Temuan Khusus: Uji Hipotesis

888 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Pemilu dan Parlemen Dari hasil analisis khi kuadrad pada tingkat kepercayaan 95 didapatkan bahwa H1.7 diterima. Artinya terdapat perbedaan sikap masyarakat terhadap politik uang berdasarkan tingkat pendapatan α hitung = 0,004 dengan kekuatan hubungan sedang C=0,3. Jadi tingkat pendapatan seseorang mempengaruhi sikap mereka terhadap politik uang. Semakin rendah tingkat pendapatan seseorang semakin menerima terhadap politik uang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel berikut: Tabel 4.3.7 Perbedaan Sikap Masyarakat Terhadap Politik Uang di Kabupaten Pesisir Selatan Menurut Tingkat Pendapatan Jenis pekerjaan Bagaimana sikap anda jika diberi uang, barang, atau jasa dari calon? Total Menolak karena haram Terima tapi tidak pilih orangnya Terima dan akan saya pilih orangnya Terima dulu, soal pilihan urusan nanti Bersedia ikut membagi- bagikan uang barang Dibawah 500 ribu 23 31.5 7 9.6 4 5.5 34 46.6 5 6.8 73 100.0 500 – 999 ribu 41 29.9 14 10.2 6 4.4 76 55.5 0 0.0 137 100.0 1 – 1.499 juta 29 27.9 7 6.7 0 0.0 68 65.4 0 0.0 104 100.0 1.5 – 1.999 juta 8 20.0 5 12.5 1 2.5 26 65.0 0 0.0 40 100.0 2 – 2.499 juta 6 37.5 1 6.3 0 0.0 9 56.3 0 0.0 16 100.0 2.5 – 5 juta 15 50.0 3 10.0 1 3.3 11 36.7 0 0.0 30 100.0 Total 122 30.5 37 9.3 12 3.0 224 56.0 5 1.3 400 100.0 Sumber: Data Primer 2015

4.3.8 Pengaruh Sikap Masyarakat Tentang Politik Uang Terhadap Partisipasi Pemilih

H 1.8 Terdapat hubungan yang signifikan antara sikap masyarakat terhadap politik uang dengan partisipasi masyarakat dalam Pemilu Legislatif 2014 di Kabupaten Pesisir Selatan berdasarkan tingkat pendapatan Dari hasil analisis korelasi pada tingkat kepercayaan 95 H1.8 diterima. Artinya terdapat hubungan yang dignifikan antara sikap masyarakat terhadap politik uang dengan partisipasi memilih α hitung = 0,001 dengan kekuatan hubungan kuat. Jadi dapat disimpulkan bahwa sikap terhadap politik uang mempengaruhi perilaku masyarakat dalam Pileg 2014 di Kabupaten Pesisir Selatan. 5. KESIMPULAN Berdasarkan data-data yang telah dianalisis di atas dapat disimpulkan bahwa pertama, peta partisipasi masyarakat dalam Pileg 2014 di Kabupaten Pesisir Selatan menunjukkan tingkat partisipasi yang tinggi yakni 97.0 atau 388 orang dari 400 responden yang menjawab. Hanya terdapat satu indikator yang mempunyai perbedaan terhadap partisipasi pemilih yakni indikator umur. Sedangkan indikator-indikator lainnya tidak memiliki perbedaan seperti jenis kelamin, asal kecamatan, suku bangsa, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan. Selanjutnya, tiga kelompok penyumbang partisipasi pemilih menurut kelompok umur adalah mereka yang berumur 30-42 tahun 100, 43-55 tahun 97.6, dan 17-29 tahun 93.6. Sedangkan jika dilihat menurut jenis kelamin, partisipasi perempuan sedikit lebih tinggi 97.9 dibandingkan partisipasi laki-laki 96.1. Sementara penyumbang partisipasi yang tertinggi menurut kecamatan adalah mereka yang berdomosili di kecamatan IV Nagari Bayang Utara 96.7, Batang Kapas 96.5 dan Bayang 91.8. Jika dilihat menurut Suku bangsa, maka etnik Minangkabau lebih tinggi partisipasinya, yaitu 96.8 ketimbang etnik lain seperti Jawa, Melayu dan lainnya. Ini dapat difahami karena etnik Minangkabay adalah penghuni terbesar di Kabupaten Pesisir Selatan. Kemudian jika dilihat menurut tingkat pendidikan, maka mereka yang berpendidikan SLTA lebih tinggi partisipasinya yaitu 94.9 dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang lain. Penyumbang partisipasi tinggi lainnya dalam Pileg 2014 di Kabupaten Pesisir Selatan jika dilihat dari jenis pekerjaan adalah mereka yang mempunyai pekerjaan di sector bengkeljasa service 97.9, kerja tidak tetap 92.6, dan buruh kasar 889 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Pemilu dan Parlemen pembantu 98.5. Akhirnya, jika dilihat menurut tingkat pendapatan, maka penyumbang partisipasi tinggi adalah mereka yang berpedapatan 500 hingga 999 ribu 97.8, 1 juta hingga 1.499 juta 97.1, dan mereka yang berpendapatan dibawah 500ribu 95.9. Kedua , pengetahuan masyarakat tentang politik uang cukup lengkap yang berkaitan dengan jenis, aktor, waktu, dan sikap terhadap politik uang. Jenis politik uang yang paling banyak diketahui masyarakat di Kabupaten Pesisir Selatan adalah pemberian bantuan bahan makanan dan pakaian serta pemberian uang tunai. Pemberian uang ataupun barang sering dilakukan pada saat kampanye dan sebagiannya pada saat pagi menjelang pemungutan suara. Sedangkan aktor yang diketahui sering terlibat dalam membagi-bagikan barang atau uang adalah tim sukses, simpatisan dan pengurus partai pendukung. Ketiga, sikap masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan terhadap politik uang cukup beragam. Lebih dari setengah responden bersikap menerima politik uang yaitu 69,6, dengan variasi jawaban yaitu pertama “menerima uangnya, soal pilihan urusan nanti”; kedua “menerima uangnya dan akan memilih orangnya”; dan “terima uangnya tetapi tidak pilih orangnya”. Kenyataan ini sangat memprihatinkan karena dapat merusak sendi-sendi demokrasi. Keempat, pengaruh sikap masyarakat terhadap politik uang terhadap partisipasi pemilih tidak dapat dipastikan, karena mayoritas responden yang menjawab menerima politik uang dalam bahasa “terima dulu uangnya, soal pilihan urusan nanti” 56.0. Sementara masih banyak pula responden yang menjawab “menolak politik uang karena haram” 30.5. Ini berarti, tidak ada jaminan bahwa politik uang akan mempengaruhi prilaku memilih masyarakat secara keseluruhan. Akhirnya, kesimpulan umum yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah bahwa perilaku memilih masyarakat sepertimana sudah dilakukan oleh Lazarfelds, Berelson, dan Gaudet 1944 dari kelompok mashab sosiologi; Campbell, Coverse, Miller, dan Stokes 1960 mazhab psikologi; Downs 1957, Fiorina 2008 mazhab rasional adalah masih berlaku pada masyarakat di Kabupaten Pesisir Selatan. Sepertimana juga telah dikukuhkan pula oleh penelitian Gaffar 1988, Kristiadi 1993, Saipul Mujani, dkk 2012. Dengan kata lain, teori perilaku memilih yang ada selama ini masih relevan sebagai rujukan dalam penelitian-penelitian tentang perilaku memilih dalam Pileg, Pilpres, dan pilkada di Indonesia. Demikian juga halnya dengan teori mengenai politik uang. Penelitian ini juga mengukuhkan teori-teori yang telah digunakan oleh Schaffer 2007, Bratton 2008, Kramon 2009. Sepertimana juga telah dikukuhkan oleh Ali Nurdin 2014, Aspinall dan Sukmajati 2015. Vote buying memang telah terjadi di hampir semua kawasan di dunia, termasuk di Indonesia seperti di Kabupaten Pesisir Selatan. Politik uang itu terwujud dalam berbagai jenis material yang biasa dipertukarkan dengan dukungan politik pemilih dalam rangka vote buying. Selain uang tunai dan jasa, jenis politik uang dapat berupa: komoditi makanan dan minuman serta pakaian seperti mie instan, nasi bungkus, beras, kopi, gula, ikan, ayam, minyak goring, sabun, ban, kursi, sarung, jam tangan, semen, kemeja, alat-alat olah raga, dan sebagainya. Penelitian ini juga mengukuhkan bahwa pengaruh politik uang terhadap perilaku memilih tidak dapat dipastikan karena “hanya Tuhan dan pemilih yang tahu siapa yang dicoblos oleh pemilih di bilik suara”. Inilah makna dari jawaban responden: “terima dulu uangnya, soal pilihan urusan nanti”. Wallahu’alam bishshawab. DAFTAR PUSTAKA Buku Aspinall, Edward dan Mada Sukmajati Eds.,. 2015. Politik Uang di Indonesia.Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014. Yogyakarta: PolGov-UGM. Ahsan Jamet Hamidi et al. 2008. Pemilu Tidak Bebas Politik Uang. Jakarta: Transparancy International Indonesia. Amzulian Rifai. 2003. Pola Politik Uang dalam Pemilihan Kepala Daerah. Jakarta: Graha Indonesia. Bartels, Larry M. “The Study of Electoral Behavior” dalam Leighley, Jan E. ed. 2009. The Oxford Handbook of American Elections and Political Behavior. Oxford: Oxford University Press. 890 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Pemilu dan Parlemen Evans, Joselyn A.J., 2004. Voters and Voting. An Introduction. London: SAGE Publications Ltd., Mohammad Najib. 2015. “Keterlibatan Penyelenggara Pemilu dalam Vote Trading”. Dalam Aspinall, Edward dan Mada Sukmajati Eds.,. 2015. Politik Uang di Indonesia. Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014. Yogyakarta: PolGov- UGM.Hlm. 511-536. Mujani, Liddle, Ambardi. 2012. Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, Penerbit Mizan Publika Jakarta. Rush, Michael dan Phillip Althoff. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Rajawali Press, 2009. Miriam Budiardjo, 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Schaffer, Frederic Charles ed. 2007. Elections for Sale: The Causes and Consequences of Vote Buying. Manila: Ateneo De Manila University Press. Ward, Gene, et al. 2003. Money in Politics Handbook: A Guide to Increasing Transparency in Emerging Democracies. Technical Publication Series. Washington: USAID. JurnalWorking Paper Ali Nurdin, Nurdin, Ali 2014, “Vote buying and Voting Behavior in Indonesian Local Election: A Case in Pandeglang District”, Global Journal of Political Science and Administration Vol.2, No.3, pp.33-42, Published by European Centre for Research Training and Development UK Antunes, Rui. 2010. “Theoritical models of voting behaviour”, Exedra. No. 4. 2010. Bratton, Michael. 2008. “Vote Buying and Violence in Nigerian Election Campaigns”.Working Paper No. 99. AfroBarometer, June 2008, hlm. 4 Kramon, Eric. 2009. “Vote-Buying and Political Behavior: Estimating and Explaining Vote- Buying’s Effect on Turnout in Kenya”, Working Paper. No. 114, Afro Baromater. Laporan Penelitian Aidinil Zetra, dkk., 2015. Perilaku Memilih Masyarakat Kota Bukittinggi Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014. Padang: Laporan Survei Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu 2014. Kerjasama Komisi Pemilihan Umum Kota Bukittinggi dan Pusat Studi Politik Lokal Otonomi Daerah Universitas Andalas Ida Ayu Putu Sri Widnyani. Laporan Hasil Penelitian Analisis Dugaan Money Politics Terhadap Partisipasi Pemilih. Studi Penelitian Pemilihan Umum Tahun 2014 di Kabupaten Gianyar Provinsi Bali. Denpasar: Universitas Ngurah Rai Laporan Hasil Penelitian Survei Persepsi Masyarakat Terhadap Integritas Pemilu, 2013. Jakarta: Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK, 2014 Lihat Laporan Hasil Penelitian Praktik Politik Uang Pada Pemilu Legislatif 2014: Studi Kasus di Kabupaten Bandung Barat. Tim Peneliti KPU Bandung Barat. Bandung: Komisi Pemilihan Umum Bandung Barat, 2014 Internet Ali Sahab.Vote Buying dalam Pemilihan Kepala Daerah Pilkada; Studi Kasus Pilkada Surabaya dan Pilkada Kabupaten Blitar Tahun 2010. http:fisip.web.unair.ac.idartikel_detail-41933: diakses 21-5-2015 Dagan, Hanoch. 2008. “Political Money”. Tel-Aviv University, Agustus2008. http:works.bepress.com hanoch_dagan1 download tanggal 24 Mei 2011, hlm. 17 Detiknews, Kamis 17 April 2014 891 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Pemilu dan Parlemen Didik Supriyanto. 2008. Transkrip Diskusi Publik Terbatas. ijrsh.files.wordpress.com200806politik-uang- dalam- pilkada.pdf. diakses 6 Mei 2015 ICW: Banten, Kasus Politik Uang terbanyak, http:www.pemilu.comberita201404icw- banten-kasus-politik- uang-terbanyak. Diakses 30 Oktober 2015 Kompas, Minggu 6 April, “Ampuhkah Politik Uang?” http:indonesiasatu.kompas.comread201404061014170 Ampuhkah.Politik.Uang. TeddyLesmana.PolitikUangdalamPilkada.elib.pdii.lipi.go.id.katalogindex.phpsear chkatal og...9009.pdf. Diakses 6 Mei 2015 http:www.indikator. co.id newsdetails141Laporan-Konpers-Rilis-Survei-Sikap- dan- Perilaku-Pemilih- terhadap-Money-Politics- diakases 6 Mei 2015 http:www.indikator.co.idnewsdetails141Laporan-Konpers-Rilis-Survei-Sikap- dan- Perilaku-Pemilih- terhadap-Money-Politics- diakases 6 Mei 2015 PERUBAHAN SOSIAL, GERAKAN SOSIAL, MULTIKULTURALISME, KONFLIK, TERORISME, PENEGAKAN HUKUM 894 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Perubahan Sosial, Gerakan Sosial, Multikulturalisme, Konflik, Terorisme, Penegakan Hukum KEJAHATAN TERORISME DAN RADIKALISME DI ABAD KE -21 Upaya Pencegahan dan Penanggulangannya dalam Rangka Memperkuat Ketahanan Nasional Bangsa Indonesia Aulia Rosa Nasution Program Studi Magister Ilmu Hukum dan Fakultas Hukum, Universitas Medan Area, Medan -Sumatera Utara E-mail: Nasution82auliarosagmail.com A b s t r a k Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kejahatan terorisme dan radikalisme di abad ke-21.Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang secara deduktif melakukan pengkajian dan telaah terhadap asas-asas hukum ,peraturan perundang-undangan dan konvensi-konvensi internasional yang mengatur tentang kejahatan terorisme. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu pertama, untuk menganalisa fenomena terorisme dan radikalisme; kedua, untuk mengetahui upaya lembaga pemerintah dalam upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap ancaman terorisme dan radikalisme; ketiga, untuk mengetahui peranan masyarakat di dalam mencegah dan menanggulangi terorisme dan radikalisme. Penelitian ini dibagi ke dalam 4 sub topik. Bagian pertama memuat pendahuluan yang terdiri dari latar belakang penelitian, perumusan masalah, dan tujuan penelitian. Bagian kedua memuat tinjauan pustaka yang terdiri dari, pengertian dan unsur-unsur terorisme dan radikalisme, motif-motif penyebab terorisme dan radikalisme, fenomena terorisme dan radikalisme di abad ke- 21. Bagian ketiga memuat pembahasan dari topik penelitian yang memuat 3 hal yaitu; 1 upaya penegakan hukum terhadap kejahatan terorisme dan radikalisme; 2 upaya masyarakat di dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan terorisme dan radikalisme; 3 Program Deradikalisasi Terorisme sebagai upaya pemerintah di dalam mencegah dan menanggulangi terorisme dan radikalisme.. Bagian keempat memuat penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Kata kunci: Deradikalisasi, Kejahatan, Penegakan Hukum, Radikalisme, Terorisme LATAR BELAKANG

1. Fenomena Terorisme dan Radikalisme di Abad ke-21

Terorisme menjadi salah satu ancaman nasional bagi bangsa Indonesia karena dilakukan dalam berbagai bentuk baik fisik maupun mental, dalam ruang lingkup nasional maupun internasional. Aksi teror dan kekerasan dalam skala massif di sejumlah daerah di Indonesia terjadi sejak pertengahan tahun 1990-an berupa kerusuhan, teror bom di berbagai daerah di Indonesia, kerusuhan etnis di Sanggau Ledo- Kalimantan, Jawa Barat, Maluku, Poso dan Jakarta. Pasca ledakan bom berdimensi Internasional di Indonesia, mulai dari bom Bali, bom J.W. Marriot dan Kedubes Australia di Kuningan, Bom Kedubes Filipina, hingga ledakan bom Thamrin Sarinah pada awal Januari tahun 2016 lalu telah menunjukkan bahwa terorisme merupakan kejahatan yang sangat mematikan dan membahayakan umat manusia. Salah satu peristiwa teror bom yang cukup dahsyat adalah serangan bom yang terjadi di menara kembar di WTC dan Pentagon, Amerika Serikat pada 11 September 2001 yang menewaskan sekitar 3000 lebih orang-orang sipil yang tidak bersalah. Selanjutnya pada 12 September 2002 terjadi serangan bom di Legian, Bali Bom Bali I yang berdampak Internasional dimana jumlah korban yang tewa merupakan terbesar dalam sejarah peledakan bom di Indonesia sekitar 200 orang – orang sipil yang tidak bersalah tewas dan luka berat. Ledakan terjadi di tiga lokasi hamper bersamaan, yaitu Renon dekat Konsulat AS, Paddy’s Cage dan Sari Club yang merenggut nyawa banyak warga negara asing. Perkembangan terorisme secara global diwarnai dengan maraknya aksi teror bom dan serangan terorisme oleh kelompok ISIS di berbagai wilayah di Timur Tengah yang menewaskan banyak orang- orang sipil termasuk orang asing yang hingga saat ini menimbulkan suasana teror rasa takut yang mencekam bagi masyarakat internasional di dunia termasuk juga di Indonesia. RUMUSAN PERMASALAHAN Adapun yang menjadi rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut; 1 Bagaimana penegakan hukum yang dapat dilakukan terhadap kejahatan terorisme dan radikalisme? 2 Bagaimana upaya pemerintah RI di dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan terorisme dan radikalisme? 3 Bagaimana upaya masyarakat di dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan terorisme dan radikalisme? 895 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Perubahan Sosial, Gerakan Sosial, Multikulturalisme, Konflik, Terorisme, Penegakan Hukum TUJUAN PENELITIAN Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut; 1 Untuk mengetahui upaya penegakan hukum terhadap kejahatan terorisme dan radikalisme 2 Untuk mengetahui upaya yang dilakukan lembaga pemerintah maupun non-pemerintah dalam mencegah dan menanggulangi terorisme dan radikalisme 3 Untuk mengetahui upaya yang dilakukan masyarakat di dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan terorisme dan radikalisme TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Terorisme dan Radikalisme

Terdapat berbagai pengertian tentang terorisme. Namun hingga saat ini belum ada rumusan yang jelas dan obyektif tentang istilah terorisme. PBB pun belum berhasil membuat definisi tentang terorisme. Terorisme secara etimologis berasal dari bahasa latin yaitu terrere yang artinya ‘menggetarkan’. Pengertian terorisme digunakan untuk menggambarkan sebuah serangan yang disengaja terhadap ketertiban dan keamanan umum. Terorisme juga dapat diartikan menakut nakuti atau menyebabkan ketakutan , sedangkan teroris berarti orang atau pihak yang selalu menimbulkan ketakutan pada pihak lain 1 . Istilah terorisme pada tahun 1970-an dikenakan pada beragam fenomena: dari bom yang meletus di tempat - tempat publik sampai dengan kemiskinan dan kelaparan. Para pakar dan ahli merumuskan terorisme ke dalam definisi dari sudut pandang yang beragam. Menurut pendapat Noam Chomsky, pakar terorisme dan politik Internasional, istilah terorisme mulai digunakan pada akhir abad ke-18 terutama untuk menunjukkan aksi-aksi kekerasan pemerintah penguasa yang ditujukan untuk menjamin ketaatan rakyat. Dengan kata lain, istilah itu digunakan untuk merujuk pada kekuatan koersif pemaksapenekan suatu rezim yang sedang berkuasa. Menurut Schmid dan Jongman dalam bukunya Political Terrorism, terorisme adalah suatu metode yang terinspirasi dari kegelisahan atas tindakan kejam yang dilakukan berulang-ulang, yang digunakan seseorang, kelompok atau pelaku yang memiliki kekuatasaan yang sifatnya semi rahasia, karena alasan tabiat, kriminal atau politik dimana berlawanan dengan pembunuhan dan sasaran langsung bukanlah sasaran utama.Korban kekerasan manusia pada umunnya dipilih secara acak atau secara selektif merupakan representasi simbolis dari populasi sasaran dan bertindak sebagai pembawa pesan. Proses komunikasi dilakukan berdasarkan ancaman dan kekerasan antara pelaku teror organisasi, korban dalam keadaan bahaya, dan sasaran utama digunakan untuk memanipulasi sasaran utama penonton, mengubahnya menjadi sasaran teror, sasaran tuntutan, atau sasaran perhatian, bergantung pada upaya intimidasi, pemaksaan dan propaganda yang dilakukan. 2 Sejalan dengan pendapat tersebut, menurut pendapat Sukawarsini Djelantik, terorisme memiliki tujuan publikasi yang luas melalui media massa. Media massa menjadi sarangan yang penting untuk menyampaikan pesan-pesan ideologis dan politis yang umumnya berupa ungkapan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah. Dengan demikian aksi-aksi teror secara luar biasa selalu berhasil memprovokasi dan memanipulasi peliputan media massa . 3 Menurut pendapat A.C. Manullang, seorang pakar intelijen Indonesia, terorisme yang terjadi pada abad ke-21 merupakan bagian dari perang intelijen, yang tujuannya tidak lain untuk menguatkan akar-akar neokolonialisme dan neokapitalisme Barat di seluruh dunia yang mana di belakang isu dan aksi-aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam itu adalah neo-kolonialisme dan neo-kapitalisme koalisi global yang dimotori oleh Amerika Serikat. 4 Definisi terorisme secara lengkap dan rinci yang lebih luas dapat dilihat salah satunya dalam Konvensi Internasional Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris tahun 1997 International Convention for the 1. Fajar Purwawidada 2014. Jaringan Baru Teroris Solo, Gramedia Pustaka, hal. 10 2. Schmid and Jongman 1888, Political Terrorism, Transaction Publishers, hal. 25 3. Sukawarsini Djelantik 2010, Terorisme Tinjauan Psikopolitis, Peran Media, Kemiskinan dan Keamanan Nasional, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, hal. 130-134 4. A.C., Manullang, 2006, Terorisme dan Perang Intelijen ; Behauptung Ohne Beweis Dugaan Tanpa Bukti, Manna-Zaitun, Jakarta , hal. 18 896 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Perubahan Sosial, Gerakan Sosial, Multikulturalisme, Konflik, Terorisme, Penegakan Hukum Suprression of Terrorist Bombings, 1997 . Menurut Pasal 2 ayat 1 Konvensi tersebut, terorisme adalah ; a setiap orang yang melakukan kejahatan dalam pengertian Konvensi ini jika orang tersebut secara melawan hukum dan secara sengaja mengirimkan, menempatkan, melepaskan atau meledakkan suatu bahan peledak, atau alat mematikan lainnya di dalam atau terhadap suatu tempat umum, fasilitas negara atau pemerintah, suatu sistem transportasi masyarakat atau suatu fasilitas infrastruktur; a dengan sengaja menyebabkan kematian atau luka-luka serius; b dengan sengaja menyebabkan kehancuran suatu tempat, fasilitas atau sistem, dimana kehancuran tersebut mengakibatkan kerugian ekonomi secara besar. 5 Rumusan definisi terorisme juga telah diatur di dalam Convention of the Organization of Islamic Conference on Combating International TerrorismOIC Convention yang menyatakan terorisme sebagai tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan terlepas dari motif atau niat yang ada untuk menjalankan rencana tindak kejahatan individu atau kolektif dengan tujuan menteror orang lain atau mengancam untuk mencelakakan mereka atau mengeksploitasi lingkungan atau fasilitas atau harta benda pribadi atau publik atau menguasainya atau merampasnya , membahayakan sumber nasional atau fasilitas internasional atau mengancam stabilitas, integritas territorial, kesatuan politis atau kedaulatan negara negara yang merdeka. 6 Sementara itu, di Indonesia pengaturan delik terorisme telah diatur Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Menurut Pasal 6 A Undang-Undang tersebut, tindak pidana terorisme adalah setap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman, menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal,dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang streategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional , dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 duapuluh tahun. 78 Dari rumusan Pasal 6 A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut, maka akan ditemui beberapa unsur dari delik terorisme yaitu; 1 setiap orang; 2 dengan sengaja;3 menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan; 4 menimbulkan a. suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau b. korban yang bersifat massal; 5 dengan cara melakukan perbuatan yang berupa; a. merampas kemerdekaan orang lain atau, b. hilangnya nyawa orang lain, atau c. hilangnya harta benda orang lain. 9 Menurut pendapat Indriyanto Seno Adjie, terorisme sudah menjadi bagian dari Extraordinary Crimes yang merusak sistem perekonomian, integritas negara, penduduk sipil yang tidak berdosa serta fasilitas umum lainnya. 10 Hal ini menegaskan bahwa terorisme sebagai kejahatan luar biasa memiliki kekhususan atau berdimensi khusus atau berbeda dengan kejahatan kekerasan lainnya karena mengorbankan manusia atau orang orang yang tidak berdosa. Pendapat yang sama dikemukakan oleh King Faisal Sulaiman bahwa kejahatan terorisme secara yuridis dapat digolongkan ke dalam kejahatan luar biasa Extraordinary crimes karena bersifat khusus dan memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan kejahatan biasa lainnya Ordinary crimes. Secara dikotomis, istilah terorisme terbagi menjadi State Terrorism State Sponsored Terrorism dan State Terrorism. State Terrorism merupakan bentuk terorisme yang dilakukan pemerintahan suatu negara atau sebagai alat yang digunakan oleh pemerintah bertindak atas nama negara sebagai sarana paksa untuk menundukkan pihak lain sehingga dapat diatur seperti yang dikehendaki pemerintah. State Terrorism cenderung lebih terjadi pada setiap pemerintahan yang otoriter dan represif. Artinya pemerintahan tipe otoriter dan represif selalu melaukan instrumen teror untuk melakukan intimidasi terhadap siappaun saja yang dianggap dapat mengusik kekuasaannya. 11 Terorisme Negara juga muncul dalam kebijaksaan pemerintahan rezim totaliter Adolf Hitler Jerman dan Joseph Stalin 5. Mardenis , Pemberantasan Terorisme, Politik Internasional dan Politik Hukum Nasional Indonesia, Rajawali Pers, Edisi ke-1, Jakarta, hal. 96 2011 6. Mahrus Ali 2012, Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktik, Gramata Publishing, hal. 5 7. Mardenis , Op.cit., hal. 94 8. King Faisal Sulaiman 2007, Who Is The Real Terrorist Menguak Mitos Kejahatan Terorisme, Elmatera Publishing, Yogjakarta, hal. 29 9. R. Wiyono 2014. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Sinar Grafika, hal.75 10. Indriyanto Seno Adjie 2009, Humanisme dan Pembaruan Penegakan Hukum, Buku Kompas, Jakarta, hal. 11. Ali Mahsyar 2009. Gaya Indonesia Menghadang Terorisme; Sebuah Kritik Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Terorisme, Mandar Maju, Bandung, hal.49 897 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Perubahan Sosial, Gerakan Sosial, Multikulturalisme, Konflik, Terorisme, Penegakan Hukum Uni Soviet yang banyak melakukan penangkapan, penghukuman, penyiksaan dan eksekusi yang dilakukan secara membabi buta sehingga menimbulkan suasana ketakutan yang luar biasa. State Sponsored Terrorism juga dapat bersifat ‘transnasional’ jika suatu negara melakukan tindakan teror terhadap negara lain dengan cara memberikan bantuan, perlindungan, pendaanaan dan perencanaan serta memberikan fasilitas kepada negara lain. Sedangkan Non-State Terrorism adalah terorisme yang dilakukan oleh non-negara dalam arti individual atau kelompok terhadap pihak lain. 12 Beberapa contohnya seperti kelompok teror bom Bali, kelompok teroris Noordin M. Top yang berasal dari Jemaah Islamiyah JI dan kelompok teroris Poso. Seiring dengan berkembangnya kejahatan terorisme , aksi -aksi radikalisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu telah mewarnai fenomena global dunia di abad ke-21. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , pengertian radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik yang menginginkan perubahan atau pembaharusan sosial politik dengan cara kekerasan atau drastis. 13 Menurut the Dutch General Information and Security Agency 2008, radikalisme adalah kerelaan yang semakin tumbuh berkemabng untuk mengadakan atau mendukung perubahan yang sulit dijangkau dalam masyarakat yang dapat merupakan suatu bahaya terhadap atau eksistensi berlanjut metode atau alat demokratis yang mungkin membahayakan fungsi aturan efek hukum demokratis. 14 Inti dari radikalisme adalah paham radikal yang menghendaki perubahan dengan kecenderungan menggunakan kekerasan. Paham ini sebenarnya merupakan paham politik yang menghendaki perubahan yang ekstrem sesuai dengan pengejawantahan ideologi yang mereka anut. 15 Istilah radikalisme tidak jarang dimaknai berbeda di antara berbagai kelompok kepentingan. Dalam lingkup keagamaan radikalisme merupakan gerakan-gerakan keagamaan yang berusaha merombak secara total tatanan sosial dan politik yang ada dengan menggunakan jalan kekerasan. Kenyataan yang ada, radikalisme keagamaan sebenarnya merupakan fenomena yang biasa terjadi di dalam agama apapun. Radikalisme sangat berkaitan dengan fundamentalisme yang ditandai oleh kembalinya masyarakat kepada dasar-dasar agama. Fundamentalisme akan diiringi oleh radikalisme dan kekerasan ketika kebebasan untuk kembali ke agma dihalangi oleh situasi sosial dan politik yang mengelilingi masyarakat. Fenomena inilah yang dapat menumbuhkan konflik terbuka atau bahkan kekerasan antarkedua kelompok yang berhadapan. 16 Jika dicermati secara mendalam, akar penyebab munculnya radikalisme berpangkal pada ideologi dan didukung faktor-faktor lainya seperti rendahnya pendidikan,perubahan politik, kemiskinan , rendahnya peradaban budaya dan sosial seseorang. 17 Sementara itu menurut pendapat Horace M. Kallen, radikalisme ditandai oleh 3 tiga kecenderungan umum antara lain; pertama, radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan terhadap asumsi, ide,lembaga atau nilai – nilai yang dapat bertanggungjawab terhadap keberlangsungan keadaan yang ditolak; kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan lain. Ciri ini menunjukan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu pandangan dunia world view tersendiri dimana kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai pengganti dari tatanan yang telah ada; ketiga, kaum radikalis memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran program atau ideology yang mereka bawa. Mereka memperjuangkan keyakinan yang mereka anggap benar dengan sikap emosional yang menjurus pada kekerasan. 18 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa meskipun terorisme dan radikalisme memiliki sedikit perbedaan namun persamaan yang dimiliki keduanya yaitu bahwa terorisme dan radikalisme merupakan cara atau alat yang digunakan negara atau kelompok tertentu untuk melakukan perubahan terhadap suatu kebijakan – kebijakan dan kondisi sosial untuk mewujudkan tujuan yang ideologis, politis dan keagamaan. 12. Op.cit., hal. 18 13. Kamus Besar Bahasa Indonesia 1995, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka , Edisi Ke-2,hal. 808 14. Petrus Reinhard Golose 2009, Deradikalisasi Terorisme Humanis, Soul Approach, dan Menyentuh Akar Rumput,Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian YKIK, hal. 62 15. Agus, S.B. 2016, Deradikalisasi Nusantara, Daulat Press, Jakarta, hal.47 16. Op.cit., hal. 49 17. Op.cit., hal. 50 18. A.C., Manullang 2007, Op.cit., hal. 41 898 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Perubahan Sosial, Gerakan Sosial, Multikulturalisme, Konflik, Terorisme, Penegakan Hukum 2. Motif-Motif Penyebab Terorisme dan Radikalisme Menurut A.C, Manullang , latar belakang atau motif terorisme secara nasional dapat bersumber dari beberapa hal antara lain: 1 ekstrimisme keagamaan, 2 nasionalisme kesukuan yang mengarah pada separatisme dan 3 kelompok kepentingan tertentu yang ingin menimbulkan kekacauan. 19 Pertama, motivasi kelompok teroris didasarkan pada sikap radikalisme agama yaitu membangun komunitas eksklusif sebagai modal dan identitas kelompok. Mereka meyakini dirinya paling benar dan paling dekat dengan ambang pintu Tuhan. Berperang melawan kafir adalah kewajiban, sedangkan kematian adalah jalan menuju rumah surgawi. Sikap radikalisme seperti inilah yang setiap saat dapat melahirkan bencana sosial politik. Sikap seperti inilah yang mendasari aksi kekerasan kelompok Imam Samudera dalam melakukan aksi ledakan bom Bali yang dianggap sebagai jihad, demikian halnya seperti bom Natal tahun 2000 dan juga tindakan sweeping terhadap warga negara Amerika. Kedua, kelompok teroris melakukan aksi teror dengan tujuan untuk memperoleh kemerdekaan politik yang didorong oleh keinginan untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas atau yang lebih besar di wilayah yang bersangkutan. Pemicunya adalah karena mereka merasa diperlakukan tidak adil oleh Pemerintah Pusat sehingga menimbulkan ketimpangan ekonomi dan sosial. Dalam motif ini yang sering menjadi sasaran adalah gedung gedung dan kantor pemerintah. Ketiga, kelompok teroris cenderung melakukan aksinya demi kepentingan politik, ekonomi dan sosial dengan tujuan untuk melindungi kepentingan tertentu seperti menutupi proses hukum atas kejahatan atau pelanggaran yang telah dilakukan di masa lalu atau sebagai bargaining untuk mendapatkan posisi di bidang politik, ekonomi dan sosial. Aksi teror akan semakin meningkat manakala suatu negara mengalami ketidakstabilan dalam situasi politik amupun ekonomi. Fundamentalisme agama juga menjadi motif dari kelompok teroris. Selain ketiga faktor tersebut, fundamentalisme agama dapat menjadi sumber penyebab terorisme dan radikalisme. Sumber utama dari fundamentalisme agama dewasa ini adalah perpaduan dari adanya penindasan, tekanan, kesewenang-wenangan terhadap kebudayaan, sosial dan agama. Tidak hanya itu, lahirnya fundamentalisme juga sebagai akibat dari dekadensi moral yang melanda negara negara barat sebagai akibat dari kapitalisme dan kolonialisme yang berkepanjangan serta kebebasan pasar yang melahirkan persaingan rivalitas serta pertarungan demi memenangkan keinginan-keinginan untuk berkuasa dengan kemakmuran sehingga hal ini menyebabkan lahirnya tindakan kekerasan dan perlombaan persenjataan di berbagai belahan dunia yang didukung oleh kemajuan industri serta ilmu pengetahuan dan teknologi. 20 Menurut pendapat Sukawarsini Djelantik, terorisme tumbuh dan berkembang karena didukung situasi masyarakat yang tengah mengalami tekanan politil, ketidakadilan sosial dan terdapatnya jurang pemisah yang dalam antara yang kaya dan yang miskin. Terorisme diyakini sebagai salah satu bentuk strategi politik dari kelompok yang lemah menghadapi pemerintah yang kuat dan berkuasa. 21 Dengan demikian, ketidakadilan sosial dan ekonomi serta ketidakstabilan kondisi sosial-politik suatu negara dapat menjadi penyebab munculnya kejahatan terorisme.

3. Penegakan Hukum Terhadap Terorisme

a. Upaya Penegakan Hukum terhadap Kejahatan Terorisme oleh Pemerintah RI

Secara yuridis Internasional, tidak kurang dari duabelas 12 ketentuan hukum Internasional tentang terorisme telah menjadi acuan bagi negara - negara di dunia termasuk Indonesia dalam menyelesaikan kasus terorisme yang telah diratifikasi oleh pemerintah RI. Sejalan dengan meningkatnya aksi terorisme di berbagai negara, Pemerintah RI juga menyatakan komitmennya untuk mencegah dan memberantas terorisme yang dilakukan dengan meratifikasi beberapa konvensi internasional tentang terorisme, 3 diantaranya yaitu; 1 Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris, 1997 International Convention for the Suppression of Terrorist Bombings, 1997 yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 2006.; 2 Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Pendanaan oleh Teroris, 2003; International Convention for the 19. Op.cit.,hal. 129 20. Moch., Faisal Salam, 2005, Motivasi Tindakan Terorisme, Mandar Maju, Bandung, hal. 23 21. Sukawarsini Djelantik 2010, Terorisme Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan dan Keamanan Nasional, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, hal. 244 899 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Perubahan Sosial, Gerakan Sosial, Multikulturalisme, Konflik, Terorisme, Penegakan Hukum Suppression of the Financing of Terrorism yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006;3 Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme yang ditandatangani bersama negara-negara ASEAN. Keberadaan konvensi-konvensi internasional yang mengatur terorisme tersebut menunjukkan bahwa terorisme merupakan kejahatan internasional yang serius dan membahayakan umat manusia sehingga akhirnya diatur ke dalam norma-norma internasional dan telah menjadi hukum kebiasaan Internasional International Customary Law. Sebagai tindak lanjut , pemerintah Indonesia pada tanggal 18 Oktober 2002 telah mengeluarkan dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Perppu Republik Indonesia yaitu: a Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang tidak berlaku surut, b Perppu Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa Peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang berlaku surut retroaktif . Kedua Perppu tersebut mulai berlaku pada tanggal 18 Oktober 2002 dan selanjutnya pada tanggal 4 April 2003 disahkan sebagai Undang-Undang RI Nomor 15 dan 16 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme akhirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Salah satu pertimbangan yang dimuat dalam Perppu Nomor 1 tahun 2002 tersebut adalah bahwa pemberantasan terorisme didasarkan pada komitmen nasional dan internasional dengan membentuk peraturan perundang-undangan nasional yang mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan terorisme.

b. Upaya Masyarakat di dalam Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme dan Radikalisme

Di dalam rangka menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI, maka salah satu elemen penting yang dapat dilibatkan adalah masyarakat sebagai elemen kekuatan pertahanan negara yang bersifat semesta. Artinya, seluruh warga negara, wilayah dan sumber daya nasional lainnya secara total, terpadu, terarah dan berlanjut dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total untuk menegaskan kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Hal ini berarti ada upaya pelibatan segenap komponen bangsa untuk menghadapi segala ancaman yang mungkin timbul untuk mengganggu keselamatan bangsa. 22 Dalam konteks pencegahan terorisme, masyarakat dan lingkungan sosial menjadi entitas yang sangat vital. Artinya, masyarakat memiliki peran yang begitu penting dan besar dalam mencegah terorismeseperti memutus ideologisasi, mendeteksi keberadaan kelompok teroris, maupun dalam mengontrol tindak terorisme Bahkan partisipasi masyarakat dan lingkungan juga sangat signifikan dalam mengungkap jaringan terorisme. Seperti contoh, penangkapan jaringan teroris Thoriq di Tambora, Jakarta Barat, tidak lepas dari partisipasi masyarakat yagn turut membongkar jaringan terorisme. Kewaspadaan masyarakat dari lingkungan sosial telah berperan aktif dalam mengungkap kelompok teroris tersebut. Contoh yang lain seperti penangkapan Ridwan alias Ismail Cina, yang merupakan DPO kasus perampokan Bank CIMB Niaga Medan dan penyerangan polsek Hamparan Perak, juga merupakan bukti kongkret yang sangat baik karena adanya keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan terorisme . Masyarakat dan lingkungan sosial memiliki peran penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme serta pendeteksian dini terhadap potensi terorisme. Bahkan peran masyarakat dapat dioptimalkan sebagai sarana melakukan upaya preventif dalam memutus rantai terorisme sampai ke akarnya. Jika masyarakat sigap dan berpartisipasi , terorisme akan mudah dicegah dan diberantas sampai ke akar akarnya sehingga dapat meminimalisir kesempatan kelompok teroris untuk beraksi. Menurut pendapat Agus SB, peran masyarakat madani Civil Society terhadap pencegahan dan penanggulangan terorisme sangat penting. Di dalam pengembangan perdamaian dan toleransi di masyarakat , kekuatan-kekuatan civil-society sangat berperan penting melalui budaya perdamaian dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat serta melalui bentuk kerja bersama di antara kekuatan-kekuatan masyarakat dengan pemerintah. Dalam menghadapi konflik, dan kekerasan dalam masyarakat di Indonesia, diperlukan ‘faktor’faktor pencair’ ice breaker untuk memperlemah potensi konflik dan terorisme sekaligus membuka ruang sosial yang lebih onggar untuk tumbuhnya harmoni dan perdamaian. Faktor- faktor pencair tersebut diwujudkan melalui adanya saling memahami dan menghargai serta mengembangkan toleransi dalam kondisi sosiologis kehidupan masyarakat yang majemuk. 23 Dalam kaitannya itu, BNPT sendiri 22. Agus, SB., Darurat Terorisme, Op.cit., hal, 218 23. Op.cit., hal. 224