaskan bahwa KPU, KPU Provinsi dan KPU KabupatenKota bersifat hierarkis.
Rekrutmen anggota KPU relatif lebih independen dengan pembentukan panitia seleksi yang berasal dari unsur akademisi, profesional dan masyarakat umum.
Kelembagaan pengawasan Pemilu juga mengalami penguatan. Pengawas Pemilu yang tadinya bersifat ad hoc menjadi permanen untuk tingkat pusat. Namanya berubah dari Panitia Pengawas Pemilu Panwaslu menjadi
Badan Pengawas Pemilu Bawaslu. Ditingkat daerah masih bersifat ad hoc yang diisi oleh dari unsur profesional non partai politik yang mempunyai kemampuan pengawasan.
Pada Pemilu 2014 kelembagaan penyelenggara pemilu semakin sempurna. Undang Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu mendesain lembaga penyelenggara Pemilu menjadi tiga lembaga
sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggara Pemilu yakni Komisi Pemilihan Umum KPU, Badan Pengawas Pemilu Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu DKPP. Hal ini sesuai dengan tafsiran konstitusi
yang menyatakan bahwa istilah “komisi pemilihan umum” dalam Pasal 223 ayat 5 adalah suatu badan, bukan nama suatu lembaga dengan singkatan dengan huruf besar “Komisi Pemilihan Umum”.
134
Dengan dasar tersebut Bawaslu yang menjalankan fungsi pengawasan resmi menjadi badan penyelenggara pemilu bersama KPU.
KPU melaksanakan fungsi penyelenggaraan Pemilu dari segi teknis pelaksanaan. KPU bersifat permanen sampai di tingkat kabupatenkota, sementara untuk tingkat kecamatan sampai tempat pemungutan suara TPS
bersifat ad hoc. Sementara Bawaslu melaksanakan fungsi mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Indonesia. Kelembagaannya bersifat permanen sampai ke level provinsi dan bersifat ad hoc dari tingkat kabupaten
kota sampai tingkat lapangan.
Khusus untuk DKPP, tidak disebut sebagai penyelenggara pemilu tetapi terkait dengan penyelenggara pemilu. Keberadaan DKPP dimaksudkan untuk mengawal etika penyelenggara pemilihan umum disetiap jajaran. DKPP
merupakan institusi ethics yang ditugaskan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
135
DKPP ini merupakan penyempurnaan Dewan Kehormatan yang telah ada di pemilu sebelumnya namun wewenangnya tidak begitu kuat karena hanya memanggil, memeriksa, dan menyidangkan
hingga memberi rekomendasi kepada KPU dan bersifat ad hoc.
136
DKPP menyusun Kode Etik Penyelenggara Pemilu dan menyidangkan kasus pelanggaran etika secara terbuka dengan metode peradilan etika.
Kehendak masyarakat yang kuat dalam menuntut pelaksanaan pemilu yang lebih jujur, adil, berkualitas serta berintegritas semakin mempercepat proses pembentukan lembaga penyelenggara pemilu yang ideal. Pemilu
berkualitas dan dan berintegritas adalah pemilu yang diselenggarakan oleh penyelenggara pemilu yang independen, tidak berpihak, bersikap imparsial, dan memperlakukan semua peserta pemilu dengan adil dan setara, melayani
pemilih, memahami teknis kepemiluan serta profesional.
Badan penyelenggara pemilu juga menghadapi tantangan yang berat dalam menyelenggarakan pemilu yang rumit. Mengapa rumit? Pertama, wilayah Indonesia secara geografis sangat luas dan kompleks dari sabang sampai
merauke, dengan penduduk yang heterogen dari segi etnis, agama dan budaya. Kedua, Indonesia juga memiliki jumlah pemilih sangat besar dan diperkirakan jumlahnya terus bertambah. Ketiga, Indonesia menganut sistim
pemilu yang rumit ditandai dengan 2057 daerah pemilihan untuk DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota. Para pengamat pemilu internasional yang tergabung dalam International Observer menyebut pemilu
Indonesia sebagai the most complex election system in the world, mereka juga menyebutnya sebagai the biggest ever election ever held in one singe day.
134. Ali Diabacte, What’s in a name : Does Calling an EMB Independent Make it so?, ACEEEO Conference, Budapest, 2011 135. ibid
136. Ramlan Surbakti dan Kris Nugroho, 2015, Studi tentang Desain Kelembagaan Pemilu yang Efektif, Kemitraan Partnership, hal 10
860
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Pemilu dan Parlemen
Dorongan untuk memiliki badan penyelenggara independen juga terjadi di berbagai negara, khususnya negara-negara yang sedang mengalami transisi demokrasi dan negara-negara pasca konflik. Walaupun tidak ada
bentuk terbaik atau ideal dari sebuah badan penyelenggara pemilu, akan tetapi ada kesamaan kebutuhan terhadap suatu pemilu yang diselenggarakan secara jujur dan adil, dan kebutuhan ini kebanyakan diharapkan terwujud
dengan suatu badan penyelenggara yang independen. Badan ini merupakan suatu penyelenggara yang memiliki kewenangan yang otonom dan terpisah dari pengaruh intervensi pemerintah.
Namun, masing-masing negara mempunyai pilihan yang bebas untuk membentuk dan menamai badan penyelenggara pemilu mereka. Tidak selalu harus bernama independen, tetapi harus bersifat otonom dan bebas
intervensi. Contohnya penyelenggara pemilu di swedia yang dibentuk oleh pemerintah dan berada dibawah kementerian. Akan tetapi badan ini mempunyai kewenangan yang independen dalam melaksanakan regulasi pemilu.
Mereka kemudian tidak mempermasalahkan apakah badan tersebut otonom atau berafiliasi dengan pemerintah, sepanjang badan tersebut mempunyai kewenangan yang independen dan tanpa campur tangan pemerintah.
International Institute for Democracy and Electoral Assistance International IDEA kemudian dalam risetnya mengklasifikasikan tiga model EMB yaitu Independent Model Model Independent, Government Model
Model Pemerintah dan Mixed Model Campuran Independen dan Pemerintah. Teori dan konsep tentang badan penyelenggara pemilu sebenarnya telah banyak di rumuskan oleh para ahli dan pakar. Namun riset IDEA
ini adalah kajian terkini yang lebih komprehensif. Dalam Survey of Electoral Management yang dilakukan IDEA Tahun 2014 terhadap 217 Negara menunjukkan bahwa 63 negara di dunia menggunakan Independent Model,
23 lainnya masih memakai govenrment Model, dan 12 memilih model campuran atau Mixed Model. Sisanya 2 negara lainnya adalah negara monarki dan kerajaan yang tidak melaksanakan pemilu.
Dalam survey tersebut, Indonesia diklasifikasikan sebagai negara yang mempunyai badan penyelenggara independent model. Hal ini layak untuk dikaji lebih lanjut, apakah benar penyelenggara pemilu Indonesia
merupakan independent model seperti yang dirumuskan oleh IDEA atau penyelenggara pemilu Indonesia mempunyai bentuk lain yang lebih khas yang hanya ditemui di Indonesia? Hal ini patut untuk dianalisa
dikarenakan penyelenggara pemilu Indonesia menyelenggarakan pemilu dengan sistim yang cukup rumit. Secara berurutan akan diuraikan tentang standar, konsep dan teori tentang penyelenggara pemilu yang ada dan
selanjutnya diuraikan tentang bentuk penyelenggara pemilu Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Standar Internasional Penyelenggaraa Pemilu
Dalam melihat fungsi penyelenggaraan pemilu yang dilakukan oleh EMB Indonesia, perlu dilihat bagaimanana standar internasionalnya. Pada tahun 1933 telah ada Deklarasi 10 negara pada pertemuan di Accra,
Ghana yang sepakat untuk menetapkan lima kriteria mengenai penyelenggara pemilu yaitu: 1. Suatu agensi yang permanen, independen, dan kredibel yang berwenang mengorganisir dan melakukan secara
periodik pemilu yang bebas dan jujur; 2. Mandat untuk menyelenggarakan pemilu harus dinyatakan dalam konstitusi, termasuk metode untuk
melakukan pemilu, pendidikan bagi pemilih, pendaftaran partai dan calon, pembuatan kebijakan pemilu, prosedur pemilu, dan cara menyelesaikan perselisihan pemilu;
3. Keanggotaan yang non partisan, ketentuan mengenai jumlah keanggotaan, diangkat kepala negara dan mendapat persetujuan parlemen;
4. Agensi pemilu memiliki pendanaan yang layak, memiliki anggaran sendiri untuk merancang kebutuhan dan pengadaan barang melalui lelang yang fleksibel yang berbeda dengan birokrasi pemerintah;
5. Adanya landasan hukum yang memungkinan agensi pemilu memobilisasi aparat staf dan sumber-sumber lain untuk mendukung penyelenggaraan pemilu.
861
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Pemilu dan Parlemen
Selain lima kriteria diatas, terdapat landasan filosofi dan normatif yang menjadi prinsip utama EMB dalam menyelenggarakan pemilu berdasarkan standar International Institute for Democrcy and Electoral Assistence yaitu :
137
1. Independen: menjadi keharusan bagi penyelenggara untuk bersikap dan bertindak independen dalam menyelenggarakan pemilu. Independen juga ditunjukan dari kemampuan penyelenggara untuk bebas dari
kepentingan dan tekanan politik mana pun. 2. Imparsialitas: penyelenggara pemilu juga harus menunjukkan sikap dan tindakan yang tidak mengindikasikan
keberpihakan kepada peserta pemilu baik partai atau kandidat. 3. Integritas: penyelenggara pemilu juga dituntut untuk memiliki kepribadian dan komitmen yang kuat untuk
melaksanakan tugas dan kewenangannya guna mengendalikan semua proses pemilu sesuai aturan dan norma- norma hukum yang berlaku.
4. Transparansi: transparansi merupakan kunci bagi tata kelola penyelenggaraan pemilu yang demokratik. Melalui jaminan transparansi, peserta pemilu dan publik mampu mengakses informasi mengenai penyelenggaraan
pemilu baik dalam aspek anggaran, kebijakan dan akuntabilitas keseluruhan tahapan penyelenggaraan pemilu. 5. Efisiensi: asasprinsip ini memberi penekanan pada kehati-hatian penyelenggara dalam membuat perencanaan
pemilu yang tepat sasaran, anggaran dibuat sesuai kebutuhan yang tepat, bijaksana, dan mengutamakan aspek kualitas dalam menjalankan tugas EMB.
6. Profesionalisme: penyelenggara pemilu haruslah figur-figur yang ahli dan enguasai masalah kepemiluan, direkrut dari calon-calon yang memiliki kualifikasi inggi sebagai komisioner dan mengutamakan kepentingan
bersama untuk mensukseskan pemilu berintegritas. 7. Mengutamakan pada pelayanan service-mindedness: penyelenggara pemilu dituntut untuk mampu memberikan
pelayanan yang mengutamakan semua pihak partai, kandidat, dan masyarakat dan mengedepankan tata kelola kerja yang dapat dipertanggungjawabkan dari aspek hukum legal framework.
2. Model EMB Di Dunia
Pemilu menjadi mekanisme dalam proses pergantian jabatan, khususnya di dua cabang kekuasaan, yakni di lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Seiring perkembangan zaman, Pemilu telah berubah menjadi sistem tersendiri yang
selanjutnya melahirkan pelbagai corak, model, dan cara yang disesuaikan dengan sistem pemerintahan.
138
Nur Hidayat Sardini ed membuat klasifikasi badan penyelenggara pemilu di berbagai negara berdasarkan 3 jenis sistem pemerintahan.
Yaitu, Sistem pemerintahan presidensial, sistem pemerintahan semi-presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Sistem pemerintahan tersebut memberikan pengaruh terhadap pembentukan badan penyelenggara pemilu di beberapa
negara. Sistem pemerintahan presidesial contohnya di Kenya, Amerika Serikat, Bolivia, Iran, Afrika Selatan, Filipina, Brazil dan Argentina. Sistem semi-presidensial contohnya di Perancis, Mesir dan Rusia. Sistem pemerintahan parlementer
dapat dilihat di Australia, Singapura, Denmark, India, Swiss dan Korea Selatan.
Beberapa model badan penyelenggara pemilu di dunia adalah :
139
1. Pendekatan Pemerintah. Model ini menempatkan penyelenggara pemilu dalam kementerian dan berwenang untuk melaksanakan dan mengatur pemilihan umum dan menggunakan seluruh sumber daya dalam
kementerian dan layanan sosial untuk melaksanakan tugasnya itu. Sistem ini berhasil jika pekerja sosial dihormati sebagai profesional dan netral secara politis. Sistem ini banyak digunakan di negara Eropa Barat
2. Pendekatan Pengawasan atau Hukum. Kementerian ditugaskan untuk melaksanakan proses pemilihan umum, tetapi diawasi oleh komisi pemilihan umum yang independen yang terdiri dari hakim-hakim yang terpilih.
Tugas dari komisi ini adalah untuk mengawasi dan memonitor pelaksanaan proses pemilihan umum oleh kementerian yang bertugas untuk itu. Negara yang mengunakan model ini adalah Rumania dan Pakistan.
137. Ibid, hal 17-18 138. Nur Hidayat Sardini ed, 2015, Penyelenggara Pemilu di Dunia Sejarah, Kelembagaan dan Praktek Pemilu di Negara Penganut
Sistem Pemerintahan Presidensial, Semi Presidensial dan Parlementer, DKPP RI, Jakarta hal 3 139. Sigit Pamungkas, ibid, hal 50
862
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Pemilu dan Parlemen
3. Pendekatan Mandiri. Model ini menempatkan lembaga pemilihan umum bersifat independen yang secara langsung dipercaya oleh menteri, komite dalam parlemen atau atau oleh parlemen. Pada model ini, infrastruktur
partai dapat menggunakan sumberdaya dalam pemerintahan dari administrasi provinsi sampai ke administrasi lokal India. Pada varian lain infrastruktur terpisah dari tingkat nasional, regional dan lokal Australia.
4. Pendekatan Multi-Partai. Model ini menempatkan semua partai politik yang terdaftar sebagai peserta pemilihan umum menugaskan wakil-wakil mereka dalam komisi pemilihan umum nasional. Ini akan memastikan semua
kepentingan akan keterwakilan dalam komisi dan setiap partai akan menyumbangkan pemikiran berkenaan dengan kerja dari komisi tersebut. Model ini pernah dipakai Indonesia pada Pemilu 1999.
Selain model pendekatan diatas, Lopez-Pintor mengajukan lima model penyelenggara pemilu yaitu :
140
1. Tribunal model: suatu komisi pemilu diisi kalangan eksekutif independen atau tribunal yang memiliki tanggung jawab penuh untuk mengarahkan, mengawasi, dan mengelola manajemen pemilu. Dalam konteks tertentu,
model ini digunakan di beberapa negara demokrasi baru dan telah lama menjadi model penyelenggaara pemilu di beberapa negara Amerika Latin. Struktur penyelenggara pemilu model eksekutif atau tribunal ini dipercayakan
kepada para ahli hukum dan hakim-hakim yang diajukan pemerintah melalui persetujuan parlemen. Ketuanya dipilih dari salah satu yang mewakil unsur pembentuk penyelenggara pemilu tersebut. Komisi pemilu tribunal
ini bertugas menyelenggarakan pemilu dan melekat di dalamnya kewenangan judicial. Secara konstitusional komisi pemilu tribunal ini dianggap sebagai ‘cabang ke empat’ kekuasan pemerintahan di samping eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Negara-negara yang menerapkan atau pernah menggunakan model komisi pemilu tribunal adalah Cista Rika, Nikaragua, Venezuela, Argentina, Uruguay 1974-1980, dan Chili 1973-1988.
2. Government model: model ini memberi peran pemerintah untuk bertindak sebagai penyelenggara pemilu dengan dibantu oleh suatu badan kolektif yang terdiri dari hakim, ahli hukum, dan wakil-wakil partai yang
memiliki kapasitas untuk membuat regulasi regulatory, pengawasan supervisory, dan peradilan judicial. Model ini umumnya digunakan di negara-negara Eropa Barat seperti di Austria, Jerman, Perancis, Italia,
Norwegia, Belanda, Spanyol, Jepang, Dominika, Israel, Maroko, dan Turki.
3. Model dimana pemerintah sepenuhnya berwenang menyelenggarakan pemilu sebagaimana diterapkan di Libanon, Tunisia, Belgia, Denmark, Finlandia, Luxemburg, Siprus, dan Yordania. Sama seperti penyelenggara
pemilu yang diprakarsai dan dijalankan pemerintah, kekuasaan untuk mengelola pemilu dilakukan oleh kalangan yang ditunjuk pemerintah dan birokrat pemerintah sebagai pelaksana administrasi dan operasional
pemilu, termasuk untuk pendaftaran pemilih, pendaftaran partai atau kandidat, penetapan jadwal kampanye, pendidikan pemilih, dan penetapan hasil pemilu. Sengketa pemilu juga ditangani inheren divisi judicial yang
melekat pada kewenangan model ini. Pengalaman pemilu Indonesia era awal Orba masuk dalam model ini dimana pemerintah dan jajaran birokrasi memegang kendali utama sebagai penyelenggara pemilu yang disebut
Panitian Pemilihan Indonesia PPI dan Lembaga Pemilihan Umum LPU dari tingkat pusat dan daerah.
4. Independent model: sama seperti model independen sebelumnya, semangat model campuran adalah membangun penyelenggara pemilu yang independen dan bebas dari pengaruh dan kepentingan politik partisan
seperti partai politik dan kekuasaan pemerintah, yang memiliki dua fungsi yaitu pengarahanpengawasan dan administrasi. Model ini banyak dianut negara-negara demokrasi baru, termasuk Indonesia, Kanada, Bolivia,
Brasil, Kosta Rika, Guatemala, Honduras, Ekuador, Nicaragua, Panama, dan Meksiko
5. Model desentralisasi dimana pemerintah bertugas melakukan pengawasan dan koordinasi terbatas terhadap asosiasi profesional dan kelompok independen yang menjadi anggota penyelenggara pemilu seperti yang
diterapkan di Inggris, Amerika Serikat, Irlandia, Swedia, dan Swiss. Dalam model ini, penyelenggaraan pemilu dilimpahkan kepada penyelenggara pemilu nasional yang menjalankan pemilu secara nasional dan penyelenggara
pemilu lokal atau negara bagian seperti di Australia dengan kewenangan independen di tingkat lokal untuk menyelenggarakan pemilu sekaligus menjalankan fungsi peradilan bagi kasus-kasus pelanggaran pemilu.
140. Rafael Lopez Pintor, Electoral Management Body as Institutions of Governance. UNDP. 2000, seperti dikutip dalam Ramlan Surbakti dan Kris Nugroho, 2015, Studi tentang Desain Kelembagaan Pemilu yang Efektif, Kemitraan Partnership, hal 13-14
863
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Pemilu dan Parlemen
Perkembangan hasil penelitian terkini mengenai model penyelenggara pemilu yang dilakukan oleh Institute for Democracy and Electoral Assistance IDEA mengklasifikasikan tiga model EMB yaitu:
141
1. Model independen Independent Model : anggota badan penyelenggara pemilu diseleksi dan dipilih secara terbuka yang melibatkan masyarakat. Prinsip independen artinya keberadaan komisioner penyelenggara pemilu tidak berada
dibawah suatu lembaga, dan orang-orang yang menjadi komisioner tidak partisan atau tidak mewakili kepentingan partai atau kandidat tertentu. Penyelenggara pemilu independen diseleksi oleh panitia seleksi yang ditetapkan
oleh pemerintah misalnya Indonesia di era reformasi namun memiliki kemandirian dalam menentukan metode seleksi dan membuat keputusan hasil seleksi calon penyelenggara pemilu. Negara-negara yang menerapkan model
independen di antaranya adalah Indonesia, India, Afrika Selatan, Thailand, dan Polandia.
2. Model pemerintah Government Model : anggota badan penyelenggara pemilu diseleksi dan dipilih dari orang-orang yang mewakili kepentingan pemerintah. Prinsip independen komisioner sulit dipenuhi karena
komisioner penyelenggara pemilu adalah jajaran birokrasi misalnya di era Orde Baru, pejabat pegawai negeri yang ‘ditempatkan’ pemerintah untuk menjalankan tugas-tugas politis demi mengamankan kepentingan politik
pemerintah. Dalam hal ini, komisioner penyelenggara pemilu dan staf administrasi pendukungnya dari tingkat nasional hingga daerah lokal adalah dipilih dari kalangan birokrat terutama jajaran departemen dalam negeri
dan staf pemerintah daerah. Pengalaman Indonesia di era Orde Baru menunjukkan keanggotaan penyelenggara pemilu, dalam hal ini disebut Lembaga Pemilihan Umum LPU, diisi oleh jajaran birokrat Kementerian
Dalam Negeri dari tingkat pusat hingga daerah. Misalnya, Ketua LPU dijabat Menteri Dalam Negeri dibantu kesekretariatan dari jajaran staf Depdagri. Terlepas dari pengalaman masa lalu Orba, negara-negara demokratis
yang menerapkan model pemerintah ini di antaranya Amerika Serikat, Inggris, Swedia, dan Swiss.
3. Model Campuran Mixed Model : keanggotaan penyelenggara pemilu diseleksi dan dipilih dari kombinasi antara hasil seleksi publik non partisan dengan orang-orang yang mewakili kepentingan pemerintah. Selain itu,
terdapat varian lain yaitu keanggotaan penyelenggara pemilu diisi oleh wakil-wakil partai politik dan wakil-wakil pemerintah sebagaimana pernah diadopsi di Indonesia pada Pemilu 1999. Kombinasi komisioner penyelenggara
pemilu yang diisi kalangan independen dan pemerintah ini memiliki tiga 3 keuntungan: pertama, komisioner penyelenggara pemilu dapat lebih mudah mengakses hal-hal yang terkait upaya mencari dukungan kebijakan
anggaran logistik dari pemerintah; kedua, peluang penyelenggara pemilu dapat diisi oleh birokrat berpengalaman di bidang anggaran dan keuangan; ketiga, bisa mewakili aspirasi yang plural dalam masyarakat.
METODE PENELITIAN
Berdasarkan tujuan dan ruang lingkup penelitian, kajian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif. Proses triangulasi data dilakukan untuk menjamin akurasi data yang dapat dipertanggungjawabkan secara imiah.
Dalam menelusuri dan menjelaskan pertanyaan penelitian, digunakan data primer dan data sekunder yang saling memperkuat analisa yang dilakukan. Kajian difokuskan dalam sudut pandang organisasi dan tata kelola secara
institusional dihubungkan dengan perkembangan terbaru dan data empiris dari kajian dan penelitian terdahulu.
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
1. Standar Penyelenggaraan Pemilu
Berdasarkan standar penyelenggara pemilu Deklarasi Accra dapat dibandingkan dengan EMB Indonesia dalam tabel berikut :
No Standar Penyelenggara Pemilu
EMB Indonesia Keterangan
1. Badan yang permanen, independen, dan kredibel yang
berwenang mengorganisir dan melakukan secara periodik pemilu yang bebas dan jujur
EMB Indonesia bersifat nasional, tetap dan mandiri
Pasal 22 E ayat 5 UUD 1945
141. Helena Catt, Andrew Ellis dkk, 2014, Electoral Management Design Revised Edition, IDEA, seperti yang dikutip dalam Ramlan Surbakti dan Kris Nugroho, 2015, Studi tentang Desain Kelembagaan Pemilu yang Efektif, Kemitraan Partnership, hal 12
864
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Pemilu dan Parlemen
2. Mandat untuk menyelenggarakan pemilu harus
dinyatakan dalam konstitusi, termasuk metode untuk melakukan pemilu, pendidikan bagi pemilih,
pendaftaran partai dan calon, pembuatan kebijakan pemilu, prosedur pemilu, dan cara menyelesaikan
perselisihan pemilu; Kontitusi mengatur bahwa pemilu nasional
dilaksanakan 5tahun sekali, dan dilaksanakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap dan mandiri Bab VIIB tentang
Pemilihan Umum, Pasal 22E Ayat 1
sampai 6
3. Keanggotaan yang non partisan, diangkat kepala negara
dan mendapat persetujuan parlemen; Diangkat oleh Presiden setelah melalui seleksi
terbuka oleh tim seleksi dan uji kelayakan dan kepatutan di DPR, calon komisioner berasal
dari unsur profesional dan non partisant UU Nomor 15
Tahun 2011
4. Agensi pemilu memiliki pendanaan yang layak, memiliki
anggaran sendiri untuk merancang kebutuhan dan pengadaan barang melalui lelang yang fleksibel yang
berbeda dengan birokrasi pemerintah; KPU dan Bawaslu mendapatkan anggaran dari
APBN dengan pertanggungjawaban kepada pemerintah. Proses pengadaan barang tetap
tunduk pada aturan pemerintah UU Nomor 15
Tahun 2011
5. Adanya landasan hukum yang memungkinan agensi
pemilu memobilisasi aparat staf dan sumber-sumber lain untuk mendukung penyelenggaraan pemilu.
KPU dan Bawaslu didukung oleh Sekretariat Jenderal yang berisi unsur PNS dan Pegawai
Tidak Tetap UU Nomor 15
Tahun 2011
Berdasarkan perbandingan diatas, dapat dilihat bahwa badan penyelenggara telah memiliki mandat konstitusi dan diisi oleh unsur profesional dan non partisant. Profesional dijabarkan dalam persyaratan menjadi
calon komisioner yaitu mempunyai integritas, memiliki pengetahuan dan keahlian yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu, bersedia bekerja penuh waktu. Non partisant diuraikan bahwa harus bebas dari
keanggotaan partai politik, jabatan politik, jabatan di pemerintahan, dan Badan Usaha Milik NegaraBadan Usaha Milik Daerah. EMB Indonesia juga memiliki jaminan pendanaan yang bersumber dari keuangan negara
APBN dan didukung oleh sekretariat jenderal dalam membantu melaksanakan tugas administrasi dan birokrasi pemilu. Dapat diambil kesimpulan bahwa secara umum bahwa penyelenggaraan pemilu di Indonesia telah sesuai
dengan standar internasional penyelenggaraan pemilu.
Selanjutnya Prinsip utama EMB dalam menyelenggarakan pemilu berdasarkan standar IDEA menyatakan bahwa lembaga penyelenggara pemilu harus mempunyai prinsip filosofis dan normatif yaitu : Independen,
Imparsialitas, Integritas, Transparansi, Efisiensi, Profesionalisme, dan Mengutamakan Pelayanan service- mindedness. Jika dibandingkan, prinsip ini sudah diakomodir menjadi azaz yang menjadi pedomana dalam
pelaksanaan pemilu Indonesia yaitu : Mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas.
142
Dalam menjaga integritas penyelenggara pemilu, DKPP menyusun serangkaian kode etik yang diturunkan dari azas penyelenggaraan pemilu. DKPP bertugas menerima pengaduanlaporan dugaan adanya pelanggaran
kode etik, melakukan pemeriksaan, dan menatapkan putusan serta menyampaikannya kepada para pihak untuk ditindaklanjuti.
143
Sanksi yang dapat diberikan adalah adalah teguran tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap. Fungsi DKPP yang menegakkan etika dengan sistem peradilan etika ini merupakan
peradilan etika penyelenggara pemilu pertama didunia. Lazimnya penyelesaian dugaan pelanggaran etika di beberapa lembaga diperiksa secara tertutup. Peradilan etika secara terbuka oleh DKPP dianggap lebih transparan
dan memiliki kepastian hukum dalam tujuannya menjaga penyelenggaraan pemilu yang berintegritas.
2. Model Badan Penyelenggara Pemilu
Dalam Survey of Electoral Management yang dilakukan IDEA Tahun 2014 terhadap 217 Negara, Indonesia diklasifikasikan sebagai negara yang mempunyai badan penyelenggara independent model. IDEA merumuskan
bahwa model penyelenggara independen ini diisi oleh anggota yang diseleksi dan dipilih secara terbuka yang melibatkan masyarakat. Prinsip independen diartikan bahwa keberadaan komisioner penyelenggara pemilu tidak
berada dibawah suatu lembaga, dan orang-orang yang menjadi komisioner tidak partisan atau tidak mewakili kepentingan partai atau kandidat tertentu. Penyelenggara pemilu independen diseleksi oleh panitia seleksi yang
142. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu 143. Nur Hidayat Sardini, op cit 21