Tipe dan Jenis Penelitian

807 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Pemilu dan Parlemen Hasil partisipasi responden sebagaimana yang dapat dilihat pada tabel 3 diketahui bahwa responden yang berpartisipasi pada pelaksanaan pemilu legislatif tahun 2014 lalu sebanyak 87,89, sedangkan yang tidak berpartisipasi sebanyak 12,11. Tabel 3: Partisipasi Responden Dalam Pemilu Legislatif Tahun 2014 Ya 87,89 Tidak 12,11 Perilaku memilih seseorang baik untuk memilih partai politik maupun calon pemimpin merupakan manifestasi dari banyak faktor. Menurut Evans, motivasi memilih dalam pemilu dipengaruhi salah satunya oleh faktor intelektual warga. 53 Di samping itu, Evans menambahkan karakteristik sosial dan politik yang berpotensi mendorong pilihan seseorang, yaitu: age, gender, social classoccupation, religious group, ideological group. Analisis ini kemudian dilakukan dengan menghubungkan antara tingkat partisipasi dengan tingkat pendidikan responden pada pelaksanaan pemilu legislatif di tahun 2014 yang lalu. Hasil analisis tersebut menunjukkan hubungan yang positif antara tingkat pendidikan dan tingkat partisipasi responden sebagaimana yang diungkapkan oleh Evans. Mereka responden yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi atau sedang menempuh pendidikan yang lebih tinggi cenderung tingkat partisipasi politiknya lebih besar dibandingkan dengan responden yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah. Dari grafik 4 diketahui bahwa responden dengan tingkat partisipasi tertinggi yaitu yang memiliki latar belakang pendidikan SMA + Diploma dengan tingkat partisipasi 89,13, kemudian disusul dengan responden yang memiliki tingkat pendidikan ≥S1 88,64. Sedangkan, responden dengan latar belakang pendidikan ≤ SMP hanya menggunakan hak pilihnya sebanyak 83,61. Responden dengan latar pendidikan ≤ SMP juga merupakan responden yang terbanyak tidak menggunakan hak pilihnya yaitu 16,39. Sedangkan responden yang memiliki latar belakang pendidikan ≥S1 yang tidak menggunakan hak pilihnya sebanyak 11,36 dan responden dengan latar pendidikan SMA + Diploma sebanyak 10,87 yang tidak menggunakan hak pilihnya. Grafik 4: Tabulasi Silang Antara Partisipasi Dalam Memilih Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014 Dengan Tingkat Pendidikan Responden 83,61 89,13 88,64 16,39 10,87 11,36 75 80 85 90 95 100 105 = SMP SMA+Diploma S1 Ya Tidak Akuntabilitas politik dari sisi pemilih dapat dimaknai melalui interaksi mereka dengan kandidat setelah pemilihan umum dilakukan. Interaksi tersebut tentunya harus didukung dengan pengetahuan, informasi dan pengalaman mereka dengan kandidat tersebut. Dari tabel 4 diketahui sebanyak 66,44 responden berpendapat bahwa parpol saat ini belum mampu memilih caleg dan calon kepala daerah yang memiliki pengetahuan, pengalaman, dan integritas yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagai pejabat publik, sedangkan 17,30 responden menjawab bahwa parpol saat ini sudah mampu mewujudkan hal tersebut, dan sebagian responden tidak tahu mengenai hal tersebut yaitu 16,26. 53. Jocelyn A.J Evans, Voters and Voting, London: Sage Publication, P: 2-4. 808 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Pemilu dan Parlemen Tabel 4: Respon Responden Terhadap Apakah Parpol Saat Ini Mampu Memilih Caleg dan Calon Kepala Daerah Yang Memiliki Pengetahuan, Pengalaman, dan Integritas Yang Memadai Untuk Menjalankan Tugasnya Sebagai Pejabat Publik Mampu 17,30 Belum mampu 66,44 Tidak tahu 16,26 Dari data pada grafik 5 menunjukkan bahwa 66,44 responden berpendapat partai politik saat ini belum mampu dalam memilih caleg maupun calon kepala daerah yang berkualitas. Dalam artian, bahwa parpol belum mampu memberikan pilihan caleg maupun cakada yang memiliki pengetahuan, pengalaman, dan integritas yang memadai sebagai wakil rakyat dan untuk menjalankan tugasnya sebagai pejabat publik. Responden yang menyatakan hal tersebut memiliki latar belakang pendidikan ≥S1 72,73, SMA+Diploma 19,57, dan ≤SMP 59,02. Sedangkan, sebanyak 17,30 responden menyatakan parpol sudah mampu memenuhi hal tersebut. Responden yang berpendapat demikian memiliki latar belakang pendidikan: SMA+Diploma 19,57, ≥S1 13,64, dan ≤SMP 13,11. Sebagian responden sebanyak 16,26 yang menyatakan tidak tahu. Responden yang menyatakan tidak mengetahui tentang hal tersebut merupakan responden dengan latar pendidikan terbanyak yaitu ≤SMP 27,87. Grafik 5: Tabulasi Silang Antara Respon Responden Terhadap Parpol Dalam Memilih CalegCakada Yang Memiliki Pengetahuan, Pengelaman, dan Integritas Untuk Menjalankan Tugasnya Sebagai Pejabat Publik Dengan Tingkat Pendidikan Terakhir Responden 13,11 19,57 13,64 59,02 67,39 72,73 27,87 13,04 13,64 50 100 = SMP SMA+Diploma S1 Mampu Belum mampu Tidak tahu Sedangkan responden yang menjawab bahwa parpol mampu memilih caleg dan calon kepala daerah yang berkualitas untuk menjalankan tugasnya sebagai pejabat publik dijawab oleh 14,43 responden yang berpartisipasi dalam pilkada yang lalu dan 23,86 responden yang tidak berpartisipasi. Tabel 5: Tabulasi Silang Antara Respon Responden Terhadap Apakah Parpol Saat Ini Mampu Memilih Caleg dan Calon Kepala Daerah Yang Memiliki Pengetahuan, Pengalaman, dan Integritas Yang Memadai Untuk Menjalankan Tugasnya Sebagai Pejabat Publik Dengan Partisipasi Pemilih Pada Pileg 2014 TOTAL Apakah Saudara memilih dalam pemilu legislatif yang lalu? Ya Tidak Menurut Saudara, apakah parpol saat ini mampu memilih caleg dan calon kepala daerah yang memiliki pengetahuan, pengalaman, dan integritas yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagai pejabat publik? Mampu 17,30 17,72 14,29 Belum mampu 66,44 67,32 60,00 Tidak tahu 16,26 14,96 25,71 Dari tabel 6 diketahui sebanyak 79,93 responden menyatakan bahwa saat ini parpol belum mampu menjadi penyalur aspirasi bagi masyarakat dalam kebijakan-kebijakannya. Sedangkan, 8,65 responden menyatakan parpol sudah mampu menjadi penyalur bagi aspirasi masyarakat dalam kebijakan-kebijakannya, dan 11,42 responden yang menyatakan tidak tahu dengan hal tersebut. 809 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Pemilu dan Parlemen Tabel 6: Respon Responden Terhadap Kemampuan Parpol Dalam Memenuhi Aspirasi Masyarakat Di Dalam Kebijakan-kebijakannya Mampu 8,65 Belum mampu 79,93 Tidak tahu 11,42 Grafik 6: Tabulasi Silang Antara Respon Responden Terhadap Kemampuan Parpol Dalam Memenuhi Aspirasi Masyarakat Di Dalam Kebijakan-kebijakannya Dengan Pengeluaran Kotor Responden per bulan 54,55 28,57 31,71 29,35 27,08 36,36 58,93 59,76 63,04 66,67 9,09 12,50 8,54 7,61 6,25 20 40 60 80 100 Rp. 600.000 Rp. 600.000 - Rp. 1.000.000 Rp. 1.000.000 - Rp.1.800.000 Rp. 1.800.001 - Rp. 3.000.000 Rp.3000.000 Sudah Belum Tidak tahu Hasil analisis jawaban responden ini kemudian dilakukan tabulasi silang sebagaimana yang dapat dilihat pada hasil data di grafik 7 dengan tingkat pengeluaran kotor rumah tangga per bulan. Diketahui sebanyak 79,93 responden yang menyatakan bahwa parpol belum mampu menjadi penyalur aspirasi bagi masyarakat terdiri dari responden dengan tingkat pengeluaran kotor ≥ Rp. 3.000.000 66,67, Rp. 1.800.001- Rp. 3.000.000 63,04, Rp. 1.000.000 – Rp. 1.800.000 59,76, Rp. 600.000 – Rp. 1.000.000 58,93, dan ≤ Rp. 600.000 36,36. Sebanyak 8,65 responden yang menyatakan parpol sudah mampu menjadi penyalur bagi aspirasi masyarakat dalam kebijakan-kebijakannya merupakan responden terbanyak dengan tingkat pengeluaran kotor ≤ Rp. 600.000 54,55. Tabel 7: Tabulasi Silang Antara Respon Responden Terhadap Kemampuan Parpol Dalam Memenuhi Aspirasi Masyarakat Di Dalam Kebijakan-kebijakannya Dengan Partisipasi Responden Dalam Pileg Tahun 2014 TOTAL Apakah Saudara memilih dalam pemilu legislatif yang lalu? Ya Tidak BASE: Total responden 289 254 35 Menurut Saudara, apakah Partai Politik sudah mampu menjadi penyalur aspirasi rakyat dalam kebijakan-kebijakannya? Mampu 8,65 9,45 2,86 Belum mampu 79,93 79,53 82,86 Tidak tahu 11,42 11,02 14,29 Dari tabel 7 diketahui 79,93 responden menyatakan parpol belum mampu untuk menjadi penyalur aspirasi rakyat dalam kebijakan-kebijakannya merupakan responden yang ikut memilih dalam pemilu legislatif 2014 yang lalu sebanyak 79,53 dan yang tidak ikut memilih 82,86. Sebanyak 8,65 responden yang menyatakan bahwa parpol sudah mampu menjadi penyalur aspirasi rakyat dalam kebijakannya merupakan responden yang ikut memilih dalam pileg 2014 sebanyak 9,45 dan yang tidak ikut memilih 2,86. Grafik 8: Penilaian Responden Terhadap Kinerja Anggota Legislatif Terpilih Saat Ini 8 77 15 Sudah Belu m Tidak tahu 810 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Pemilu dan Parlemen Peran serta masyarakat dalam mengawasi kinerja anggota legislatif terpilih merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan. Dari diagram 8 dapat diketahui bahwa 77 responden menyatakan kinerja anggota legislatif terpilih dalam menjalankan tugasnya belum dijalankan secara baik dan profesional. Sebagian responden 8 menyatakan kinerja anggota legislatif terpilih dalam menjalankan tugasnya sudah berjalan dengan baik dan profesional. Namun, banyak juga responden yang tidak mengetahui tentang kinerja anggota legislatif terpilih yaitu sebanyak 15 dari total keseluruhan responden dalam penelitian ini. Responden yang menyatakan bahwa kinerja anggota legislatif terpilih belum menjalankan tugasnya dengan baik dan profesional terdiri dari responden yang ikut berpartisipasi dalam pemilu legislatif yang lalu sebanyak 79,13 dan yang tidak ikut berpartisipasi sebanyak 60. Sedangkan, responden yang menyatakan bahwa kinerja anggota DPRD terpilih sudah dijalankan dengan baik dan profesional merupakan responden yang tidak berpartisipasi dalam pelaksanaan pemilu legislatif yang lalu sebanyak 11,43 dan yang berpartisipasi sebanyak 7,87. Grafik 9 Sikap Apabila Masyarakat Meminta Bantuan Keuangan Terhadap CalegCalon Kepala Daerah Yang Didukungnya Setelah Nantinya Terpilih 59,52 9,00 31,49 Baik Ragu-ragu Tidak baik Meminta bantuan keuangan kepada calegcalon kepala daerah terpilih dapat dipahami melalui dua sisi, dapat dikategorikan sebagai politik uang apabila masyarakat meminta bantuan dalam kaitannya dengan pilihan mereka saat pemilu lalu. Akan tetapi, bisa juga merupakan bagian dari konsekuensi demokrasi perwakilan dimana wakil rakyat harus memperhatikan dan menjaga konstituten mereka setelah pemilihan umum. Responden dalam penelitian ini menilai bahwa adalah sesuatu hal yang baik 59,52 bagi masyarakat untuk meminta bantuan keuangan terhadap calegcalon kepala daerah yang didukungnya setelah nantinya terpilih. Hanya 31,49 yang menganggap hal tersebut tidak baik untuk dilakukan oleh masyarakat. Terbelahnya sikap responden merupakan suatu hal yang wajar mengingat asumsi terhadap pemberian bantuan keuangan kepada masyarakat tadi, apakah dikategorikan sebagai politik uang atau malah hanya relasi antara wakil dengan konstituennya. Tabulasi silang antara sikap apabila masyarakat meminta bantuan keuangan terhadap calegcalon kepala daerah yang didukungnya setelah nantinya terpilih dengan partisipasi mereka pada pilkada maupun pileg lalu cukup menunjukkan konsistensi jawaban responden. Pada kelompok responden yang memilih pada pilkada lalu terlihat bahwa 59,7 responden menganggap merupakan suatu hal yang baik untuk meminta bantuan pada calon terpilih, hal ini dapat diduga bahwa mereka berharap dapat melakukannya pada calon terpilih. Begitu juga dengan responden yang memilih pada pileg lalu, 62,99 juga menyatakan hal tersebut merupakan sesuatu hal yang baik. Kelompok responden yang tidak memilih pada pileg lalu merupakan kelompok responden yang paling dominan yang menganggap bahwa meminta bantuan keuangan pada calon terpilih merupakan sesuatu hal yang tidak baik. Hal ini wajar, mengingat pilihan politik yang telah mereka lakukan sebelumnya. Konsistensi jawaban responden juga terlihat pada tabulasi silang antara pertanyaan apakah masyarakat boleh menerima uang atau hadiah dari peserta pemilu saat masa kampanye dengan bagaimana apabila masyarakat meminta bantuan keuangan terhadap calon terpilih. Kelompok responden yang menyatakan bahwa boleh menerima uang dari peserta pemilu saat kampanye 70,19 menyatakan bahwa adalah sesuatu hal yang baik meminta bantuan kepada calon yang terpilih. Sedangkan kelompok responden yang menganggap bahwa masyarakat semestinya tidak boleh menerima uang atau hadiah saat kampanye cukup terbelah jawabannya, dimana 54,27 menjawab adalah sikap yang baik untuk meminta bantuan dan 36,59 menyatakan tidak baik. inkonsistensi jawaban yang cukup mencolok di kelompok ini karena masih adanya asumsi bahwa meminta bantuan keuangan setelah caleg 811 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Pemilu dan Parlemen terpilih bukan merupakan bagian dari politik uang dan hanya relasi antara wakil dengan konstituennya. Perlu diberikan pemahaman yang lebih luas kepada masyarakat tentang konsepsi politik uang pasca pemilihan umum. Dilihat dari pengetahuan responden tentang profil mis. pengalaman dan kemampuan calon yang bersaing dalam pemilu legislatif yang lalu, kelompok responden yang memiliki teman yang menjabat sebagai seorang anggota dewan atau kepala daerah cukup konsisten menyatakan mengetahui sebagian atau tahu dengan profil para calon legislatif. Secara keseluruhan kelompok responden yang tidak memiliki teman yang menjabat sebagai seorang anggota dewan atau kepala daerah, sebagian besar mereka mengetahui atau mengetahui sebagian profil calon legislatif bersaing dalam pemilu legislatif yang lalu lihat tabel 11. Pengetahuan responden akan profil mis. pengalaman dan kemampuan calon yang bersaing dalam pemilu legislatif yang lalu juga mempengaruhi keikutsertaan responden memilih. Tabel 11 Tabulasi silang antara responden memiliki teman yang menjabat sebagai anggota dewan atau kepala daerah dengan pengetahuan responden tentang profil kandidat pada pileg lalu TOTAL Apakah Saudara mengetahui profil mis. pengalaman dan kemampuan calon yang bersaing dalam pemilu legislatif yang lalu? Tidak Tahu Tahu profil sebagian calon Tahu Apakah Saudara memiliki teman yang menjabat sebagai seorang anggota dewan atau kepala daerah? Ya 21,80 11,02 26,67 36,84 Tidak 78,20 88,98 73,33 63,16 Jika memiliki teman yang menjabat sebagai seorang anggota dewan atau kepala daerah dengan sebagian besar responden 68,25 akan meminta bantuan pada anggota DewanKepala Daerah dalam bentuk uangbarangfasilitas tertentu untuk keperluan organisasi dan hanya sebagian kecil 9,52 yang memberikan saran terkait dengan kebijakan maupun meminta bantuan untuk kepentingan pribadikeluarga. Perilaku responden untuk membuat relasi dengan pejabat untuk kepentingan organisasi memiliki kecenderungan yang tinggi. Artinya sebagian besar responden sudah menyadari perlunya menjalin relasi dengan pejabat meskipun masih berorientasi kepentingan kelompok. Namun partisipasi responden untuk terlibat dalam proses kebijakan di daerah kesadarannya masih rendah. Perilaku responden untuk meminta bantuan pada anggota DewanKepala Daerah dalam bentuk uangbarang fasilitas tertentu jika dihubungkan dengan tingkat pendapatan, terlihat kecenderungan yang unik. Kelompok responden yang menyatakan akan memberikan saran terkait dengan kebijakan lebih banyak pada kelompok responden yang berpendapatan rendah, bahkan jumlahnya kelompok responden ini lebih besar dari kelompok responden yang berpendapatan tinggi. 40 dari kelompok responden berpendapatan Rp. 600.000- 1.000.000 menyatakan akan memberikan saranmasukan atas kebijakan daerah tanpa berharap imbalan apapun. Selain itu data pada tabel 16 juga menunjukkan bahwa ada kecenderungan perilaku kelompok responden yang meminta bantuan untuk kepentingan pribadikelurga semakin kuat pada kelompok responden yang memilki pendapatan tinggi. Berdasarkan data disimpulkan bahwa tingkat pendapatan tidak menentukan perilaku responden untuk mendapatkan keuntungan pribadikeluarga melalui kontak dengan anggota dewan kepala daerah yang mereka kenal. Tetapi sebagian besar responden menyadari bahwa mereka merasa sah-sah saja melakukan kontak dengan pejabat daerah untuk kepentingan organisasi atau memberikan saranmasukan atas kebijakan daerah. Tabel 12 Perilaku Apabila Memiliki Teman Yang Menjabat Sebagai Seorang Anggota Dewan Atau Kepala Daerah Meminta bantuan pada anggota DewanKepala Daerah dalam bentuk uangbarangfasilitas tertentu untuk keperluan pribadikel 9,52 Meminta bantuan pada anggota DewanKepala Daerah dalam bentuk uangbarangfasilitas tertentu untuk keperluan organisasi 68,25 Memberikan saran kepada anggota DewanKepala Daerah atas kebijakan daerah tanpa berharap imbalan apapun 22,22 Sebagian besar kelompok responden dalam penelitian ini 90,31 tidak pernah mengajukan permintaan bantuan secara langsung pada pejabat publik yang mereka pilih Kepala DaerahAnggota DPRD. Hanya 9,69 812 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Pemilu dan Parlemen yang menyatakan pernah mengajukan permintaan bantuan secara langsung pada pejabat publik yang mereka pilih Kepala DaerahAnggota DPRD. Data menunjukkan bahwa sebagian besar kelompok responden memang tidak pernah berusaha untuk mengontak secara langsung pejabat publik yang mereka pilih, padahal mengontak pejabat publik secara langsung termasuk salah satu bentuk partispasi politik warga secara sah Huntington Nelson: 1994. Kesadaran kelompok responden untuk menuntut pertanggungjawaban dan kinerja pejabat publik masih rendah. Kebanyakan partisipasi politik responden masih berada dalam bentuk pemungutan suara voting. Partipasi politik dalam bentuk voting ini merupakan partipasi politik yang dianggap paling renadah atau minimal. Tabel 14 Perilaku Responden Mengajukan Permintaan Bantuan Secara Langsung Pada Pejabat Publik Yang di Pilih Pernah 9,69 Tidak pernah 90,31 Ketika responden ditanyakan tentang tindakan mereka jika mengetahui bahwa anggota dewankepala daerah tidak berprestasi selama menjabat, ternyata sebagian besar 95,16 menyatakan tidak akan memilih kembali orang tersebut untuk periode berikutnya lihat tabel 16. Data ini menunjukkan bahwa kelompok responden dalam penelitian ini akan melakukan evaluasi terhadap calegcalon kepala daerah yang akan mereka pilih. Tindakan evaluatif biasanya dilakukan oleh pemilih yang bersifat rasional, dengan kata lain mereka sudah dikategorikan sebagai pemilih cerdas sophisticated voters Lau and Redlawsk: 2006. Informasi yang dimiliki oleh pemilih digunakan sebagai salah satu alat untuk pembuatan keputusan pilihan mereka. Tabel 16 Perilaku apakah akan memilih kembali anggota dewankepala daerah yang tidak berprestasi Ya 0,69 Ragu-ragu 4,15 Tidak 95,16 Jika ditinjau dari penilaian respoden terhadap kinerja legislatif, sebagian besar responden menyatakan bahwa belum anggota legislatif terpilih menjalankan tugasnya dengan baik dan profesional. Kelompok responden yang menyatakan tidak akan memilih kembali anggota dewankepala daerah tidak berprestasi selama menjabat, sebagian besar menilai anggota legislatif terpilih belum menjalankan tugasnya dengan baik dan profesional. Sedangkan kelompok responden yang menyatakan ragu-ragu untuk memilih kembali, mengaku tidak tahu dengan kinerja anggota legislatif terpilih sudah menjalankan tugasnya lihat tabel 18. Tabel 18 Tabulasi Silang antara Perilaku apakah akan memilih kembali anggota dewankepala daerah yang tidak berprestasi dengan Penilaian Terhadap Profiesionalitas Anggota Legislatif Terpilih TOTAL Menurut Saudara, apakah anggota legislatif terpilih sudah menjalankan tugasnya dengan baik dan profesional? Sudah Belum Tidak tahu Bila Saudara mengetahui bahwa anggota dewankepala daerah tidak berprestasi selama menjabat, apakah Saudara akan memilih kembali orang tersebut untuk periode berikutnya? Ya ,69 ,90 Ragu-ragu 4,15 4,17 2,70 11,63 Tidak 95,16 95,83 96,40 88,37 Melihat data dari berbagai pertanyaan diatas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini memiliki kesadaran untuk mengevaluasi calegcalon kepala daerah sebelum mereka pilih. Responden pun sebagian besar juga sudah mampu menilai kinerja dari anggota dewankepala daerah yang menjabat. Informasi yang dimiliki pemilih sangat penting bagi pengambilan keputusan. Suatu keputusan bisa dinilai bermutu tinggi pada tingkat mana proses pengambilan keputusan rasional diikuti mencari-cari semua informasi yang mungkin 813 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Pemilu dan Parlemen tentang semua alternatif yang rasional, dll. Prosedur-prosedur pencarian informasi diduga dapat menjamin kemungkinan yang paling tinggi untuk mencapai keputusan maksimal Lau and Redlawsk: 2006. Perilaku responden terhadap kegiatan yang dilakukan responden setelah pemilihan umum juga terlihat pada pertanyaan apakah mereka memantau kinerja atau perilaku caleg terpilih selama menjabat. Pemantauan kinerja caleg merupakan bagian dari menciptakan integritas pemilu, pemilih yang mengetahui track record kandidat akan dapat menentukan pilihannya dengan lebih baik pada pemilu mendatang jika mereka melihat kinerja dari anggota dewan saat menjabat. Pada survey ini, tidak sampai setengah 40,48 responden yang melakukan pemantauan terhadap kinerja anggota dewan dan setengah lainnya 51,21 tidak melakukan pemantauan terhadap kinerja anggota dewan. Tabel 19 Responden Memantau Kinerja Anggota Dewan Terpilih Tidak 51,21 Ragu-ragu 8,30 Ya 40,48 Tabulasi silang antara pertanyaan responden memantau kinerja anggota dewan terpilih dengan pengetahuan responden terhadap profil calon yang bersaing pada pemilu legislatif lalu menunjukkan data yang cukup konsisten. Kelompok responden yang tidak mengetahui profil calon sebagian besar 65,35 juga tidak melakukan pemantauan terhadap kinerjaperilaku. Sedangkan responden yang tahu dengan profil calon yang bersaing dalam pemilu legislatif lalu, sebagian 54,30 melakukan pemantauan kinerja walaupun 38,6 lainnya tidak melakukan apapun. Tabel 20 Tabulasi Silang Antara Responden Memantau Kinerja Anggota Dewan Terpilih Dengan Pengetahuan Terhadap Profil Caleg Pada Pileg Lalu TOTAL Apakah Saudara mengetahui profil calon yang bersaing dalam pemilu legislatif yang lalu? Tidak Tahu Tahu profil sebagian calon Tahu BASE: Total responden 289 127 105 57 Mean 2,79 2,29 3,10 3,32 Apakah setelah caleg terpilih, Saudara akan memantau kinerjaperilakunya selama menjabat? Tidak 51,21 65,35 40,95 38,60 Ragu-ragu 8,30 4,72 13,33 7,02 Ya 40,48 29,92 45,71 54,39 Data tabulasi antara pertanyaan apakah responden memantau kinerja caleg terpilih dengan apakah anggota legislatif sudah menjalankan tugasnya dengan baik dan profesional perlu untuk dikritisi terutama untuk kelompok yang menjawab anggota legislatif terpilih sudah profesional. Dari kelompok yang menjawab anggota legislatif sudah menjalankan tugasnya dengan baik dan profesional, ternyata hanya 41,67 yang memantau kinerja caleg terpilih hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya responden kurang mengetahui bagaimana kinerja caleg terpilih tersebut. Sedangkan responden yang menjawab bahwa caleg terpilih belum profesional, sebanyak 46,85 tidak melakukan pemantauan dan 44,14 lainnya telah melakukan pemantauan terhadap kinerja caleg terpilih tersebut. Data seperti ini menunjukkan bahwa jawaban mereka pada pertanyaan di grafik 14 tidak melalui hasil pemantauan kinerja yang tepat. Perlu dilakukan pendidikan politik bagi masyarakat untuk memantau hal ini. 814 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Pemilu dan Parlemen Tabel 21 Tabulasi Silang Antara Responden Memantau Kinerja Anggota Dewan Terpilih Dengan Pengetahuan Apakah Anggota Legislatif Terpilih Sudah Menjalankan Tugasnya Dengan Baik Dan Profesional TOTAL P16. Menurut Saudara, apakah anggota legislatif terpilih sudah menjalankan tugasnya dengan baik dan profesional? Sudah Belum Tidak tahu Apakah setelah caleg terpilih, Saudara akan memantau kinerja perilakunya selama menjabat? Tidak 51,21 54,17 46,85 72,09 Ragu-ragu 8,30 4,17 9,01 6,98 Ya 40,48 41,67 44,14 20,93 KESIMPULAN Terdapat beberapa kesimpulan penting mengenai akuntabilitas pemilih pada pemilihan umum legislatif tahun 2014 di Kota Padang : 1. Pengetahuan masyarakat terhadap calon kepala daerah pada pilkada maupun kandidat anggota legislatif pemilu 2014 yang lalu tidak terlalu baik, dan cenderung banyak masyarakat yang tidak tahu tentang profil calon tersebut. akan tetapi, menjelang pemilihan umum responden akan mencari informasi tentang kepala daerah calon legislatif untuk memutuskan pilihan politik mereka. Media luar ruang seperti baliho, spanduk, poster menjadi sumber utama responden untuk memperoleh informasi tentang calegcakada. Tingkat partisipasi masyarakat pada pilkada dan pemilu 2014 cukup tinggi dan kecenderungan ini sangat dipengaruhi oleh status sosial ekonomi masyarakat. Dalam artian, masyarakat yang memiliki status sosial ekonomi yang tinggi akan lebih banyak berpartisipasi daripada yang memiliki status sosial ekonomi rendah. Sementara itu, perilaku memilih masyarakat rata-rata dipengaruhi oleh pengetahuan mereka terhadap kemampuan calon, kedekatan dengan masyarakat dan latar belakang agama calon tersebut. 2. Partai politik dianggap belum mampu memilih caleg dan calon kepala daerah yang memiliki pengetahuan, pengalaman, dan integritas yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagai pejabat publik. Partai politik juga dianggap belum mampu memenuhi aspirasi masyarakat di dalam kebijakan-kebijakannya. 3. Penilaian masyarakat terhadap kinerja kepala daerah dan anggota legislatif terpilih juga tidak terlalu baik. Sebagian besar responden menilai bahwa kepala daerah belum menjalankan tugasnya dengan baik dan sesuai keharusan. Begitu juga dengan kinerja anggota legislatif, dianggap belum menjalankan tugasnya dengan baik dan profesional. Responden akan cenderung untuk tidak memilih kembali anggota dewankepala daerah yang tidak berprestasi selama menjabat. Akan tetapi, hanya sebagian responden yang memantau kinerja anggota dewan terpilih maupun kinerjaperilaku kepala daerah terpilih. 4. Sikap responden terhadap perilaku masyarakat yang meminta bantuan keuangan kepada calegcalon kepala daerah yang didukungnya setelah nantinya terpilih cukup jelas terlihat, masyarakat menganggap hal tersebut adalah sesuatu yang tidak baik. Responden yang memiliki teman yang menjabat sebagai seorang anggota dewan atau kepala daerah akan cenderung untuk meminta bantuan pada anggota dewankepala daerah dalam bentuk uangbarangfasilitas tertentu untuk keperluan organisasi. Akan tetapi, hanya segelintir responden yang pernah mengajukan permintaan bantuan secara langsung pada pejabat publik yang dipilihnya. DAFTAR PUSTAKA Aspinall, Edward dan Mada Sukmajati. 2015. Politik Uang di Indonesia, Patronase dan Klientalisme pada Pemilu Legislatif 2014. Yogyakarta: PolGov. Ashworth, scott, Electoral Accountability: Recent Theoretical and Empirical Work, Harris School of Public Policy Studies, Chigaco, 2012 Berganza, Juan Carlos, Relationships between Politicians and Voters Through Elections: A Review Essay, Working Paper no 9809, Spain, December 1998 815 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Pemilu dan Parlemen Buehler, Michael and Paige Tan, Party-Candidate Relatioships in Indonesian Local Politics:A Case Study of the 2005 Regional Elections in Gowa, South Sulawesi Province, 2007 Evans, Jocelyn. 2001. Voters and Voting. London: Sage Publication. Hirano, Shigeo, Primary Elections and Political Accountability: What Happens to Incumbents in Scandals? Columbia University, 2012 Huntington, Samuel dan J.P. Nelson. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rieneka Cipta. Mujani, Saiful, R. William Lidle, Kuskrido Ambardi. 2012. Kuasa Rakyat, Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presdien Indoensia Pasca-Orde Baru. Jakarta: Mizan. Nursal, Adman. 2004. Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Richard R. Lau and David P. Redlawsk. 2006. How Voter Decide,Information Processing during Election Campaigns, Cambridge University press. Sastrotmojo, Sudjino. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press. Surbakti, Ramlan. 2001. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widya Sarana. Schulz-Herzenberg, Collette, Elections and Accountability in South Africa, ISS Paper 188, 2009 Schmitter, Philippe C, Political Accountability in “Real Existing” Democracies: Meaning and Mechanisms, Instituto Universitario Europeo, Italia, 2007 816 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Pemilu dan Parlemen PEMASALAHAN-PEMASALAHAN PEREKRUTAN PENYELENGGARAN PEMILU ANGGOTA KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN SOLOK Etwin Juanda Mahasiswa S2 Tata Kelola Pemilu Universitas Andalas E-mail: kolakmeneyahoo.com A b s t r a k Tumbuh kembang Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara Pemilu sudah melewati masa yang panjang. Pada pemilu 1999 sebagai awal dilaksanakannya pemilu pasca orde baru menjadikan Komisi Pemilihan Umum sebagai ujung tombak pelaksana Pemilu. Pada saat itu, demi memfasilitasi semua kepentingan yang ada maka Komisi Pemilihan Umum saat itu berisikan 5 orang wakil pemerintah dan 48 orang wakil partai politik serta pemilu. Dengan komposisi seperti itu ini jelas akan menghambat kinerja Komisi Pemilihan Umum karena begitu banyak kepentingan didalamnya. Terbukti, Komisi Pemilihan Umum periode ini gagal menetapkan hasil pemilu karena terdapat penolakan dari sebagian besar anggotanya.Namun, dengan masih banyaknya pihak yang menyatakan bahwa pemilu yang sudah dilaksanakan masih jauh dari sesuatu yang ideal maka perlu dicermati, pastilah ada yang sala dengan semua yang sudah diatur dan dibentuk. Banyak sisi yang bisa dilihat, banyak sudut yang bisa dicermari. Apabila kita berada didalam struktur, maka terdapat beberapa hal yang bisa dicermati dan akan dibahas pada bagian selanjutnya. PENDAHULUAN Pemilihan Umum menjadi satu hal rutin bagi sebuah Negara yang mengklaim sebagai sebuah Negara demokrasi, walaupun kadang-kadang praktik politik di Negara yang bersangkutan jauh dari kaidah-kaidah demokratis dan Pemilu tetap dijalankan untuk memenuhi tuntutan normatif, yaitu sebagai sebuah persyaratan demokratis pada akhirnya tidak dapat dipungkiri ajang kompetisi untuk meraih jabatan-jabatan publik, apakah menjadi anggota legislatif, menjadi Presiden dan Wakil Presiden, Kepala Daerah. Pemilihan umum dimaknai sebagai realisasi sarana untuk memberikan dan memperkuat legitimasi rakyat. Realisasi dan makna keduanya sangat kental dengan tarik menarik kepentingan politik bahkan fenomena pemilu bukan saja menjadi keunikan tersendiri sebab pemilu bukan saja menjadi kewajiban penguasa untuk menyelenggarakannya, namun masyarakat dengan semangat euphoria politiknya merasa terpanggil juga setidaknya memberikan perhatian pada pemilu. Mengaju pada Undang –undang Nomor 15 Tahun 2011, Komisi Pemilihan Umum bersifat Hirarki dari jajaran Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Komisi Pemilihan Umum KabupatenKota. Dalam mejalankan Tugas dan Wewenang Penyelengggaraan Pemilu, Komisi Membentuk jajaran Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Provinsi, Komisi Pemilihan KabKota. Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia KPU adalah lembaga Konstitusi Indenpenden yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pemilihan umum nasiolanl dan lokal sebagaimana diamanatkan oleh undang – undang No 15 2011. KPU saat ini teridiri dari 7 orang anggota enam laki-laki ;perempuan yang dipilih melalui proses seleksi yang ketat dan kemudian dilantik oleh Presiden pada 12 April 2012 untuk jangka waktu lima tahun. Sekretariat Komisi Pemilihan Umum, di pimpinan oleh Sekretariat Jenderal,merupakan perpanjangan tangan eksekutif dari Komisi Pemilihan Umum yang bertanggung jawab untuk administrasi organisasi di tingkat nasional. Sekretariat jenderal biasanya dicalonkan oleh KPU dan kemudain ditunjuk untuk jangka waktu lima tahun oleh Presiden. Pada 1 februari 2013, KPU menunjuk Arif Rahman Hakim sebagai Sekretariat Jenderal yang baru, Sejak tahun 2007, KPU telah mampu merekrut pegawai Sipil sebagai staf mereka. Sebelum tahun 2007 sebagai besar stafnya merupakan staf pindahkan dari kementrian Dalam Negeri.ada pun dalam permasalahan yang dihadapi dalam perekrutmen anggota kpu di kabupaten solok sebagai berikut : 1. Bagaimana kinerja Komisi Pemilihan Umum dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum ? 2. Bagaimana SDM yang tersdia di Komisi Pemilihan Umum ? 3. Bagaiman evaluasi kinerja KPU sebagai penyelenggaraan Pemilu ? 817 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Pemilu dan Parlemen Dari latar belakang dan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas maka tujuan makalah ini adalah untuk : 1. Untuk mengetahui bagaimana Kinerja Komisi Pemilihan UmumKPU. 2. Untuk mengetahui tingkatan SDM yang tersdia di Komisi Pemilihan Umum ? 3. Langkah –langkah yang diambil untuk dapat mewujudkan Komisi Pemilihan Umum Profesional ? Dalam melaksanakan tugas Komisi Pemilihan Umum Kab. Solok berpedoman pada Program, Tahapan dan Jadual Waktu Penyelenggaraan Pemilu yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum Pusat. Secara umum seluruh rangkaian penyelenggaraan Pemilu di Kab. Solok dapat berjalan lancar, masalah-masalah yang timbul sebagai perkembangan dinamika dalam setiap penyelenggaraan kegiatan dapat diselesaikan secara baik dengan mengedepankan langkah koordinasi dengan semua pihak terkait. Bagi instansi setiap selesai melaksanakan kegiatan mempunyai kewajiban membuat laporan pertanggung jawaban tentang pelaksanaan kegiatan, hal itupun berlaku bagi Komisi Pemilihan Umum Kab. Solok. Agar setiap kegiatan yang diselenggarakan dapat berdaya dan berhasil guna, transparan Komisi Pemilihan Umum Kab. Solok selalu berupaya menjalin komunikasi, koordinasi dengan semua pihak yang terkait sehingga semua kegiatan dapat terlaksana sesuai jadual yang telah ditetapkan. PELAKSANAAN REKRUTMEN, PELATIHAN DAN PENGAWASAN KINERJA PELAKSANA PEMILU

1. Penyelenggara Pemilu

Keberhasilan dan keberlangsungan pemilu yang diselenggarakan sesuai prinsip-prinsip universal demokrasi meniscayakan adanya penyelenggara pemilu yang memiliki legitimasi konstitusional dan publik. Legitimasi konstitusional artinya kedudukan penyelenggara pemilu diatur dalam UUD atau UU yang menjabarkan kedudukan, tugas, dan kewenangannya secara jelas. Sedangkan legitimasi publik berkaitan dengan sikap dan pengakuan partai politik, calon, serta masyarakat terhadap institusi penyelenggara pemilu dan keputusan-keputusan yang dibuatnya dalam penyelenggaraan pemilu Legitimasi penyelenggara pemilu secara konstitusional saja tidak cukup jika publik tidak menaruh kepercayaan atas proses dan hasil pemilu yang diselenggarakan penyelenggara. Dalam konteks Indonesia, untuk membangun kepercayaan publik kepada EMB, maka proses pemilu harus berlangsung secara demokratik sesuai asas-asas penyelenggaraan pemilu yang demokratik, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana diamanatkan konstitusi pasal 22E ayat 1 UUD RI Tahun 1945.

2. Badan Penyelenggara Pemilu

Penyelenggara pemilu merujuk pada badan yang bertugas dan berwenang menyelenggarakan pemilu untuk memilih para penyelenggara negara legslatif dan eksekutif baik pada tingkat nasional maupun lokal. Apakah yang dimaksud dengan badan penyelenggara Pemilu EMB? Setidaktidaknya dua persyaratan mutlak yang harus dipenuhi untuk dapat disebut sebagai EMB. 1. Menyelenggarakan unsur dan kegiatan esensial proses penyelenggaraan Pemilu, yaitu penentuan daftar pemilih, pendaftaran dan penentuan Peserta Pemilu, pendaftaran dan penentuan Daftar Calon, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan dan pengumuman hasil Pemilu, dan penetapan calon terpilih. 54 2. lembaga yang khusus dibentuk untuk menyelenggarakan unsur dan kegiatan esensial proses penyelenggaraan Pemilu. Kriteria mengenai penyelenggara pemilu yaitu: 55 1. Suatu agensi yang permanen, independen, dan kredibel yang berwenang mengorganisir dan melakukan secara periodik pemilu yang bebas dan jujur; 2. Mandat untuk menyelenggarakan pemilu harus dinyatakan dalam konstitusi, termasuk metode untuk melakukan pemilu, pendidikan bagi pemilih, pendaftaran partai dan calon, pembuatan kebijakan pemilu, prosedur pemilu, dan cara menyelesaikan perselisihan pemilu; 54. . Wall, Alan., et al. Electoral Management Desaign : The International IDEA Handbook. Stockholm. International IDEA. 2006 hal.22. 55. Ibid hal 32. 818 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Pemilu dan Parlemen 3. Keanggotaan yang non partisan, ketentuan mengenai jumlah keanggotaan, diangkat kepala negara dan mendapat persetujuan parlemen; 4. Agensi pemilu memiliki pendanaan yang layak, memiliki anggaran sendiri untuk merancang kebutuhan dan pengadaan barang melalui lelang yang fleksibel yang berbeda dengan birokrasi pemerintah; 5. Adanya landasan hukum yang memungkinan agensi pemilu memobilisasi aparat staf dan sumber-sumber lain untuk mendukung penyelenggaraan pemilu. Dari lima kriteria di atas, tugas utama penyelenggara pemilu adalah menyelenggarakan pemilu sebagaimana diperkuat oleh landasan konstitusional masingmasing negara. Substansi utama penyelenggara pemilu juga jelas yakni agensi yang berwenang mengkonversi suara pemilih menjadi kursi penyelenggara negara. Dalam konteks kebutuhan masing-masing negara, penyelenggara pemilu bisa bersifat nasional dan lokal. Penyelenggara pemilu bersifat nasional terkait dengan tugas dan kewenangannya untuk menyelenggarakan pemilu anggota legislatifparlemen secara nasional. Bersifat lokal jika penyelenggara pemilu bertugas menyelenggarakan pemilu untuk anggota parlemen lokal atau kepala daerah di ProvinsiKabupatenKota untuk Indonesia atau tingkat negara bagian seperti di India. Namun kerangka hukum yang menjadi landasan penyelenggara pemilu nasional dan lokal tetap mengacu pada prinsipprinsip normatif yang berlaku di negara masing-masing. Dalam konteks Indonesia, penyelenggara pemilu merujuk pada KPU. 56

3. Model –Model Penyelenggara Pemilu

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, tugas utama penyelenggara pemilu adalah menyelenggarakan pemilu. Sesuai konteks masing-masing negara, pembentukan dan keanggotaan penyelenggara pemilu sangat beragam. Dalam hal ini ada 3 model EMB yaitu: 57 1. Model independen: anggota badan penyelenggara pemilu diseleksi dan dipilih secara terbuka yang melibatkan masyarakat. Prinsip independen artinya keberadaan komisioner penyelenggara pemilu tidak berada dibawah suatu lembaga, dan orangorang yang menjadi komisioner tidak partisan atau tidak mewakili kepentingan partai atau kandidat tertentu. Penyelenggara pemilu independen diseleksi oleh panitia seleksi yang ditetapkan oleh pemerintah misalnya Indonesia di era reformasi namun memiliki kemandirian dalam menentukan metode seleksi dan membuat keputusan hasil seleksi calon penyelenggara pemilu. Negara-negara yang menerapkan model independen di antaranya adalah Indonesia, India, Afrika Selatan, Thailand, dan Polandia. 2. Model pemerintah: anggota badan penyelenggara pemilu diseleksi dan dipilih dariorang-orang yang mewakili kepentingan pemerintah. Prinsip independen komisionersulit dipenuhi karena komisioner penyelenggara pemilu adalah jajaran birokrasimisalnya di era Orde Baru, pejabat pegawai negeri yang ‘ditempatkan’ pemerintahuntuk menjalankan tugas-tugas politis demi mengamankan kepentingan politikpemerintah. Dalam hal ini, komisioner penyelenggara pemilu dan staf administrasipendukungnya dari tingkat nasional hingga daerah lokal adalah dipilih dari kalanganbirokrat terutama jajaran departemen dalam negeri dan staf pemerintah daerah.Pengalaman Indonesia di era Orde Baru menunjukkan keanggotaan penyelenggarapemilu, dalam hal ini disebut Lembaga Pemilihan Umum LPU, diisi oleh jajaranbirokrat Kementerian Dalam Negeri dari tingkat pusat hingga daerah. Misalnya,Ketua LPU dijabat Menteri Dalam Negeri dibantu kesekretariatan dari jajaran stafDepdagri. Terlepas dari pengalaman masa lalu Orba, negara-negara demokratisyang menerapkan model pemerintah ini di antaranya Amerika Serikat, Inggris, Swedia, dan Swiss. 3. Model Campuran: keanggotaan penyelenggara pemilu diseleksi dan dipilih darikombinasi antara hasil seleksi publik non partisan dengan orang-orang yangmewakili kepentingan pemerintah. Selain itu, terdapat varian lain yaitu keanggotaanpenyelenggara pemilu diisi oleh wakil-wakil partai politik dan wakil-wakil pemerintahsebagaimana pernah diadopsi di Indonesia pada Pemilu 1999. Kombinasi komisionerpenyelenggara pemilu yang diisi kalangan independen dan pemerintah ini memiliki tiga 3 keuntungan: pertama, 56. Pasal 15 UU Nomor 12 Tahun 2003 dan Pasal 1 ayat 6 UU Nomor 15 Tahun 2011 menyebutkan secara eksplisit KPU sebagai penyelenggara pemilu 57. Electoral Management Body, https:aceproject.orgace-entopicsememcemc02qdefault ; Wall, Allan et al. Electoral Management Design : The International IDEA Handbook. Stockholm. International IDEA. 2006. Hal. 7-8. 819 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Pemilu dan Parlemen komisioner penyelenggara pemilu dapat lebih mudah mengakses hal-hal yang terkait upaya mencari dukungan kebijakananggaranlogistik dari pemerintah; kedua, peluang penyelenggara pemilu dapat diisi olehbirokrat berpengalaman di bidang anggaran dan keuangan; ketiga, bisa mewakili aspirasi yang plural dalam masyarakat

4. Kelemahan Model Independen yang diterapkan Indonesia

Setelah lima tahun yang menjadi masa kerja dari anggota KPU tingkat kpu kabkota merupakan waktu yang cukup untuk membutuhkan kapasitas dari seseorang yang terpilih sebagian anggota KPU. Dari periode 2008 sd 2013 dan periode 2013 sd 2018 yang sedang berjalan dari pengamatan dapat disimpulkan sebagai berikut: 58 1. Komposisi dan Kualifikasi: Kaum profesional yang mengetahui kerangka kerja pemilu sebaiknya ditunjuk untuk mengurus pemilu. Ketentuan umum mengharuskan sekurang-kurangnya beberapa anggota lembaga penyelenggara pemilu pada setiap tingkatan memiliki latar belakang bidang hukum. Hal ini wajar, tetapi dapat menimbulkan masalah terhadap lembaga penyelenggara yang lebih rendah. Ketentuan yang mengharuskan keanggotaan lembaga penyelenggara pemilu berasal dari perwakilan partai politik atau hakim yang pada akhirnya ditunjuk oleh partai politik yang berkuasa, jelas-jelas akan memberikan dampak bagi independensi dan netralitas lembaga penyelenggara pemilu. Umumnya, orang-orang yang dipercaya masyarakat, seperti para tokoh masyarakat madani, mantan hakim, atau akademisi, lebih sesuai untuk ditunjuk menjadi anggota lembaga penyelenggara pemilu. Undang-undang penyelenggara pemilu perlu menentukan batas minimal dan maksimal seseorang bisa menjadi anggota lembaga penyelenggara pemilu. 2. Masa Jabatan: Lembaga penyelenggara pemilu merupakan lembaga yang berkelanjutan, bukan hanya bekerja pada suatu jangka waktu tertentu saja. Apabila diperlukan untuk memelihara daftar pemilih, undang-undang mesti menetapkan lembaga tersebut bekerja secara terus-menerus atau secara berkala untuk memperbaiki atau memperbarui daftar pemilih tersebut. Namun, sangat wajar apabila lembaga penyelenggara pemilu yang lebih rendah hanya bekerja pada jangka waktu tertentu, dibentuk sebelum pemilu berlangsung dan dibubarkan setelah hasil pemilu diumumkan. Undang-undang perlu mengatur bahwa masa jabatan anggota bersifat bergilir untuk menjamin kontinuitas pekerjaan. Juga harus dirinci dasar dan proses pencopotan anggota untuk melindungi anggota dari pencopotan yang sewenang-wenang dan untuk memberikan kekebalan hukum berkaitan dengan pelaksanaan tugastugasnya. Undang-undang perlu memperjelas hak setiap anggota lembaga penyelenggara, termasuk hak menerima pemberitahuan rapat, hak mengakses semua dokumen pemilu. 3. Tugas dan Fungsi: Undang-undang harus secara jelas menetapkan tugas dan fungsi lembaga penyelenggara pemilu. Tugas danfungsi ini mencakup beberapa hal berikut: a memastikan bahwapara pejabat dan staf yang bertanggung jawab atas penyelenggaraanpemilu dilatih dengan baik serta bertindak adil dan independen darisetiap kepentingan politik; b memastikan bahwa prosedur pemberiantelah dibuat dan disosialisasikan kepada masyarakatpemilih; c memastikan bahwa para pemilih diberitahu dan dididiktentang proses pemilihan, partai politik yang bertarung dan caloncalonnya;d memastikan pendaftaran pemilih dan memperbaruidaftar pemilih; c memastikan kerahasiaan pemilih; d memastikanintegritas kertas suara melalui langkah-langkah tertentu untukmencegah pemberian suara yang tidak sah; dan e memastikanintegritas proses penghitungan suara yang transpran, membuattabulasi dan menjumlahkan suara. Dalam beberapa kasus, tugas danfungsi lembaga penyelenggara pemilu dapat meliputi: mengesahkanhasil akhir pemilu, menetapkan batasan-batasan pemilu, memantaudan mengawasi dana kampanye, memberikan saran kepadapemerintah dan parlemen serta hubungan internasional.Sementara itu, selama melaksanakan kegiatan pemilu, lembagapenyelenggara pemilu dituntut bertindak sedemikian rupa sehingga pemilu benar-benar dapat berlangsung secara bebas dan adil free and fair election. Berikut adalah beberapa prinsip yang ditekankan IDEA atas lembaga penyelenggara pemilu demi mencapai pemilu yang bebas dan adil: 4. Independen dan Ketidakperpihakan: Lembaga penyelenggarapemilu tidak boleh tunduk pada arahan dari pihak lain manapun,baik pihak berwenang atau pihak partai politik. Lembagapenyelenggara harus bekerja tanpa 58. IDEA, Standar-standar Iternasional Pemilihan Umum: Pedoman Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu, Jakarta: IDEA, 2002, hlm 39-47. 820 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Pemilu dan Parlemen pemihakan atau praduga politik.Lembaga ini harus mampu menjalankan kegiatan yang bebas daricampur tangan, karena setiap dugaan manipulasi, persepsi bias ataudugaan campur tangan, akan memiliki dampak langsung, tidakhanya terhadap kredibilitas lembaga penyelenggara, tetapi juga terhadap keseluruhan proses dan hasil pemilu. 5. Profesionalisme: Pemilu harus dikelola oleh orang-orang yang terlatih dan memiliki komitmen tinggi. Mereka adalah karyawan tetap lembaga penyelenggara pemilu, yang mengelola dan mempermudah proses pelaksanaan pemilu.

5. Alternatif Model KPU Untuk kedepan

Akibat proses pengisian anggota KPUD seperti itu, banyak pihakmeragukan independensi lembaga penyelenggara pemilu itu, khususnya KPU KabupatenKota. KPU pada tingkat ini memang sangat rentan dimasuki oleh orang-orang partisan. Di satu sisi, hal ini disebabkan oleh rendahnya partisipasi atau daya kontrol masyarakat terhadap proses rekrutmen; di sisi yang lain, KPU tingkat nasional tidak mungkin bisa mengikuti proses seleksi di lebih dari 400 kabupaten kota yang berlangsung hampir bersamaan. Masalah-masalah lanjutan akibat adanya orang partisan masuk di KPU KabupatenKota terekam jelas dalam penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2004, dan lebih jelas lagi pada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah pilkada. Pada saat pilkada 2005+ banyak kepala daerah yang mencalonkan diri kembali dan mereka jelas berkesempatan memanfaatkan anggota-anggota KPU KabupatenKota yang dulu diajukannya. Dalam pelaksanaan Pemilu Legislatif 2004, KPU Kabupaten Kota juga tidak bisa dikontrol oleh siapa pun sehingga banyak yang menjalankan tugas dan wewenangnya secara sembarangan.KPU Provinsi tidak efektif melakukan kontrol terhadap kinerja KPU KabupatenKota, karena KPU KabupatenKota merasa bukan bawahan KPU Provinsi. Dalih mereka adalah anggota KPU Kabupaten Kota diangkat oleh KPU, bukan oleh KPU Provinsi. Sementara itu, anggota KPU yang berjumlah 9 orang dari 11 orang, karena 2 orang mengundurkan diri jelas tidak mungkin melakukan kontrol langsung terhadap lebih dari 400 KPU KabupatenKota. Ini juga merupakan faktor penting yang menyebabkan mengapa begitu banyak masalah pemilu yang membelit KPU KabupatenKota. Panwas Pemilu 2004 mencatat, banyak KPU KabupatenKota yang menyalahgunakan tugas dan wewenangnya selaku penyelenggara pemilu. Mereka terlibat praktek pengubahan hasil penghitungan suara, sehingga di antara anggota KPU KabupatenKota tidak sedikit yang jadi tersangka di pengadilan. Ratusan kasus sengketa hasil pemilu anggota DPRD KabupatenKota yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi, juga menunjukkan bahwa proses penghitungan suara oleh KPU Kabupaten Kota dan jajarannya banyak yang tidak beres. Sayangnya, meskipun masyarakat, pemantau dan pengawas pemilu telah mengungkap kasus-kasus pelanggaran peraturan pemilu maupun pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang dilakukan oleh anggota KPU KabupatenKota, namun KPU kurang responsif. Dengan dalih kesibukan dan kepraktisan, KPU hanya mengandalkan pada hasil keputusan pengadilan terhadap kasus-kasus pidana yang melibatkan anggota KPU KabupatenKota. Bila pengadilan menyatakan bersalah, maka KPU akan memecatnya; sebaliknya jika pengadilan membebaskannya maka statusnya sebagai anggota KPU tetap berlanjut. Tentu mekanisme ini memiliki banyak kelemahan, mengingat tidak semua pelanggaran peraturan perundangan yang dilakukan oleh anggota KPU KabupatenKota bisa dipidanakan. Dari sekian banyak pelanggaran, hanya kasus pengubahan penghitungan hasil suara yang bisa diproses pengawas pemilu ke pengadilan Peran Komisi Pemilihan Umum Pemilu memiliki tiga dimensi utama, yakni electoral law, electoral process, electoral law enforcement. Fungsi atau peran Komisi Pemilihan Umum KPU sebagai penyelenggara pemilu adalah mengawal dan melaksanakan ketiga dimensi tersebut. Atas dasar itu kemudian dirumuskan tugas, wewenang dan kewajiban dalam penyelenggaraan pemilu. 59 Dalam konteks itu, peran KPU pada Pemilu 2004 sangat besar. KPU bertanggungjawab penuh terhadap electoral law, electoral process, electoral law enforcement sehingga dikenal sebagai lembaga super body. 60 Dalam hal electoral law, KPU menyusun berbagai regulasi peraturan dan ketetapan terkait elemen- 59. Lihat Pasal 8-10 UU No.222007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. 60. Waktu itu belum terbentuk UU Penyelenggara Pemilu sehingga KPU mengatur dirinya sendiri, termasuk mengatur hubungannya dengan Panitia Pengawas Pemilu. 821 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Pemilu dan Parlemen elemen teknis pemilu mulai dari pencalonan, penetapan daerah pemilihan, dan penetapan calon terpilih. Dalam hal electoral law enforcement, KPU menjalankan seluruh regulasi yang dibaut sendiri dengan dibantu oleh Panitia Pengawas Panwas yang berfungsi mengawasi proses dan pelaksanaan tahapan-tahapan pemilu, sejak pendaftaran pemilih sampai penetapan hasil pemilu. Peran KPU pada Pemilu 2009 lebih terbatas karena tugas, fungsi dan kewajiban yang dijalankan sebelumnya telah ditentukan dalam UU No.102008 tentang Pemilu Legislatif dan UU No.222007 tentang Penyelenggara Pemilu. Peran KPU dioptimalkan pada dimensi electoral process yakni