656
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Kebijakan Publik, Administrasi Publik
METODE PENELITIAN
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di provinsi Riau, yang meliputi organisasi-organisasi yang terkait dengan masalah pengendalian kebakaran hutan dan lahan, yaitu: BLH provinsi Riau, Dinas Kehutanan provinsi Riau, Dinas
Perkebunan provinsi Riau, swasta dan LSM yang konsen dalam persoalan lingkungan serta warga masyarakat yang berkompeten
2. Metode Penelitian
Penelitian “jejaring kebijakan dalam perumusan kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di provinsi Riau ini merupakan penelitian kualitatif karena peneliti bermaksud mendapatkan gambaran yang
mendalam kebijakan pemerintah dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau. Penelitian ini juga bersifat holistik menyeluruh, tidak dapat dipisah-pisahkan, dengan melihat keseluruhan aktivitas yang
telah dilakkan oleh organisasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau, yang hal ini sangat bergantung pada keseluruhan situasi sosial yang saling berhubungan secara sinergis.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti ingin memperoleh gambaran yang mendalam dan lengkap tentang: 1 pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau, 2 Diskripsi yang rinci mengenai jejaring kebijakan
dalam perumusan kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau.
3. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan untuk melihat upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dalam konteks jejaring kebijakan dalam perumusan kebijakan ini
memakai metode; 1. wawancara kepada para informan yang diambil dari: aktivis LSM yang konsen dalam persoalan lingkungan,
tokoh masyarakat dan warga masyarakat yang berkompeten dengan masalah penelitian ini 2. Focus Group Discussion FGD; mengumpulkan aktor yang terkait dengan perumusan kebijakan
penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Riau. Dengan kata lain, data primer dapat diperoleh melalui FGD. Dan dalam hal ini FGD dilakukan bersama Bapedalda provinsi Riau, Dinas Kehutanan, Dinas
Perkebunan, Pusdakrhutla, swasta, LSM dan masyarakat yang berkompeten.
4. Analisis Data
Dalam penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Paradigma kualitatif menuntut analisis data dilakukan secara terus menerus selama proses penelitian, sehingga setiap langkah saling berhubungan.
Prose analisis data dalam penelitian ini mengadopsi pemikiran Miles dan Huberman 1984 yang meliputi 3 tiga komponen analisis, yaitu: reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan.
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
1. Perumusan Kebijakan dalam Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau
Perumusan kebijakan merupakan subsistem dari kebijakan publik. Perumusan kebijakan publik yaitu proses perencanaan pengambilan keputusan dengan melalui tahap-tahap pengusulan, seleksi, penilaian, dan pemilihan
alternatif kebijakan yang memunculkan jejaring kebijakan. Perumusan kebijakan dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di provinsi Riau membentuk jejaring kebijakan, yang mana di dalamnya terdapat aktor, hubungan
antar aktor, sistem nilai, dan sistem kepercayaan.
Perumusan kebijakan dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di provinsi Riau meliputi tahapan- tahapan identifikasi alternatif, perumusan alternatif, pemilihan alternatif, dan pengambilan keputusan;
657
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Kebijakan Publik, Administrasi Publik
a. Identifikasi Alternatif
Melalui FGD, disimpulkan bahwa lemahnya regulasi daerah yang mengatur tentang pencegahan, pemantauan, dan penanggulangan kebakaran menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Riau. Selain itu,
fungsi kelembagaan dari PUSDAKARHUTLA yang telah dibentuk oleh pemerintah sebagai lembaga yang fokus terhadap masalah kebakaran hutan dan lahan juga belum dapat berkoordinasi degan optimal. Dan dari informasi
yang telah terkumpul dari informan, alternatif yang diidentifikasi adalah melalui pembuatan perda yang secara detil menjelaskan tentang penangulangan kebakaran hutan dan lahan, termasuk tentang sanksi yang tegas bagi
para pelaku pembakaran hutna dan lahan dan juga menjelaskan secara jelas tentang kordinasi kelembagaan pada PUSDAKARHUTLA.
b. Perumusan Alternatif
Permusan pembuatan perda provinsi Riau yang menjelaskan tentang larangan pembakaran hutan dan lahan dengan alasan apapun. Bukan peraturan yang bersifat setengah-setengah, yang masih memberikan celah untuk
pembiaran tindakan pembakaran hutan dan lahan.
c. Pemilihan Alternatif
Pemilihan aternatif dilakukan oleh DPR yang mengambil peran sebagai subsistem perumusan kebijakan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
d. Pengambilan Keputusan
Saat ini perda tentang larangan pembakaran hutan dan lahan.
2. Aktor Kebijakan dalam Perumusan Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau
Aktor kebijakan adalah seseorang atau sekelompok orang yang terlibat dalam tahap pengusulan, seleksi, penilaian dan pemilihan alternatif kebijakan yang mempunyai hubungan saling ketergantungan di antara aktor-aktor perumusan
kebijakan. Aktor perumusan kebijakan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan terdiri atas pemerintah, swasta dan masyarakat termasuk LSM. Aktor-aktor ini meliputi persepsi, interaksi dan institusi para aktor.
Aktor dapat dipilh menjadi 4 kategori, yaitu; a. Aktor primer: aktor dengan pengaruh yang tinggi dan mempunyai tingkat kepentingan yang tinggi. Aktor
primer dalam perumusan kebijakan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di provinsi Riau ini adalah dinas-dinas terkait di tiap-tiap kabupaten dinas kehutanan, dinas perkebunan, Bapeldada, BPNBD, DPRD,
dan manggala agni, serta pihak swasta. Untuk merekrut aktor kategori ini dengan cara partner melalui forum pertemuan dengan para bupati dan gubernur yang tergabung dalam tim subsistem.
b. Aktor sekunder: aktor dengan pengaruh yang tinggi tetapi tingkat kepentingan yang rendah, untuk merekrut aktor ini dengan cara consulat melalui forum pertemuan dengan para bupati, LSM lingkungan dan perguruan
tinggi, diajak berdialog dan berkonsultasi dan didudukkan dalam keanggotaan tim subsistem. c. Aktor tersier, yaitu aktor dengan pengaruh rendah tetapi memiliki kepentingan yang tinggi, yaitu masyarakat
yang terkena dampak kebakarahan hutan dan lahan. untuk merekrut aktor kategori ini dengan cara inform, segala sesuatu yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan diinformasikan kepada masyarakat sehingga
menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam penanggulangan, atau merubah kedudukannya sebagai aktor tersier menjadi aktor primer.
d. Aktor kwarter, yaitu aktor dengan pengaruh dan kepentingan rendah, untuk merekrut aktor kategori ini dengan cara control. Tidak nampak kemunculan aktor kwarter, hal ini dapat dipahami dari tingkat kepentingan
masalah kebakaran hutan dan lahan yang dipahami sebagai permasalahan bersama.
3. Sistem Nilai
Sistem nilai adalah kebulatan nilai-nilai, norma-norma dan tujuan-tujuan yang telah mapan yang terdapat dalam masyarakat. Nilai berasal dari keyakinan, aspirasi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat untuk mempertahankankan
dan mensejahterakan kehidupan. Fungsi nilai adalah sebagai pendorong sekaligus pembatas tindakan manusia.
658
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Kebijakan Publik, Administrasi Publik
Sistem nilai adalah kepentingan-kepentingan yang melatarbelakangi motivasi aktor-aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan publik. Sistem nilai meliputi sumber nilai, sistem kepercayaan, kekuasaan, peran
dan ambisi, serta perbedaan posisi struktural. Sistem nilai bagi perumus kebijakan publik bersumber dari nilai-nilai individu, nilai-nilai profesional, nilai-
nilai organisasi, nilai-nilai legal, dan nilai kepentingan publik. Interaksi kebijakan aktor dalam jeajring kebijakan tetap harus mengutamakan kepentingan publik. Sistem nilai masyarakat yang terbentuk dalam jejaring kebijakan
hendaknya menjadi pedoman dalam setiap proses perumusan kebijakan. Perumusan kebijakan publik sarat dengan nilai yang menjadikan tidak mudah menghasilkan kebijakan publik yang dapat diharapkan berdampak
menguntungkan semua pihak.
Sistem kepercayaan yang melandasi hubungan di antara aktor kebijakan terkait dengan perumusan kebijakan pengendalian kebakara hutan dan lahan adalah;
1 Common belief; suatu kepercayaan dan kesamaan persepsi pada tujuan kebijakan berdasarkan kesamaan pengetahuan tentang masalah publik. Di sini telah muncul persepsi yang sama dari aktor-aktor kebijakan
tentang perluya kebijakan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di provinsi Riau. Persepsi ini muncul disebabkan lingkungan fisik, yaitu terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Sistem nilai ini didominasi oleh
LSM, masyarakat dan peneliti.
2 Core of belief system yaitu sistem kepercayaan berdasarkan atas pandangan yang sama terhadap sifat alami kemanusaiaan dan beberapa kondisi yang diinginkan manusia. Core belief pada tiap aktor berupa nilai
kepentingan individu dan lembaga bahwa secara ex officio, mereka menjalankan tugas sebagai tim. 3 External factors meliputi uang, keahlian, jumlah pendukung, legal otoritas, pendapat umum, teknologi, tingkat
inflasi, dan nilai-nilai budaya. External factor diwujudkan dalam ego kelembagaan tiap-tiap aktor. Masing-masing dinas merasa bahwa tanggungjawab mengenai pengendalian kebakaran hutan dan lahan
itu sudah
4. Jejaring Kebijakan dalam Perumusan Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau
Jejaring kebijakan terbentuk dengan adanya hubungan di antara aktor kebijakan. Berkembangnya jejaring kebijakan tergantung pada intensitas hubungan dari pemerintah, masyarakat maupun swasta dan juga dominasi
dari salah satu aktor. Strategi jejaring kebijakan dalam perumusan kebijakan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di rpovnsi Riau ini adalah:
1 Bureaucratic network; pembentukan hubungan antara peemrintah dengan masyarakat yang didominasi oleh
petunjuk dan instruksi peemrintah dan pemerintah adalah sebagai agensi. 2 Pluralistic network; pembentukan jejaring dimana hubungan antara pemerintah dengan masyarakat didominasi
oleh petunjuk dan instruksi pemerintah bekerjasama dengan tiga atau lebih kelompok masyarakat. Dalam perumusan kebijakan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, jejaring antara eksekutif dan
legislatif adalah pembentukan opini elit tentang pentingnya pendanaan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Riau.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat jejaring kebijakan dalam perumusan kebijakan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Pemerintah Provinsi Riau, yang terdiri dari 4 kategori aktor, yaitu;
Aktor primer: aktor dengan pengaruh yang tinggi dan mempunyai tingkat kepentingan yang tinggi. Aktor primer dalam perumusan kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di provinsi Riau ini adalah
dinas-dinas terkait di tiap-tiap kabupaten dinas kehutanan, dinas perkebunan, Bapeldada, BPNBD, DPRD, dan manggala agni, serta pihak swasta. Untuk merekrut aktor kategori ini dengan cara partner melalui forum
pertemuan dengan para bupati dan gubernur yang tergabung dalam tim subsistem.