576
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Politik Lokal
Niswaty, Risma. Penyelenggaraan Pemilihan Umum Di Indonesia: Eksplorasi Konstruksi Model Normatif Prosedur Demokrasi. Jurnal Ad’ministrare. Vol. 1 No. 1, 2014.
Surbakti, Ramlan. Nugroho, Kris. Studi tentang Desain Kelembagaan Pemilu yang Efektif. Kemitraan, Jakarta, 2015.
Saihu, Mohammad. dkk. Penyelenggara Pemilu di Dunia. DKPP, Jakarta, 2015. Winardi. Menyoal Independensi dan Profesionalitas Komisi Pemilihan Umum Daerah dalam Penyelenggaraan
Pemilu Kepala Daerah. Jurnal Konstitusi, Vol.III No.2, November 2010. Mewoh, Ardiles R. M. Dkk. Pemilu dalam Perspektif Penyelenggara. Perludem, Jakarta, 2015.
577
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Politik Lokal
POLITIK NAGARI: PEMBALIKAN DEMOKRASI DAN EKSISTENSI LEMBAGA NAGARI DI SUMATERA BARAT RENTANG TAHUN 1979-2015
Tengku Rika Valentina
Jurusan Ilmu Politik, FISIP, Unand Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik, FISIP, Unpad E-mail: tengkurikagmail.com
A b s t r a k
Setting politik lokal dalam masyarakat nagari diwarnai dengan problematika eksistensi lembaga dan kearifan lokal yang tadinya pernah terkenal sebelum perlakuan dan penyeragaman atas Undang-Undang Desa pada tahun 1975 UU
No 5 tahun 1979 tentang Desa sampai dengan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, ada suatu ironi yang terlihat, ketika penelitian ini semakin dikerucutkan pada nagari dan pemerintahan nagari di Sumatera Barat, permasalahan
tentang pembaharuan institusi nagari tidak hanya sekedar menganalisis fenomena otonomi, good governance tetapi juga dipahami dan di lihat dari faktor-faktor tatanan kelembagaan yang bersifat regulatif, normatif dan budaya
yang membentuk tindakan aktor-aktor politik ketika mereka menjadi bagian dari institusi. Ada sejumlah faktor- faktor institusional yang belum tereksplorasi, yaitu bagaimana struktur lembaga, aturan, norma dan kebudayaan
yang mempengaruhi pandangan elite lokal di nagari dan masyarakat di nagari,sehingga berujung pada pembalikan demokrasi menuju konsolidasi demokrasi lokal pada nagari di Sumatera Barat. Dengan menggunakan analisis
neoinstitusionalisme secara sosiologis dan historis dan dilakukan secara metode postpositive eksploratif, nagari di Sumatera Barat masih menjadi sebuah kajian menarik untuk diangkat kepermukaan ketika dalam perjalanannya
begitu kompleks dinamika politik di dalamnya.
Kata kunci:
Nagari, Lembaga Nagari, Model Demokrasi, Neoinstitusionalisme Sosiologis dan Historis
PENDAHULUAN
Proses pembalikan demokrasi menjadi salah satu bahasan yang menarik ketika berbicara dalam konteks konsolidasi demokrasi pada tatanan lokal. Alasan yang memperkuat adalah tahapan konsolidasi demokrasi
merupakan sebuah proses yang mengurangi kemungkinan pembalikan demokratisasi, karena di dalamnya akan diwarnai dengan proses negosiasi transaksi yang hendak “mempromosikan” sistem atau “aturan main”
baru ketimbang merusak sistem lama. Struktur dan prosedur politik yang berlangsung selama proses transisi akan dimantapkan, diinternalisasikan, bahkan diabsahkan dalam bentuk konsolidasi. Proses konsolidasi akan
menghasilkan penetapan sistem demokrasi secara operasional dan akan memperoleh kredibilitas dalam masyarakat serta negara Linz Stepan, 2001: 95; Freedman, 2006: 3.
Menganalisis tentang proses konsolidasi demokrasi lokal di Indonesia, sebenarnya berbicara tentang proses demokratisasi dan kebangkitan masyarakat sipil dan salah satunya akan dikaitakan dengan proses desentralisasi
Nordholt Klinken [eds.], 2007: 2. Terdapat hubungan yang kuat antara desentralisasi dan demokrasi, di mana adanya peningkatan partisipasi politik, transparansi lembaga atau institusi serta dinamika politik regional,
dan semuanya itu terjadi menurut Baswedan 2007:1 akibat dari pemerintahan yang terdesentralisasi.
Kajian konsolidasi demokrasi lokal menurut Leo Agustino semakin menarik ketika agenda studi demokratisasi kembali bergeser dari state-centered menuju society-centered dan itu berdampak pada pergeseran analisis
konseptualisasi, salah satunya adalah melibatkan banyak aktor-aktor pada lembaga-lembaga atau institusi di tingkat lokal Leo Agustino 2007: 144-145. Selain pergeseran analisis agenda demokratisasi ke arah society-centered,
Leo Agustino 2007: 145 juga menambahkan seperti NGO dan lembaga asosiasi sosial kemasyarakatan juga turut berperan dalam proses pematangan demokratisasi. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut dalam konteks
penelitian ini juga merupakan bagian dari penguatan demokratisasi. Melalui eksplorasi yaitu, bagaimana struktur, aturan, norma dan lembaga politik “berkerja” ketika mereka menjadi bagian dari suatu institusi politik Miler,
2011: 22, menjadi sebuah konteks kebaruan dalam penelitian penguatan konsolidasi demokrasi di tingkat lokal.
Ketika proses penelitian ini diarahkan dalam konteks dinamika politik lokal di Indonesia, konsolidasi demokrasi dalam wujud neoinstitutionalism ternyata “menuai” banyak masalah yaitu: i pergeseran dari
pemerintahan yang sentralisasi ke pemerintahan desentralisasi tidak sinonim dengan pergeseran dari pemerintah
578
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Politik Lokal
otoriter ke pemerintahan demokratis; ii pergeseran dari negara kuat ternyata tidak membentuk masyarakat sipil yang kuat; iii melemahnya negara pusat tidak secara otomatis membuahkan demokrasi lokal yang lebih
kuat Nordholt Klinken [eds.]: 2007: 203,224,417, dan semua penjelasan ini akan selalu diakhiri dengan permasalahan tentang desentralisasi dengan pembentukan lembaga di tingkat lokal oleh negara baca: pemerintah
pusat misalnya nagari, gampong, desa, subak dan lain-lain. Walaupun Dede Mariana 2008: 90-91 sudah menjelaskan pelembagaan dalam konteks politik lokal tidak terlepas dari institusi-intitusi yang membentuk politik
lokal salah satunya adalah pemerintah daerah
100
, tetapi peneliti tidak melihat ada kompleksitas analisis historis dan sosiologis yang melacak changing continuities pada tataran neoinstitutionalism dalam dinamika politik lokal di
Indonesia selain penelitian yang dilakukan oleh Nordholt Klinken [eds.], 2007 dan itu hanya sebatas pada bunga rampai serta dalam buku yang ditulis oleh Dede Mariana 2008.
Menurut peneliti, ketika permasalahan penelitian ini semakin dikerucutkan pada nagari dan pemerintahan nagari di Sumatera Barat, permasalahan tentang pembaharuan institusi nagari, memakai pendapatnya Leo
Agustino 2014: 80 tidak hanya menganalisis tentang strukturalisme seperti otonomi, good governance, dan manajemen pelayan publik tetapi, menurut Miller 2011: 22 juga dipahami dan di lihat dari faktor-faktor tatanan
kelembagaan yang bersifat regulatif, normatif dan budaya yang membentuk tindakan aktor-aktor politik ketika mereka menjadi bagian dari institusi. Ada sejumlah faktor-faktor institusional yang belum tereksplorasi, yaitu
bagaimana struktur lembaga, aturan, norma dan kebudayaan yang mempengaruhi pandangan elite lokal di nagari dan masyarakat di nagari,sehingga berujung pada konsolidasi demokrasi lokal pada nagari di Sumatera Barat. Inilah
permasalahan menurut peneliti yang menjadi pemicu konflik antara negara baca : pemerintah pusat dan provinsi serta kabupaten dengan elite lokal yang ada dalam nagari. Peneliti melihat bahwa ada anomali kekuasaan ketika
sifat otoritas negara pada akhirnya memunculkan sebuah “drama” sistem politik yang langsung diterapkan pada lembaga lokal nagari, dan semua menurut peneliti membutuhkan sebuah penelitian yang lebih mendalam. Poin
penting yang hendak peneliti kembangkan adalah model pembalikan demokrasi menuju konsolidasi demokrasi lokal pada nagari di Sumatera Barat rentang tahun 1979-2015.
Berdasarkan penjelasan di atas dengan segala kompleksitasnya cukup menarik sebenarnya dijadikan sebagai kajian dan penelitian. Permasalahan diatas kemudian dirumuskan dalam pertanyaan kunci yaitu: Bagaimana model
pembalikan demokrasi yang terjadi pada nagari di Sumatera Barat ketika faktor-faktor institusional menjadi bagian dari proses didalamnya seperti 1 struktur lembaga, 2 aturan, 3 norma dan kebudayaan pada masyarakat?.
Tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis peran neoinstitusionalisme sosiologis dilihat berdasarkan jaringan politik kultural yang membentuk aliansi politik pada lembaga-lembaga
nagari ketika berproses dalam konsolidasi demokrasi lokal.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsolidasi Demokrasi
Dari beberapa literatur yang ada, peneliti memahami para scholars yang menganalisis tentang konsolidasi demokrasi lebih melihat pada stabilisasi demokrasi ataupun deepening democracy
101
, dan sangat sedikit sekali yang membahas tentang kualitas dari demokrasi menuju ke arah konsolidasi. Seperti mendiskusikan dan
menganalisis peran norma dan budaya serta struktur masyarakat yang menjadi warna dari konsolidasi demokrasi dengan menggunakan pendekatan neoinstitusionlism. Apalagi selama dua generasi terakhir, beberapa topik dalam
100. Konsep pelembagaan institutionalization semula dikenal dalam kajian sosiologis dan institusi politik yang lain selain pemerintah daerah menurut Dede Mariana adalah DPRD, lingkungan kemasyarakatan partai politik dan kelompok kepentingan dan media
massa. 101. Deepening democracy pendalaman demokrasi menurut pendapat Asrinaldi 2014: 263-264 adalah proses lanjutan dari proses
konsolidasi demokrasi, dan ada upaya untuk memperluas keterlibatan masyarakat sebagai subjek politik dan pemerintahan. Konsolidasi demokrasi merujuk pada kesepahaman yang terkait dengan mekanisme bagaimana berdemokrasi di suatu wilayah,
sedangkan pendalaman demokrasi merujuk pada kualitas konsolidasi demokrasi yang dilaksanakan. Menariknya, Asrinaldi menekankan pendalaman demokrasi tidak saja melibatkan struktur dan prosedur berdemokrasi,tetapi lebih dari itu bagaimana
kualitas dan substansi demokrasi jdi bermakna bagi masyarakat.
579
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Politik Lokal
perbandingan politik memunculkan banyak riset dan debat dalam subjek demokratisasi dan konsolidasi demokrasi.
102
Sejumlah scholars dalam dekade terakhir ini dapat dipandang sebagai bagian dari literatur perbandingan politik yang sudah muncul sejak periode pasca perang dunia kedua, seperti Jepsen et al.,2011: 275 yang meneliti subjek
seperti “prasyarat demokrasi” dan pra kondisi tata pemerintahan demokrasi
Analisis awal yang dibuat Jepsen et al.,2011 bahwa selama 35 tahun terakhir ini ada banyak debat dari para scholars yang berusaha menjelaskan apa yang menyebabkan demokratisasi dan bagaimana pemerintahan
yang sudah demokratis dapat bertahan dalam suatu rezim. Peneliti berupaya mensintesiskan dengan mengkaji argumen-argumen utama yang telah dibuat oleh para scholars di dalam literatur akademik.
Secara umum, demokratisasi mencakup beberapa proses atau tahapan yaitu liberalisasi, transisi, instalasi dan konsolidasi, dengan adanya perluasan makna dari demokrasi akhirnya membawa topik analisis para scholars
kepada “konsolidasi demokrasi.” Menurut Singh 2014:10 ketika mendiskusikan dan menganalisis tentang konsolidasi demokrasi scholars tidak dapat mengabaikan pentingnya struktur politik di tingkat makro. Analisis ini
kemudian diperkuat dengan pendapatnya Singh 2014: 10 tentang aktor politik terutama elite politik, ternyata memainkan peranan penting dalam pembalikan demokrasi khususnya pada negara-negara demokrasi gelombang
ketiga, dan ini menjadi sebuah bukti yang kuat bahwa peranan aktor ternyata penting untuk dianalisis ketika membahas konsolidasi demokrasi.
Meskipun terjadi perbedaan pendapat tentang konsep konsolidasi demokrasi peneliti berusaha menjauhkan diri dari keberpihakan dan berusaha memberikan semacam lanskap literatur dan hasil penelitian yang menguatkan tentang
argumen konsolidasi. Richad Greene 2012:29 menyatakan “konsolidasi adalah habituation dari demokratisasi”, menariknya Samuel Valenzuela dalam karyanya yang berjudul ‘Consolidation in Post-Transitional Settings’ dalam
Richard Greene, 2012:31 menyatakan bahwa dalam konsolidasi demokrasi, lembaga demokratis bukan satu-satunya cara untuk menentukan kebijakan politik malahan realitas politik bisa didapat dan ditempa di luar institusi.
Terkait dengan habituasi dari demokrasi ternyata Schedler 1998: 91-107 menyatakan ini adalah aspek kunci dari konsolidasi, bahkan demokrasi dapat dikatakan konsolidasi ketika semua pelaku memilih untuk menghormati
aturan demokrasi sepenuhnya. Selain itu, ada pembagian antara konsepsi negatif dan positif dari konsolidasi, konsepsi negatif lebih melihat konsolidasi sebagai “pencegahan” demokrasi elektoral untuk non-demokrasi dan
konsepsi positif melihat konsolidasi akan mengamankan demokrasi dengan meningkatkan demokrasi elektoral untuk demokrasi liberal.
Berdasarkan beberapa perbandiangan dari scholars di atas, penjelasan tentang konsolidasi demokrasi lokal dengan menempatkan peran negara sebagai aktor yang mengintervensi pada nagari menjadi hal yang membedakan
dari penelitian sebelumnya dan prosedur demokrasi dan peranan lembaga lokal, sturktur dan norma merupakan bahagian penting menurut peneliti untuk diteliti ketika ingin menganalisis konsolidasi demokrasi dengan
menempatkan analisis institusi dalam proses demokratisasi kearah konsolidasi.
Selain itu, Peneliti melihat berbagai pendekatan yang digunakan oleh beberapa schoolars tentang gagasan konsolidasi demokrasi yang dibahas lebih menggarah pada dua aspek yaitu i proses transisi demokrasi untuk
konsolidasi di lihat dari electoral process; ii para scholar lebih melihat “kontinium demokrasi” dengan memperdalam analisis demokrasi liberal. Ada sebuah “celah kosong” yang belum dianalisis oleh beberapa scholars terkait dengan
konsolidasi demokrasi yaitu, proses konsolidasi demokrasi ternyata membutuhkan habituasi
103
n
orma-norma, budaya dan kelembagaan, intermediasi negara dengan masyarakat lokal, yang tercemin dalam bentuk kebijakan
yang menjadi salah satu pendekatan untuk melihat demokratisasi
102. Menyitir kajian Eric M. Jepsen dalam Ishiyama [eds.], 2011: 275-280 ranah yang paling menarik di dalam bidang debat teoritis pada perbandingan politik dan ilmu politik yaitu selama periode pasca-perang dunia II, scholars menyusun teori tentang faktor-faktor
yang menyebabkan kontinuitas demokrasi dan poin di mana suatu negara dapat disebut sebagai negara “demokrasi mapan” atau negara demokratis yang terkonsolidasi. Faktor- faktor tersebut menurut Jepsen adalah modernisasi, prasyarat ekonomi, prakondisi
sosial, waktu,sekuensi dan politik, agensi dan advokasi serta aktor eksternal.
103. Merujuk pada tulisan Dankwart Rustow dalam Leo Agustino, 2007: 146 konsolidasi demokrasi adalah pembiasaan habituation di mana norma-norma, prosedur-prosedur dan harapan harapan tentang demokrasi menjadi sedemikian terinternalisasi sehingga para aktor secara
rutin, secara mekanis mencocokan diri dengan aturan permainannya yang tertulis dan tak tertulis bahkan ketika berkonflik dan bersaing.
580
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Politik Lokal 2. Neoinstitutionalism Sosiologis dan Historis
Saat ini banyak penelitian neoinstitutionalism mengkaji pengaruh besar institusi terhadap perilaku manusia melalui aturan dan norma yang dibangun oleh institusi politik.
104
Studi terkini tentang neoinstitutionalism menurut Miller 2011: 23, Rhodes [eds.], 2006: 746-747 mulai berkembang sekitar pertengahan akhir 1990-an,
dan menjadi salah satu pendekatan yang dominan dalam bidang ilmu politik. Kajian klasik Johan P. Olsen dalam artikelnya di journal The American Political Science yang berjudul ‘Garbage Cans New Institutionalism and The Study
of Politics 2001: 95 1: 193 menegaskan bahwa institusi politik memainkan suatu peran yang lebih otonom dalam membentuk prilaku politik. Sehingga Miller [eds.], 2011: 23 menyatakan, secara garis besar gambaran
neoinstitusionalism telah mengkombinasikan minat dan perhatian scholars tradisionalis dalam mempelajari aturan- aturan dan struktur formal institusional dengan penelitian dari scholar behavioralis dalam mempelajari tindakan
aktor politik individual. Miller [eds.], 2011: 22 juga melengkapi analisisnya bahwa neoinstitutionalism berusaha mengeksplorasi bagaimana struktur, aturan, norma dan kebudayaan institusi menghambat pilihan-pilihan individu
dan tindakan individu ketika mereka menjadi bagian dari institusi politik
105
. Marsh Stoker [eds.],2002: 109 dengan tegas mempertahankan pendekatan institusional dalam studi ilmu
pemerintahan dan politik serta berusaha memisahkan unsur-unsur utama analisis institusional tradisonal. Kajian tradisional ini sering kali bersifat deskriptif dan normatif dalam menguraikan bagaimana institusi politik seharusnya
berfungsi yang diposisikan berlawanan dengan kajian empiris mengenai bagaimana sesuatu itu sebenarnya bekerja.
Ketika Johan P. Olsen menerbitkan artikelnya dengan judul “Garbage Cans New Institutionalism and The Study of Politics” 2001: 95,1: 193 dalam journal The American Political Science, menegaskan bahwa ilmuan politik
perlu menemukan kembali analisis institusional untuk memahami lebih baik perilaku para aktor politik dalam institusi politik. Dengan kata lain, mengkaji perilaku politik aktor tanpa mempelajari hambatan institusional
terhadap perilaku aktor akan memberikan pemahaman yang tidak lengkap kepada scholars yang ingin meneliti realitas politik. Sehingga Rhodes et al., 2006: 3 mengarisbawahi bahwa, mempelajari pendekatan institusi akan
memberikan kemungkinan kepada para scholars ilmu politik untuk menemukan lebih banyak kompleksitas politik.
Sebagai catatan penting dalam teori neoinstitusionalis ini diingatkan oleh Marsh Stoker 2002, ketika struktur politik membentuk perilaku politik dan terikat secara normatif dan historis, neoinstitutionalism harus
berhati hati untuk tidak menyamakan antara institusi dengan organisasi politik. Karena institusi menurut Marsh Stoker 2002: 121 adalah suatu pola perilaku yang berulang dan stabil. Ketika neoinstitutionalism terkonsentrasi
dengan kebiasaan informal dan struktur organisasional, maka kata Mars Stoker 2002: 121 perlu diberi perhatian kepada cara-cara institusi mewujudkan nilai dan relasi kekuasaan, karena neoinstitutionalism secara
metodologi lebih tertarik untuk menganalisis model teoritis tentang bagaimana institusi mempengaruhi perilaku dan bukan hanya sekedar metode deskriptif induktif untuk menghasilkan kesimpulan.
Ada tiga pilar dalam perspektif neoinstitutionalism menurut Baswedan 2007; Schmidt 2010; Turner
2011 yaitu: i pilar regulatif regulative pillar yang berkerja pada konteks aturan rule setting, monitoring, dan sanksi hal ini berkaitan dengan kapasitas untuk menegakkan aturan, serta memberikan reward and punishment
dan cara penegakannya melalui mekanisme informal folkways dan formal polisi dan pengeadilan. Meskipun ia bekerja melalui represi dan pembatasan constraint, namun disadari bahwa kelembagaan dapat memberikan
batasan sekaligus kesempatan empower terhadap aktor.
Aktor yang berada dalam konteks ini dipandang akan memaksimalkan keuntungan. Karena itulah kelembagaan ini disebut pula dengan kelembagaan regulatif regualtive institution dan kelembagaan pilihan
104. Seperti yang ditegaskan oleh R.A.W. Rhodes dalam D. Marsh and G. Stoker [eds.], 2002: 42-57, dalam R.A.W.Rhodes [eds.], 2006: 91-92, dalam Ishiyama [eds.], 2011: 22-23 sekitar pertengahan 1980-an banyak ilmuan politik mulai mempertanyakan apakah
disiplin ini harus mengabaikan perhatian tradisionalis dalam mengkaji institusi politik, karena ada kekuatiran bahwa behavioralism akan mengaburkan analisis mereka tentang institusi. Oleh karena itu, munculah apa yang disebut sebagai gerakan post- behavioralism
dalam ilmu politik, yang dirancang untuk membawa kajian institusi ini kembali ke dalam ilmu politik. Alasan yang mendasarinya adalah kajian institusi politik adalah sentral bagi identitas displin ilmu politik.
105. Miller dalam Ishiyama [eds.], 2011 menekankan bahwa neoinstitutionalism metodologi post-behavioral yang paling banyak berpengaruh pada saat sekarang ini dikalangan scholar ilmu politik.
581
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Politik Lokal
rasional rational choice instituion; ii pilar normatif normative pillar dengan tokohnya Schmidt 2010, dalam pandangan Schmidt norma akan menghasilkan preskripsi, bersifat evaluatif, dan menegaskan tanggung jawab
dalam kehidupan sosial, dan dalam pilar ini dicakup nilai value dan norma. Norma berguna untuk memberi pedoman pada aktor apa tujuannya goal dan objectives, serta bagaimana cara mencapainya. Karena itu, bagian
ini sering pula disebut dengan kelembagaan normatif normatif institution dan kelembagaan historis historical instituionalism, inilah pula yang sering disebut sebagai teori kelembagaan yang asli; iii pilar kultural-kognitif
cultural-cognitive pillar, inti dari pilar ini adalah bahwa manusia berperilaku sangat ditentukan oleh bagaimana ia memaknai meaning dunia dan lingkungannya, manusia akan mengalami sedimentasi makna dan kristalisasi
makna dalam bentuk objektif. Aktor individu dan organisasi akan mengalami proses interpretatif internal yang dibentuk oleh kerangka kultural eksternal, dalam memaknai lingkungan sebagai situation secara kolektif. Dalam
konteks ini, diyakini aktor memiliki makna yang sangat variatif, sehingga kreativitas aktor dihargai, bagian ini sering disebut dengan kelembagaan sosial social institution.
Teori kelembagaan yang diterapkan pada politik menurut Amenta dan Ramsey 2010:18 menempatkan dua bentuk analisis yang berbeda yaitu di lihat dari pengaruh lembaga atas kebijakan politik yang dibuat, serta
tindakan politik dengan bentuk varian analisis lembaga dapat menghambat pada proses politik, dan lembaga juga dapat membatasi beberapa bentuk tindakan politik. Bentuk lain dari teori kelembagaan yang lebih khas adalah
institusionalisme sosiologis, berdasarkan perspektif ini lembaga yang konstitutif akan membangun sebuah model untuk lembaga lembaga politik. Di mana sifat-sifat konstitutif lembaga akan membangkitkan kembali struktur
budaya masyarakat yang selama ini terabaikan dalam analisisnya.
Teori institusionalis sosiologis yang terpengaruh dari “komunitas epistemik”
106
pada penelitian studi kebijakan menurut Edwin Amenta Kelly M. Ramsey 2010: 16, institusionalisme sosiologis berfokus pada pencarian
legitimasi dalam organisasi politik dan cenderung berpijak pada proses imitasi kebijakan dan difusi bentuk lembaga dan kebijakan. Berdasarkan paradigma ini, Ramsey 2010 kemudian mengusulkan bahwa pendekatan
normatif dan lembaga kognitif sebagai bagian dari analisis neoinstitutionalism sosiologis merupakan sebuah basis epistemologis dalam perumusan-perumusan kebijakan politik neoinstitutionalism historis. Jadi intinya, pendekatan
sosiologis memandang aturan dan norma dan struktur institusi bukan sebagai secara rasional melekat dan didikte dengan azaz efiensi melainkan dikonstruksi secara budaya, dan bahkan praktek birokrasi sekalipun harus dijelaskan
dalam konteks budaya. Dalam pendekatan institusionalis sosiologis menurut Amenta Ramsey 2010: 20 ketika adanya turut campur negara dalam penetapan sebuah kebijakan maka akan terciptanya stabilitas politik negara.
Amenta Ramsey 2010: 21 mengatakan seringkali sulit untuk membedakan antara institusionalisme sosiologi dengan institusionalisme politik dalam sebuah riset penelitian. Alasannya menurut Miller 2011: 26
pendekatan normatif dalam mempelajari institusi politik cenderung mengaburkan garis batas antara institusi dan kebudayaan. Cabang institusionalis ini mungkin paling sedikit pengaruhnya dikalangan ilmuan politik
kontemporer meskipun banyak yang menggunakan budaya institusi dalam berbagai riset yang ada.
107
Institusionalisme historis yang dikemukan oleh Hall Taylor 1996: 938 menegaskan bahwa ada prosedur formal atau informal, norma, dan konveksi-konveksi yang terikat dalam sturktur-struktur organisasi dari politik
ataupun ekonomi politik. Menurut Hall Taylor 1996: 939; Ramsey 2010, institusionalisme historis berbeda dari institusionalism sosiologis. Scholars ini berpendapat, institusionalisme historis merupakan sebuah pendekatan
yang khas terutama dalam “penyelidikan politik”. Fokus analisis dari neoinstitutionalism historis berusaha penjelasan secara configurational proses dan keterlibatan lembaga-lembaga politik serta proses terbentuknya kebijakan
politik yang baru.
108
Dan, menurut Amenta Ramsey 2010: 22-25 penjelasan configurational mereka biasanya
106. berakar dari teori organisasi, antropologi dan kajian budaya. Aliran ini berusaha menekankan gagasan budaya institusional Miller dalam Ishiyama [eds.], 2011: 26. Sedangkan Hall Taylor 1996: 936 mengemukakan norma, struktur institusi bukan sebagai
secara rasional melekat atau didikte oleh asas-asas efisiensi, tetapi dikonstruksi secara budaya. 107. Powel
dan DiMaggo Miller dalam Ishiyama [eds.], 2011: 26 Kajian pelopor dalam bidang ini dilakukan oleh sosiolog di Universitas Stanford.
108. Meskipun institusionalisme historis memusatkan perhatian pada analisis insititusional tetapi Hall Taylor 1996: 942 jarang menganggap bahwa insititusi adalah satu-satu kekuatan kausal dalam politik. Misalnya institusionalisme historis mengakui pentingnya