833
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Pemilu dan Parlemen
2. Menurunnya Kinerja Anggota DPRD Riau
Kekososngan beberapa struktur di DPRD Riau pasca mengundurkan diri enam anggota DPRD Riau 2014-2019 karena maju dalam pilkada desember 2015, berdampak terhadap tertundanya Penetapan APBD
Riau Tahun 2015 untuk realisasi tahun 2016. Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi dalam proses budgeting di DPRD, karena tugas sebagai legislator salah satunya adalah menentukan Anggran Pendapatan Belanja Daerah
APBD, dan tugas pembuatan peraturan dan pengawasan.
KESIMPULAN
Kesimpulannya bahwa dinamika pergantian antar waktu PAW enam anggota DPRD Riau melalui proses dan dinamika yang cukup panjang. Hal tersebut berimplikasi terhadap terhambatnya prosedur PAW sebagaimana
yang telah ditetapkan oleh peraturan UU yaitu melebihi 60 hari bahkan sampai pada 120 hari pasca mengundurkan diri. Permasalahannya yang terjadi diantaranya rendahnya konsistensi partai dalam memproses usulan PAW,
mekanisme internal partai yang dalam usulan PAW terjadi banyak perdebatan dan banyak pertimbangan, selanjutnya lambatnya SK Mendagri dalam memutuskan PAW terhadap enam anggota DPRD Riau tersebut
berdampak terhadap kinerja DPRD Riau dalam melaksanakan tugas budgeting, regulasi dan pengawasan.
Peneliti merekomendasikan kepada Partai Politik perlu desentralisasi politik dalam pengambilan keputusan pada tingakat Dewan Pengrus Pusat DPP kepada Dewan Pengurus Daerah DPD selanjutnya anggota DPRD
harus konsisten dalam menjalankan peraturan yang berlaku serta pemerintah yaitu kemendagri selalu bersinergi untuk memproses setiap apa yang menjadi keputusan di tingkat pemerintah yang dibawahnya. Hal ini dilakukan
agar tidak terjadi penundaan waktu yang terlalu lama dalam PAW Anggota DPRD Riau pasca ditetapkannya sebagai calon kepala daerah dalam pilkada desember 2015.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Creswell, John. W. Research Design, Qualitative and Quantitative Aproaches, Jakarta : KIK Press.
Faisal, Sanafiah. 1990. Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi, Malang: YA3 Malang. Gaffar, Affan. 2000. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
J. Moleong, Lexi. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Marbun, BN. 2005. Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Nimmo, Dan. 2004. Komunikasi Politik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Purwanto, Edi, Demokratisasi, Sistem Politik dan Pemerintahan, Averroes Press, Malang, 2011.
Syaukani, Afan Gafar, M. Ryaas Rasyid,.2002. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Solihin, Dadang. Pengukuran Good Governance Index – Bahan Diskusi Evaluasi Kemampuan Penyelenggaraan
Otonomi daerah EKPOD – Jakarta: Direktorat Jenderal Otonomi daerah, Depdagri. K. Yin, Robert. 2003. Studi Kasus Desain dan Metode, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Jimly Asshiddiqie, Desember 2006, “Partai Politik dan Pemilihan Umum Sebagai Instrument Demokrasi” Jurnal Konstitusi, Volume 3 Nomor 4.
Sebastian Salang, Parlemen: Antara Kepentingan Politik VS Aspirasi Rakyat, Dalam Jurnal Konstitusi, Volume 3 Nomor 4, Desember 2006.
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2010
834
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Pemilu dan Parlemen
DESAIN SISTEM PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF UNTUK PEMILU 2019
Darwin Tarigan
Mahasiswa S2 Tata Kelola Pemilu FISIP Universitas Andalas E-mail: darwintarigan13yahoo.com
Abstrak
Pemilu pada hakekatnya adalah sarana kedaulatan rakyat, sehingga tidak satu pun negara di dunia ini yang mengklaim dirinya sebagai negara demokratis yang tidak menyelenggarakan pemilu. Maka, untuk melaksanakan, pemilu
dibutuhkan beberapa unsur sistem pemilu yang menghubungkan antar unsur untuk mengkonversi suara pemilih menjadi kursi yang akan diduduki calon terpilih di lembaga legislatif maupun eksekutif. Dikenal bermacam-macam
sistem pemilihan umum dengan berbagai variasinya, yaitu: sistem distrik, sistem proporsional, sistem campuran, dan sistem pemilu di luar mainstream.
Formula sistem pemilu legislatif yang diusulkan pada pemilu 2019 adalah sistem proporsional tertutup closed list dengan formula penghitungan suara menggunakan metode divisor varian sainte laguewebster sedangkan penetapan
calon terpilih berdasarkan nomor urut calon. Sistem Penyuaraan yang digunakan adalah kategorikal, yaitu dengan memilih satu partai politik. Ambang batas legal threshold yang digunakan tetap sama dengan pemilu 2014 yaitu
sebesar 3,5 tiga koma setengah persen. Sedangkan, besaran daerah pemilihan adalah besaran daerah pemilihan kecil 3-6 kursi perdapil. Unsur-unsur ini diterapkan agar penyederhanaan sistem kepartaian dapat terwujud sehingga
dapat mendorong terciptanya sistem pemerintahan presidensial yang kuat. Jumlah kursi legislatif yang diperebutkan sama dengan pemilu 2014 yaitu berjumlah 560 kursi.
Kata kunci : Pemilihan umum, sistem pemilihan umum, proporsional tertutup, besaran daerah pemilihan;
PENDAHULUAN
Pasal 1 ayat 2 UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Makna dari “kedaulatan berada di tangan rakyat” adalah bahwa rakyat
memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil
rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Kemudian, pasal 22E ayat 1 dan 2 UUD 1945 menyatakan bahwa Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Pemilu merupakan arena kompetisi untuk mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan yang didasarkan pada pilihan formal dari warga negara yang memenuhi syarat. Oleh karena itu, pemilu menempati posisi penting
karena menyangkut beberapa hal: 1 pemilu menjadi mekanisme terpenting bagi keberlangsungan demokrasi perwakilan, 2 pemilu menjadi indikator negara demokrasi. 3 pemilu penting dibicarakan juga terkait dengan
implikasi-implikasi yang luas dari pemilu.
62
Oleh karena Pemilu pada hakekatnya adalah sarana kedaulatan rakyat, sehingga tidak satu pun negara di dunia ini yang mengklaim dirinya sebagai negara demokratis yang tidak menyelenggarakan pemilu. Pemilu dihadirkan
sebagai instrumen untuk memastikan adanya transisi dan rotasi kekuasaan berjalan demokratis. Selain itu, pemilu juga merupakan sarana untuk mendorong akuntabilitas dan kontrol publik terhadap negara.
63
Haywood dalam sigit pamungkas 2009:4-7 pemilu merupakan “jalan dua arah” yang disediakan untuk pemerintah dan rakyat, elit dan massa dengan kesempatan untuk saling mempengaruhi. Yang secara garis besar
terumuskan dalam dua perspektif bottom-up dari masyarakat terhadap negara, dan perspektif top-down dari negara terhadap masyarakat. Dalam perspektif bottom-up terdapat tiga fungsi pemilu: pertama, sebagai sarana rekrutmen
politik, di mana setiap warga negara punya hak dipilih menjadi pejabat publik; kedua, sebagai sarana pembentukan
62. Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, Yogyakarta, 2009,hal 3-4. 63. Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-Undang Pemilu, 2016, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Pemilihan
Umum, Yayasan perluden, Jakarta, hal 21.
835
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Pemilu dan Parlemen
pemerintahan; dan ketiga, sebagai sarana membatasi perilaku pejabat dan kebijakan. Sedang secara top-down, pemilu punya empat fungsi: pertama, sebagai sarana membangun legitimasi; kedua, sebagai sarana penguatan
dan sirkulasi elit secara periodik; ketiga, sebagai sarana menyediakan perwakilan, dalam hal ini pemilu menjadi penghubung antara masyarakat dengan pemerintah; dan keempat, sebagai sarana pendidikan politik. Sedangkan,
di luar fungsi pemilu sebagai “jalan dua arah” yang lebih bersifat vertikal tersebut, satu fungsi pemilu yang tidak kalah penting adalah dimensi horizontal pemilu. Dalam dimensi horizontal, pemilu berfungsi sebagai : pertama,
arena pengelolaan konflik kepentingan. Kedua sarana menciptakan kohesi dan solidaritas sosial.
Maka, untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, pemilu dilengkapi beberapa unsur sistem pemilu yang menghubungkan antar unsur untuk mengkonversi suara pemilih menjadi kursi yang akan diduduki calon terpilih
di lembaga legislatif maupun eksekutif. Dengan kata lain, sistem pemilu merupakan seperangkat unsur-unsur yang mengatur kontestasi perebutan kekuasaan. Dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum dengan berbagai
variasinya, yaitu: sistem distrik, sistem proporsional, sistem campuran, dan sistem pemilu di luar mainstream. Menurut Reynolds 2010 sistem pemilu memiliki tiga fungsi: pertama, sebagai institusi untuk menyeleksi
para pengambil keputusan; kedua, sebagai saluran menuntut pertanggungjawaban para wakil yang terpilih; dan ketiga, membantu menetapkan batasan wacana politik yang para pemimpin.
64
Rae 1967 mengidentifikasi empat unsur sistem pemilu, yaitu: besaran daerah pemilihan district magnitude, metode pencalonan candidacy,
metode pemberian suara balloting, formula perolehan kursi dan calon terpilih electoral formula. Selanjutnya, Nohlen 2008 menempatkan ambang batas perwakilan threshold sebagai variabel penting dalam menentukan
perolehan kursi. Merujuk pada pengalaman negara-negara demokrasi baru, Reynolds 2010 menyebut persyaratan partai politik menjadi peserta pemilu menjadi faktor penting dalam perebutan kursi. Terakhir Lijphart 1994
menyatakan, dalam sistem pemerintahan presidensial di mana terdapat pemilu legislatif untuk memilih parlemen dan pemilu pemilu eksekutif untuk memilih presiden, faktor waktu penyelenggaraan berpengaruh besar terhadap
keterpilihan presiden dan parlemen. Di sini hasil pengkajian Pyne dkk 2002 menyimpulkan: jika pemilu legislatif diselenggarakan bersamaan waktunya dengan pemilu eksekutif concurrent election maka cenderung berhasil
menghindari terbentuknya divided government.
65
Sedangkan Sigit Pamungkas, dengan alasan adanya konsekwensi terutama terhadat proporsionalitas hasil pemilihan dan sistem kepartaian, menyebutkan ada 6 enam unsur sistem pemilu, yaitu : penyuaraan Balloting,
besaran distrik district magnitude, pembuatan batas-batas representasi, formula pemilihan electoral formula dan ambang batas threshold, jumlah kursi parlemen.
66
Menurut Sigit Pamungkas terdapat tiga hal yang dapat dipengaruhi oleh sistem pemilu oleh suatu negara, yaitu tingkat proporsionalitas, sistem kepartaian, dan kabinet yang dibentuk.
67
Pertama, tingkat proporsionalitas, proporsionalitas perwakilan sangat sensitif pada masyarakat yang heterogen. Kedua, sistem kepartaian. Menurut
Duverger dalam Sigit Pamungkas bahwa pada sistem pluralitasmayoritas akan membentuk sistem dua partai, sedangkan pada sistem proporsional akan cenderung membentuk sistem multipartai. Ketiga, jenis kabinet yang
akan dibentuk. Pluralitasmayoritas cenderung menghasilkan kabinet yang dikuasai satu partai. Sementara, sistem proporsional mengarah kepada terbentuknya kabinet koalisi.
68
Indonesia, pada tahun 2014 sudah melaksanakan pemilu legislatif kesebelas kali sejak pemilu pertama tahun 1955, atau pemilu legislatif keempat pasca Orde Baru. Penyelenggaraan Pemilu 2014 memang lebih baik
kualitasnya jika dibandingkan dengan penyelenggaraan pemilu sebelumnya, akan tetapi masih terdapat kekurangan dan kelemahan yang ditemukan saat proses maupun pasca pemilu. Pemilu 2014 menggunakan sistem pemilu
proporsional terbuka murni. Untuk penentuan perolehan kursi, yaitu sistem sisa suara terbesar largest remainder varian hare. Sedangkan penetapan calon terpilih didasarkan pada perolehan kursi partai politik di suatu daerah
64.
Ibid, hal 21.
65.
Ibid hal, 21.
66. Ibid, hal 14. 67. Sigit Pamungkas, Op Cit, hal 37.
68. Ibid, hal 37-41.