756
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Demokrasi, Desentralisasi, Governance
Hal ini menyebabkan kaum tani di seluruh dunia khususnya di beberapa negara berkembang mulai sadar sehingga memberikan respon perlawanan terhadap negara dalam upaya melepaskan diri dari blokade struktural
negara. Selama puluhan tahun rakyat hanya melakukan perlawanan informal dan diam-diam. Aksi mobilisasi gerakan rakyat secara terbuka dan ekspressif masih belum teraktualisasi karena faktor represi negara yang secara
politik masih sangat kuat. Namun, fase krisis finansial, krisis pangan, energi dan lingkungan menjadi momentum bagi petani untuk melakukan penguatan peran politik petani. Dalam sebuah novel Eric Wolf, Peasan Wars of the
Twentieth Century, dampak destruktif kapitalisme terhadap komunitas petani telah menyebabkan tekanan ekologi dan ledakan jumlah penduduk serta sebuah krisis fundamental relasi kekuasaan di dalam komunitas pedesaan.
Awal abad 21, setelah tiga dekade kebijakan globalisasi ekonomi, terjadi penguatan resisten petani. Mereka yang sadar akan ancaman ini, memperlihatkan perlawanan-perlawanan mereka secara lantang ditengah-tengah
meningkatnya ketidakpastian pangan. Di beberapa negara telah muncul protes petani seperti di Eropa yang menumpahkan susu hasil ternak di ladang-ladang mereka, okupasi tanah di Amerika Tengah dan Amerika Latin,
Afrika, India dan Cina. Saat ini, organisasi-organisasi petani yang dibentuk permanen – beberapanya membangun jaringan secara internasional – memiliki struktur organisasi yang rapi, daftar anggota, aktifitas sosial hingga aktifitas
politik. Mereka terdiri dari gabungan petani kecil hingga skala menengah yang saling membangun hubungan mutualisme dan solidaritas.
6. Kasus Negara Maju
Nasib berbeda dialami oleh petani di beberapa negara maju. Di sector pertanian, di mana pertanian dan industry berintegrasi menjadi satu serta masifnya program revolusi hijau dan pelaksanaan berbagai macam
strategi pembaharuan agrarian telah menciptakan petani kapitalis baik yang berskala kecil maupun besar Araghi, 1995; McMichael, 1996 telah menguatkan posisi tawar petani. Selain itu, dampak transformasi sosio-ekonomi,
perkembangan kapitalisme, serta penguatan identitas nation-state juga memaksa petani terlibat langsung dalam politik.
Keterlibatan ini bagian dari upaya petani-petani di negara maju memperjuangkan kepentingan mereka dari meningkatnya tekanan yang dilakukan negara dan pasar. Sebagai contoh, intensitas keterlibatan petani yang
tinggal di pedesaan Eropa mengalahkan intensitas penduduk Eropa yang tinggal di perkotaan. Bisa kita katakan hampir diseluruh negara-negara Eropa, peran kelompok petani diranah politik tidak bisa diabaikan keterlibatannya
dalam memperjuangkan kepentingan politik mereka. Malahan, di beberapa negara maju pengaruh kuat petani di dalam politik telah menjadi sedikit membingungkan. Seperti yang disampaikan oleh Lipset 1971: 17 kelompok
petani di Amerika telah menunjukkan dengan sendirinya kesadaran radikal lewat perjuangan agrarian, akan tetapi bergabung dan terlibat dalam kelompok-kelompok konservatif di Amerika.
Begitu juga apa yang terjadi di Eropa. Seperti yang disampaikan Hugget, di Eropa Barat seperti Perancis, Inggris, dan Jerman – yang merupakan awal sejarah perjuangan revolusioner kaum Petani – terlihat menunjukkan
sikap politik mereka lewat partai kanan dan telah berlangsung lama Hugget, 1975. Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Michael S. Lewis-Beck di lima negara Eropa Barat menunjukkan dukungan yang besar terhadap
partai-partai yang beraliran kanan dibandingkan dengan kelas lainnya seperti kelas urban maupun kelas pekerja. Kecenderungan untuk memberikan dukungan kepada partai-partai kanan disebabkan oleh alasan partai-partai
beraliran kanan lebih mampu menjaga stabilitas dan ketertiban, serta komitmen proteksi tradisi pertanian mereka yang bercorak homogen dan individualistik.
7. Kasus Negara Berkembang
Pembangunan bagi mayoritas penduduk dunia masih tetap sebagai tujuan ideal yang mesti dicapai. Akan tetapi, kegagalan demi kegagalan dalam project pembangunan membuat tujuan yang hendak dicapai menjadi
ilusi. Hadirnya fenomena globalisasi yang melahirkan sistem keuangan pasar, komersialisasi di sector pertanian, ketentuan hak kekayaan intelektual lewat monopoli bibit, serta urbanisasi yang menghasilkan perubahan di dalam
masyarakat pedesaan telah membuat banyak petani di negara-negara dunia ketiga tersingkir dari lahannya. Di mana urbanisasi diartikan sebagai sebuah indicator kunci kematian kaum tani, sebagai sebuah tren menurunnya
757
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Demokrasi, Desentralisasi, Governance
populasi masyarakat desa dianggap juga sebagai menurunnya jumlah populasi petani. Bukan hanya tersingkir dari lahannya, petani di negara dunia ketiga juga tersingkir dari partisipasi ekonomi dan juga politik.
Soetomo 1997:4 mensimbolisasikan petani sebagai manusia yang selalu kalah. Pertama, kekalahan yang datang dari alam. Ini sesuatu yang sangat ironis bila mengingat pada awalnya kultur bercocok tanam lahir berkat
anugerah kekayaan alam. Tetapi ini bisa dipahami karena ketergantungan petani pada alam menciptakan ancaman di dalama dirinya sendiri. Kedua, terbentuknya masyarakat dan lembaga beserta sistem kekuasaan dan politik
yang ada di dalamnya. Kelembagaan tani modern misalnya, telah membuka babak baru di mana buruh tani bergantung pada majikannya, pemasaran dan penawaran pasar, bahkan harga jual produk pertaniannya selalu
terancam oleh rekayasa praktik ekonomi makro. Ketiga, ilmu pengetahuan dan teknologi yang diangankan bisa mengatasi tradisionalitas ternyata tidak juga tercapai. Justru sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi berubah
menjadi bentuk-bentuk dominasi baru yang tidak kurang menindas.
Sebagai contoh di Afrika salah satu benua yang memiliki populasi masyarakat pertanian terbesar, kebijakan pembangunan yang diterapkan menyebabkan dicabutnya subsidi pertanian dan dukungan harga, serta deregulasi
lahan. Akibatnya kebijakan industrialisasi pertanian telah membuat petani kecil tidak mampu bersaing sehingga income pertanian dan investasi dikuasai oleh kepentingan pemilik modal asing. Semakin diperparah dengan
bencana alam yang semakin membawa bencana bagi peningkatan hasil pangan. Apa yang terjadi di beberapa negara di benua Afrika adalah gambaran keseluruhan apa yang terjadi di dunia ketiga.
Akibat dari kebijakan pembangunan yang tidak berpihak kepada sektor pertanian memicu meningkatnya kemiskinan rakyat di pedesaan, sementara kebutuhan hidup semakin meningkat, pada saat yang sama terdapat
tanah perkebunan yang kurang dikelola dengan baik, apalagi tanah itu dianggap sebagai tanah hasil perjuangan leluhur yang dirampas perkebunan, semuanya itu semakin memperkuat keresahan dan kemarahan petani Mustain
1997:3. Lebih lanjut Mustain menjelaskan bahwa meluasnya peran negara dalam proses transformasi pedesaan mengakibatkan, pertama, hubungan yang kian senjang antara rakyat kaya dan miskin. Kedua, munculnya
kesadaran untuk melakukan perlawanan dalam berbagai bentuk yang sesungguhnya lebih sebagai pembelotan kultural. Ketiga, terbangunnya senjata gerakan perlawanan mengahadapi kaum kaya dan negara, sebuah senjata
khas kaum lemah yang dengan caranya sendiri sangat sesuai dengan karakteristiknya sebagai rakyat yang miskin karena tidak banyak membutuhkan koordinasi atau perencanaan.
Berdasarkan atas latar di atas mulai muncul kesadaran politik petani yang ditandai dengan dua fase gerakan petani. Fase gerakan sporadis. Pada fase ini protes atau perlawanan-perlawanan yang dilakukan petani selalu
dilakukan secara sporadic, tanpa koordinasi dan sembunyi-sembunyi. Mereka melampiaskan kemarahannya kepada orang-orang kaya dan negara yang berlangsung di era 1980-an seperti yang dijelaskan James C. Scott melalui
bukunya Weapons of the Weak : Everyday Foms of Peasant Resistance 1985. Lebih lanjut, Scott mengungkapkan begitu banyak tindakan kekerasan yang dilakukan rakyat sebagai usaha memaksa kaum elite melakukan apa yang
dianggap rakyat sebagai kewajiban mereka. Prinsipnya mendahulukan selamat merupakan sumber kekuatan moral petani dan siap melakukan perlawanan bila mereka dihadapkan pada kenyataan yang tidak memberikan
pilihan lain.
Fase kedua ditandai dengan gerakan identifikasi kepada partai politik. Pada fase ini kita bisa melihat contoh kasus yang terjadi di beberapa negara di Amerika Latin dan beberapa negara di Asia Tenggara, dan Asia Selatan.
Di Amerika Latin, pasca decade terpinggirnya petani, petani di Amerika Latin saat ini berada ditengah posisi tawar yang kuat. Bagi petani dan buruh tani persoalannya saat ini bukan lagi vis a vis langsung dengan negara akan tetapi
mulai menggunakan partai politik sebagai alat perjuangan dalam mewujudkan demokratisasi ditingkat pedesaan. Tujuannya agar dapat melindungi lahan dari penguasaan lahan oleh segelintir orang. Di Brazil, Lula menang
lewat Partai Buruhnya karena mendapat dukungan penuh dari kelompok-kelompok petani di daerah pedalaman.
Begitu juga yang terjadi di Bangladesh, kaum petani hadir sebagai kekuatan kolektif yang kuat. Mereka mulai berani menunjukkan preferensi politik mereka kepada salah satu kandidat atau memberikan dukungan
resmi kepada salah satu partai tertentu Adnan, 2007, 214 – 15. Sedangkan di Thailand, di sebuah desa di utara Thailand, petani telah terbiasa membicarakan kebijakan pemerintah, terlibat dalam pemilu, maupun bergabung
758
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Demokrasi, Desentralisasi, Governance
dalam kampanye partai politik di mana hal tersebut sudah menjadi biasa dalam kehidupan mereka. Sama halnya di pusat Thailand, petani, buruh, sopir, penjaga toko secara rutin bicara kepada saudara-saudara mereka, tetangga
maupun konsumen mereka tentang kebijakan pemerintah dan persoalan lainnya yang berkaitan dengan politik Andrew Walker, 2008:87
KESIMPULAN
Ada ketegangan permanen dalam kebijakan pertanian, diantaranya adalah keinginan untuk mempertahankan harga tinggi bagi produsen dan menjaga harga rendah untuk konsumen. Secara umum, negara-negara maju dan
negara-negara berkembang telah mencoba untuk memecahkan dilemma kebijakan ini. Negara-negara kaya telah menggunakan transfer dari konsumen melalui perlindungan perbatasan dan wajib pajak melalui pengeluaran
anggaran untuk mempertahankan harga tinggi bagi produsen. Misalnya, menurut OECD, pada tahun 1998 untuk produk dipertimbangkan dalam perhitungan tersebut, produsen di Jepang menerima harga yang setara
172 persen di atas harga dunia, Uni Eropa 83 persen, dan 28 persen Amerika Serikat McMichael, 2005.
Di antara jenis tindakan pemerintah yang dapat memfasilitasi pengembangan pertanian yang produktif dan efisien adalah sebagai berikut: a pemerintah dapat menyediakan kerangka kerja untuk memilih dan
memberdayakan lahan petani yang efisien, seperti di Taiwan, “b pemerintah dapat menjamin harga tinggi dan stabil untuk komoditas, seperti di Amerika Serikat membantu kepemilikan lahan yang luas dan selanjutnya
memodernisasi teknologi mereka; c investasi publik dalam penelitian dan penyuluhan pendidikan pertanian dapat menghasilkan keuntungan besar dalam produktivitas d sebagian besar pemerintah yang mensponsori atau
membuat infrastruktur untuk pemasaran, transportasi, penyimpanan, air, listrik dan kredit, yang merupakan prasyarat virtual untuk modernisasi pertanian. Namun, kebijakan pemerintah tidak dapat dipastikan menghasilkan
pertumbuhan. Memang tidak adanya pertumbuhan produktivitas di beberapa sistem telah dikaitkan dengan kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, Eropa Timur terbebani dengan kolektivisasi dan berikutnya kebijakan
yang mengakibatkan pertumbuhan menjadi negatif McMichael, 1999. Di benua Amerika Selatan, kekurangan makanan karena sebagian kebijakan pemerintah yang mengabaikan pembangunan pertanian menjadi momentum
kebangkitan gerakan petani Araghi, 1995.
Di luar angka-angka yang dtunjukkan dalam statistic pertanian selama ini, misalnya fluktuasi ekspor-impor, pertumbuhan negatif, dan penurunan produktifitas, sesungguhnya sector pertanian mengalami kemunduran.
Masalah-masalah serius yang menggelayut di sector pertanian semakin menumpuk, di antaranya kepemilikan lahan yang kian mengecil, akses terhadap input yang semakin mahal, biaya transaksi yang terus melambung, dan
kelembagaan ekonomi yang tidak pernah berpihak kepada petani Ahmad, 2003.
Kegagalan membangun harmonisasi antara negara dan petani di dasari oleh tiga faktor yang dimana Soetomo menyebutkan petani selalu dalam posisi yang kalah. Pertama, kekalahan yang datang dari alam. Ini sesuatu yang
ironis bila mengingat pada awalnya kultur bercocok tanam lahir berkat anugerah kekayaan alam. Tetapi ini bisa pula dipahami karena ketergantungan petani pada alam menciptakan ancaman itu sendiri. Kedua, terbentuknya
masyarakat dan lembaga beserta sistem kekuasaan dan politik yang ada didalamnya. Kelembagaan tani modern misalnya, telah membuka babak baru di mana buruh tani bergantung pada majikannya, pemasaran produksi
pertaniandi bawah hukum permintaan dan penawaran pasar, bahkan harga jual produk pertaniannya selalu terancam oleh rekayasa praktik ekonomi makro. Ketiga, ilmu pengetahuan dan teknologi yang diangankan bisa
mengatasi tradisionalitas ternyata juga tidak tercapai. Justru sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi berubah menjadi bentuk-bentuk dominasi baru yang tidak kurang menindas Soetomo, 1997.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, S. 2007. Departures from everyday resistance and flexible strategies of domination: the making and unmaking of a poor peasant mobilisation in Bangladesh. Journal of Agrarian Change, 72, 183–224.
Aileen, Kwa. 2001. Agriculture in Developing Countries: Which Way Forward? South Centre.