798
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Pemilu dan Parlemen
KESIMPULAN DAN SARAN
Masa kampanye bagi sebagian konstestan Pemilihan Kepada Daerah merupakan tahapan yang penting yang harus dioptimalkan dalam mengisinya. Ketidak berfungsian mesin partai politik dalam mengedukasi dan
mendekatkan diri dengan masyarakat selama ini membuat masa kampanye dijadikan sebagai shortcut untuk mempengaruhi perilaku memilih, sehingga berbagai carapun ditempuh pada masa ini, termasuk menggunakan
uang sebagai daya tarik paling efektif.
Agar masa kampanye menjadi sarana yang efektif untuk mempengaruhi perilaku memilih masyarakat, masa kampanye harus diisi dengan hal-hal yang subtantif, menjadi media bagi para kontestan untuk saling beradu visi
misi, program dan kreatifitas, bukan sekedar mempengaruhi pemilih dengan rayuan materi dan nominal uang, maka harus ada aturan main yang jelas, memfasilitasi secara adil dan bersifat memaksa untuk dilaksanakan.
Aturan hukum dana kampanye pemilihan Kepala Daerah diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 dalam aplikasi nya dilapangan masih ditemukan beberapa celah yang harus terus disempurnakan antara lain:
1. Kontestan perlu diedukasi tentang urgensi dana kampanye yang transparan dan akuntabel, serta perlu diback-up oleh Sumber Daya Manusia yang paham dan mampu untuk melaksanakan tatakelola keuangan
kampanye secara baik dan benar, sehingga menjadi gambaran kemampuan kontestan dalam mengelola sumber daya daerah pada masa yang akan datang jika terpilih nantinya.
2. Diperlukan mekanisme pengaturan lebih rinci tentang pembatasan sumber dana kampanye yang berasal dari pendanaan calonkontestan sendiri, agar tidak menjadi celah untuk masuknya dana-dana titipan yang tidak
bertanggungjawab. Termasuk mekanisme untuk membandingkan dengan harta kekayaan yang dimiliki, hal ini bisa dilakukan dengan melibatkan PPATK melalui penelusuran Laporan Harta Kekayaan calon.
3. Perlu dikaji ulang metode pembatasan jumlah pengeluaran dana kampanye agar mendapatkan jumlah yang mampu mengakomodir azas efektif dan efisien, termasuk memperhitungkan mekanisme kampanye yang
sudah difasilitasi APBD. 4. Untuk memperbaiki kekurangan kualitas dan kedalaman laporan Dana Kampanye oleh calonkonstestan, bisa
dilakukan dengan memperpendek periodesasi laporan dana kampanye salah satunya dengan berkala setiap bulan, disatu sisi hal ini dapat membantu pasangan calon dalam menyusun laporan lengkap atau akhir. Sebab, dalam
proses penyusunan dan penyampaian laporan berkala, pasangan calon akan dipaksa belajar dan berlatih dalam menyempurnakan laporan, sehingga secara tidak langsung akan mampu membuat laporan akhir sesuai dengan aturan.
5. Untuk memperkuat model transparansi diperlukan badan khusus yang diberi kewenangan untuk menindaklanjuti laporan masyarakat, yang masuk dan bekerja tidak dibatasi waktu adhoc, bisa saja dari KPU,
Bawaslu atau ada badanfungsi khusus yang fokus untuk masalah ini. Berkaca kepada negara lain contohnya USA, permasalahan yang timbul dari dana kampanye bisa dilaporkan kapan saja sepanjang masa, tidak
terbatas selama masa kampanyePemilu. Hal ini diperlukan karena untuk penelurusan Dana Kampanye akan membutuhkan waktu yang panjang, sementara waktu kampanye hingga pasangan calon terpilih ditetapkan
itu cukup pendek.
6. Pengaturan Dana Kampanye perlu diawasi oleh semua stakeholder pemilihan, penggunaan media internet untuk media transparansi diharapkan akan memberikan banyak daya ungkit untuk menciptakan Dana
Kampanye Pilkada yang transparan dan akuntabel. Dengan anggaran yang terbatas, optimalisasi penggunaan web dan media KPU pada seluruh tingkatan untuk mempublis laporan dana kampanye dan laporan hasil
audit dana kampanye adalah hal mutlak yang harus dilakukan.
7. Bentuk pengawasan mengenai dana kampanye harus diperketat guna menjamin akuntabilitas laporan yang telah dilaporkan oleh parpol peserta pemilu. Dimana jika ada laporan yang masuk menemui suatu kejanggalan,
mekanisme pelaporannya harus lebih dipermudah guna memproses laporan kejanggalan tersebut. Dengan prosedur pelaporan yang dibuat lebih mudah, badan khusus pengawasan Dana Kampanye ini bisa diberi
kewenangan untuk melakukan audit investigasi ataupun audit faktual jika dibutuhkan, termasuk tentang jadwal pengaduan dan pemprosesan yang tidak terbatas hanya pada masa pemilu yang pendek.
799
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Pemilu dan Parlemen
8. Kontestan Partai politik dengan tata kelola dana kampanye yang buruk hampir pasti akan gagal dalam mengelola negara dan pemerintahan. Oleh karena itu, sanksi-sanksi terhadap pelanggaran peraturan dana
kampanye harus ditegakkan. Sanksinya tidak harus berupa hukuman pidana atau denda, tetapi juga sanksi adminstrasi. Sanksi pidana hanya mengenai pengurus partai politik, calon atau anggota tim kampanye;
sedangkan sanksi administrasi sangat efektif mengenai partai politik sebagai organisasi dan orang yang berhasrat menjadi calon anggota legislatif dan calon pejabat eksekutif. Misalnya sanksi tidak bisa mengikuti pemilu bagi
partai politik dan calon yang tidak membuka daftar penyumbang dan membuat laporan dana kampanye, akan memaksa partai politik dan calon membuat daftar penyumbang dan laporan dana kampanye. Sebab jika
tidak, mereka tidak bisa mengikuti pemilu berikutnya
DAFTAR PUSTAKA
Didik Supriyanto, Topo Santoso, Aswanto, Veri Junaidi dan Rosalita Chandra. 2011. “Menata Kembali Pengaturan Pemilukada”. Jakarta: Perludem,
Didik Supriyanto Editor, Lia Wulandari, Armanda Pransiska, Dan Catherine Natalia. 2015. “Dana Kampanye Pilkada: Pengaturan Teknis Tentang Sumbangan, Pengeluaran, Dan Pelaporan Berdasarkan UU No 12015
Juncto Uu No 82015”. Jakarta: Perludem. Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK. 2016. Studi Potensi Benturan Kepentingan dalam Pendanaan
Pilkada, Jakarta: KPK International Institute for Democracy and Electoral Asistence IDEA. 2002. “Standar-standar Internasional
Pemilihan Umum: Pedoman Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu”. Jakarta: International IDEA. Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat JPPR,. 2015. “Persoalan Dana Kampanye 2015, hasil pemantauan
dana kampanye kepada 27 pasangan calon di 9 daerah Pilkada. Jakarta. KD Edwing and Samuel Issachardoff eds. 2006. “Party Funding and Campaign Financing in International
Perspektive”, Oregon: Hart Publishing. Pramono Anung Wibowo. 2013. “Mahalnya Demokrasi, Memudarnya Ideologi: Potret Komunikasi Politik
Legislator”, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto, dan Topo Santoso. 2008. Perekayasaan Sistem Pemilu untuk Tata Politik
Demokratis, Partnershif for Governance Reform Indonesia, Jakarta, Seknas Fitra.. 2011. Naskah Rekomendasi: Kebijakan Anggaran Pemilihan Umum Kepala Daerah, Efisien dan
Demokratis. Jakarta: Seknas Fitra Terabaikan. Jurnal Pemilu Demokrasi, edisi 3: 2012
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang Undang.
Bahan Bimtek Pelaporan Dana Kampanye Pemilihan Kepala Daerah oleh KPU http:www.beritasatu.comnasional322745-jppr-temukan-pelanggaran-sumbangan-dana-kampanye-di-9-
daerah.html
800
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Pemilu dan Parlemen
AKUNTABILITAS POLITIK MASYARAKAT KOTA PADANG TERHADAP PEMILU LEGISLATIF 2014
Andri Rusta
Jurusan Ilmu Politik, FISIP, Universitas Andalas. E-mail : andri.rustagmail.com
A b s t r a k
Akuntabilitas pemilu dapat diukur dari berbagai aspek, baik itu dari aspek penyelenggara, kandidat maupun pemilih. Dari aspek pemilih, salah satunya adalah bagaimana respon masyarakat terhadap hasil pemilu tersebut dan apakah
janji-janji politik yang disampaikan oleh kandidat diimplementasikan dalam bentuk program dan kebijakan. Artikel ini menjelaskan bagaimana penilaian masyarakat terhadap hasil pemilu 2014, apakah masyarakat menganggap bahwa
hasil tersebut telah memuaskan mereka, kemudian juga akan dilihat bagaimana interaksi antara masyarakat pemilih dengan kandidat setelah pemilu 2014. Dengan menggunakan metode kuantitatif survey, penelitian dilakukan di Kota
Padang dengan mewawancarai 289 orang responden yang dipilih secara multistage sampling, responden tersebar di 11 kecamatan di Kota Padang. Hasil menunjukkan bahwa 77 pemilih menganggap bahwa anggota legislatif hasil pemilu
2014 belum menjalankan tugasnya dengan baik dan profesional, kemudian 59 masyarakat menganggap adalah suatu hal yang baik apabila pemilih meminta bantuan keuangan kepada anggota dewan terpilih. Sebanyak 21 responden
memiliki saudarateman yang mencalonkan diri menjadi anggota dewan, dan ketika setelah pemilu 51 diantaranya Meminta bantuan pada anggota Dewan dalam bentuk uangbarangfasilitas tertentu untuk keperluan organisasi. Hal
menarik lainnya adalah ternyata 95,16 masyarakat tidak akan memilih kembali anggota dewan yang mereka anggap tidak berprestasi. Walaupun hanya 40 responden yang memantau kinerja anggota dewan terpilih.
Kata kunci: Akuntabilitas Politik, Pemilu 2014, Interaksi Pemilih, Kota Padang.
PENDAHULUAN
Partisipasi dalam pemilu yang kuat dipahami sebagai komponen yang paling penting dalam demokrasi yang sehat, inheren dan untuk meyakinkan kesamaan dalam representasi. Tapi, voter turnout dalam demokrasi yang sudah stabil
cenderung untuk semakin berkurang dalam beberapa dekade terakhir. Hari ini, pemilu dalam negara kurang diminati dan hanya setengah dari populasi yang melakukan pencoblosan, meningkatkan kekhawatiran terhadap keterwakilan
dari kandidat terpilih dan kebijakan publik, dan secara keseluruhan legitimasi dan stabilitas dalam regime demokrasi. Pendidikan dan pendapatan, yang biasanya selalu berhubungan positif dengan tingkat partisipasi individu, secara terus
menerus mengalami penurunan, membuat trend ini sulit untuk dijelaskan. Kemungkinan adalah iklan ekonomi, turunnya usia pemilih, berkurangnya kompetitivitas elektoral, dan perubahan nilai dan tindakan.
36
Untuk Sumatera Barat, dalam tiga periode pemilihan umum terakhir terlihat semakin drastisnya penurunan angka partisipasi tersebut. pada pemilihan umum tahun 2009 angka partisipasi politik di Sumatera Barat masih
mencapai angka 70 , dan angka ini menurun pada tahun 2014 yang hanya mencapai 56. Pada pemilihan kepala daerah, angka ini juga menurun secara signifikan. Pada pemilihan kepala daerah provinsi Sumatera Barat
tahun 2010, angka partisipasi masih menyentuh angka 65 , pada tahun 2013-2014 saat pemilihan walikota Padang angka ini menurun drastis menjadi hanya 57 dan 53, dan pada pemilihan kepala daerah Provinsi
Sumatera Barat, khusus di Kota Padang angka partisipasinya turun menjadi 53.
Pada pemilihan legislatif tahun 2014, fenomena lain yang ditemui adalah bertumbangnya petahana dan memunculkan muka-muka baru di lembaga legislatif. Untuk pemilihan DPR RI, dari 14 anggota legislatif yang
terpilih dari daerah pemilihan Sumatera Barat hanya ada 30 wajah lama petahana dan 70 lainnya adalah wajah baru. Begitu juga dengan DPRD Provinsi Sumatera Barat, dari 55 orang anggota DPRD yang terpilih
sebanyak 60 adalah wajah baru. Hal ini tidak jauh berbeda dengan DPRD Kota Padang yang hampir 60 nya didominasi oleh wajah baru.
Apakah hal yang bagus untuk mengganti legislator petahana pada pemilihan umum? Jawabannya bisa “ya” atau “tidak”. Bahkan seorang legislator petahana yang sangat kuatpun dapat diganti dengan legislator baru dalam
36. Lihat Blais dan Rubenson 2013 untuk review tentang penjelasan turunnya voter turnout dalam nilai dan perilaku.
801
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Pemilu dan Parlemen
sebuah pemilihan umum yang kompetitif. Pemilihan umum yang kompetitif membuat hubungan akuntabilitas formal antara pembuat kebijakan dan pemilih - reward and punishment dapat terjadi pada hari pelaksanaan pemilu.
Prinsip mekanisme akuntabilitas politik dalam negara demokratis adalah berusaha untuk mengontrol resiko yang berhubungan dengan peran politisi terhadap warga negara. Pemilu yang reguler menyediakan mekanisme
akuntabilitas dengan mengizinkan warganegara untuk memilih apakah akan memperpanjang pemerintahan atau tidak. Tantangan kehilangan jabatan di pemerintahan menjadi lebih responsif tergantung keinginan dan kebutuhan
para pemilih. Jika diasumsikan bahwa pemerintah ingin kembali menjabat, maka mereka akan bekerja untuk mengantisipasi harapan prospective dan hukuman retrospective dari pemilih untuk menang kembali. Pemilih
kemudian menggunakan suaranya untuk memilih pemerintahan yang lebih baik dan untuk menstrukturkan petahana agar berperilaku baik saat menjabat. Dalam pandangan ini, pemilu menjadi sanksi untuk legislator
terpilih untuk melakukan apa yang diinginkan oleh pemilih.
Pemilu melahirkan pemimpin untuk mengemban amanah dan mensejahterahkan masyarakatnya dan juga menjadi saringan terhadap politisi-politisi berdasarkan preferensi tertentu dari pemilih, termasuk integritasnya. Masih
banyaknya kasus-kasus korupsi yang melibatkan politisi di eksekutif dan legislatif dapat menjadi indikasi bahwa pemilu merupakan salah satu wilayah yang masih perlu mendapatkan perhatian lebih dalam karena tidak mampu menghasilkan
pemilih yang berintegritas. Upaya-upaya meningkatkan integritas dalam pemilu baik dari sisi penyelenggara, peserta maupun pemilih harus terus dilakukan demi munculnya sosok-sosok pemimpin dan politisi yang berintegritas.
Pemilu lebih dimaknai sebagai proses bagaimana kandidat memenangkan kontestasi tanpa memperdulikan tujuan dari pemilu itu sendiri. Mungkin pandangan Harold Laswell
37
secara sederhana yang memaknai politik sebagai proses siapa, mendapatkan apa, kapan dan bagaimana sangat tepat dalam kasus ini. Dalam beberapa
hal, Laswell hendak menjelaskan bahwa, politik adalah satu alur panjang kontestasi kepentingan antara berbagai elemen dalam kurun waktu tertentu. Pemaknaan itu memberi konskuensi logis tentang kemungkinan adanya
proses adu daya tawar antara pemilih dan calon pemimpin, baik yang berada di lembaga eksekutif atau legislatif dalam setiap ritus pemilu.
Penelitian ini memfokuskan diri pada upaya untuk mencari informasi mengenai akuntabilitas dari sisi pemilih setelah pemilihan umum dilangsungkan. Keterkaitan antara akuntabilitas dan integritas pemilihan umum sangat
berhubungan dengan terciptanya pemilihan umum yang jujur, adil dan berintegritas. Persoalan yang hendak dijadikan fokus penelitian ini meliputi, yaitu:
1. Bagaimanakah bentuk dan variasi interaksi pemilih dan kandidat setelah pemilihan umum dilaksanakan ? 2. Bagaimana karakter pemilih yang memiliki interaksi dengan legislator pada pemilihan umum?
3. Bagaimana pola interaksi yang terjadi antara pemilih dan legislator ?
TINJAUAN PUSTAKA
Berbagai studi yang menunjukkan dampak interaksi politisi dengan pemilih masih sangat minim diberbagai negara. Hanya terdapat beberapa riset yang membahas mengenai ini, seperti Wantchekon 2003, yang
menampilkan beberapa desa di Benin pada pertemuan dengan kandidat Presiden menunjukkan clientalisme vs platform kebijakan publik dan menemukan kandidat yang meraih dukungan luas dari pemilih. Mirip dengan
hal tersebut dua experiment yang melibatkan interaksi antara kandidat dan pemilih seperti Arceneaux 2007 yang tidak menemukan efek signifikan dari pertemuan door-to-door oleh kandidat terhadap voter turnout dan
Barton et al. 2014 menemukan efek negatif terhadap luaran penelitiannya. Kedua studi menunjukkan dampak substantif pada dukungan pemilih. Hasil ini menggunakan metode survey melalui telpon. Sebagai hasil, jawaban
sangat rendah sekitar 25 dan 15 persen dan jawaban mungkin banyak salah jawab, termasuk berlebihan jawaban untuk kandidat yang menang contoh, Wright, 1993; Atkeson, 1999; Campbell, 2010. Fokus utama adalah
bagaimana responden memilih dan salah memberikan jawaban antara uji coba dan kontrol individu Bailey et al., 2014; Cardy, 2005; Gelman et al., 2015.
37. Harold Lasswell, 1971, Politics: Who gets what, when, how, New York, The World Publication Comp.
802
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Pemilu dan Parlemen
Teori yang peneliti gunakan untuk menjelaskan perspektif peneliti dalam menggali dan membentuk konsep dalam menjelaskan akuntabilitas politik dalam pemilihan umum.
1. Definisi Akuntabilitas dalam Politik
Akuntabilitas pada awalnya adalah hubungan antara dua aktor sebenarnya, mereka tidak berkaitan dengan individu, tapi organisasi dimana satu pihak menginformasikan pihak lain, menjelaskan atau menjustifikasi
tindakannya dan menerapkan sanksi yang berdampak kemudian. Sementara itu, pihakyang menjadi subyek perintah, harus menyediakan informasi yang dibutuhkan, mnenjelaskan bagaimana mereka mematuhi atau tidak
mematuhi perintah dan menerima konsekuensi terhadap apa yang mereka lakukan atau tidak lakukan. Secara singkat, ketika bekerja, akuntabilitas berkaitan dengan pertukaran tanggung jawab yang menguntungkan dan
sanksi yang potensial antara pemerintah dan masyarakat, membuatnya menjadi lebih rumit dengan fakta bahwa antara keduanya biasanya ada keterwakilan yang sangat variatif dan kompetitif.
Subyek yang terkait dengan akuntabilitas sangat berfariasi: perilaku etis, anggaran, tindakan sosial, hubungan seksual, interdependensi fungsi, tanggung jawab keluarga, pekerjaan patriot, dll. Tapi tipe yang akan dibahas adalah
akuntabilitas politik, diantaranya dapat berupa kekuasaan yang tidak simetris. Dengan kata lain, semua frase diatas dapat menjadi persamaan politik dalam bentuk janji dan bayaran, tapi inti pertanyaan terhadap hal teori demokrasi
adalah bagaimana cara menjinakkan dan mengeksploitasi kekuasaan koersi dalam institusi tertentu, terutama institusi permanen dalam regime yang memonopoli kekuasaan terhadap populasi dan teritorial, seperti negara modern.
Semua regime politik yang stabil memiliki bentuk akuntabilitas tertentu terhadap konsituennya. Autoritarian sultan memiliki kader dan klik. Diktator militer memiliki junta dan pengaturan yang kompleks untuk
menyelesaikan konflik diantara tentara. Bahkan monarki absolut memiliki akuntabilitas terhadap Tuhan-selain kepada dinasti awal dan hubungan pernikahan. Apa yang demokrasi miliki yang disebut sebagai warga negara –
konstituen yang berada dalam keseluruhan negara dan memiliki populasi sebagai orang dewasa – minus penduduk asing, narapidana, orang gila. Lebih lanjut, makna akuntabilitas politik, setiap warga negara memiliki hak dan
tanggung jawab yang sama, seperti diinformasikan tentang tindakan yang akan dilakukan, mendengar justifikasi terhadap mereka dan untuk membuat penghakiman terhadap apa yang mereka lakukan. Apa yang membuat peran
mereka lebih kompleks adalah mereka harus lebih bertanggung jawab terhadap representasi tertentu, seperti agen yang berubah menjadi kepala ketika mereka meyakinkan akuntabilitas terhadap orang yang ditunjuk atau dipilih.
2. Akuntabilitas Politik dalam Pemilihan Umum
Secara teoritis, akuntabilitas dalam pemilihan umum paling tidak memuat dua komponen: pemilih yang memutuskan apakah akan mempertahankan atau membuang petahana, paling tidak berdasarkan penampilannya,
dan petahana yang memiliki peluang untuk mengantisipasi respon dari keputusan pemilih. Banyak tinjauan teoritis yang mengadopsi kerangka simpel dengan dua periode pembuatan keputusan sebagai jalur tersimpel dalam kedua
komponen ini. Pada periode pertama, petahana dalam sebuah kantor, dan apakah tindakan yang dilakukannya. Tindakan ini berdampak pada penampilan yang diobservasi oleh pemilih, yang kemudian memutuskan apakah
akan memilih kembali petahana tersebut atau menggantinya dengan kandidat lain. Siapapun kandidat yang menang dalam pemilihan kemudian memilih tindakan dalam periode kedua pembuatan keputusan. Lingkungan
kedua pembuatan keputusan adalah sama dalam hal tindakan yang tersedia bagi politisi. Tapi mereka berbeda bahwa tidak ada pemilihan setelah periode kedua-, yang lalu mengakhiri tindakan politisi.
Pandangan akuntabilitas dalam pemilu bermakna :
Elections serve to hold governments responsible for the results of their past actions. Because they anticipate the judgment of voters, governments are induced to choose policies that in their judgment will be positively evaluated by citizens at the time of the next election.
Agar pemilu bertindak sebagai mekanisme akuntabilitas yang efektif, pemilh harus punya keinginan untuk memberikan sanksi kepada petahana dengan melihat penampilan mereka pada masa lalu dan menghukum
pemerintahan yang jelek dengan tidak mendukung mereka lagi. Ketika pemilih memiliki sedikit insentif atau motivasi untuk memindahkan dukungan politik mereka ke tempat lain, pemilu kehilangan sanksi menghukum.
803
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Pemilu dan Parlemen
Dengan kata lain, seharusnya ada yang disebut sebagai “electoral market” untuk membuat seleksi diantara partai politik yang tersedia. Pemilih harus lebih tertarik dan informatif terhadap politik dan mampu menunjukkan
dukungan mereka berdasarkan evaluasi terhadap petahana. Jenis pemilih ini biasanya “bebas” dari loyalis partisan dan tertarik pada politik, atau “cognitively mobilised”
3. Mencari Mekanisme Politik Untuk Memastikan Akuntabilitas
Jawaban ortodox, seperti yang sering dilihat, adalah cukup simpel, sehingga banyak teoritis demokrasi menganggapnya sebagai tidak bermasalah: “melaksanakan pemilu yang bebas, adil dan rutin”. Dengan kata lain,
banyak ahli biasanya tidak terlalu naif untuk percaya bahwa rutin pemilu dilaksanakan dan tabulasi yang jujur terhadap hasil pemilu adalah cukup. Robert Dahl dalam komponen polyarchi atau, sering disebut, “real-existing
democracy”, menambahkan prosedur berikut: 1. Semua orang dewasa memiliki hak untuk memilih dalam pemilu;
2. Semua orang dewasa memiliki hak untuk maju sebagai kandidat dalam pemilu; 3. Warga negara memiliki hak untuk menyampaikan sikap mereka tanpa ada bahaya terhadap hukuman dalam
konsep politik yang lebih luas; 4. Warga negara memiliki hak untuk mencari sumber informasi alternatif. Lebih lanjut, sumber informasi
alternatif ada dan dilindungi hukum; ddan 5. Warga negara juga memiliki hak untuk membuat organisasi atau asosiasi independen, termasuk partai politik
dan kelompok kepentingan independent.
38
METODE PENELITIAN
1. Tipe dan Jenis Penelitian
Dalam mengamati, mengumpulkan informasi dan menyajikan analisis penelitian maka sangat diperlukan pendekatan penelitian. Pendekatan pada penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan desain
penelitian survei. Dengan pendekatan kuantitatif, diperoleh data-data empirik yang memungkinkan untuk melihat kecedrungan umum yang melatarbelakangi akuntabilitas politik masyarakat Kota Padang pada pemilu legislatif
2014 melalui penganalisaan data-data dan angka.
39
Dalam penelitian ini peneliti diwajibkan harus mengukur pilihan politik masyarakat yang beraneka ragam, agar variabel – variabel yang digunakan dapat digeneralisasaikan,
sehingga penelitian ini cocok menggunakan metode kuantitatif. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian survei. Dalam hal ini, penelitian
survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok.
40
Hal ini dikarenakan jenis penelitian ini mampu menjelaskan perilaku memilih dengan proses pengumpulan data yang lebih efisien dari sampel atau sebagaian populasi namun tetap mampu
menggambarkan sifat-sifat populasi dalam penelitian ini. Sedangkan tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian penelitian penjelasan explanatory
research, yaitu untuk menjelaskan hubungan kausal dan pengujian hipotesa.
41
Hal ini dikarenakan peneliti ingin menjelaskan hubungan kausal atau sebab antara variabel-variabel perilaku memilih melalui pengujian hipotesis.
Sedangkan berdasarkan dimensi waktu, jenis penelitian ini adalah penelitian Cross-Sectional yaitu penelitian ini hanya digunakan dalam waktu tertentu, dan tidak dilakukan penelitian lain diwaktu yang berbeda untuk
diperbandingkan.
42
38. Robert Dahl, Dillemas of Pluralist Democracy, New Haven, Yale University Press, 1982, halaman 11 39. Masri Singarimbun Sofyan Efendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta : LP3S, 1995, hlm. 3.
40. Ibid., 41. Bambang Prasetyo dan Lina Miftahul Jannah, 2010, Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, hlm. 45. 42. Masri, Ibid., hlm. 5.
804
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Pemilu dan Parlemen 2. Populasi dan Sampel
Populasi sasaran target population dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang ada di Kota Padang. Sedangkan populasi sampel sampling population dalam penelitian ini adalah masyarakat Kota Padang yang
memperoleh hak pilih dan menggunakan hak pilihnya pada Pemilu legislatif tahun 2014. Selanjutnya, sampel adalah sebagian anggota populasi yang diambil menurut prosedur tertentu sehingga
dapat mewakili populasinya.
43
Sehubungan dengan banyaknya populasi, maka untuk memudahkan peneliti dilakukan penarikanpengambilan sampel. Dalam hal ini, teknik atau metode pengambilan sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode pengambilan sampel bertahap multi stage sampling, yaitu metode yang digunakan jika pengambilan sampelnya dilaksanakan dalam dua tahap atau lebih sesuai dengan kebutuhan.
Dalam metode pengambilan sampel bertahap ini pada tiap tahap pengambilan sampelnya dapat menggunakan metode pengambilan sampel yang sama ataupun berbeda. Bahkan kombinasi antara probality sampling dan non
probality sampling juga dimungkinkan.
44
Metode tahap pertama yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling dan tahap kedua adalah random sampling.
Dalam penelitian ini, teknik atau cara-cara pengambilan sampel adalah sebagai berikut : 1. Kota Padang terdiri dari 11 Kecamatan. Dengan metode purposive sampling sesuai dengan latar belakang
penelitian, diambil 11 Kecamatan Lihat Tabel 3.1, 2. Kemudian dari 11 Kecamatan tersebut, dengan metode simple random sampling dengan menggunakan fasilitas
angka acak yang tersedia pada kalkulatorkomputer,
45
dipilih 30
46
dari total Kelurahan dari masing-masing Kecamatan
3. Selanjutnya, dari Kelurahan yang terpilih tersebut, dipilih secara acak sederhana dengan menggunakan angka acak yang tersedia dari komputer,
47
dengan 10 total TPS dari masing-masing Kelurahan. Lebih lanjut dijelaskan pada tabel 1 berikut :
Tabel 1 Rincian Sebaran Sampel Responden
No Kecamatan
Populasi Sampel
1 Bungus Teluk Kabung
17.945 8
2 Koto Tangah
123.878 59
3 Kuranji
105.403 50
4 Lubuk Begalung
74.823 35
5 Lubuk Kilangan
34.853 16
6 Nanggalo
43.529 21
7 Padang Barat
34.211 16
8 Padang Selatan
42.395 20
9 Padang Timur
56.295 27
10 Padang Utara 39.730
19 11 Pauh
37.823 18
Jumlah 610.885
289
ANALISIS DATA
43. Ibid., hlm. 2. 44. Ibid., hlm. 98.
45. Ibid., hlm. 47. Lihat Lampiran 46. Perbandingan besarnya satuan elementer dalam tiap-tiap stratum satuan-satuan dari tiap lapisan ialah dengan perbandingan 30:10:1
dalam pengambilan sampel. Jika perbandingan ini tidak mewakili maka, peneliti dapat menentukan sendiri perbandingan yang dilakukan. Dalam hal ini peneliti menggunakan perbandingan 30:10:1., Masri Singarimbun Sofyan Efendi, Metode Penelitian
Survai, Jakarta:LP3ES, 1995, hal 163-164
47. Lihat Lampiran
805
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Pemilu dan Parlemen
Analisis data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.
48
Dalam penelitian ini, analisis data yang digunakan adalah analisis data kuantitatif menggunakan analisis atau proses statistik. Hal ini dikarenakan fungsi pokok statistik adalah menyederhanakan data penelitian
yang amat besar jumlahnya menjadi informasi yang lebih sederhana dan lebih mudah untuk dipahami. Untuk menganalisa data maka ada tahapan dalam menganalisis data kuantitatif. Proses awal menganalisa data
dilakukan dengan menyusun secara sistematis data mentah ada dalam kuisioner dengan kode angka yang telah dibuat dan dilanjutkan pemindahan data tersebut ke komputer serta membuat tabel frekuensi dan tabel silang
dengan menggunakan analisis statistik dengan program komputer “Statistick Package For Social sience 22.0” atau SPSS 22.0. Hal ini dikarenakan program komputer SPSS 22.0 telah menjadi alat bantu yang lazim digunakan
oleh peneliti untuk memudahkan dalam melakukan proses analisis data kuantitatif atau statistik.
Dalam hal ini, proses penganalisisan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis data kuantitatif atau analisis statistik dalam bentuk analisis tabulasi silang atau teknik elaborasi yang mana metode
ini merupakan metode analisa yang paling sederhana tetapi memiliki daya menerangkan yang cukup kuat untuk menjelaskan hubungan antar variabel.
49
Selain itu, jenis statistik yang digunakan untuk menganalisis data menggunakan jenis statistik deskriptif yaitu tabel frekuensi dan tabulasi silang.
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Karakteristik usia responden dalam penelitian ini terdiri dari 17 yang berusia diantara 17-21 tahun, sebanyak 45 lainnya berusia antara 21 – 40 tahun, dan 38 responden berusia 40 tahun. Jika dibandingkan
dengan data BPS Kota Padang tahun 2014, maka terlihat bahwa sebaran responden cukup memenuhi kriteria usia responden yang sebenarnya di Kota Padang. Sebaran yang tidak terlalu mendekati data BPS ini pada dasarnya
dikarenakan metode pemilihan responden yang tidak dilakukan secara terlalu terstruktur, sehingga pengkriterian jumlah responden hanya pada rentang usia dan berdasarkan peluang menemui responden yang dilakukan oleh
enumerator
Grafik 1 Usia Responden
17
45 38
17-21 tahun 21 us ia= 40 tahun
40 tahun
Sebaran karakteritisik tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini terdiri dari ≤SMP 21,22, SMA+Diploma 63,67, dan ≥S1 15,22. Rata-rata penduduk menamatkan pendidikan menengah hampir
sama dengan keadaan sebenarnya di Kota Padang. Responden dengan tingkat pendidikan ≤SMP memiliki pengeluaran kotor rumah tangga per bulan Rp. 600.000 36,36, Rp. 600.000 – Rp. 1.000.000 14,29,
dan Rp. 1.000.000 – Rp. 1.800.000 28,05. Responden dengan tingkat pendidikan SMA+Diploma memiliki tingkat pengeluaran sebagai berikut: Rp. 600.000 63,64, Rp. 600.000 – Rp. 1.000.000 73,21, dan
Rp. 1.000.000 – Rp. 1.800.000 60,98. Sedangkan responden dengan tingkat pendidikan ≥S1 memiliki pengeluaran rumah tangga kotor per bulan sebagai berikut: Rp. 600.000 – Rp. 1.000.000 12,50 dan Rp.
1.000.000 – Rp. 1.800.000 10,98.
48. Masri, Op.Cit., hlm. 263. 49. Ibid., hlm. 273.
806
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Pemilu dan Parlemen Grafik 2: Tabulasi Silang Pendidikan Terakhir Responden Dengan Pengeluaran Kotor Rumah Tangga Per Bulan
Karakterisitik responden penelitian ini terdiri dari 50,52 pria dan wanita sebanyak 49,48. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk berdasarkan data BPS, maka sebaran responden tidak terlalu mengikuti
data sebenarnya dimana perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Kembali, hal ini dikarenakan pada awalnya mekanisme pemilihan responden berdasarkan nomor sampel, untuk sampel dengan nomor urut ganjil dikhususkan
untuk laki-laki dan nomor urut genap dikhususkan untuk perempuan. Tapi dalam perjalanan survey, terdapat sedikit kesalahan enumerator dalam menentukan responden berdasarkan jenis kelamin 0,52.
Tabel 2 Jenis Kelamin responden
Pria 50,52
Wanita
49,48
Lebih lanjut jika ditabulasikan antara jenis kelamin dan tingkat pendidikan terakhir responden, maka didapat data sebagai berikut : sebanyak 50,52 responden laki-laki memiliki tingkat pendidikan terakhir sebagai berikut:
≤SMP 40,98, SMA+Diploma 54,35, dan ≥S1 47,73. Sedangkan, responden perempuan terdiri dari 49,98 memiliki latar belakang yaitu: ≤SMP 59,02, SMA+Diploma 45,65, dan ≥S1 52,27.
Kriteria untuk mencapai suatu pemerintahan yang demokratis dan ideal selalu menuntut berbagai hal. Salah satu yang menjadi indikator suatu pemerintahan yang demokratis dapat dilihat dari partisipasi politik masyarakat
tersebut. Partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi kehidupannya dalam bernegara.
50
Partisipasi politik masyarakat adalah aspek penting dari demokratisasi di dalam sebuah negara. Unsur demokrasi itu sendiri ditentukan oleh bagaimana kesadaran dari warga negara untuk berpartisipasi dalam politik
dan pemerintahan. Artinya, Ini menjadi satu hal yang penting di dalam konteks pemerintahan demokrasi karena rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam pemerintahan adalah aktor yang paling mengetahui apa yang
dibutuhkan bagi dirinya. Kesadaran inilah yang perlu diwujudkan dalam rangka mewujudkan partisipasi politik untuk mempengaruhi kebijakan dalam pemerintahan.
Perilaku politik merupakan hasil dari manifestasi sikap politik. Salah satu faktor yang mempengaruhi sikap politik masyarakat untuk berpartisipasi adalah tingkat status sosial ekonominya. Disamping faktor tersebut,
adapun faktor-faktor lain yang mempengaruhi, diantaranya adalah faktor komunikasi politik, tingkat kesadaran politik,tingkat pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan, kontrol masyarakat terhadap
kebijakan publik, lingkungan, nilai budaya, dan lain-lain.
51
Seseorang dengan status sosial ekonomi yang tinggi diperkirakan akan memiliki tingkat pengetahuan politik, minat dan perhatian pada politik, serta sikap dan
kepercayaan yang tinggi pada pemerintah. Status sosial ekonomi memiliki pengaruh dalam membentuk sikap politik yang mendorong pandangan perilaku politik seseorang.
52
50. Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widya Sarana, 2001, hlm. 140. 51. Sudjino Sastroatmodjo, Perilaku Politik, Semarang: IKIP Semarang Press, 1995, hlm. 4.
52. Ramlan Surbakti, Op.cit., hlm. 232.