Pendekatan Rehabilitasi Pelatihan full proseding JILID 2

648 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Kebijakan Publik, Administrasi Publik JEJARING KEBIJAKAN DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI RIAU Mustiqowati Ummul Fithriyyah Jurusan Administrasi Negara Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN SUSKA Riau E-mail: mustiqowatiuin-suska.ac.id A b s t r a k Jejaring kebijakan menjadi sesuatu yang sangat urgen dilakukan oleh pemerintah daerah pada era demokratis partisipatif ini, demi tercapaianya otonomi, efisiensi, politik dan demokrasi. Dalam hal ini dibutuhkan kemampuan pemerintah daerah untuk menganalisis dan mendefinisikan stakeholders sebaik mungkin dan menjelaskan pihak- pihak mana saja yang seharusnya diperlakukan sebagai stakeholders. Konsep pemerintahan daerah yang demokratis partisipatif dengan melibatkan stakeholders bukan hanya sekedar menumbuhkan partisipasi stakeholders tetapi juga harus menumbuhkan kerjasama di antara stakeholders itu sendiri. Tulisan ini mengkaji tentang jaringan stakeholder dalam perumusan kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau, karena setiap organisasi publik akan selalu membutuhkan pembangunan jejaring kebijakan atau jaringan stakeholders, demikian juga dengan perumusan kebijakan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau. Perumusan kebijakan sangat erat kaitannya dengan pembahasan aktor-aktor yang terlibat stakeholders. Dan tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami kelompok-keompok mana saja yang benar-benar menjadi st akeholders, sekaligus memetakan pihak-pihak yang terlibat, terma suk pemerintah , asosiasi perusahaan, kom unitas-komunitas masyarakat . Selanjutnya menganalisis aktor yang menentukan interaksi dan pembentukan jejaring kebijakan dalam perumusan kebijakan serta menganalisis sistem nilai aktor yang menentukan interaksi dan pembentukan jejaring kebijakan dalam perumusan kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Pemerintah Provinsi Riau. Kata Kunci: Jejaring Kebijakan, Stakeholder, Perumusan Kebijakan, Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan PENDAHULUAN Berubahnya sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi sebagaimana dituang dalam UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU nomor 32 Tahun 2004 telah mendorong munculnya kemandirian pemerintah daerah untuk menata pembangunan di daerahnya masing-masing . Konsep pemerintahan daerah yang mandiri yaitu: kebebasan atau otonomi, demokrasi atau partisipasi dan efisiensi. Pelaksanaan tersebut membutuhkan ”partisipasi demokratik” di pemerintahan daeah 7 , dengan alasan: pertama, pemerintahan daerah mandiri lebih mengetahui isu-isu daerah. Kedua, sesuai dengan alasan efisiensi, pemerintahan daerah lebih mampu untuk mendorong kordinasi tindakan masyarakat. Ketiga, pemerintah daerah mempunyai potensi yang lebih besar untuk menghubungkan perbedaan-perbedaan kepentingan dalam masyarakat di daerah. Partisipasi di daerah telah memaksa pemerintah daerah membangun stakeholders sebagai jejaring dalam setiap penyusunan kebijakan publik terutama pada tahap perumusan kebijakan publik. Terdapat empat tahapan dalam proses perumusan kebijakan publik, yaitu: 1 Pengusulan alternatif, 2 Seleksi alternatif, 3 Penilaian alternatif, dan 4 Pemilihan alternatif. Profil Provinsi Riau menggambarkan model struktural perumusan kebijakan yang dipergunakan Pemerintah Provinsi Riau sesuai dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Model struktural muncul dengan dasar pemikiran pada sumber ide. Dari manakah ide berasal, apakah dari masyarakat bottom-up ataukah dati pemerintah top down ataukah gabungan dari masyarakat dan dari pemerintah. Perencanaan yang melibatkan aspirasi masyarakat, telah menjadi komitmen rancangan perumusan kebijakan Pemerintah Provinsi Riau. Komitmen rancangan perumusan kebijakan tersebut berlaku sejak ditetapkannya Peraturan Daerah Provinsi Riau tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang RPJP Provinsi Riau Tahun 2005-2025. Proses perencanaan pembangunan dilakukan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan 7. Sri Suwitri, 2011, Jejaring Kebjakan dalam Perumusan Kebijakan Publik, hal. 3 649 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Kebijakan Publik, Administrasi Publik Musrenbang mulai dari tingkat DesaKelurahan, Kecamatan, KotaKabupaten sampai tingkat provinsi. Kajian terhadap perumusan kebijakan sangat erat kaitannya dengan pembahasan aktor-aktor yang terlibat stakeholders. Konsep pemerintahan daerah yang demokratis partisipatif dengan melibatkan stakeholders bukan hanya sekedar menumbuhkan partisipasi stakeholders tetapi juga harus memunbuhkan kerjasama di antara stakeholders itu sendiri atau jejaring kebijakan dalam perumusan kebijakan telah menjadi suatu kebutuhan bagi organisasi public demi tercapaianya otonomi, efisiensi, politik dan demokrasi. 8 Jejaring kebijakan menjadi sesuatu yang sangat urgen dilakukan oleh pemerintah daerah pada era demokratis partisipatif ini. Teori stakeholders berusaha memahamikelompok-keompok mana saja yang benar-benar menjadi stakeholders. Stakeholders memetakan pihak-pihak yang terlibat, termasuk pemerintah, kelompok politik, asosiasi perusahaan, komunitas-komunitas masyarakat, dll. Dalam hal ini dibutuhkan kemampuan organisasi publik untuk menganalisis dan mendefinisikan stakeholders sebaik mungkin dan menjelaskan pihak-pihak mana saj yang seharusnya diperlakukan sebagai stakeholders. Hal pertama yang dibahas dalam jejaring kebijakan adalah aktor, yang meliputi persepsi, interaksi dan institusi para aktor. Setiap aktor mempunyai suatu tujuan dimana tujuan tersebut akan berinteraksi dengan tujuan aktor lain, yang mana interaksi tersebut dapat berupa kesepahaman dan dukungan dan dapat juga berupa pertentangan. Pembentukan jejaring kebijakan di antara aktor atau stakeholders dalam perumusan kebijakan dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: 1 proses dalam setiap tahapan perumusan kebijakan, 2 system nilai dari jaringan stakeholders, 3 komunitas kebijakan. Faktor-faktot tersebut mempengaruhi interaksi aktor dalam jejaring kebijakan sehingga dimungkinkan terjadinya perubahan yang dinamis dan sulit diprediksi, seperti perubahan jejaring dalam satu waktu, orientasi masalah, jejaring pada level strategis dan level operasional, pecahan jejaring cluster, peubahan fokus spesifik yang merupakan tantangan struktur kelembagaan dan strategi. 9 Setiap organisasi publik akan selalu membutuhkan pembangunan jejaring kebijakan atau jaringan stakeholders, demikian jugan dengan perumusan kebijakan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau. Hutan merupakan sumber daya alam yang tidak ternilai karena di dalamnya terdapat keanekaragaman hayati sebagai sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985, undang-undang No 32 tahun 2009, dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap sumberdaya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat. Hutan Indonesia yang seharusnya menjadi ekosistem komplek yang dapat mempertahankan kelembabannya, kehilangan banyak mata rantai siklus hidrologis membuat hutan menjadi kering dan rentan terbakar, ditambah vegetasi hutan yang berubah menjadi lahan sekunder dan kritis didominasi tumbuhan perintis dan semak yang padat semakin meningkatkan resiko kebakaran. Dalam ilmu kehutanan, 10 khususnya kebakaran hutan dan lahan, dikenal adanya segitiga api. Segitiga api inilah yang menjadi dasarprasyarat kebakaran, yaitu: O2 oksigen, panassumber penyulutan, dan bahan bakar. Adapula Segitiga Perilaku Api yang menjelaskan apa saja yang mempengaruhi jika terjadi kebakaran hutan, yaitu: tipe bahan bakar, angin dan kelembaban Sebagian dari peristiwa kebakaran terjadi di hutan rawa gambut. Api kebakaran di lahan gambut memiliki karakteristik selain dapat menghasilkan api tajuk dan permukaan, juga dapat menimbulkan api bawah tanah gambut yang menghasilkan asap tebal. Lahan gambut adalah lahan yang jenis agregat sisa-sisa tumbuhan yang membusuk. Sehingga kondisinya cukup lembab, sehingga kebakaran yang terjadi adalah kebakaran di bawah permukaan lahan yang cukup sulit dideteksi dan dikendalikan. Hal ini terjadi karena kebakaran hutan dan lahan di Indonesia mayoritas terjadi dari aktivitas pembukaan lahan atau konservasi hutan menjadi perkebunan, dengan metode bakar, dengan alasan metode bakar lebih ekonomis. 8. Ibid hal 8 9. Ton Van Der Pannen, Basic Methodsof PolicyNetworks Journal of Housing and The Built Environmet, Vol. 20: 301-315 10. Adi Bahri, Membakar Riau, http:www.Chirpstory.com, diakses pada 17 Maret 2014 650 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Kebijakan Publik, Administrasi Publik Berdasarkan data WALHI Riau di tahun 2015, jumlah titik api yang menyebabkan pencemaran udara di Propinsi Riau dan daerah-daerah sekitarnya mencapai sebanyak 974 sembilan ratus tujuh puluh empat titik api, tersebar di semua daerah kabupatenkota yang ada di daerah Propinsi Riau. Namun, yang paling banyak terdapat di daerah Kabupaten Bengkalis yakni mencapai 471 empat ratus tujuh puluh satu titik api, kemudian disusul oleh Kabupaten Rokan Hilir pada urutan kedua sebanyak 347 tiga ratus empat puluh tujuh titik api dan Kabupaten Rokan Hulu pada urutan ketiga sebanyak 125 seratus dua puluh lima titik api. 11 Kebakaran hutan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pola kebijakan peruntukan lahan dan hutan di Indonesia, sejak rezim HPH dimulai dan bergeser ke sector perkebunan, HTI dan tambang, wilayah hutan hujan tropis Indonesia mengalami degradasi menjadi lahan kritis dan hutan sekunder. Kebijakan, PP No 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan. Sebagai contoh, di Riau, titik panas tiap tahunnya dapat diketahui, curah hujan dan tingkat kelembabn juga dapat diketahui. Kebakaran rutin hutan tidak saja dikarenakan perubahan mata rantai ekologis, tetapi juga dipengaruhi oleh unsur kesengajaan pelaku usaha perkebunan skala besar dalam pembukaan lahan, dan kelalaian pelaku usaha Hutan Tanaman Industri dalam menjalankan tata kelola produksi dan lingkungan. Kebakaran hutan diluar konsesi tidak tertutup juga kemungkinan kebakaran merupakan modus operandi pihak tertentu yang menginginkan lahan menjadi kritis agar proses mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan atau konsesi menjadi lebih cepat. Bahwa dari 300 an titik api yang terjadi di Propinsi Riau tahun ini justru dari wilayah konsesi HTI dan wilayah perkebunan, ini menunjukan bahwa proses pengeluaran izin tidak berdasarkan kajian yang memadai dan kalaupun mempunyai kajian lingkungan, penerapan kaidah lingkungan dalam praktek Industri HTI dan Perkebunan masih jauh dari sikap bertanggung jawab. 12 Aturan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat tidak diindahkan oleh daerah. Desentraslisasi, salah satu sisi negatifnya adalah memunculkan penguasa baru. Bencana ekologis yang tidak terkendali pasti berasal dari proses pengeluaran izin penguasaan wilayah tidak terkendali. Illegal transaction melalui izin pembukaan lahan yang menurut kajian ilmiah dan aturan pusat tetap terjadi. Izin yang diberikan daerah seolah menjadi izin yang legal. Motivasi yang diberikan oleh daerah itu adalah karena adanya transaction cost yang akan didapat. Itu adalah illegal income yang akan didapat oleh politik daerah 13 . Terkait dengan permasalahan kebakaran hutan dan lahan di Riau, pemerintah provinsi Riau telah meneerbitkan Surat Keputusan Gubernur Riau Nomor : I Tahun 2003 Tanggal 10 Januari 2002 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, yang terdiri dari: Provinsi PUSDALKARHUTLA, Kabupaten SATLAKDARKARHUTLA, Kecamatan SATGASDAMKARHUTLA dan Desa REGDAMKAR, yang mana dari masing-masing satuan itu terdiri dari beberapa instasi. Dan hal ini menjadi sangat menarik karena ternyata pusat-pusat pengendalian kebakaran itu tidak dapat berfungsi secara optimal. Oleh karena itulah, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang jejaring kebijakan dalam perumusan kebijakan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau.

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini yakni; 1. Adakah jejaring kebijakan dalam perumusan kebijakan dalam kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Pemerintah Provinsi Riu? 2. Siapa saja yang menjadi aktor dalam jejaring kebijakan dalam perumusan kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Pemerintah Provinsi Riau? 11. Laporan Tindak Pidana 117 Perusahaan,yang disampaikan Eksekutif Nasional WALHI, WALHI Riau, WALHI Jambi, WALHI Sum-Sel, Sawit Watch, Elsam, YLBHI, ICEL, SPKS, pada 23 Juni 2013 , pada mongabay.co.id, diakses pada 21 Juli 2013 12. Ibid 13. Adi Bahri, Membakar Riau, http:www.Chirpstory.com, diakses pada 17 Maret 2014 651 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Kebijakan Publik, Administrasi Publik 3. Sistem nilai apakah yang menentukan interaksi dan pembentukan jejaring kebijakan perumusan kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Pemerintah Provinsi Riau?

2. Tujuan dan Manfaat Penelitian

a. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penulis merumuskan tujuan penelitian ini yakni; a. Mendeskripsikan dan menganalisis jejaring kebijakan dalam perumusan kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Pemerintah Provinsi Riau. b. Mendeskripsikan dan menganalisis aktor yang menentukan interaksi dan pembentukan jejaring kebijakan dalam perumusan kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Pemerintah Provinsi Riau. c. Mendeskripsikan dan menganalisis sistem nilai aktor yang menentukan interaksi dan pembentukan jejaring kebijakan dalam perumusan kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Pemerintah Provinsi Riau?

b. Manfaat Penelian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk semua pihak yang bersangkutan dalam penelitian ini, antara lain: a. Bagi peneliti: 1 penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai keadaan hutan Riau yang terus berkurang karena banyaknya dtemukan titik api di setiap tahunnya. 2 dapat mengetahui kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam penanganan kebaran lahan dan hutan di Riau b. Bagi pihak lain: peneltian ini dapat memberikan informasi dan gambaran secara tertulis maupun sebagai referensi mengenai jejaring kebijakan dalam perumusan kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. TINJAUAN PUSTAKA

1. Kebijakan Publik

Banyak ahli memberikan definisi yang berbeda-beda tentang kebijakan publik public policy. Dalam kenyataannya, kebijakan seringkali diartikan dengan peristilahan lain seperti tujuan goal, program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan danrancangan-rancangan besar. Sebagian besar ahli memberi pengertian kebijakan publik dalam kaitannya dengan keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yangdianggap akan membawa dampak baik bagi kehidupan warganya. Definisi yang diberikanoleh Thomas R. Dye yang mengatakan bahwa kebijakan publik pada umumnya mengandung pengertian mengenai “whatever government choose to do or not to do”. Artinya, kebijakan publik adalah apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan 14 . Sementara itu Hogwood dan Gunn menyatakan bahwa kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu 15 .. Menurut Landau, kebijakan publik sebagai bentuk lain dari analisis politik yang menggunakan metafora atau model sebagai perangkat untuk menjelajahi dunia yang tidak dikenal dan mungkin yang tidak diketahui secara politik. “Public policy, as other forms of political analysis, uses metaphors or models asdevices to explore the unknown and possibly unknownable world of politics.” 16 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh suatu lembaga pemerintah, baik pejabat maupun instansi pemerintah yang merupakan pedoman pegangan ataupun petunjuk bagi setiap usaha dan aparatur pemerintah,sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam pencapaian tujuan negara. Jadi jelaslah bahwa kebijakan public hany dapat ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan pihak-pihak lain atau actor-aktor kebijakan yang lain hanya dapat mempengaruhi proses kebijakan publik dalam 14. Budi Winarno, 2002, Teori Dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta, hal; 15, Penerbit: Media Pressindo. 15. Edi Suharto, 2005. Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktik Mengkaji Masalah danKebijakan Sosial, hal 3, Bandung, CV. Alfabeta 16. Wayne Parsons. 1995. Public Policy An Introduction to The Theory and Practice of Policy Analysis USA: Northampton. 652 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Kebijakan Publik, Administrasi Publik batas kewenangannya masing-masing. Menurut Thomas R. Dye 17 hal ini disebabkan oleh 3 hal dari kewenangan yang dimiliki pemerintah; pertama, hanya pemerintah yang mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk memberlakukan kebijakan public secara universal kepada public yang menjadi sasaran target group. Kedua, hanya pemerintah yang mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk melegitimasi atau mengesahkan kebijakan publik sehingga dapat diberlakukan secara universal kepada public yang menjadi sasaran target group. Ketiga, hanya pemerintah yang mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk melaksanakan kebijakan publik secara paksa kepada publik yang menjadi sasaran target group. Kerangka kerja kebijakan publik akan ditentukan oleh beberapa variable sebgai berikut 18 1. Tujuan yang akan dicapai, mencakup kompleksitas tujuan yang akan dicapai. Semakinkomplek tujuan yang akan dicapai, maka semakin sulit mencapai kinerja kebijkan. 2. Preferensi nilai seperti apa yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan. Suatu kebijakan yang mengandung berbagai variasi nilai akan jauh lebih sulit untuk dicapai disbanding dengan suatu kebijakan yang hany mengejar satu nilai saja. 3. Sumber daya financial, material dan infrastruktur lainnya yang mendukung kebijakan. 4. Kemampuan aktor yang terlibat dalam pembuatn kebijakan. 5. Lingkungan yang mencakup lingkungan social, ekonomi, politik dan sebagainya. 6. Strategi yang digunakan untu mencapai tujuan

2. Perumusan Kebijakan Publik

Merumuskan suatu masalah publik yang benar dan tepat tidaklah mudah karena sifat masalah publik sangatlah komplek. Perumusan kebijakn oleh beberapa ahli seringkali disebut sebagai alternatif kebijakan, adapula yang menyebut sebagai proses perumusan usulan kebijakan. Terdapat empat tahapan dalam proses perumusan kebijakan publik, yaitu: 1 Pengusulan alternatif; mulai dari identifikasi alternatif, mendefinisikan dan merumuskan alternatif, 2 Seleksi alternatif, 3 Penilaian alternatif; menilai masing-masing alternatif yang tersedia, dan 4 Pemilihan alternatif; memilih alternatif yang memuaskan atau yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan. 19 . Alternatif adalah suatu alat atau cara yang belum atau sudah pernah dipergunakan sebelumnya untuk mencapai tujuan. Alternatif juga disebut sebagai pilihan di antara berbagai alat atau cara yang ditawarkan. Setelah melakukan pendefinisian terhadap masalah-masalah publik dan masalah-masalah tersebut telah dimasukkan ke dalam agenda kebijakan, maka selanjutnya perumus kebijakan membuat pemecahan masalah. Di sinilah para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-alternatif pilihan kebijakan untuk memecahkan masalah tersebut. Seorang perumus kebijakan dituntut untuk dapat mengembangkan berbagai alternatif kebijakan sebelum sampai pada pilihan kebijakan yang tepat. Mengembangkan alternatif kebijakan bukanlah pekerjaan yang mudah, karena perumus kebijakan dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas yang berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi.

3. Jejaring Kebijakan dalam Perumusan Kebijakan Publik

Studi terhadap perumusan kebijakan sangat erat kaitannya dengan pembahasan aktor-aktor yang terlibat stakeholders. Hal pertama yang dibahas dalam jejaring kebijakan adalah aktor, yang meliputi persepsi, interaksi dan institusi para aktor. Aktor kebijakan publik bisa disebut juga sebagai stakeholders. Administrasi publik mengadopsi istilah stakeholders dari teori ekonomi. Konsep awal stakeholders adalah seseorang yang mempunyai uang atau property lainya yang menjadikan pemiliknya sangat berpengaruh. Stakeholders atau aktor di dalam organisasi publik dapat bersifat resmi ataupun tidak resmi. Aktor resmi yaitu aktor internal birokrasi pemerintah legislatif, yudikatif dan legislatif. Aktor tidak resmi atau aktor eksternal birokrasi yaitu massa, dan kelompok think thank. 20 17. Thomas R. Dye dalam Irfan Islamy, 1986, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, hal.83, Bina Aksara, Jakarta 18. Subarsono, 2012, Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan Aplikasi, hal. 7, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 19. Sri Suwitri, 2011, Konsep Dasar KebijakanPublik, hal. 70, Undip, Semarang 20. Budi Winarno, 2002, Teori Dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta, hal. 84, Penerbit: Media Pressindo, Yogyakarta 653 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Kebijakan Publik, Administrasi Publik Setiap aktor mempunyai suatu tujuan dimana tujuan tersebut akan berinteraksi dengan tujuan aktor lain, yang mana interaksi tersebut dapat berupa kesepahaman dan dukungan dan dapat juga berupa pertentangan. Konsep pemerintahan daerah yang demokratis partisipatif dengan melibatkan stakeholders bukan hanya sekedar menumbuhkan partisipasi stakeholders tetapi juga harus menumbuhkan kerjasama di antara stakeholders itu sendiri atau jejaring kebijakan dalam perumusan kebijakan telah menjadi suatu kebutuhan bagi organisasi publik demi tercapaianya otonomi, efisiensi, politik dan demokrasi. Di dalam stakeholders analisys juga memahami posisi dari masing-masing stakeholders dengan tetap menghormati tujan dan hasil yang diinginkan. Sedangkan stakeholders management adalah dimaksudkan bahwa pendekatan terhadap stakeholders harus menyesuaikan kondisi stakeholders. Lebih lanjut lagi, Viney menjelaskan bahwa aktor atau stakeholders dapat dipilah ke dalam 4 kategori yaitu: a primer;aktor dengan pengaruh tinggi untu merekrut aktor kategori ini adalah dengan cara partner, b sekunder; aktor dengan pengaruh yang tinggi tetapi tingkat kepentingan rendah, untuk merekrut aktor kategori ini yaitu dengan cara consult, c sekunder kedua atau tersier yaitu aktor dengan pengaruh yang rendah tetapi memiliki kepentingan yang tinggi, untuk merekrut aktor kategori ini dengan cara inform, d aktor ketiga atau kwarter, yaitu aktor dengan pengaruh dan kepentingan yang rendah, untuk merekrut aktor kategori ini dengan cara control. David Viney dalam Suwitri 21 membagi stakeholders menjadi dua, yaitu stakeholders analisys dan stakeholders management, yang membedakan antara pengaruh dan kepentingan dari masing-masing stakeholders individu maupun stakeholders kelompok. Pengaruh diartikan sebagai besarnya tindakan yang dapat dilakukan stakeholders dalam suatu kegiatan. Pengaruh juga menjadi tolok ukur atas seberapa besar kekuasaan stakeholders. Howlett dan Ramesh 22 menyebutkan bahwa jejaring kebijakan akan terwadahi dalam organisasi, organisasi ini sering disebut subsistem kebijakan. Howlett dan Ramesh menyebut subsistem kebijakan ini dibangun dari sub-government yaitu kelompok-kelompokdalam masyarakat dan aktor pemerintah yang berinteraksi secara rutin dengan pola tetap. Aktor dalam alternatif kebijakan disebut analis kebijakan, organisasi yang mewadahi disebut subsistem kebijakan, dan karena perannya membantu pemerintah maka disebut sub-government. Hubungan antara peemerintah dengan kelompok kepentingan dalam masyarakat itulah yang disebut jaringan kebijakan. Terbentuknya jejaring kebijakan dapat digambarkan dalam skema di bawah ini: Gambar 2.1. Pembentukan jejaring kebijakan Subsistem Kebijakan Aktor Akto r Sistem Nilai Jenis Jejaring Sumber: Diadaptasi dari Howlett dan Ramesh, 1995, Person, 2005 Menurut Sabatier, hal yang mendasari koalisi para aktor dalam jejaring kebijakan adalah berhubungan atas dasar kepercayaan pada pencapaian tujuan. Munculnya nilai kepercayaan antara aktor privat dan publik dalam semua level organisasi pemerintah, munculpada saat menyusun kebijakan. Sistem kepercayaan yang melandasi hubungan antar aktor terdiri atas tiga tingkat kepercayaan, yaitu: 21. Sri Suwitri, 2011, Jejaring Kebjakan dalam Perumusan Kebijakan Publik, hal. 69, Undip, Semarang. 22. Michael, Howlett dan M. Ramesh, 1995 Studying Pubic Policy: Policy Cycles and Policy Subsysteml.125, Oxford University Press, Oxford 654 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Kebijakan Publik, Administrasi Publik 1. Common beliefe, suatu kepercayaan atau kesamaan persepsi pada tujuan kebijakan berdasarkan kesamaan pengetahuan tentang masalah publik yang menarik perhatian aktor-aktor tersebut. Kepercayaan ini seringkali berkaitan dengan sifat dasar manusia, dan sangat sulit ntuk diubah. 2. Core beliefe, sistem kepercayaan berdasarkan atas pandangan yang sama terhadap sifat alami manusai dan beberapa kondisi yang diinginkan manusia. Koalisi bentuk ini sangat stabil dan sulit dirubah, jikapun berubah membutuhkan waktu yang relatif lama. 3. External factors, sistem kepercayaan yang terbentuk dari faktor-faktor eksternal dan relatif mudah berubah. 23 Jejaring koalisi advokasi dalam kaitannya dengan aktor, sistem kepercayaan, lingkungan dan jenis jejaring dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.2. Hubungan antara aktor, sistem kepercayaan, lingkungan dan jenis jejaring sistem kepercayaan Common belief Core belief Aktor Jenis Jejaring Sumber: Diadaptasi dari Howlett dan Ramesh, 1995, Carlsson, 2000, Sabatier, 1986, dalam Parson, 2005.

4. Sistem Nilai Dalam Perumusan Kebijakan Pubik

Islamy 24 menyatakan bahwa kegiatan memilih alternatif tidaklah semata-mata bersifat rasional tetapi juga emosional, artinya perumusan kebijakan publik itu sarat dengan nilai. Nilai berasal dari keyakinan, aspirasi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat untuk mempertahankan fisik dan psikisnya. Nilai-nilai ini akan menentukan penggunaan sumber-sumber yang ada. Fungsi nilai ini adalah sebagai stimulus dan juga sebagai pembatas tindakan manusia. Sistem nilai juga dapat berasal dari pembentukan jejaring kebijakan dan komunitas kebijakan. Alternatif kebijakan tidk dibatasi pada satu orang atau satu kelompok sebagai pelakunya. Sangat dimungkinkan akan ada dua atau lebih kelompok yang saling bersaing untuk memberikan usulan. Keputusan yang dipilih dalam perumusan kebijakan publk tidak jarang akan membawa pada konflik nilai. Di dalam menyusun alternatif kebijakan, sistem nilai ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal, antara lain sumber daya seperti uang, kemampuan analisa, jumlah pendukung, dan legalitas. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi antara lain sumber daya alam, budaya ketetapan konstitusional yang relatif stabil dalam jangka panjang, sehingga lebih bisa diprediksi. Menurut Wart dalam Suwitri 25 terdapat lima sumber sistem nilai bagi perumus kebijakan, yang akan mempengaruhi perubahan tujuan, yakni: 1 nilai-nilai indivisu yang saling bersaing dan memiliki banyak perbedaan kepentinan, 2 nilai profesional, bahwa kelemahan organisasi profesi seringkali menekan organisasi publik, seperti yang dilakukan oleh kelompok kepentingan, 3 nilai organisasi, bahwa kepentingan organisasi mencerminkan dua kekuatan yaitu struktur organisasi dan budaya organisasi, 4 nilai-nilai legal, yaitu nilai-nilai yang tercermin dalam konstitusi negara, 5 nilai-nilai kepentingan publik, adalah nila-nilai yang harus mendasari siapa saja yang 23. Ibid hal.126 24. Irfan Islamy, 2000, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, hal. 5.20, PT. Bumi Aksara, Jakarta. 25. Sri Suwitri, 2011, Jejaring Kebjakan dalam Perumusan Kebijakan Publik, hal. 78, Undip, Semarang