Kebijakan Pertanian di Negara Maju

758 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Demokrasi, Desentralisasi, Governance dalam kampanye partai politik di mana hal tersebut sudah menjadi biasa dalam kehidupan mereka. Sama halnya di pusat Thailand, petani, buruh, sopir, penjaga toko secara rutin bicara kepada saudara-saudara mereka, tetangga maupun konsumen mereka tentang kebijakan pemerintah dan persoalan lainnya yang berkaitan dengan politik Andrew Walker, 2008:87 KESIMPULAN Ada ketegangan permanen dalam kebijakan pertanian, diantaranya adalah keinginan untuk mempertahankan harga tinggi bagi produsen dan menjaga harga rendah untuk konsumen. Secara umum, negara-negara maju dan negara-negara berkembang telah mencoba untuk memecahkan dilemma kebijakan ini. Negara-negara kaya telah menggunakan transfer dari konsumen melalui perlindungan perbatasan dan wajib pajak melalui pengeluaran anggaran untuk mempertahankan harga tinggi bagi produsen. Misalnya, menurut OECD, pada tahun 1998 untuk produk dipertimbangkan dalam perhitungan tersebut, produsen di Jepang menerima harga yang setara 172 persen di atas harga dunia, Uni Eropa 83 persen, dan 28 persen Amerika Serikat McMichael, 2005. Di antara jenis tindakan pemerintah yang dapat memfasilitasi pengembangan pertanian yang produktif dan efisien adalah sebagai berikut: a pemerintah dapat menyediakan kerangka kerja untuk memilih dan memberdayakan lahan petani yang efisien, seperti di Taiwan, “b pemerintah dapat menjamin harga tinggi dan stabil untuk komoditas, seperti di Amerika Serikat membantu kepemilikan lahan yang luas dan selanjutnya memodernisasi teknologi mereka; c investasi publik dalam penelitian dan penyuluhan pendidikan pertanian dapat menghasilkan keuntungan besar dalam produktivitas d sebagian besar pemerintah yang mensponsori atau membuat infrastruktur untuk pemasaran, transportasi, penyimpanan, air, listrik dan kredit, yang merupakan prasyarat virtual untuk modernisasi pertanian. Namun, kebijakan pemerintah tidak dapat dipastikan menghasilkan pertumbuhan. Memang tidak adanya pertumbuhan produktivitas di beberapa sistem telah dikaitkan dengan kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, Eropa Timur terbebani dengan kolektivisasi dan berikutnya kebijakan yang mengakibatkan pertumbuhan menjadi negatif McMichael, 1999. Di benua Amerika Selatan, kekurangan makanan karena sebagian kebijakan pemerintah yang mengabaikan pembangunan pertanian menjadi momentum kebangkitan gerakan petani Araghi, 1995. Di luar angka-angka yang dtunjukkan dalam statistic pertanian selama ini, misalnya fluktuasi ekspor-impor, pertumbuhan negatif, dan penurunan produktifitas, sesungguhnya sector pertanian mengalami kemunduran. Masalah-masalah serius yang menggelayut di sector pertanian semakin menumpuk, di antaranya kepemilikan lahan yang kian mengecil, akses terhadap input yang semakin mahal, biaya transaksi yang terus melambung, dan kelembagaan ekonomi yang tidak pernah berpihak kepada petani Ahmad, 2003. Kegagalan membangun harmonisasi antara negara dan petani di dasari oleh tiga faktor yang dimana Soetomo menyebutkan petani selalu dalam posisi yang kalah. Pertama, kekalahan yang datang dari alam. Ini sesuatu yang ironis bila mengingat pada awalnya kultur bercocok tanam lahir berkat anugerah kekayaan alam. Tetapi ini bisa pula dipahami karena ketergantungan petani pada alam menciptakan ancaman itu sendiri. Kedua, terbentuknya masyarakat dan lembaga beserta sistem kekuasaan dan politik yang ada didalamnya. Kelembagaan tani modern misalnya, telah membuka babak baru di mana buruh tani bergantung pada majikannya, pemasaran produksi pertaniandi bawah hukum permintaan dan penawaran pasar, bahkan harga jual produk pertaniannya selalu terancam oleh rekayasa praktik ekonomi makro. Ketiga, ilmu pengetahuan dan teknologi yang diangankan bisa mengatasi tradisionalitas ternyata juga tidak tercapai. Justru sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi berubah menjadi bentuk-bentuk dominasi baru yang tidak kurang menindas Soetomo, 1997. DAFTAR PUSTAKA Adnan, S. 2007. Departures from everyday resistance and flexible strategies of domination: the making and unmaking of a poor peasant mobilisation in Bangladesh. Journal of Agrarian Change, 72, 183–224. Aileen, Kwa. 2001. Agriculture in Developing Countries: Which Way Forward? South Centre. 759 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Demokrasi, Desentralisasi, Governance Ahmad, E., Yustika. 2003. Negara vs Kaum Miskin. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Agarwal, B. 2014. Food sovereignty, food security and democratic choice: Critical contradictions, difficult conciliations. Journal of Peasant Studies, 41, 68. Bernstein. tanpa tahun. Changing Before Our Very Eyes. versi elektronik. p. 202. Barrett, C.B. 1997. Food marketing liberalization and trader entry: evidence from Madagascar. World Development, 25, 763–77. Barrett, C.B. M. R., Carter. 1999. Microeconomically Coherent Agricultural Policy Reform in Africa. African Economies in Transition, Volume 2: The Reform Experiences, ed. J. Paulson. London: Macmillan. Brockett, Charles D. 1990. Land, Power, and Poverty; Agrarian Transformation in Central America. London. Unwin Hyman. Lutringer,Christin. tanpa tahun. The new governance of Indian agriculture: Peasant movement’s responses to contemporary globalizing processes. versi elektronik. Hadeiger, Don, F. 1992. Who creates food abundance? Agricultural policy decision structures and productivity in developing countries. Food Policy, p.337-347. Eckstein, Susan. ed 1989. Power and Popular Protest, Latin American Social Movements. Berkeley. University of California Press. Eugenio, Díaz, Bonilla. ed 2002. WTO, Agriculture, And Developing Countries: A Survey Of Issues, International Food Research Institute. Washington. Fafchamps, M. Minten, B. 2001. Property rights in a flea market economy. Economic Development and Cultural Change, 49, 229–68. Fafchamps, M. 2004. Market Institutions in Sub-Saharan Africa. Cambridge. MIT Press. Fackler, P.L., Goodwin, B.K. 2001. Spatial Price Analysis. In B. Gardner G. Rausser eds Handbook of Agricultural Economics, Vol. 1B. Amsterdam. Elsevier. Farshad, Araghi. 1995. Global De-Peasantization, 1945–1990. The Sociological Quarterly, Vol. 36, No. 2, pp. 601–32. Fauzi, Noer. 2011. Menyegarkan Pemahaman Mengenai Kapitalisme di Indonesia. Artikel. Heather, Johnson. 2004. Subsistence and Control: The Persistence of the Peasantry in the Developing World. Undercurrent, Vol. 1, No. 1, p. 54. Ishak, Otto, Syamsudin. 1996. Gerakan Protes Rakyat, Sebuah Sketsa Teoritis Strukturalis Scottian dan Kulturalis Weberian. Prisma, 7 Juli. Kreuger, A. O. 1990. The Political Economy of Controls. Public Policy and Development: Essays in honor of Ian Little. Oxford. Oxford University Press. Kuntowijoyo. 1993. Radikalisasi Rakyat: Esei-Esei Sejarah. Yogyakarta. Bentang Intervisi Utama. Lindland, J. tanpa tahun. The impact of the Uruguay Round on tariff escalation in agricultural products. Food Policy, 22 6. 487-500. Little, I., Scitovsky, T. Scott, M. 1970. Industry and trade in some developing countries. Organization for Economic Co-operation and Development. Paris: Oxford University Press. Miguel A. Altieri Victor Manuel Toledo. 2011. The agroecological revolution in Latin America: rescuing nature, insuring food sovereignty and empowering peasants. Journal of Peasant Studies, Vol. 38, No. 3, p.587–612.