Mengimplementasikan Kebijakan Konsep Kebijakan

605 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Kebijakan Publik, Administrasi Publik ketidaksiapan tersebut, maka bermunculan praktik prostitusi di berbagai daerah dengan berbagai kedoknya. Diantara kawasan prostitusi yang baru adalah Jondul, Maredan, Jalan Riau Ujung, serta berbagai tempat panti pijat dan karaoke remang. Padahal, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial sudah mengatur bahwa masyarakat yang memiliki ketunaan sosial menjadi prioritas untuk ditindaklanjuti dalam program kesejahteraan sosial di suatu daerah. Pasal 6 dalam undang-undang tersebut menegaskan bahwa kesejahteraan sosial perlu diprioritaskan bagi mereka yang sedang mengalami ketunaan sosial dan penyimpangan prilaku. Bentuk dari penyelenggaraan kesejahteraan sosial itu meliputi: rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Namun, yang lebih penting adalah menyiapkan mereka dari sisi ekonomi untuk bisa menghadapi kenyataan hidup di masa depan agar lebih baik lagi. Memang, menurut Hermanto 2010, secara umum usaha untuk menanggulangi prostitusi dapat dilakukan secara preventif, represif, dan rehabilitatif. Usaha preventif dilakukan dengan cara memberikan sanksi hukum kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pelacuran, baik berupa denda maupun kurungan. Usaha penanggulangan dengan cara ini dapat dilakukan oleh kepolisian. Usaha represif dilakukan dengan cara memberikan tekanan, yaitu dengan melakukan razia-razia ke tempat-tempat prostitusi. Usaha ini dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja Satpol PP. Sedangkan usaha rehabilitatif dilakukan oleh Dinas Sosial, yakni dengan memberikan motivasi dan diagnosis psikososial, perawatan dan pengasuhan, pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan, bimbingan mental spritual, bimbingan fisik, bimbingan sosial dan konseling psikososial, pelayanan aksesibilitas, serta bantuan dan asistensi sosial. Implementasi kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 12 Tahun 2008 tentang Ketertiban Sosial sebagai senjata untuk membasmi prostitusi di Pekanbaru bisa dinilai dalam dua versi. Pertama, dapat disebut berhasil karena sasaran utamanya adalah lokalisasi Teleju. Pada tahun 2010, perkampungan prostitusi Teleju berhasil disulap pemerintah menjadi perkampungan melayu. Tidak ada lagi praktik prostitusi di Teleju. Kehidupan sosial masyarakatnya berjalan dengan baik sebagaimana dengan cita- cita Pemerintah Kota Pekanbaru. Kedua, dapat disebut gagal, karena kebijakan pemerintah tersebut harus dinilai secara utuh. Teleju memang berhasil disulap, tetapi pekerjaan pemerintah tidak boleh hanya sampai pada Teleju saja. Poin penting yang terdapat pada Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 12 Tahun 2008 adalah pemberantasan penyakit masyarakat. Salah satu objek perda tersebut adalah WTS. Sebaran lokasi WTS pasca Teleju cukup banyak. Salah satu penampung WTS yang paling banyak ada di Jondul dengan berbagai kedok kegiatan untuk menutupi praktik prostitusi. Lokalisasi Teleju hanya tinggal sejarah, akan tetapi kegiatan ini tidak otomatis tertutup rapat atau berhenti. Dari wawancara dengan Kepala Dinas Sosial dan Satpol PP serta masyarakat dapat disimpulkan bahwa kegiatan prostitusi ini semakin terbuka merata. Hal ini jugalah yang dikhawatirkan Hermanto 2010 dari hasil penelitiannya. Kegiatan prostitusi ini semakin tersebar di hampir semua kawasan kota. Menjamurnya tempat hiburan malam dan panti pijat menjadi indikasi bahwa prostitusi di kota ini tak pernah ada matinya. Kepala Bidang Ketertiban Umum Satpol PP Kota Pekanbaru 2016 juga menyatakan hal yang sama, bahwasannya prostitusi di Kota Pekanbaru telah menjelma dalam berbagai bentuk. Bisa di tempat biliar, karaoke, wisma, dan panti pijat. Tempat yang terkenal saat ini dan sering dilakukan razia oleh Satpol PP Kota Pekanbaru adalah daerah Jondul 1 dan 2 yang terletak di Kecamatan Kuantan Raya, Maredan, Jalan Riau Ujung dan di Jalan Arengka 2. Razia yang dilakukan oleh Satpol PP ini berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat sekitar. Jondul, kawasan yang berada di Kecamatan Sail tersebut sebelum tahun 2011 awalnya hanya ada 2 rumah yang dijadikan tempat pijat tradisional biasa. Namun, ketika Teleju ditutup oleh pemerintah pada tahun 2010, maka para WTS menyebar ke berbagai tempat dengan melakukan praktik yang sama. Sasarannya adalah Jondul. Dari tahun 2011 hingga 2016, Jondul menjadi tempat praktik prostitusi yang berkedok panti pijat terbesar di Pekanbaru. Para ‘pemijat’ yang berada di Jondul mayoritas migrasi dari Teleju. Tidak ada data pasti untuk menjelaskan jumlah WTS yang ada di Jondul. Karena pemerintah tidak pernah mendata WTS pasca Teleju. 606 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Kebijakan Publik, Administrasi Publik Jondul merupakan penyebutan tempat yang berada di RW 10 Kelurahan Rejosari Kecamatan Tenayan Raya. Lokasi yang banyak dihuni berada di RT 01 dan 05. Di RT 01 terdapat 19 rumah dan di RT 05 terdapat 10 rumah. Rumah-rumah tersebut dijadikan tempat prostitusi yang berkedok panti pijat. Penamaan tempat panti pijat tersebut untuk menutupi izin prostitusi yang tidak diperbolehkan lagi di Pekanbaru. Menurut Kepala Seksi Rehabilitasi Anak Nakal, Eks Korban Napza dan Hukuman Dinas Sosial Kota Pekanbaru 2016, pasca ditutupnya lokalisasi Teleju maka tempat prostitusi berpindah ke Jondul. Di Jondul tersebut terdapat banyak tempat prostitusi yang berbentuk kos-kosan dan perumahan. Jondul bukan hanya dihuni WTS saja, tetapi juga ada waria. Kawasan kedua yang banyak dihuni oleh WTS sebagai tempat praktik prostitusi adalah Maredan. Daerah ini merupakan sebuah perkampungan perbatasan antara Pekanbaru, Siak, dan Pelalawan. Keberadaannya berbeda dengan Jondul. Jika Jondul berada di tengah keramaian masyarakat kota, maka Maredan justru jauh di sudut kota. Keberadaannya sulit untuk dijangkau. Tepat lokasinya ada di RT 02 RW 12 Kelurahan Kulim Kecamatan Tenayan Raya. Ada sekitar puluhan rumah warga yang dijadikan tempat hiburan dan praktik prostitusi. Berdasarkan penuturan WTS di Maredan 2016, mayoritas mereka adalah eks dari Teleju. Bagi perempuan yang masih muda atau ABG, biasanya disebut sebagai pemain baru yang bukan dari Teleju. Berikutnya, paling ujung dari Jalan Riau Ujung merupakan tempat yang jauh dari jangkauan kota. Tempat ini mulai dikenal dan ramai diperbincangkan warga Kota Pekanbaru sejak ditutupnya lokalisasi Teleju. Terdapat praktik prostitusi di tempat hiburan. Praktik prostitusi di kawasan ini pun ada pasca penutupan Teleju. Penduduk di wilayah ini tidak begitu ramai dan akses masuk ke lokasi tersebut pun sulit. Hanya saja, jumlah WTSnya sangat banyak. Lokasi ini sangat memungkinkan untuk dijadikan sebagai pengganti Teleju, jika hal ini dibiarkan lama-lama oleh Pemerintah Kota Pekanbaru. Demikian yang disebutkan oleh Ranjabar 2015, bahwa tidak ada peradaban yang terus menerus tumbuh tanpa batas. Umumnya peradaban akan hancur apabila elit kreatifnya pemerintah tak lagi berfungsi secara memadai. Perubahan yang dilakukan pemerintah dengan menutup Teleju memang menjadi angin segar, tetapi karena tidak dipelihara dengan baik, maka perubahan tersebut akan kembali kepada kemerosotan. Hal ini terbukti dengan adanya pembiaran oleh pemerintah dan berakibat pada menjamurnya lokalisasi terselebung di Pekanbaru.

3. Dampak Penyebaran Lokalisasi Prostitusi

Prostitusi sangat identik dengan peredaran narkoba dan penyebaran penyakit kelamin, seperti HIV dan AIDS acquired immune deficiency syndrome. Keadaan ini sangat berbahaya dan dapat menghancurkan generasi muda bangsa ini termasuk di Kota Pekanbaru, jika keadaan ini terus dibiarkan tanpa ada upaya penyelesaian yang tepat. Data dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa di Kota Pekanbaru telah terjadi peningkatan kasus HIVAIDS. Data awal tahun 2015 menunjukkan 717 kasus HIV dan mengakibatkan meninggal 10 orang. Data AIDS 674 kasus dan meninggal 158 orang. Adapun perbandingan persentase berdasarkan jenis kelamin perempuan dan laki-laki pengidap penyakit tersebut 55 banding 45 persen. Selain itu, berkembangnya kasus-kasus dan semakin pesatnya jumlah WTS ini akan berkaitan langsung dengan kesehatan mental masyarakat serta sebagai akumulasi dari berbagai masalah sosial dan kepribadian. Selain masalah HIVAIDS, penyebaran lokalisasi juga berpengaruh terhadap psikologi warga sekitar. Anak-anak dan remaja adalah golongan yang rentan terkena imbas keberadaan lokalisasi prostitusi tersebut. Kehidupan sosial keagamaan menjadi makin memudar, sehingga usaha pemerintah kota untuk menjadi Pekanbaru menjadi kota yang madani akan sulit terwujud dengan alasan kasus praktik prostitusi yang menyebar di berbagai sudut kota tersebut. Ranjabar 2015 memprediksi bahwa tidak ada seorang pun yang akan menyatakan bahwa manusia tidak terpengaruh oleh lingkungan hidup. Perubahan dalam lingkungan hidup akan berakibat pada perubahan masyarakat sekitarnya. Demikian juga dengan munculnya lokalisasi baru di pemukiman warga, maka dampak sosialnya akan lebih besar. Memang, aspek norma lebih lambat perubahannya dari pada aspek materil, tetapi sekali terjadi perubahan pada aspek norma dalam masyarakat maka perubahan sosial yang diakibatkannya akan lebih besar dan luas Kasnawi dan Asang, 2014.