Penyelenggara Pemilu di Indonesia

574 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Politik Lokal Untuk mendapatkan penyelenggara pemilu yang profesional, seleksi ini seharusnya dapat menjaring figur-figur ahli yang menguasai kepemiluan. Mengingat lingkup tugas KPU mencakup pembuatan peraturan pelaksanaan setiap tahapan Pemilu dan regulasi Pemilu yang lebih operasional, maka perlu ditambahkan dalam syarat dan ketentuan calon anggota KPU bahwa sekurang-kurangnya dua orang anggota KPU memiliki kompetensi hukum, khususnya hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Dua orang lagi anggota KPU harus memiliki kompetensi dan pengalaman dalam Sistem Pemilu dan Tata Kelola Pemilu karena kedua hal itu merupakan tugas utama KPU. Satu orang anggota KPU harus memiliki kompetensi dalam manajemen keuangan, satu lagi dalam teknologi informasi, dan satu lagi dalam bidang Komunikasi Publik. Kapasitas inilah yang dibutuhkan oleh komisioner KPU untuk bisa dikatakan profesional. Sesuai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011, rekrutmen anggota KPU Provinsi berbeda dengan metode seleksi KPU. Jika Tim Seleksi KPU tingkat nasional ditetapkan oleh presiden, maka tim seleksi KPU Provinsi dibentuk dan ditetapkan oleh KPU tingkat nasional. Tim seleksi calon anggota KPU Provinsi berjumlah lima orang mewakili masyarakat, akademisi dan profesional. Tidak ada keterlibatan pemerintah dalam pembentukan Tim Seleksi calon anggota KPU Provinsi. Tim seleksi memiliki kebebasan untuk menentukan parameter, metode seleksi, dan hasil seleksi. Proses seleksi calon anggota KPU Provinsi sama seperti KPU tingkat nasional dalam aspek melibatkan partisipasi publik, baik sebagai pendaftar maupun sebagai pemberi masukan atas hasil seleksi calon. Tahapan seleksi meliputi: masa pendaftaran dan seleksi administratif, tes tulis, tes kesehatan, tes psikologi, masa tanggapan masyarakat untuk memberikan umpan balik terhadap calon yang lolos tes tulis, tes kesehatan, dan tes psikologi. Tanggapan dari masyarakat merupakan hal yang penting agar calon yang lolos seleksi adalah calon yang memiliki integritas pribadi yang kuat, jujur, dan independen. Ketiga aspek ini penting karena calon komisioner terpilih harus memiliki komitmen yang tinggi sebagai penyelenggara pemilu yang tidak bisa dikendalikan oleh kekuatan politik apapun. Calon yang lolos tes tulis, tes kesehatan, dan tes psikologi diseleksi melalui metode wawancara khusus oleh Tim Seleksi, termasuk diminta untuk melakukan klarifikasi atas masukan-masukan dari publik. Dari hasil seleksi wawancara, tim seleksi memilih dan menetapkan sepuluh nama yang mendapat ranking nilai terbaik untuk diserahkan kepada KPU. KPU kemudian melakukan seleksi tahap akhir dengan melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap sepuluh calon hasil seleksi tim seleksi. Selanjutnya, KPU memilih dan menetapkan lima nama calon terpilih anggota KPU Provinsi yang disahkan oleh keputusan KPU. Sedangkan proses rekrutmen dan seleksi calon anggota KPU KabupatenKota dilakukan oleh Tim Seleksi yang dibentuk dan ditetapkan oleh KPU Provinsi di setiap KabupatenKota. Tim seleksi calon anggota KPU Kabupaten Kota masing-masing bersifat mandiri, terdiri dari lima orang yang mewakili masyarakat, akademisi, dan profesional. Dalam konteks politik lokal, unsur yang mewakili masyarakat mengadopsi kekuatan ketokohan, unsur akademisi mewakili unsur kampus atau dosen, sedangkan unsur profesional mewakili asosiasi profesi pengacara, dokter, dan sebagainya dalam masyarakat. Tahapan seleksi sama seperti tahapan untuk seleksi calan anggota KPU dan KPU Provinsi. Berbagai kendala yang bisa saja muncul dari rekrutmen dan seleksi calon anggota KPU Provinsi dan KPU KabupatenKota adalah mengenai kualitas calon, konsistensi penjabaran perundang-undangan mengenai persyaratan calon, integritas calon, dan integritas tim seleksi. Di beberapa daerah, masalah SDM dan kualitas calon seringkali dikorbankan hanya untuk memenuhi tekanan dari kepala daerah yang dengan otoritasnya ‘memaksakan’ pembentukan Tim Seleksi yang bisa dikendalikan oleh kepentingan kepala daerah. Alih-alih mementingkan kualitas, Tim Seleksi calon anggota KPU daerah sangat rawan diintervensi kepala daerah dari parpol yang berkuasa untuk meloloskan calon komisioner tertentu. Tentu saja praktek seperti ini akan menghambat terbentuknya KPU yang profesional di tingkat bawah. Meskipun KPU Provinsi dan KPU KabupatenKota tidak bertugas membuat peraturan perundangan, untuk menciptakan penyelenggara pemilu yang profesional haruslah dipilih dari orang-orang yang memiliki kapasitas di bidangnya. Minimal KPU di tingkat Provinsi dan KabupatenKota adalah mereka yang memiliki pendidikan Sarjana bidang ilmu sosial, serta beberapa diantaranya memiliki pengalaman di bidang kepemiluan. Selain karena mereka adalah pengambil kebijakan di tingkat Provinsi atau KabupatenKota, Komisioner KPU akan memimpin Sekretariat KPU yang rata-rata memiliki ijazah Sarjana. 575 Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia Politik Lokal Permasalahan yang lebih besar dalam mewujudkan penyelenggara pemilu yang profesional terdapat pada rekrutmen penyelenggara pemilu ad hoc yaitu PPK, PPS, dan KPPS. Sangat sulit mendapatkan figur-figur yang menguasai kepemiluan ditingkat panitia ad hoc ini. Kebanyakan dari mereka memang memiliki pengalaman dalam kepemiluan, karena hampir setiap penyelenggaraan pemilu mereka bertugas sebagai PPK, PPS, ataupun KPPS. Namun dalam prakteknya, dari satu pemilu ke pemilu yang lain KPU menggunakan dasar hukum yang baru, yang mengatur tata cara berbeda dengan aturan pemilu sebelumnya. Dalam penyelenggaraan pemilu di banyak daerah, rekapitulasi penghitungan suara di tingkat desakelurahan oleh PPS maupun di tingkat kecamatan oleh PPK banyak menuai masalah. Penggelembungan suara maupun pergeseran suara kerap dijumpai di tingkatan ini. Ada yang karena motif ekonomi, ada pula yang bermotif kekeluargaan, misalnya anggota PPS maupun PPK ada saudaranya yang menjadi caleg. Tidak jarang masalah itu terjadi karena kelalaian dan kurangnya pemahaman terhadap aturan yang baru. Penyelenggara yang menjadi ujung tombak pelaksanaan pemilu adalah KPPS yang bertugas di TPS. Tapi sayang, kebanyakan KPPS tidak diberi sosialisasi, simulasi, dan pengetahuan yang cukup mengenai aturan pemilu yang berlaku. Persyaratan untuk menjadi anggota KPPS pun terkesan seadanya. Akibatnya masalah demi masalah muncul dimulai dari tingkat TPS. Sebuah contoh kita lihat pada pemilu legislatif 2014, masih ditemui KPPS yang tidak mengetahui betapa pentingnya formulir model C1 yang berisi sertifikat hasil pemungutan suara. Banyak KPPS yang tidak tahu jika formulir model C1 harus dibuat rangkap 15 dengan perincian 12 untuk saksi parpol, 1 untuk panitia pengawas, 1 untuk PPS, dan 1 untuk KPU KabKota yang berhologram. Ada KPPS yang hanya membuat rangkap 3, sedangkan saksi parpol tidak dibagi. Ada juga KPPS yang malas membuat rangkapan, sehingga difotokopi. Akhirnya timbul protes secara berkelanjutan, mulai dari PPS, PPK hingga KPU. Pada umumnya seleksi penyelenggara pemilu di tingkat KPPS ini dilakukan oleh aparat desakelurahan, antara lain: Lurah, Wali Nagari, Wali Jorong, Carik, Sekretaris Desa dan lainnya. Masyarakat desa sangat percaya pada para elit desa, yang mempunyai kekuasaan yang lebih dibanding dengan rakyat biasa. Namun, pemilihan yang dilakukan oleh perangkat desa sangat jarang berdasarkan kapasitas, namun lebih kepada kedekatan. Padahal sebenarnya, untuk menciptakan penyelenggara pemilu yang lebih baik dan profesional, dalam perekrutan tenaga ad hoc bisa memanfaatkan jaringan mahasiswa yang berada di daerah penyelenggara pilkada, sehingga kualitas pemahaman dan integritas lebih terjamin. Pembatasan masa jabatan juga perlu dilakukan sebagai bagian dari standar perekrutan, penyegaran, dan memangkas indikasi mafia pemilu di tingkat bawah. KPU perlu meningkatkan kualitas dan kuantitas pelatihan kepada penyelenggara pemilu di tingkat bawah dalam setiap tahapan terkait. Selain menyangkut pemahaman administrasi dan teknis penyelenggaraan pemilihan, pelatihan diharapkan menjadikan penyelenggara di tingkat daerah tidak mudah dipengaruhi oleh kontestan pilkada. KESIMPULAN Penyelenggara pemilu profesional merupakan syarat wajib bagi terselenggaranya pemilihan umum yang berkualitas. KPU sebagai penyelenggara pemilu di Indonesia, sudah dipilih melalui seleksi yang berkualitas. Namun masalah-masalah yang berasal dari tingkat KPPS seringkali menjadi sumber sengketa pemilu, sehingga masyarakat belum bisa mengakui KPU sebagai penyelenggara pemilu profesional. Melibatkan pelajar atau mahasiswa yang telah memiliki hak dan kewajiban sebagai pemilih di tingkat TPS sampai dengan PPK sepertinya merupakan wacana menarik. Melibatkan mahasiswa dan pelajar akan menyebabkan pemahaman panitia ad hoc terhadap aturan baru akan lebih baik, disamping itu akan melahirkan generasi baru calon penyelenggara pemilu. DAFTAR PUSTAKA Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. 1986. Jakarta: Gramedia. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. 576 Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Politik Lokal Niswaty, Risma. Penyelenggaraan Pemilihan Umum Di Indonesia: Eksplorasi Konstruksi Model Normatif Prosedur Demokrasi. Jurnal Ad’ministrare. Vol. 1 No. 1, 2014. Surbakti, Ramlan. Nugroho, Kris. Studi tentang Desain Kelembagaan Pemilu yang Efektif. Kemitraan, Jakarta, 2015. Saihu, Mohammad. dkk. Penyelenggara Pemilu di Dunia. DKPP, Jakarta, 2015. Winardi. Menyoal Independensi dan Profesionalitas Komisi Pemilihan Umum Daerah dalam Penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah. Jurnal Konstitusi, Vol.III No.2, November 2010. Mewoh, Ardiles R. M. Dkk. Pemilu dalam Perspektif Penyelenggara. Perludem, Jakarta, 2015.