DisposisiSikap full proseding JILID 2
778
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Pemilu dan Parlemen
partisipasi politik rakyat melalui penyelenggaraan otonomi daerah, dan penglibatan rakyat dalam pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah secara langsung.
Setelah lima belas tahun dilaksanakan reformasi politik di Indonesia ternyata yang muncul adalah adalah paradoks demokrasi
22
yaitu perbedaan antara janji demokrasi untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan kekecewaan masyarakat yang muncul dari hasil praktek-praktek demokrasi. Pradoks ini, dalam bahasa
Norberto Bobbio, ahli politik Italia, distilahkan dengan “the broken promises”, yaitu perbedaan antara apa yang telah dijanjikan dengan apa yang sebenarnya dapat dihasilkan janji yang tidak tertepati.
Penelitian yang dilakukan Aidinil Zetra dkk., 2010 tentang kinerja demokrasi di Sumatera Barat menyimpulkan bahwa bangunan demokrasi di daerah ternyata lemah. Demokrasi tidak memiliki landasan
terpentingnya, yaitu perwakilan politik. Kinerja lembaga perwakilan politik masuk kategori buruk. Meskipun demokrasi prosedural mengalami berbagai perbaikan seperti kualitas penyelenggaraan pemilu dari satu pemilu
ke pemilu lainnya, kebebasan mendirikan partai politik, dan hak-hak warga negara untuk berpartisipasi di dalam pemilu melalui jalur non-partai juga dijamin, namun demokratisasi seperti itu ternyata tidak menjamin
terwakilinya kepentingan rakyat di dalam proses-proses politik yang demokratis. Permasalahan yang sangat kentara adalah belum terciptanya hubungan efektif antara wakil rakyat dan konstituen yang diwakilinya. Akibatnya, di
tengah proses demokratisasi yang terus berlangsung, banyak kalangan justeru mempertanyakan manfaat dari demokrasi itu sendiri bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Demokrasi dianggap tidak mampu menghasilkan
kebijakan publik yang memihak kepada kepentingan rakyat. Demokrasi yang terbentuk adalah demokrasi elitis tanpa memperjatikan keterwakilan publik.
Untuk menangani paradoks demokrasi tersebut, DPRD mempunyai peranan yang amat strategis, karena: 1 DPRD sesungguhnya merupakan perwujudan kemauan masyarakat di dalam proses pemerintahan, dan 2 DPRD
mewakili harapan masyarakat agar demokrasi melahirkan pemerintah yang benar-benar responsif dan membantu menyelesaikan masalah-masalah kehidupan mereka. Untuk itu, salah satu solusi utama dalam menangani paradoks
tersebut adalah dengan meningkatkan hubungan interaksi yang dekat dan efektif antara anggota DPRD dengan masyarakat pemilih. Anggota DPRD harus lebih mudah diakses dan lebih akuntabel kepada masyarakat pemilih.
Selain itu anggota DPRD harus lebih terbuka, transparan dan efektif dalam melaksanakan tugas pokoknya terutama yang menyangkut kepentingan masyarakat pemilih seperti fungsi perwakilan, legislasi, pengawasan dan
penganggaran. Dengan demikian diharapkan anggota DPRD mampu menyerap dan memperjuangkan aspirasi, mengetahui berbagai isu maupun permasalahan konstituennya dengan membangun komunikasi yang intensif.
Melalui komunikasi politik yang efektif, anggota DPRD akan memiliki kemampuan untuk menghimpun informasi, kemudian melakukan identifikasi terhadap berbagai permasalahan masyarakat serta memikirkan
kemungkinan solusinya. Tanpa komunikasi yang efektif antara DPRD dan masyarakat konstituen maka akan terjadi kemacetan dalam sistem politik yang mengakibatkan aspirasi dan kepentingan masyarakat tidak terwujud.
Kemacetan ini seringkali berakibat pada munculnya cara-cara penyaluran aspirasi dengan menggunakan jalur ekstra parlementer seperti demonstrasi bahkan cara-cara yang anarkis, seperti membakar kartu anggota parpol,
dan merusak kantor DPRD dan sebagainya.
Menurut kajian Aidinil dkk. 2010 beberapa kendala dalam mewujudkan komunikasi politik yang intensif antara anggota DPRD dan masyarakat adalah: i Anggota DPRD terlalu disibukkan oleh berbagai kegiatan
protokoler sehingga mereka tidak sempat lagi mendatangi konstituen mereka yang berada cukup jauh dan tersebar; 2 Kesempatan mendatangi konstituen hanya ada pada masa reses, sementara waktunya sangat pendek; 3
Kondisi geografis yang ada di daerah pemilihan menyebabkan besarnya anggaran untuk mendatangi konstituen dan ini tentu memberatkan keuangan daerah; 4 Konstituen di daerah sangat banyak dan beragam sehingga
sulit dijangkau secara langsung.
22. Demokrasi secara sederhana dapat diartikan sebagai satu kompleks satuan kelembagaan dan praktek-praktek yang telah berkembang dengan perjalanan waktu yang mencakup: kerangka jaminan hak-hak warga negaramasyarakat; kelembagaan perwakilan dan
pemerintah yang akuntabel; organisasi masyarakat sipil yang aktif; dan sejumlah lembaga perantara antara pemerintah dan masyarakat yang dua diantaranya yang paling penting adalah partai politik dan media massa lihat IPU, 2006.
779
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Pemilu dan Parlemen
Sehubungan dengan berbagai kendala tersebut di atas, maka perlu dicarikan suatu solusi alternatif untuk mengefektifkan komunikasi antara anggota DPRD dengan konstituennya. Solusi yang tepat dan dibutuhkan
adalah satu media komunikasi yang mudah, murah dan cepat yang dapat menjadi penghubung antara anggota DPRD dengan konstituennya. Media komunikasi yang ditawarkan penelitian ini adalah sebuah aplikasi berbasis
mobile web sebagai media sosial alternatif yang dapat digunakan oleh anggota DPRD untuk menjangkau dan mengetahui permasalahan, keluhan, aspirasi masyarakat di seluruh pelosok daerah. Aplikasi ini dapat digunakan
melalui SmartPhone dengan Operating System OS seperti iPhone, Android dan Blackberry atau PC Tablet seperti iPad dan Galaxy Note dan sebagainya.
TUJUAN
Tujuan kajian adalah: 1. Mengidentifikasi kebutuhan sarana komunikasi anggota DPRD dan masyarakat konstituen sebagai solusi alternatif
yang mudah, murah dan cepat dalam memperkuat hubungan antara anggota DPRD dengan masyarakat. 2. Mengembangkan satu aplikasi parlemen berbasis mobile web sebagai media komunikasi alternatif yang dapat
digunakan oleh anggota DPRD dalam menjangkau dan mengetahui permasalahan, keluhan, aspirasi masyarakat di daerah pemilihan.
TINJAUAN PUSTAKA
Terdapat beberapa kajian terkait dengan demokrasi dan otonomi daerah yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, tetapi penelitian yang bertujuan untuk memecahkan persoalan lemahnya fundasi demokrasi dan
otonomi daerah masih jarang dilakukan. Penelitian Sastro M. Wantu 2012 mengatakan bahwa dalam era otonomi daerah lembaga legislatif daerah DPRD memiliki salah satu fungsi utama yaitu legislasi. Namun dalam
kenyataan dalam pembahasan perda yang terjadi adalah tawar menawar kepentingan politik baik dalam DPRD maupun di luar dari lembaga itu. Bahkan pembahasan Perda tidak diketahui oleh masyarakat sehingga sering
memunculkan konflik dengan masyarakat.
M. Agus Santoso 2011 mengatakan bahwa dalam menjalankan fungsi pengawasan DPRD, memiliki beberapa hak, yaitu: hak interpelasi, hak angket dan hak untuk menyampaikan pendapat. Fungsi pengawasan
DPRD ini menurutnya adalah sebagai pencerminan kehidupan demokrasi di daerah, yakni sebagai sarana check and balance dalam pemerintahan di daerah. Penelitiannya menemukan bahwa sejauh ini fungsi pengawasan DPRD
belum dijalankan secara efektif. Karena untuk menjalankan fungsi pengawasan ini DPRD tidak didukung oleh sejumlah data yang akurat dan lengkap dari masyarakat sehingga DPRD ketika tidak mampu berargumentasi
menghadapi pemerintah daerah. Ia menambahkan bahwa apabila DPRD memiliki hubungan komunikasi yang kuat dengan masyarakat maka DPRD tentu akan dapat secara efektif menjalankan fungsi pengawasannya.
Ni Made Ayu Tresnasanti dan I Made Budi Arsika 2012 dalam kajian mereka tentang pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD mengatakan bahwa fungsi ini sering tidak dapat dijalankan secara efektif karena DPRD
memiliki keterbatasan informasi tentang berbagai pelanggaran yang terjadi dalam setiap pelaksanaan pemilukada. Idealnya DPRD memiliki pasokan informasi dari masyarakat secara langsung dan DPRD tinggal melakukan
klarifikasi dan menindaklanjuti laporan masyarakat.
TB. Massa Djafar 2008 mengkaji peran DPRD dalam memperkuat sistem politik, mengatakan proses-proses politik di daerah lebih banyak bermuatan kepentingan kekuasaan, ketimbang menguatkan kedaulatan rakyat
sebagai esensi otonomi daerah. Kedaulatan tidak berada di tangan rakyat, tetapi pada oligarki pemerintahan atau partai politik. Format politik seperti ini tidak mungkin menciptakan kemandirian politik daerah dan kemajuan
dalam berbagai bidang. Salah satu penyebabnya adalah interaksi elit politik di daerah teperangkap pada kepentingan kelompok atau pribadi ketimbang kepentingan mengelola hak-hak otonomi.
Penelitian lain yang terkait dengan peran DPRD dilakukan oleh Aidinil Zetra et.al 2011. Penelitian ini menemukan bahwa meskipun ketiga daerah otonom baru yang diteliti telah berumur lebih dari 7 tahun namun anggota DPRD
belum mampu berperan secara optimal dalam mewakili kepentingan masyarakat pemilih dalam pengambilan keputusan.