First Past The Post FPTP

841 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Pemilu dan Parlemen

4. Sistem Pemilu Di Luar Mainstream

Adapun yang dimaksud dengan sistem pemilu di luar mainstream sistem pemilu yang ada adalah sistem yang berkecenderungan menerjemahkan perhitungan suara menjadi kursi dengan cara yang berkisar pada sistem proporsional dan distrik atau merupakan campuran antara distrik dan proporsional. 97 Adapun varian dari sistem ini adalah : Single Non-Transferable Vote, Limited Vote, dan Borda Count. 98

1. Single Non Transfereble Vote SNTV

Prinsip yang dipakai SNTV hampir sama denganSTV yaitu distrik berwakil majemuk, pemilih memilih satu kandidat, dan pemenangnya adalah yang memperoleh suara terbanyak. Yang membedakan adalah tidak ada penghapusan kandidat yang paling sedikit preferensinya. Pembeda lainnya adalah pada SNTV tidak ada redistribusi suara preferensi kedua dari kandidat yang mendapatkan suara paling sedikit. 99

2. Limited Vote

Prinsip sistem ini adalah distrik berwakil banyak juga, sama dengan prinsip sistem SNTV. Namun, dalam sistem ini pemilih dalam memberikan suara lebih dari satu kali, dengan ketentuan harus lebih sedikit dari jumlah kursi yang akan diisi di satu distrik.pemenangnya adalah yang mengumpulkan suara terbanyak. 100 Misalnya, kursi yang tersedia di satu distrik adalah tiga kursi, maka pemilih dapat memberikan suara sebanyak dua suara. Calon terpilih adalah calon yang memperoleh suara terbanyak secara berurutan sesuai dengan ketersediaan kursi. 101

3. Sistem Borda Count BC

BC merupakan sistem versi AV yang dimodifikasi. Pemilih tetap diminta merangking kandidat dalam jumlah tertentu sesuai dengan preferensinya. Bedanya adalah sistem ini diterapkan dalam distrik berwakil banyak maupun tunggal. Selain itu, tidak ada penghapusan kandidat yang mendapatkan suara terkecil. Preferensi pemilih dihitung hanya sebagai “suara pecahan”. Misalnya suara pertama nilainya sama dengan satu, preferensi kedua setengah, dan preferensi ketiga bernilai sepertiga dan seterusnya. Apabila tidak ada caleg yang memperoleh mayoritas absolut atas preferensi pertama, preferensi dari tingkatan yang lebih rendah akan dihitung dan total yang paling tinggi memenangkan kursi. Sistem ini dipraktekkan di sebuah negara kecil di pasifik yaitu Nauru. 102

1. Unsur-unsur sistem pemilu

Sebagai mana telah diuraikan pada pendahuluan bahwa terdapat unsur-unsur yang membentuk pemilu sebagai sebuah sistem. Rae 1967 mengidentifikasi empat unsur sistem pemilu, yaitu: besaran daerah pemilihan district magnitude, metode pencalonan candidacy, metode pemberian suara balloting, formula perolehan kursi dan calon terpilih electoral formula. Selanjutnya, Nohlen 2008 menempatkan ambang batas perwakilan threshold sebagai variabel penting dalam menentukan perolehan kursi. Merujuk pada pengalaman negara-negara demokrasi baru, Reynolds 2010 menyebut persyaratan partai politik menjadi peserta pemilu menjadi faktor penting dalam perebutan kursi. Terakhir Lijphart 1994 menyatakan, dalam sistem pemerintahan presidensial di mana terdapat pemilu legislatif untuk memilih parlemen dan pemilu pemilu eksekutif untuk memilih presiden, faktor waktu penyelenggaraan berpengaruh besar terhadap keterpilihan presiden dan parlemen. Di sini hasil pengkajian Pyne dkk 2002 menyimpulkan: jika pemilu legislatif diselenggarakan bersamaan waktunya dengan pemilu eksekutif concurrent election maka cenderung berhasil menghindari terbentuknya divided government. 103 97. Pemilihan Umum, http:setabasri01 ….. Dalam Khairul Fahmi, Pemilihan Umum.., Op. cit, hal 78. 98. Sigit Pamungkas, Op. Cit, hal 37 99. Ibid, hal 37. 100. Ibid, hal 37 101. Khairul Fahmi, Ibid, hal 79. 102. Sigit Pamungkas, Ibid, hal 37. 103. Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-Undang Pemilu, Ibid hal, 21. 842 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Pemilu dan Parlemen Sementara Ramlan Surbakti dkk, menyebutkan terdapat enam unsur-unsur sistem pemilu. Pertama, besaran daerah pemilihan district magnitude. Kedua, peserta pemilu dan pola pencalonan. Ketiga, model penyuaraan Balloting. Keempat, formula Pemilihan dan penetapan calon terpilih. Unsur kelima, ambang-batas masuk electoral threshold DPR atau DPRD. Keenam, kalender waktu penyelenggaraan berbagai jenis pemilu. 104 Sedangkan Sigit Pamungkas, dengan alasan adanya konsekwensi terutama terhadap proporsionalitas hasil pemilihan dan sistem kepartaian, menyebutkan ada 6 enam unsur sistem pemilu, yaitu : penyuaraan Balloting, besaran distrik district magnitude, pembuatan batas-batas representasi, formula pemilihan electoral formula dan ambang batas threshold, jumlah kursi parlemen. 105 Berdasarkan pendapat para ahli diatas, agar mendapatkan pemahaman lebih jelas dan rinci tentang unsur-unsur yang membentuk sistem pemilu, penulis cenderung memilih unsur-unsur sebagai berikut : jadwal pelaksanaan pemilu, metode pencalonan, besaran distrik district magnitude, penyuaraan Balloting, pembuatan batas-batas representasi, formula pemilihan electoral formula dan ambang batas threshold, jumlah kursi parlemen.

1. Waktu penyelenggaraan

Penyelenggaraan pemilu legislatif disusul pemilu presiden lalu pilkada yang berserakan waktunya sepanjang empat tahun menimbulkan masalah serius bagi penyelenggara, pemilih, partai politik dan calon, serta negara. Penyelenggara menanggung beban penyelenggaraan yang tidak seimbang karena pada pemilu legislatif memiliki volume dan varian pekerjaan sangat besar, sedang pemilu presiden dan pilkada volume dan varian pekerjaan kecil. Dalam pemilu legislatif, pemilih dibingungkan oleh banyaknya calon, sementara dalam pemilu eksekutif dibingungkan oleh pola koalisi yang tidak jelas. Kebingungan ini tak hanya menjadikan pemilih sulit bersikap rasional, tetapi juga menjadi katalisator praktik politik uang. 106

2. Metode pencalonan candidacy

Sistem pemilu Proporsional daftar terbuka murni banyak menyisakan masalah, terutama dalam hal kaderisasi dan politik uang. Partai politik sangat lemah dalam mengontrol kadernya diparlemen, karena kader diparlemen hanya tunduk kepada sekelompok elit partai. Untuk itu perlu kembali kedaftar proporsional tertutup, agar partai dapat mengontrol kadernya. Akan tetapi, partai politik memang harus benar-benar demokratis dalam menyeleksi calon yang akan dicalonkan. Mareka yang dicalonkan bukan karena faktor kedekatan pribadi seperti saudara, istri, anak, dll seperti yang terlihat seperti saat ini, tetapi keterpilihan karena integritas dan kababilitas yang dimiliki. Untuk keterwakilan 30 perempuan dalam daftar calon yang disusun di antara tiga calon harus terdapat satu calon perempuan, dan harus mendapat prioritas dibeberapa persen daerah pemilihan.

3. Penyuaraan Balloting

Penyuaraan adalah tata cara yang harus dikuti pemilih yang berhak menentukan suara. Jenis penyuaraan dibedakan menjadi 2 dua tipe. Pertama kategorikal, yaitu hanya memilih satu partai atau calon. Kedua ordinal yaitu pemilih memiliki kebebasan lebih dan dapat menentukan preferensi atau ukuran dari partai atau calon yang diinginkan. 107 Sedangkan teknik penyuaraan dapat dilakukan dengan 2 dua cara. Pertama, dengan menuliskan nama partai atau calon yang dipilih dalam surat suara. Kedua, dengan mencoblosmelubangimelingkari dan sejenisnya tanda gambar atau nama calon yang dipilih. 108 104. Ramlan Surbakti dkk, 2011, Seri Demokrasi Elektoral Buku 1Merancang Sistem Politik Demokratis Menuju Pemerintahan Presidensial yang Efektif, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, Jakarta, hal 42-50. 105. Sigit Pamungkas, Ibid , hal 14. 106. Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-Undang Pemilu, Ibid, hal 72. 107. Sigit Pamungkas, Ibid, hal 14-15. 108. Ibid, hal 15.