Konsolidasi Demokrasi full proseding JILID 2

581 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Politik Lokal rasional rational choice instituion; ii pilar normatif normative pillar dengan tokohnya Schmidt 2010, dalam pandangan Schmidt norma akan menghasilkan preskripsi, bersifat evaluatif, dan menegaskan tanggung jawab dalam kehidupan sosial, dan dalam pilar ini dicakup nilai value dan norma. Norma berguna untuk memberi pedoman pada aktor apa tujuannya goal dan objectives, serta bagaimana cara mencapainya. Karena itu, bagian ini sering pula disebut dengan kelembagaan normatif normatif institution dan kelembagaan historis historical instituionalism, inilah pula yang sering disebut sebagai teori kelembagaan yang asli; iii pilar kultural-kognitif cultural-cognitive pillar, inti dari pilar ini adalah bahwa manusia berperilaku sangat ditentukan oleh bagaimana ia memaknai meaning dunia dan lingkungannya, manusia akan mengalami sedimentasi makna dan kristalisasi makna dalam bentuk objektif. Aktor individu dan organisasi akan mengalami proses interpretatif internal yang dibentuk oleh kerangka kultural eksternal, dalam memaknai lingkungan sebagai situation secara kolektif. Dalam konteks ini, diyakini aktor memiliki makna yang sangat variatif, sehingga kreativitas aktor dihargai, bagian ini sering disebut dengan kelembagaan sosial social institution. Teori kelembagaan yang diterapkan pada politik menurut Amenta dan Ramsey 2010:18 menempatkan dua bentuk analisis yang berbeda yaitu di lihat dari pengaruh lembaga atas kebijakan politik yang dibuat, serta tindakan politik dengan bentuk varian analisis lembaga dapat menghambat pada proses politik, dan lembaga juga dapat membatasi beberapa bentuk tindakan politik. Bentuk lain dari teori kelembagaan yang lebih khas adalah institusionalisme sosiologis, berdasarkan perspektif ini lembaga yang konstitutif akan membangun sebuah model untuk lembaga lembaga politik. Di mana sifat-sifat konstitutif lembaga akan membangkitkan kembali struktur budaya masyarakat yang selama ini terabaikan dalam analisisnya. Teori institusionalis sosiologis yang terpengaruh dari “komunitas epistemik” 106 pada penelitian studi kebijakan menurut Edwin Amenta Kelly M. Ramsey 2010: 16, institusionalisme sosiologis berfokus pada pencarian legitimasi dalam organisasi politik dan cenderung berpijak pada proses imitasi kebijakan dan difusi bentuk lembaga dan kebijakan. Berdasarkan paradigma ini, Ramsey 2010 kemudian mengusulkan bahwa pendekatan normatif dan lembaga kognitif sebagai bagian dari analisis neoinstitutionalism sosiologis merupakan sebuah basis epistemologis dalam perumusan-perumusan kebijakan politik neoinstitutionalism historis. Jadi intinya, pendekatan sosiologis memandang aturan dan norma dan struktur institusi bukan sebagai secara rasional melekat dan didikte dengan azaz efiensi melainkan dikonstruksi secara budaya, dan bahkan praktek birokrasi sekalipun harus dijelaskan dalam konteks budaya. Dalam pendekatan institusionalis sosiologis menurut Amenta Ramsey 2010: 20 ketika adanya turut campur negara dalam penetapan sebuah kebijakan maka akan terciptanya stabilitas politik negara. Amenta Ramsey 2010: 21 mengatakan seringkali sulit untuk membedakan antara institusionalisme sosiologi dengan institusionalisme politik dalam sebuah riset penelitian. Alasannya menurut Miller 2011: 26 pendekatan normatif dalam mempelajari institusi politik cenderung mengaburkan garis batas antara institusi dan kebudayaan. Cabang institusionalis ini mungkin paling sedikit pengaruhnya dikalangan ilmuan politik kontemporer meskipun banyak yang menggunakan budaya institusi dalam berbagai riset yang ada. 107 Institusionalisme historis yang dikemukan oleh Hall Taylor 1996: 938 menegaskan bahwa ada prosedur formal atau informal, norma, dan konveksi-konveksi yang terikat dalam sturktur-struktur organisasi dari politik ataupun ekonomi politik. Menurut Hall Taylor 1996: 939; Ramsey 2010, institusionalisme historis berbeda dari institusionalism sosiologis. Scholars ini berpendapat, institusionalisme historis merupakan sebuah pendekatan yang khas terutama dalam “penyelidikan politik”. Fokus analisis dari neoinstitutionalism historis berusaha penjelasan secara configurational proses dan keterlibatan lembaga-lembaga politik serta proses terbentuknya kebijakan politik yang baru. 108 Dan, menurut Amenta Ramsey 2010: 22-25 penjelasan configurational mereka biasanya 106. berakar dari teori organisasi, antropologi dan kajian budaya. Aliran ini berusaha menekankan gagasan budaya institusional Miller dalam Ishiyama [eds.], 2011: 26. Sedangkan Hall Taylor 1996: 936 mengemukakan norma, struktur institusi bukan sebagai secara rasional melekat atau didikte oleh asas-asas efisiensi, tetapi dikonstruksi secara budaya. 107. Powel dan DiMaggo Miller dalam Ishiyama [eds.], 2011: 26 Kajian pelopor dalam bidang ini dilakukan oleh sosiolog di Universitas Stanford. 108. Meskipun institusionalisme historis memusatkan perhatian pada analisis insititusional tetapi Hall Taylor 1996: 942 jarang menganggap bahwa insititusi adalah satu-satu kekuatan kausal dalam politik. Misalnya institusionalisme historis mengakui pentingnya 582 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Politik Lokal melibatkan interaksi politik dari satu lembaga dengan lembaga lainnya, serta interaksi lembaga-lembaga politik pada tingkat pusat dan daerah. Bagi Miller 2011: 26 institusionalisme historis yang menjadi minat uatamanya adalah konstruksi dan adaptasi institusi. Miller 2011: 26 menguraikan bahwa institusionalisme historis tidak hanya menganalisis satu institusi atau pada proses pada kurun waktu tertentu, melainkan cenderung memandang politik seperangkat proses yang kompleks. Terkait dengan interaksi lembaga politik pada tingkat pusat dan daerah, ada sesuatu yang menarik dalam artikel yang ditulis oleh Jesse C. Ribot 2007, 50 1: 43-49 pada journal Development dengan judul artikel ‘Representation, Citizenship And The Public Domain In Democratic Decentralization’ dalam analisisnya, Ribot 2007 menguraikan reformasi desentralisasi banyak negara berkembang, lebih pada memberdayakan pemerintah daerah perwakilan yang terpilih dengan cara transfer kekuasaan keberbagai institusi lokal, termasuk ke lembaga swasta, otoritas adat dan organisasi non-pemerintah seperti kasus yang terjadi di Afrika, Burkima Faso, Nigeria, Mali, Mozambi dan Indonesia. Menariknya, Ribot 2007 menguraikan meskipun janji demokrasi desentraliasasi adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan untuk mempromosikan demokrasi lokal, tetapi dalam riset beberapa tahun terakhir yang ditelitinya ternyata telah muncul kembali tuntutan untuk membangkitkan kembali kewenangan asli lembaga lokal dan lembaga adat, dan ada bentuk pilihan kelembagaan lokal dengan fragmentasi atau difusi keuasaan publik antara lembaga lokal baru. Selain itu, Ribot 2007 menggunakan konsep “pengakuan” untuk mengeksplorasi efek pilihan institusional pada representasi, legitimasi, kewarganegaraan. Meminjam pendapatnya Ribot 2007 bahwa ternyata pemerintah memilih antara pilihan kebijakan berdasarkan utilitas politik. Baswedan 2007 juga menguraikan dalam disertasinya yang berjudul ‘Regional Autonomy And Patterns Of Democracy In Indonesia’. Menggunakan kasus Indonesia, studi ini mengamati efek dari desentralisasi kebijakan, belajar tentang hubungan antara otonomi daerah dan demokrasi serta menyelidiki bagaimana desain otonomi daerah di Indonesia. Baswedan menemukan, bahwa pelaksanaan daerah otonomi tidak langsung meningkatkan partisipasi politik lokal, semangat otonomi daerah hanya mengalihkan fokus perhatian dari nasional ke isu-isu politik regional, dengan menggunakan metodologi kuantitatif Baswedan menganalisis lebih jauh hubungan antara Otonomi Daerah dengan institusionalisme pada kasus pelaksanaan politik lokal di Indonesia. Walaupun bidang kajian sama-sama mengeksplorasi bagaimana struktur dan norma serta kebudayaan institusi menghambat pilihan-pilihan individu ketika mereka menjadi bagian dari institusi politik dan dilihat dari prespektif behavioral, tetapi letak pembeda dari penelitian ini adalah perspektif neoinstitutionalism yang akan peneliti gunakan adalah metodologi postpositivis dengan model analisis bertingkat, yaitu melihat model pembalikan demokrasi pada tingkatan lokal nagari dengan analisis institusi pada pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten serta nagari. ide dalam menciptakan perubahan politik disamping ada pengaruh indikator ekonomi dan budaya dalam mengambil keputusan politik. 583 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Politik Lokal METODE PENELITIAN Metode penelitianpostpositive eksploratif Postpositive dirancang sebagai alat bantubagipenelitiagardapat menganalisis datasecara konseptual dansifatnyasangat padat Jenis danSumber Data Data Primer: wawancara mendalamindepth interview dengan pihakͲpihak terkait Data Sekunder: seperti sumberdariarsip, dokumen pribadi,dokumen resmi, majalahilmiah,dan seterusnya Unit analisis adalah lembaga dan Pemilihan Informan dilakukan secara purposive sampling dan Teknik Pengumpulan Data 1. Wawancara berdasarkan kriteria informan yang dipilih 2. Observasi 3. Dokumentasi Lokasi Penelitian: 1. Perwakilan nagari yang berada di Luhak Tanahdatar 2. Perwakilan nagari Yang berada di Luhak Limapuluh Koto 3. Perwakilan nagari yang berada di luhak Agam 4. Perwakilan nagari yang berada di wilayah rantau dari Validitas danReliabilitasData: meng Ͳtriangulasi sumberͲsumber data yang berbeda yang peneliti dapatkan dilapangan dengan membangun justifikasi dari temaͲtema yang ada; 2 menerapkan member cheking dengan tujuan untuk memngetahui akurasi hasil penelitian yang dilakukan; 3 menganalisis dan mendeskripsikan data yang sudah didapatkan dilapangan; 4 mengklarifikasi dataͲdatayangbiasyangterjadiselamapeneliti dilapangan; 5 melakukan tanya jawab dengan sesama rekan Analisis Data: Data yang diperoleh dianalisis sesuai dengan prinsip metode postpositive eksploratif. Di samping perolehan data dari pelaporan “on the spot”,datayangbanyaktersebutjugaharusdireduksidenganjalanmembuatabstraksisebagaisebuahrangkuman yang inti.Hubungantersebutdipaparkansebagaiproposisisebagaimanadidalampenelitiankualitatiflainnyamelaluisebuahtulisan yang bersifatdeskriptifdankonseptual.AnalisisdilakukanberdasarkanpandanganͲpandanganinformanemikyangsudahdivalidasi dengan menggunakan metode triangulasi. Kesimpulan dari analisis yang dilakukan terkait pada gabungan data yang didapat dari 1 2 3 4 5 6 TEMUAN DAN PEMBAHASAN Setting politik lokal dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia diwarnai dengan problematika eksistensi lembaga dan kearifan lokal yang tadinya pernah terkenal sebelum perlakuan dan penyeragaman atas undang- undang desa pada tahun 1975 UU No 5 tahun 1979 tentang Desa, ketika dihadapkan pada keharusan untuk menjaga keseimbangan antara pelaksanaan fungsi standar pemerintahan dalam konteks negara kesatuan dengan akomodasi terhadap otoritas-otoritas adat seperti nagari di Sumatera Barat, katamanggungan di Kalimantan dan lain-lain. Ada sebuah usaha untuk menjaga “fungsi keseimbangan” inilah menurut Purwo Santoso 2003: 240-241 yang membuat pemerintah paling bawah baca: desanagarisubak menjadi “berwajah ganda”. Pada satu sisi desa atau nagari adalah institusi kemasyarakatan yang diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat, berhak mengatur dan mengurus dirinya sendiri, termasuk pengelolaan konflik inilah sebuah jati diri desa atau nagari dan lain-lain. Dalam konotasi ini, desanagarisubakgampong dan lain-lain adalah suatu masyarakat hukum adat yang secara entitas sosial-politik bukan hanya berhak, namun juga mampu mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri. Di sini desanagarisubakgampong relatif lebih independen dan tidak banyak dibebani oleh kepentingan negara baca: pemerintah pusat dan provinsi, tetapi pada sisi lain akhirnya desanagarigampong subak dan lain-lain menjadi bagian dari rantai birokrasi pemerintahan moderen. Khusus untuk nagari di Sumatera Barat, rantai birokrasi moderen yang dibentuk oleh negara baca: pemerintah pusat adalah membentuk lembaga- lembaga nagari yang tugas dan fungsinya seperti miniatur ”negara kecil” yaitu eksekutif yang di pimpin oleh Wali Nagari, legislatif oleh Badan Musyawarah Nagari BMN dan yudikatif peradilan oleh Kerapatan Adat Nagari KAN lihat Perda No 2 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan 584 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Politik Lokal Nagari, yang terjadi proses desentralisasi dan demokratisasi lokal di Sumatera Barat berlangsung penuh dengan polemik, mulai dari UU No. 51979 tentang Pemerintahan Desa 109 sampai dengan No UU 6 Tahun 2014 tentang desa. Sehingga menurut Franz Benda-Beckman 2007: 419-420 masyarakat Sumatera Barat pada akhirnya menerima bentuk intervensi dari pemerintah pusat dengan cara menghilangkan identitas politik lokal dan self-governing community yang sudah lama berbasis pada nagari 110 , di mana campur tangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah akhirnya merusak peranan lembaga-lembaga nagari, termasuk merusak hubungan antara pemimpin lokal dan warga masyarakat. Perubahan dari nagari ke desa merupakan bentuk marginalisasi serta penghilangan identitas lokal, 111 karena menurut Franz Benda-Beckman 2007: 422-424 ketika membagi nagari menjadi desa ternyata telah memberi pengaruh pada efek ekonomi, sosial dan kultural. Bahkan menurut Tengku Rika 2010, jauh lebih rusak kondisi pada rentang tahun 1979 sampai dengan 1999 adalah ketika struktur dan legitimasi kepemimpinan kepala desa telah mengambil alih kepemimpinan formal dari “tali tigo sapilin” dan “tigo tungku sajarangan” yaitu ninik mamak sebagai penghulu nagari, alim ulama dan cerdik pandai. Selain itu, pemerintah desa terbukti tidak mampu menciptakan bentuk demokrasi yang komunitarian pada masyarakat nagari,serta menurut Hasbi et al 1990: 30 dan Mochtar Naim 1990: 48,60 negara tidak pernah memberikan kompensasi finansial bagi perangkat desa. Merujuk pendapatnya Sri Zulchariyah 2008: 78 “dari masa kolonial sampai masa kemerdekaan orde baru secara keseluruhan terlihat gambaran kecenderungan akan proses pemudaran dan pelemahan akan sistem nagari”. Secara teoritik dari analisis peneliti, nagari 112 memang bukan lembaga seperti yang dikatakan oleh Weber sebagai lembaga yang mempunyai monopoli penggunaan sarana-sarana kekerasan secara absah. Walaupun secara teoritis nagari merupakan organisasi yang mempunyai pemerintahan sendiri, secara otonom dan berbasis pada masyarakat self-governing community serta berdasarkan analisis Benda-Beckmann 1979 mempunyai perangkat pemerintahan demokratis yang merupakan kesatuan holistik dari berbagai perangkat tatanan sosial-budaya,tetapi menurut Sutoro Eko 2003, ada eforia bagi masyarakat Sumatera Barat ketika ada pergantian rezim dari orde baru ke reformasi yang kemudian disusul dengan kebangkitan desentralisasi dan demokrasi lokal. Makna desentralisasi telah membuat “kembali” batas-batas sosial dan politis di Sumatera Barat. Di mana ketika pemerintah provinsi agak mulai surut legitimasi kekuasaannya, 113 sementara pemerintah kabupaten dengan penuh ”percaya diri” lebih menekankan otonomi mereka dalam berhadapan dengan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat, dengan otonomi yang sama memberikan kabupaten untuk merancang kembali hubungan mereka dengan nagari, dan mendefinisikan model demokrasi yang pas untuk nagari serta batas-batas otoritas antara pemerintah dengan komunitas masyarakat adat nagari 114 . Sehingga, nagari sebagai basis kehidupan masyarakat akar rumput grass- 109. Pada tahun 1970-an, Pemerintah Indonesia mulai meyeragamkan pluralitas hukum, mengkonsolidasi peraturan memusat dan membakukan perbedaan dalam pemerintahan lokal daerah. Model desa Jawa sebagai unit pemerintahan lokal paling rendah menjadi patokan seluruh Indonesia di bawah UU No. 51979. Di Sumatera Barat, ini dilaksanakan secara efektif pada tahun 1983. 110. Intervensi yang dimaksudkan disini adalah penyeragaman pemerintahan nagari menjadi pemerintahan desa dengan merujuk pada UU No 5 tahun 1979, dan mengganti jorong sebagai wilayah administratif dibawah nagari menjadi desa, dengan tujuan untuk mendapatkan dana bantuan desa bandes. 111. Berubahnya Nagari menjadi Desa, mengakibatkan terjadinya pergeseran kekuasaan dan kepemimpinan lokal dari pemerintahan Nagari ke pemerintahan Desa, di mana pemerintahan desa merupakan lembaga yang menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan terendah dalam wilayah Indonesia dan nagari dialihkan fungsi dan perannya pada lembaga yang hanya mengurusi masalah adat. Bahkan jauh lebih rusak adalah struktur dan legitimasi kepemimpinan kepala desa telah mengambil alih kepemimpinan formal dari “tali tigo sapilin” dan “tigo tungku sajarangan”yaitu ninik mamak sebagai penghulu nagari, alim ulama dan cerdik pandai. 112. Pengertian nagari di sini dalam Peraturan Daerah Sumatera Barat No. 9 Tahun 2000 jo Perda No 22007 Tentang pemerintahan Nagari. 113. Setelah jatuhnya rezin Soeharto Indonesia mengalami proses besar-besaran, yaitu merundingkan kembali batas-batas administratif, politis, dan sosial. Sebuah lembaga legislasi meletakan dasar bagi proses perundingan ini, dengan melonggarkan batas-batas antara negara pusat dan daerah-daerah, dan menggeser kekuasaan ke tingkat-tingkat adminsitratif yang lebih rendah, terutama kabupaten- kabupaten. Ada dua konsekuensi yang terjadi yaitu menyangkut reorganisasi pemerintahan desa melalui UU No 7 tahun 1979 dan adanya pertimbangan kembali terhadap identitas minangkabau dalam pemerintahan Indonesia yang lebih besar. Lihat Benda- Beckmann dalam Nordholt Klinken [eds.], 2007: 417-418 untuk bahasan lebih lanjut. 114. Batas-batas teritorial desa yang dirubah menjadi batas-batas teritorial nagari kemudian memaksa penduduk di pedesaan mendefenisikan kembali hubungan-hubungan internal desa serta memperbaiki kembali hubungan sosial dan ekonomi ketika masih 585 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Politik Lokal roots mempunyai dua wilayah yang berbeda yaitu: i wilayah internal nagari yaitu relasi hubungan antara pemerintah nagari dengan lembaga-lembaga nagari serta masyarakat; ii adalah wilayah eksternal nagari, yaitu wilayah hubungan antara nagari dengan pemerintah supra nagari baca: pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dalam konteks formasi negara sentralistik Sutoro Eko,2003: 257 Dua wilayah ini, merupakan titik masuk dan akhirnya akan menjadi masalah yang krusial bagi negara baca: pemerintah pusat dan provinsi, kabupaten, yaitu negara ingin mewujudkan pembaharuan terhadap instusi nagari dan itu harus sejalan dengan reformasi politik maupun pembaharuan pemerintahan governance reform Sutoro Eko,2003: 257-258. Tetapi ketika semuanya itu tidak terwujud menurut peneliti akhirnya akan menjadi potensi konflik antara negara dengan nagari. Ada dua “celah kosong” terkait dengan konsolidasi demokrasi pertama; proses konsolidasi demokrasi ternyata membutuhkan pembalikan demokrasi menurut temuan peneliti ada sebuah proses habituasi n orma-norma, budaya dan kelembagaan, intermediasi negara dengan masyarakat lokal, yang tercemin dalam bentuk kebijakan baca: Perda yang mengatur tentang Nagari pada masing masing kabupaten yang menjadi salah satu pendekatan untuk melihat demokratisasi. Kedua; peneliti kemudian mensandingkan dengan temuan yang didapat oleh Tengku Rika dan Roni Ekha 2011: 211-219 yang dipublikasikan pada International Journal of Administrative Sciences and Organization yang berjudul ’The state Versus Local Elite Conflict in A Transitional Phase of Democracy’ mengutarakan bahwa ada peluang bagi negara baca: pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menghalangi kepentingan kelompok lokal di nagari, serta gerakan perlawanan masyarakat lokal dalam menentang intervensi negara pada lembaga-lembaga lokal nagari, tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut oleh Tengku Rika dan Roni Ekha 2011 tentang peluang seperti apa yang menghalangi kepentingan kelompok lokal di nagari oleh negara, dan inilah yang akan peneliti lanjutkan melalui eksplorasinya bahwa adanya sebuah Pembalikan demokrasi. Berdasarkan pada temuan dan analisis data, peneliti mengambil sudut pandang yang berbeda bahwa adanya penguatan institusionalisasi elemen-elemen demokrasi seperti Bamus dan KAN, karena asumsi awal peneliti ketika sebuah negara demokrasi yang pelembagaan politiknya mengalami kekacauan, maka akan berdampak pada buruknya stabilitas negara dan salah satu syarat yang mengurangi dampak di atas adalah di perkuatnya pelembagan politik dan pemerintahan di tingkat lokal salah satunya yaitu desa atau nagari. Analsis secara institusionalisme terlihat ketika Sumatera Barat merevisi peraturan daerah perda tentang pemerintahan lokalnya nagari menjadi Perda Provinsi Sumatera Barat dari No 9 tahun 2000 jo Perda No 2 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari dengan memberdayakan sekaligus tiga pilar proses demokrasi lokal yaitu Badan Perwakilan Nagari dan Kerapatan Adat Nagari KAN. Revisi yang paling signifikan kalau dikaji berdasarkan teori kelembagaan yang diterapkan pada politik menurut Amenta dan Ramsey 2010:18 yaitu menempatkan dua bentuk analisis yang berbeda yang pertama di lihat dari pengaruh lembaga atas kebijakan politik yang dibuat ini bisa dilihat dari pelbagai kebijakan politik yang dibuat oleh pemerintah daerah untuk nagari. 115 Kedua di lihat dari tindakan politik, 116 serta lembaga juga dapat membatasi beberapa bentuk tindakan politik. 117 Bentuk lain dari teori kelembagaan yang lebih khas adalah institusionalisme sosiologis, berdasarkan perspektif ini lembaga yang konstitutif akan membangun sebuah model untuk lembaga lembaga politik. ini bisa di lihat pada sifat-sifat konstitutif lembaga akan membangkitkan kembali struktur budaya masyarakat yang selama ini terabaikan misalnya dalam perubahan atas Perda No 9 Tahun 2000 jo Perda No 2 Tahun 2007 tentang struktur memakai desa sebagai bentuk pemerintahan terendah. 115 Perumusan dan pemebentukan nagari adat seperti yang dirancang di Kabupaten Agam , pemilihan Wali nagari langsung Pilwana. 116. Pemberian anggaran belanja Nagari lebih kurang 1 Milyar dengan atau tanpa melihat kondisi dan kesiapan perangkat Nagari. Dan itu hanpir terjadi di setiap nagari yang ada khusus Nagari di lokasi peneliti sendiri 117. KAN ternyata masih mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap segala keputusan yang dibuat oleh perangkat nagari Nagari Lawang dan Tigo Balai di Kabupaten Agam dan Nagari Pariangan Kabupaten Tanah Datar. Menariknya, menyangkut tentang pemilihan wali nagari keputusan pertama tentang siapa bakal calon nagari tetap di rumuskan oleh KAN sebagai lembaga autoritatif di nagari Lawang dan Nagari Tigo Balai serta Lembaga Unsur untuk Nagari Pariangan , dan pemerintah kabupaten sebagai perpanjang tangan pemerintah Propinsi dan Pusat mengakui keputusan dua lembaga ini. 586 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Politik Lokal kelembagaan pemerintahan nagari di mana, lembaga KAN dimasukan dalam struktur pemerintahan nagari 118 yang berfungsi sebagai yudikatif-nya nagari. selain itu, pimpinan nagari yaitu Wali nagari dengan menggunakan Perda No 2 tahun 2007 lebih bertanggung jawab kepada bupati sebagai atasan langsung dari wali nagari. Menariknya, aturan yang sekarang menafikan kinerja camat yang seharusnya berfungsi sebagai atasannya wali Peneliti memandang berdasarkan penjelasan diawal paragraf tentang cara pandang pendekatan institusionalisme melihat pada kebijakan politik yang dilahirkan oleh pemerintah daerah Sumatera Barat dalam bentuk peraturan daerah perda tentang pemerintahan lokalnya nagari Perda No 9 tahun 2000 jo Perda No 2 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari, pencarian legitimasi dalam organisasi politik cenderung berpijak pada proses imitasi kebijakan dan difusi bentuk lembaga dan kebijakan. Berdasarkan paradigma ini, peneliti melihat pendekatan normatif dan lembaga kognitif seperti 1 “melestarikan” Kerapatan Adat KAN yang sudah ada sejak memakai UU No 5 tahun 1979 pada masa Orde Baru, walaupun kenyataannya menurut Irhash A. Shamad 2014: 5-6 tetap ada hegemoni sistem politik pusat yang kuat terhadap daerah serta faktor komitmen elite terutama prilaku elite lokal yang justru sangat konro-versi dengan budaya lokal sendiri, 2 merancang desa adat sesuai amanat UU No 6 tahun 2014 ini sudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Agam. Jika dilihat dari pendekatan sosiologis dan historis, ternyata memandang aturan dan norma dari kebijakan politik yang dilahirkan oleh pemerintrah daerah Sumatera Barat dalam bentuk perda tentang nagari, serta merombak struktur institusi, ternyata secara rasional ternyata itu telah dikonstruksi secara budaya, termasuk sistem birokrasi yang berubah dari pemerintah desa ke pemerintahan nagari. Dalam pendekatan institusionalis sosiologis menurut Amenta Ramsey 2010: 20 ketika adanya turut campur negara dalam penetapan sebuah kebijakan maka akan terciptanya stabilitas politik negara. Tetapi untuk kasus dalam penelitian ini stabilitas dalam lembaga politik di daerah lebih mendekati intervensi pusat dalam pelaksanaan otonomi dan desentralisasi lihat juga penjelasan Tengku Rika dan Roni Ekha 2011: 211-219 yang dipublikasikan pada International Journal of Administrative Sciences and Organization yang berjudul ’The state Versus Local Elite Conflict in A Transitional Phase of Democracy’ untuk pembahasan lebih lanjut tentang intervensi ini. Ketika ”berkaca lebih jelas” tentang Institusionalisme historis yang dikemukan oleh Hall Taylor 1996: 938 bahwa ternyata ada prosedur formal atau informal, norma, dan konveksi-konveksi yang terikat dalam sturktur-struktur organisasi dari politik pada tingkat pusat dan daerah ketika kebijakan politik Perda Nagari tersebut dilahirkan. Penjelasan secara configurational terlihat ketika adanya interaksi politik dari satu lembaga dengan lembaga lainnya, serta interaksi lembaga-lembaga politik pada tingkat pusat dan daerah 119 . KESIMPULAN. Negara masih menganggap nagari sebagai sebuah pemerintahan yang masih “hijau”. Butuh sebuah tangan yang diberi nama “ intervensi terhadap lembaga ”. Elite dan masyarakat nagari menganggap bahwa pemerintahan nagari adalah sebuah bentuk perpaduan antara pemerintahan adat dan administratif, butuh sentuhan kearifan lokal bagi elite yang mengelolanya. Ketika perpedaan pandangan dan fungsi lembaga dari Negara dan elite lokal terhadap nagari, penulis melihat ada sebuah konflik yang menjembatani hubungan mereka. Walaupun sama sama mematuhi amanat dari UU No 5 tahun 1979 tentang Desa, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, serta dikerucutkan dalam bentuk kebijakan politik melalui Perda No 9 Tahun 2000 tentang Nagari dan perda No 2 tahun 2007 tentang nagari serta di perjelas dalam perda pada masing masing Kabupaten tentang Nagari, tetapi dalam pelaksanaannya masih banyak hubungan konsultatif antara negara dan nagaridesa ternyata tidak berjalan sebagai mana mestinya. 118. Struktur terbaru pemerintahan nagari berdasarkan Perda No 2 tahun 2007 adalah Wali Nagari berfungsi sebagai Eksekutifnya Nagari, Badan Musyawarah Nagari Bamus sebagai legislatifnya nagari dan Kerapatan Adat Nagari KAN representasi yudikatifnya nagari. 119. Peneliti mengambil istilah berdasarkan penelitian yang ditulis dan dibukukan oleh Irhash A. Shamad tentang Hegemoni Politik Pusat dan Kemandirian Etnik di Daerah Kepemimpinan Sumatera Barat pada Masa Orde Baru pada Bab IV.yang dicetak oleh Imam Bonjol Press. 2014. Serta data-data hasil penelitian peneliti di Lapangan sesuai dengan locus penelitian yang dijelaskan pada bagian metode penelitian. 587 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Politik Lokal DAFTAR PUSTAKA Amenta, Edwin Ramsey, Kelly M.. 2010. Institutional Theory. Dalam. K.T. Leicht J.C. Jenkins eds.. Handbook of Politics: State and Society in Global Perspective. Springer Science Business Media Anies Rasyid Baswedan. 2007. Regional Autonomy and Patterns of Democracy in Indonesia. Tesis, PhD. University Northern Illinois Asrinaldi. 2014. Kekuatan-Kekuatan Politik di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana. Creswell, John W. 2009. Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Los Angeles: SAGE. D. Marsh G. Stoker Eds. Theory and Methods in Political Science. 2002 London: Macmillan. Dede Mariana. 2008. Dinamika Demokrasi dan Perpolitikan Lokal di Indonesia. Bandung: AIPI Bandung dan Puslit KP2W Lembaga Penelitian UNPAD. Franz Beckmann- Benda, Keebet, Von. 2007. Ambivalent Indentities Decentralization and Minangkabau Political Communities. Dalam Nordholt, Henk Schulte Klinken, Van Gerry [eds.]. Renegotiating Boundaries Local Politics In Post-Soeharto Indonesia, 417-442. LEIDEN: KITLV PRESS. Freedman, Amy L. 2006. Political Change and Consolidation Democracy’s: Rocky Road in Thailand, Indonesia, South Korea, and Malaysia. New York: Palgrave Macmillan. Greene, Samuel Richard,. 2012. Democratic Consolidation: A Reassessment. Tesis PhD. Department of Politics School of Arts and Sciences Of The Catholic University of America. Hall, P. A., Taylor, R. C. R. 1996. Political Science and The Three New Institutionalisms. Political Studies 44: 936-957. Ishiyama, John T Breuning ,Marijke [eds]. 2011. 21st Political Science : A Reference Handbook. London: Sage. Jepsen, Eric M. 2011. Processes of Democratization. Dalam Ishiyama, John T Marijke Breuning eds. 21st Political Science: A Reference,. Handbook. 275-282. London: Sage. Leo Agustino. 2007. Perihal Ilmu Politik: Sebuah Ulasan Bahasan Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Leo Agustino. 2014b. Politik Lokal dan Otonomi Daerah. Alfabeta: Bandung Linz, Juan J. Stepan, Alfred. 2001. Toward Consolidated Democracies Dalam. Larry Diamond Marc F. Plattner.eds. The Global Divergence of Democracies, 93-112. London: The Johns Hopkins University Press. Miller, Mark. C. 2011. Neoinstitusionalism. Dalam. Ishiyama, John T Marijke Breuning eds. 21st Political Science: A Reference, 22-28. Handbook. London: Sage. Moh Hasbi, Moch Naim, Damciwar.1990. Nagari, Desa Dan Pembagunan Desa Di Sumatera Barat. Padang: Yayasan Genta Budaya. Mokhtar Mas’oed. 1999. Negara, Kapital, dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nordholt, Henk Schulte Klinken, Van Gerry [eds]. 2007. Renegotiating Boundaries Local Politics In Post-Soeharto Indonesia. Leiden: KITLV Press. Olsen, Johan P. 2001. Garbage Cans New Institutionalism and The Study Of Politics. Journal The American Political Science, 951: 193 Perda Propinsi Sumatera Barat No 2 Tahun 2007 tentang Nagari Perda Propinsi Sumatera Barat No 9 Tahun 2000 tentang Pokok Pokok Pemerintahan Nagari Purwo Santoso. 2003. Menuju Tata Pemerintahan dan Pembangunan Desa dalam Sistem Pemerintahan Daerah: 588 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Politik Lokal Tantangan bagi DPRD. Dalam. Gafar Karim. ed.. Kompleksitas Persalan Otonomi Daerah di Indonesia, 239-256. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rhodes, R.A.W. eds.. 2006. The Oxford Handbook of Political Instittution. Oxford: University Press. Ribot, Jesse C.. 2007. Representation, Citizenship and the Public Domain in Democratic Decentralization. Society for International Development 501: 43–49. Shamad, A. Irhash. 2014. Hegemoni Politik Pusat dan kemandirian Etnik di Daerah kepemimpinan Sumatera Barat di masa Orde Baru. Padang : Imam Bonjol Press. Schedler, Andreas. 1998. What is Democratic Consolidation? Journal of Democracy 9. 2 91-107. Schmidt, Viviena. 2010. Taking Ideas and Discourse Seriously: Explaining Change Through Discursive Institutionalismas The Fourth ‘New Institutionalism. European Political Science Review, 21: 1–25. Singh, Sourabh .2014. Changing Political Field Structure And Modulations In Democarcy Consolidation: India, 1947-1984. Tesis PhD. School-New Brunswick Rutgers, The State University of New Jersey. Sri Zul Chairiyah. 2008. Nagari Minangkabau dan Desa di Sumatera Barat: Dampak penerapan UU No 5 Tahun 1979 tentang Sistem pemerintahan Desa. Padang : Kaukus Perempuan Penyelenggara Pemilu Sumatera Barat KP3SB. Sutoro Eko. 2003, Transisi Demokrasi Indonesia Runtuhnya Rezim Orba. Yogyakarta : AMPD Press. Sutoro Eko. 2003. Meletakan Desa dalam Desentralisasi dan Demokrasi. Dalam. Gafar Karim. ed.. Kompleksitas Persalan Otonomi Daerah di Indonesia, 257-294. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tengku Rika dan Roni Ekha. 2010. Transisi Demokarasi Lokal Nagari Pasca Otonomi Daerah Di Sumatera Barat. Padang: Andalas University Press. Tengku Rika dkk 2011. The state Versus Local Elite Conflict in A Transitional Phase of Democracy. International Journal of Administrative Sciences and Organization Vol 183: 211-219. Turner, Jonathan H. 2011. Sociological Perspectives, Vol. 54 3: 283–306. Von Benda, Franz- Beckmann. 1979. Property In Social Continuity: Continuity And Change In’ The Maintenance Of Property Relationships Through Time In Minangkabau, West Sumatra. Springer Science Business Media Dordrecht. 589 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Politik Lokal PEMILIH PERMISIF DAN PRAKTEK POLITIK UANG DALAM PEMILU LEGISLATIF 2014 Irawati, Andri Rusta E-mail: ira.tanjunggmail.com, andri.rustagmail.com A b s t r a k Pemilu legislatif dengan sistem proporsional terbuka open-list proportional representation, yang digunakan pada pemilu 2014 lalu, telah mendorong semakin masifnya praktik politik uang money politics. Pelaku money politics bukan hanya institusi partai, melainkan para caleg, baik karena inisitiaf sendiri maupun inisiatif yang berasal dari masyarakat pemilih dan para calo suara vote-brokers. Sasaran politik uang saat ini tidak hanya berkutat pada pejabat pemerintah ditingkat pusat ataupun provinsi dan kabupaten sebagai pengambil kebijakan, melainkan semakin melebar hingga ke desa atau dusun dan Rukun Tetangga RT. Praktik politik uang ini menggunakan jaringan-jaringan yang di Indonesia sering disebut tim sukses, atau di beberapa daerah disebut tim keluarga. Tim ini berfungsi untuk menghubungkan kandidat dengan pemilih di tingkat komunitas lewat beberapa level. Dalam prakteknya, sebagian besar kandidat menganggap pemberian barang hadiah bukan bagian dari politik uang. Pemilih menganggap pemberian hadiah oleh kandidat dalam masa kampanye adalah hal yang biasa, bahkan akan semakin banyak yang menerima secara terbuka praktek tersebut. Perilaku permisif pemilih ini sangat mendorong semakin kuatnya praktek politik uang dalam pemilu legislatif. Kata Kunci: Pemilu Legislatif, Pemilih, Politik Distribusi, Politik Uang, Tim Sukses PENDAHULUAN Penelitian ini berangkat dari maraknya fenomena jual beli suara dalam pemilu legislatif 2014 di Indonesia. Hampir semua kandidat menghabiskan dana yang sangat besar untuk membeli suara pemilih yang variasi modusnya sangat beragam, mulai dari pemberian bantuan sosial, pengobatan gratis, pemberian sembako hingga yang terang-terangan membagiakan uang secara langsung kepada pemilih. Pemilu legislatif dengan sistem proporsional terbuka open-list proportional representation, yang digunakan pada pemilu 2014 lalu, telah menunjukkan betapa biaya politik menjadi demikian tinggi, baik yang ditanggung Negara maupun partai politik dan individu para calon legislatif. Selain itu, sistem proporsional terbuka dalam konteks Indonesia telah mendorong semakin masifnya praktik politik uang money politics dalam pemilu. Praktek politik uang money politics, tidak hanya dapat dilihat dari sisi adanya masalah suap menyuap dengan sasaran memenangkan salah satu kandidat. Money politics dapat juga dihubungkan dengan segala macam pelanggaran menyangkut dana, seperti mendapatkan dana dari sumber terlarang serta tidak melaporkan keberadaan dana ilegal itu. Selain itu, politik uang juga tidak hanya sebatas pemberian uang, tetapi juga benda-benda lainnya, bahkan janji-janji untuk memberikan jika seorang calon terpilih. Praktik money politics tersebut wujudnya beragam, mulai dari yang terselubung seperti pengurukan jalan, sumbangan untuk tempat ibadah masjid, musholla, dan lain-lain, sampai yang vulgar berupa pembagian sembako atau aneka barang lain, dan pemberian uang pada pemilih. Pemilu lebih dimaknai sebagai proses bagaimana kandidat memenangkan kontestasi tanpa memperdulikan tujuan dari pemilu itu sendiri. Mungkin pandangan Harold Laswell 1971 secara sederhana yang memaknai politik sebagai proses siapa, mendapatkan apa, kapan dan bagaimana sangat tepat dalam kasus ini. Dalam beberapa hal, Laswell hendak menjelaskan bahwa, politik adalah satu alur panjang kontestasi kepentingan antara berbagai elemen dalam kurun waktu tertentu. Pemaknaan itu memberi konskuensi logis tentang kemungkinan adanya proses adu daya tawar antara pemilih dan calon pemimpin, baik yang berada di lembaga eksekutif atau legislatif dalam setiap ritus pemilu. Seharusnya pemilu menjadi kesempatan bagi pemilih untuk menyuarakan kepentingan mereka. Melalui hak suara, masyarakat memiliki sumber daya untuk melakukan transaksi politik terhadap calon pemimpin. Idealnya proses mendapatkan dukungan suara dari pemilih terjadi dengan pertukaran ide tentang rancangan kebijakan yang ditawarkan para kandidat Stokes, at all: 2013. Bentuk transaksi politik mestinya lebih bersifat jangka panjang. Ia tidak berhenti ketika pemilu berakhir, karena bagaimanapun, pemilih memiliki kuasa yang sama dengan kandidat dalam menentukan masa depan diri, masyarakat dan daerahnya. Disinilah kita akan memaknai politik sebagai sebuah proses alokasi dan distribusi sumber daya, dimana siklus pemilu—pra, pemilu, pasca—merupakan arena terjadinya proses pengalokasian dan pendistribusian sumber daya tersebut. 590 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Politik Lokal Namun yang terjadi sampai sekarang terutama pada pemilu legislatif 2014 adalah transaksi dalam pemilu dipraktekkan secara sempit, jangka pendek, dan pragmatis. Pemilu hanya dijadikan ajang menunaikan kepentingan masing-masing tanpa perduli dengan kepentingan pihak lain. Hal ini yang membuat transaksi politik berimbas kepada pelemahan masyarakat. banyak sekali ditemukan bentuk-bentuk transaksi politik yang melemahkan masyarakat. Diantaranya adalah jual beli suara Vote Buying, kesepakatan dukungan suara antara kandidat dengan warga atau komunitas dengan syarat pemberian imbalan materi oleh kandidat dan bentuk-bentuk lainnya. Dalam situasi pemilu seperti ini, kandidat yang datang dengan visi misi dan program tidak mendapat perhatian dari pemilih. Pelaku money politics saat ini bukan institusi partai, melainkan para caleg, baik karena inisitiaf sendiri maupun inisiatif yang berasal dari masyarakat pemilih dan para calo suara vote-brokers. Vote-brokers menganggap pemilu sebagai rejeki lima tahunan mereka. Mereka tidak mempermasalahkan rekam jejak sang calon legislatif. Bahkan, penjahat sekalipun akan ia jajakan ke masyarakat untuk dipilih asal mampu membayar. Bahkan, pimpinan partai politik yang kantongnya kalah tebal serta tak mau melakukan money politics vote-buying, bisa tersingkir oleh caleg yang tak pernah mengurus partai politik namun mampu membeli suara. Fenomena vote buying ini tidak hanya melemahkan partai politik saja, tetapi juga melemahkan posisi pemilih, terutama ketika para kandidat sudah duduk di lembaga perwakilan. Pemilih akan sangat terikat dengan si kandidat atau brokernya selama masa pemilihan, namun tidak memiliki bergaining dengan kandidat dalam jangka panjang soal kebijakan yang dibuat oleh para anggota dewan. Selain itu fenomena ini akan sangat berpengaruh kepada kualitas anggota dewan itu sendiri. Selain itu anggota dewan terpilih yang terjerat praktik money politics dan menghabiskan dana yang sangat besar untuk duduk di kursi parlemen, akan terjebak dalam kalkulasi pengembalian biaya politik yang telah dikeluarkan. Kondisi semacam ini yang menyebabkan anggota Dewan berhadapan dengan dua kemungkinan negatif. Salah satu atau keduanya yakni tidak fokus mengemban tugasnya sebagai wakil rakyat, dan terlibat perilaku koruptif dengan menyalahgunakan kekuasaannya abuse of power. Masifnya praktek politik uang money politics dan jual beli suara vote buying hampir diseluruh wilayah di Indonesia pada Pemilu legislatif 2014 sunggah sangat mengkhawatirkan. ICW mencatat tren politik uang dari Pemilu pasca reformasi meningkat. ICW bersama jaringan di daerah melakukan pemantauan di 15 provinsi sejak masa kampanye, minggu tenang, hingga hari pencoblosan. Hasil final pemantauan, setidaknya mendapatkan 313 temuan pelanggaran. Mulai pemberian uang sebanyak 104 kasus, pemberian barang sebanyak 128 kasus, pemberian jasa 27 kasus, dan penggunaan sumber daya negara 54 kasus RFQ: 2014. Praktik transaksional yang dilakukan para caleg dalam pemilu 2014 terus terjadi. Menurutnya, hal itu membuktikan betapa vote buying mengkonfirmasi atas praktik transaksional. Namun parahnya, lemahnya penegakan hukum atas pelanggaran pemilu ini menambah maraknya praktek money politics ini. Pengalaman sebelumnya, juga menunjukkan bahwa hampir tidak ada kasus politik uang yang diproses secara hukum di pengadilan, kalaupun ada jumlahnya sangat kecil. Belum lagi, proses pembuktian terhadap pelanggaran tersebut cukup sulit mengingat alat bukti yang sukar didapat. Dengan segala permasalahan itu, perlu kemudian mencari alternatif lain untuk mengurangi –meskipun tidak mungkin untuk menghapuskan- praktek money politics dan vote buying ini. Penelitian ini memfokuskan diri pada upaya untuk mencari altenatif pencegahan pembelian suara vote buying dalam pemilu. Fenomena pembelian suara vote buying berkaitan erat dengan perilaku politik klientalsme yang muncul dalam demokrasi Indonesia. Klientalisme ini dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk transaksi politik yang dirasa akan melemahkan warga, seperti jual beli suara yang dilakukan melalui tim sukses atau pihak lain dengan membagi-bagikan uang atau bentuk lainnya kepada pemilih di suatu wilayah. Tujuannya untuk mempengaruhi pemilih untuk memilih kandidat tersebut. Selain itu, ada bentuk klientalisme, di mana warga dijadikan mesin politik dari seorang kandidat. Seorang kandidat yang membagikan sembako dengan syarat warga memilih kandidat tersebut dan ada juga kandidat yang membayarkan pajak warga dengan syarat warga memilih kandidat tersebut. sistem patron-klien lebih kuat berlaku di masyarakat, sangat mungkin rakyat di daerah tersebut akan mendukung seorang pemimpin korup dengan mengharapkan keuntungan langsung. Tetapi masyarakat tidak menyadari dampak buruk jangka panjang dari politik klientalisme ini. Klientalisme akan melahirkan sebuah tindakan atau kebijakan yang selalu memiliki 591 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Politik Lokal multiplier interest di antara para birokrat, pengusaha, maupun para elite lain “yang tak terpilih”. Jalinan personal elite politik dalam sebuah institusi negara dipersepsikan sebagai hubungan antara patron dan klien. Budaya politik semacam ini berjalan di atas prinsip relasi-relasi kuasa yang saling menguntungkan di antara mereka. Dampak paling buruk dari perilaku klientalisme ini adalah pada distribusi sumberdaya negara bagi kepentingan publik. Pemimpin korup sebagai patron untuk dapat memuaskan para kliennya dengan memanipulasi sumberdaya yang dimiliki oleh negara. Para patron akan menawarkan kemudahan akses dan pemenangan tender-tender dalam proyek pemerintahan bagi kliennya yang seringkali mengabaikan kepentingan publik. Persoalaan yang hendak dijadikan fokus tulisan ini meliputi, yaitu: pertama, mengidentifikasi dan menganalisis bentuk dan variasi pembelian suara vote buying dalam pemilu legislatif 2014. Kedua mengidentifikasi dan menganalisis pada karakter pemilih seperti apa pembelian suara vote buying bisa sukses. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif survey, dengan daerah penelitian Kabupaten Limapuluh Kota Propinsi Sumatera Barat. Data kuantitatif juga didukung dengan data kualitatif dari beberapa informan untuk mengtranggulasi data dari pemilih.

1. Politik Distribusi dan Money Politics dalam Kontestasi Pemilu

Kajian para ilmuan politik tentang transaksi politik belakangan sangat menguat, seiring dengan munculnya berbagai fenomena transaksi yang terjadi dalam berbagai kontestasi politik pemilu. Maraknya fenomena vote buying dan money politics dalam pemilu dibanyak negara-negara di asia tenggara, amerika latin, afrika dan bahkan juga di negara Amerika Serikat yang selalu mendengung-dengungkan demokrasi menjadi sebuah kajian yang menarik. Banyak studi yang lakukan berkaitan dengan praltek money politics memberikan penjelasan kerangka teoritik politik distribusi distributive politics, sebagai arena pengalokasian dan distribusi sumberdaya publik. Penjelasan cerdas mengenai politik distributif pernah dipaparkan oleh Susan Stokes dkk2013 yang menganalogikan politik sebagai pasar. Stokes tak bisa menghindari untuk tidak mengatakan bahwa ada satu pola yang sama antara politik dan pasar. Pasar, yang kita tahu merupakan satu tempat bertemunya penjual dan pembeli yang dikontrol oleh adanya daya tawar antara kedua belah pihak, guna memenuhi kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Seperti halnya pasar, esensi politik juga mempertemukan ‘pembeli’ dan ‘penjual’ dengan segala kebutuhan dan kepentingannya. Jika dalam pasar kebutuhan, kebutuhan ditukar dengan kesepakatan harga tertentu, sedangkan dalam politik kebutuhan ditukar dengan kebijakan. Dalam politik, yang disebut penjual adalah politisi atau pejabat publik atau aparat pemerintah, sedangkan pembeli adalah masyarakat atau konstituen atau pemilih. Akan tetapi, politik distributif jauh lebih kontroversial ketimbang distribusi melalui pasar. Kita kerap kali mengharapkan pasar dapat mengerakkan nilai sumberdaya melewati ruang dan populasi. Sementara politik memiliki otoritas dalam membuat pilihan atas distribusi. Otoritas ini akan didapatkan melalui kemenangan dalam pemilihan, maka mau-tidak-mau tumpuannya berada pada strategi politik. Sebagaimana prinsip transaksi pertukaran, terdapat perikatan antara kandidat dengan pemilih yang terjalin sepanjang pelaksanaan Pemilu, misalnya, janji-janji kandidat ditukar dengan keputusan pemilih untuk menggunakan suaranya memilih kandidat di TPS. Namanya transaksi tentu saja, butuh skema strategi politik guna mengambil hati pemilih. Stokes membagi dua skema strategi: berorietasi pada kepentingan warga, atau sebaliknya, berbasis kemenangan kandidat Stokes et. All: 2013. Dalam proses pendistribusian barang publik dilakukan dengan strategi programatik, ditandai dengan kriteria pendistribusian terbuka untuk umum serta proses pendistribusian melalui pembuatan kebijakan umum secara formal. Sedangkan strategi non-programatik, proses pendistribusian barang publik tidak didasarkan kepada pembuatan kebijakan yang berlaku umum tetapi didasarkan kepada dukungan politik dan tidak semua publik dapat akses maupun keuntungan dari proses pendistribusian tersebut. Model pendistribusian barang publik dengan strategi non-programatik cenderung memunculkan politik klientelisme yang didasari oleh keuntungan individual yang diterima oleh pemilih dalam kerangka pertukaran dengan dukungan politik. Para pemegang otoritas seperti pejabat atau elit akan cenderung menggunakan model klientelisme ini untuk memperoleh kemenangan dalam kontestasi politik. Bahkan tidak jarang pemilih dijadikan mesin politik dalam kontestasi politik tersebut. 592 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Politik Lokal Gambar 1: Stokes et,. all, 2013 Tahun-tahun terakhir ini, terjadi lonjakan jumlah penelitian klientelisme dan memperoleh perhatian banyak orang. Perkara klientelisme memang menarik minat para ahli politik sejak akhir 1960-an Scott: 1972. Jika diuraikan lebih lanjut, studi klientelisme memiliki tahapan perkembangan “penjelasan” dari wilayah tradisional agraris sampai dengan respon terhadap demokrasi perwakilan pada saat ini Roniger: 2004. Sistem ini direpresentasikan oleh kepatuhan sorang klien terhadap patronnya seperti ketundukan hamba terhadap tuannya. Dalam sistem ini seorang hamba akan diuntungkan atau mendapat imbalan lebih jika ia memiliki hubungan baik dan mendukung tuanpatronnya. Dalam praktik politik political realm, klientelisme dikaitkan dalam arena pemilihan umum, penggunaan alokasi dan distribusi sumberdaya publik. Dalam banyak kasus, klientelisme dapat menjadi strategi ampuh dalam menarik suara pemilih guna memenangkan kontestasi atau mempertahankan posisi. Richard Graham dalam Roniger: 2004 menandai klientelisme, sebagai tindakan yang dibangun atas dasar prinsip “take there, give here”, dimana akan membuat klien dan patron mendapat keuntungan dari pola hubungan yang mereka mainkan secara paralel. Meski hal ini akan bergantung pada tingkat artikulasi yang berbeda: politik, sosial, atau administratif. Sejatinya, klientelisme merupakan hubungan asimetris, tetapi saling-menguntungkan dalam kaitan relasi-kuasa dan pertukaran, antara individu atau kelompok yang saling berhadapan dalam posisi yang sesungguhnya tidak setara Hopkin: 2006. Klientelisme memang dikonstruk, dibentuk, di dalam kondisi sub-ordinasi, kepatuhan, dan bergantung pada niat-baik atau kedermawanan orang lain. Klientelisme merupakan strategi berbasis kemenangan kandidat, dimana manfaat yang akan diterima pemilih akan tergantung pada dukungan suara mereka. Bentuk klientelisme bermacam-macam, dapat berupa jual-beli suara vote buying, dapat pula menjanjikan pemilih akan memperoleh imbalan atau fasilitas dengan syarat sepakat untuk memberikan dukungan suara. Atau, bersifat khas dengan berbagai variasi di tingkat politik lokal, misalnya pengobatan gratis. Namun, harap ditafsirkan, bahwa klientelisme mengandung kompleksitas. Kandidat tetap butuh “mesin informasi”, mengetahui kebutuhan pertukaran, apakah harus pakai uang atau cukup dengan sembako, misalnya, dan juga untuk memantau laju pergerakan dukungan suara. Jaringan yang digunakan oleh kandidat sekaligus sebagai mesin informasi diperankan broker calo, perantara yang memiliki akar pengaruh di wilayah mereka. Broker membangun jaringan konstituen di derahnya untuk dapat dipertukarkan dengan patron Camp: 2014, akan tetapi mesin ini 593 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Politik Lokal juga dapat membuat masalah. Dalam pertukaran sumberdaya dan patronage dalam kontestasi elektoral broker dapat saja menggunakan ancaman untuk menarik dukunganya dari seorang patron kandidat. Karena informasi yang asimetris, daya tawar broker kadangkala menjadi lebih tinggi dan mereka bisa saja mendapatkan banyak patron dengan menggunakan ancaman. Hal ini seringkali menjadi dilema bagi para patron kandidat. Banyak strategi yang digunakan oleh partai politik maupun kandidat dalam memenangkan kontestasi elektoral yang pada akhirnya lebih banyak memunculkan perilaku klientelisme. Meskipun strategi yang dilakukan oleh kandidat beragam baik dengan cara membeli suara vote buying, membeli pemilih turnout buying, yang digabungkan dengan strategi double persuasi Gans-Morse: 2010, namun pada akhirnya kandidat maupun mesin partai melakukan money politics.

2. Sikap dan perilaku Pemilih terhadap Politik uang Money Poltics

Sikap pemilih terhadap politik uang Money Poltics sangat mempengaruhi perilaku mereka dalam pemilu. Kecenderungan sikap akan mengarahkan pemilih untuk bertindak menerima atau menolak politik uang Money Poltics. Ketika pemilih ditanyakan tentang penilaian mereka boleh atau tidak pemilihmasyarakat menerima hadiah uang dari partai atau caleg, cukup banyak pemilih yang menilai boleh. Hanya 39 yang menyatakan tidak boleh, sebagian lagi menyatakan ragu-ragu lihat tabel 5.1. Artinya sebagian pemilih menganggap pemberian uanghadiah dari partai politikcaleg adalah hal biasa. Data ini memperlihatkan bahwa sebagian besar responden menganggap pemberian hadiah oleh kandidat dalam masa kampanye adalah hal yang biasa. Pemberian hadiah atau bentuk lain yang datang dari inisiatif kandidat memang dalam masa kampanye pemilu sangat marak terjadi, sehingga publik pun menganggap hal yang biasa. Pemberian dianggap sebagai perekat hubungan sosial social lubricant, misalnya anggapan bahwa barang-barang pemberian sebagai kenang-kenangan. Dalam prakteknya, sebagian besar kandidat menganggap pemberian baranghadiah bukan bagian dari politik uang Aspinal Sukmajati:2013. Tabel 5.1: Penilaian responden terhadap masyarakat boleh menerima uang atau hadiah dari peserta pemilu partai caleg saat masa kampanye Kategori Persen Boleh 41.5 Tidak Boleh 39.0 Ragu-ragu 19.5 Total 100.0 Sumber: diolah dari data primer Jika dihubungkan dengan tingkat pendapatan, ternyata responden yang menerima pemberianhadiah tersebut tersebar pada hampir semua kategori ekonomi, baik kelompok responden dengan ekonomi relatif rendah maupun kelompok responden dengan pendapatan diatas Rp. 2.000.000. Menurut perspektif rasionalitas, seorang pemilih akan berperilaku rasional, seorang pemilih akan menghitung bagimana caranya mendapatkan hasil yang maksimal dengan ongkos yang minimal Mujani dkk:2011. Jadi dilihat dari pespektif rasional, perilaku responden untuk menerima hadiah uang dari partai atau caleg adalah rasional. Tabel 5.2: Penilaian responden terhadap masyarakat boleh menerima uang atau hadiah dari peserta pemilu partai caleg saat masa kampanye Pengeluaran Kotor Rumah Tangga Penilaian responden terhadap masyarakat boleh menerima uang atau hadiah dari peserta pemilu partai caleg saat masa kampanye Boleh Tidak Boleh Ragu-ragu Kurang dari Rp. 500.000 12.5 62.5 25.0 Rp. 500.000 – Rp 999.999 61.5 7.7 30.8 Rp. 1.000.000 – Rp. 1.999.999 37.8 48.6 13.5 Rp 2.000.000 – Rp. 3.999.999 33.3 66.7 Rp. 4.000.0000 atau lebih 100.0 Sumber: diolah dari sata primer 594 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Politik Lokal Jika dihubungkan dengan jenis kelamin ternyata responden laki-laki lebih banyak menganggap pemberian hadiahuang dari caleg adalah hal yang biasa boleh lihat tabel 5.3. Sedangkan responden perempuan lebih banyak menilai tidak boleh. Artinya pemilih laki-laki lebih terbuka untuk menerima politik uang. Tabel 5.3: Penilaian responden terhadap masyarakat boleh menerima uang atau hadiah dari peserta pemilu partai caleg saat masa kampanye Jenis Kelamin Penilaian responden terhadap masyarakat boleh menerima uang atau hadiah dari peserta pemilu partai caleg saat masa kampanye Boleh Tidak Boleh Ragu-ragu Laki-laki 53.3 33.3 13.3 Perempuan 27.0 45.9 27.0 Total 41.5 39.0 19.5 Sumber: diolah dari data primer Namun ketika dihubungkan dengan tingkat pendidikan terlihat bahwa pendidikan tidak terlalu berpengaruh terhadap sikap pemilih tentang politik uang. Responden yang tidak pernah sekolah seluruhnya menyatakan bahwa tidak boleh menerima hadiahuang dari partaicaleg pada saat kampanye. Sedangkan responden untuk tingkat pendidikan lainnya masih banyak yang menganggap boleh. Bahkan terdapat kecenderungan makin tinggi tingkat pendidikan makin permisif dengan perilaku boleh menerima hadiahuang dari partaicaleg pada saat kampanye. Artinya tidak ada kaitan antara tingkat pendidikan dengan sikap permisif terhadap politik uang. Tabel 5.4: Penilaian responden terhadap masyarakat boleh menerima uang atau hadiahdari peserta pemilu partai caleg saat masa kampanye Pendidikan Formal Terakhir Penilaian responden terhadap masyarakat boleh menerima uang atau hadiah dari peserta pemilu partai caleg saat masa kampanye Boleh Tidak Boleh Ragu-ragu Tidak pernah sekolah 100.0 Tidak tamat SD atau sederajat 21.1 47.4 31.6 Tamat SD atau sederajat 50.0 30.0 20.0 Tamat SMP atau sederajat 42.9 35.7 21.4 Tamat SMU atau sederajat 51.6 32.3 16.1 Tamat D1D2D3 40.0 60.0 Tamat S1 100.0 Total 41.5 39.0 19.5 Sumber: diolah dari data primer Menarik kemudian adalah ketika responden ditanya apa yang mereka akan menerima bila ada orang yang memberi uang atau hadiah dari caleg, sebagian besar dari responden menyatakan akan menerima uanghadiah tersebut. Hanya 7,3 dari responden yang tidak akan menerima pemberian tersebut lihat tabel 5.4. Data ini menunjukkan bahwa pemilih sangat permisif dengan praktek politik uang, dan bahkan akan semakin banyak yang menerima secara terbuka praktek tersebut. Tabel 5.5: Apakah IbuBapak sendiri akan menerima bila ada orang yang memberi uang atau hadiah dari caleg Kategori Persen menerima dan memilih calon yang memberi uang 23.2 menerima dan memilih calon yang memberi uang lebih banyak 7.3 menerima, tapi memilih calon ditentukan sendiri sesuai hati nurani 20.7 Tidak akan menerima pemberian tersebut 7.3 Tidak tahu 3.7 Total 62.2 Sumber: diolah dari data primer