868
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Pemilu dan Parlemen
PETA PARTISIPASI PEMILIH DAN SIKAP TERHADAP POLITIK UANG VOTE BUYING DALAM PEMILU LEGISLATIF 2014
DI KABUPATEN PESISIR SELATAN
148
Bakaruddin Rosyidi Ahmad, Aidinil Zetra
Dosen pada Jurusan Ilmu Politik Fisip Unand E-mail: bakrandalasgmail.com, aidinilyahoo.co.id
Canang Bagus Prahara Umpu
mahasiswa Program Magister Ilmu Politik, Fisip Unand, Padang E-mail: bagus.canangbgmail.com
A b s t r a k
Tulisan ini berkenaan dengan pemetaan partisipasi pemilih dan sikap masyarakat terhadap politik uang vote buying dalam pemilu legislatif 2014 di Kabupaten Pesisir Selatan. Ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa partisipasi
pemilih, sekurang-kurangnya yang terekam dalam tiga Pileg di Kabupaten Pesisir Selatan, yaitu 2004, 2009, dan 2014 memperlihatkan fluktuasi seperti 63,53 pada 2004 dan naik menjadi 74,29 pada 2009, tetapi menurun
menjadi 73,71 pada 2014. Namun persoalannya ternyata partisipasi memilih sebagaimana banyak diungkap oleh media massa lebih-lebih media sosial, telah diwarnai oleh politik uang. Banyak caleg mendulang suara melalui cara-
cara transaksi politik uang dengan beragam jenisnya seperti pembagian bahan makanan, mie instant, bahan pakaian, uang tunai, alat-alat olah raga, bantuan transportasi dan konsumsi ketika mengikuti kampanye, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, politik uang money politics atau dalam khazanah kajian perilaku memilih disebut vote buying telah menjadi fakta yang tak terbantahkan.
Tujuan tulisan ini adalah pertama, untuk memetakan partisipasi masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan dalam Pileg 2014 berdasarkan latar sosio-ekonomi mereka. Kedua, untuk menggambarkan pengetahuan masyarakat tentang
politik uang yang terjadi Kabupaten Pesisir selatan. Ketiga, untuk menggambarkan sikap masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan terhadap politik uang. Keempat, untuk menjelaskan pengaruh sikap masyarakat Kabupaten Pesisir
Selatan mengenai politik uang terhadap partisipasi memilih.
Kata kunci:
Pemilu Legislatif, Partisipasi pemilih, Politik uang vote buying
1. PENDAHULUAN
Semenjak runtuhnya kekuasaan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto dan kemudian diikuti oleh era reformasi, Indonesia telah berhasil melaksanakan empat kali pemilihan umum legislatif yaitu 1999, 2004,
2009, dan 2014. Keempat pemilu ini dinilai oleh banyak pengamat sebagai pemilu yang demokrartis yang dilaksanakan secara lebih jujur, adil, bebas dan kompetitif. Namun jika dilihat dari sudut partisipasi masyarakat
secara nasional dalam keempat pemilu tersebut nampak terjadi penurunan, meskipun naik kembali pada pemilu 2014 yang berada pada posisi 75,11, sementara angka golput cenderung mengalami fluktuasi seperti nampak
pada Tabel 1.1 di bawah ini.
Tabel 1.1: Jumlah Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu Legislatif 1955-2014
Pemilu 1955
1971 1977
1982 1987
1992 1997
1999 2004
2009 2014
Partisipasi pemilih
91.4 96.6
96.5 96.4
95.1 93.6
92.6 84.1
70.9 75.11
Golput 8.6
3.4 3.5
3.6 4.9
6.4 7.4
15.9 29.1
24.89 Total
100 100
100 100
100 100
100 100
100 100
Partisipasi Pilpres Putaran I 78.2
71.7 70
Partisipasi Pilpres Putaran II 76.6
148. Makalah ini disampaikan dalam rangka Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas dengan tema “Penguatan Ilmu Sosial dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa”, Padang 28-29 September 2016
869
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Pemilu dan Parlemen
Golput Golput Pilpres Putaran I
21.8 28.3
30 Golput Pilpres Putaran II
23.4 Sumber: diolah dari KPU 2015
Dalam pemilu-pemilu Orde Baru, partisipasi pemilih nampak relatif tinggi di atas rata-rata 90 meskipun terjadi penurunan sepanjang pemilu seperti 96,6 pada pemilu 1971 hingga menjadi 93,6 pada pemilu 1997.
Partisipasi yang tinggi dalam pemilu-pemilu Orde Baru itu terjadi karena sudah jamak diketahui ada mobilisasi dan tekanan yang besar dan kuat dari rezim sepanjang tiga dekade lebih.
Naik atau turunnya jumlah partisipasi pemilih dalam pemilu sekaligus diikuti oleh oleh naik atau turunnya jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya atau yang lazim disebut “golput”. Dalam pemilu-pemilu
Orde Baru, angka “golput” relatif rendah karena adanya mobilisasi dari rezim yang mencapai angka 3,4 pada pemilu 1971, dan naik menjadi 3,5 pada pemilu 1977 dan 1982, dan semakin naik menjadi 3,6 pada pemilu
1987 dan 4,9 pada pemilu 1992, hingga menjadi 6,4 pada pemilu 1997. Sedangkan pada pemilu-pemilu Era Reformasi, pada 1999 angka “golput” berada pada posisi 7,4, tetapi kemudian naik dua kali lipat lebih
pada pemilu 2004 menjadi 15,9, dan semakin meninggi pada pemilu 2009 yaitu 29,1, namun menurun pada pemilu 2014 menjadi 24,8 seiring dengan naiknya jumlah partisipasi pemilih yang mencapai 75,11
yang relatif lebih tinggi dari pemilu 2009 yakni 70,9 sebagai partisipasi pemilih terendah selama empat pemilu dalam Era Reformasi. Namun kenaikan jumlah partisipasi pemilih pada pemilu 2014 tersebut masih tetap jauh
lebh rendah dari pemilu 2004 yaitu 84,1 dan 92,6 pada pemilu 1999.
Pertanyaannya sekarang adalah mengapa partisipasi pemilih menjadi penting dalam suatu pemilu? Jawabannya adalah karena partisipasi pemilih berhubungan langsung dengan masalah legitimasi
kekuasaan seseorang atau partai yang terpilih dalam pemilu. Artinya, semakin tinggi partisipasi pemilih dalam pemilu semakin besar legitimasi kekuasaan seseorang atau partai yang terpilih untuk berkuasa.
Sekaligus memperlihatkan seberapa besar kedaulatan rakyat atau mandat rakyat telah diberikan oleh rakyat pemilih kepada mereka atau partai terpilih untuk mengelola pemerintahan dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan bersama. Inilah makna sesungguhnya dari apa yang disebut dengan kedaulatan berada di tangan rakyat dan potret pelaksanaan demokrasi yang berkualitas.
Namun persoalannya sekarang adalah ternyata partisipasi memilih sebagaimana banyak diungkap oleh media massa lebih-lebih media sosial, telah diwarnai oleh politik uang. Banyak caleg mendulang
suara melalui cara-cara transaksi politik uang dengan variasi jenis-jenisnya seperti pembagian bahan makanan berupa telor dua mobil bak terbuka keliling kampung, mie instant, sembako; bahan pakaian
muslimah seperti jilbab dan peralatan shalat seperti sajadah; pembagian uang tunai dengan nominal Rp. 20.000 hingga Rp. 50.000 kepada masyarakat; pembagian alat-alat olah raga berupa bola sepak dan
bola voli serta net kepada pemuda; bantuan transportasi dan konsumsi ketika mengikuti kampanye, dan sebagainya.
Politik uang money politics atau dalam khazanah kajian perilaku memilih dalam ilmu politik disebut sebagai vote buying telah menjadi fakta yang tak terbantahkan. Tidak heran, Jimly Asshidiqie,
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu DKPP menggambarkan bahwa praktik politik uang atau vote buying dalam Pileg 2014 adalah paling ‘massif’ dalam sejarah pemilu di Indonesia Detiknews,
Kamis 17 April 2014. Penelitian Ali Nurdin 2014 juga menyimpulkan bahwa praktik politik uang telah terjadi antara lain karena adanya persaingan yang sengit di antara kandidat dan pengawasan pemilu
yang sangat lemah. Selain itu politik uang terjadi karena sikap masyarakat yang relatif permisif terhadap politik uang dan pengertian politik uang yang multi tafsir ikut menyumbang mengapa politik uang
semakin marak terjadi di Indonesia. Akiibatnya politik uang cenderung dianggap sebagai hal yang biasa baik oleh kandidat maupun oleh masyarakat pemilih.
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch ICW di 15 provinsi terkait dengan praktik politik uang yang dilakukan caleg untuk mendulang suara pada pemilu legislatif 9 April
2014 lalu, juga menyimpulkan masih maraknya praktek politik uang ini. Kasus terbanyak terjadi di
870
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Pemilu dan Parlemen
provinsi Banten yaitu 36 kasus kemudian disusul oleh provinsi Riau dan Bengkulu dengan 31 kasus, Sumatera Barat 31 kasus dan Sumatera Utara 29 kasus ICW, 2014.
Di Jawa Barat, Badan Pengawas Pemilu menemukan 22 kasus dugaan pelanggaran politik uang yang dilakukan dalam rentang waktu 16 Maret hingga 27 Maret 2014. Kasus dugaan politik uang itu
terjadi di 13 kabupatenkota di Jawa Barat. Kasus terbanyak ditemukan di Kabupaten Ciamis tujuh kasus, disusul Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bandung, dan Kota Bekasi dengan masing masing
dua kasus. Sisanya terjadi di Kabupaten Karawang, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kota Sukabumi, dan Kabupaten Cirebon Kompas Minggu 6 April 2014.
Di Bandung Barat, praktek politik uang sesungguhnya banyak terjadi di hampir seluruh daerah. Menurut Laporan Panwas Bandung Barat,
ditemukan sekurang-kurangnya puluhan praktek politik uang dalam pemilu legislatif yang dilakukan oleh partai politik, para kandidat maupun tim sukses masing-masing kandidat. Namun hanya sekitar 5
kasus yang secara resmi dilaporkan ke Panitia Pengawas Jabartribunnews.com, 2014.
Survei lainnya terkait praktik politik uang dalam pemilu juga dilakukan oleh Lembaga Survei
Nasional. Hasil survei menunjukkan bahwa sebanyak 69,1 persen responden mengaku bersedia menerima pemberian uang dari caleg atau parpol dalam Pemilu 2014, dengan alasan berbeda-beda. Padahal pada
Pemilu 2009, survei LSN mengenai politik uang menunjukkan masih kurang dari 40 persen masyarakat yang bersedia menerima pemberian uang dari caleg atau parpol. Besarnya persentase responden yang
bersedia menerima pemberian uang merupakan indikator nyata bahwa potensi politik uang dalam Pemilu 2014 sangat tinggi. Memang, sebanyak 41,5 persen responden menyatakan, meskipun bersedia
menerima uang, tetapi tidak akan memengaruhi pilihannya. Dengan sikap seperti ini, sama saja mereka sudah membuka pintu lebar-lebar bagi berkembangnya politik uang Jabartribunnews.com, 2014.
Apa yang didiskusikan di atas memperlihatkan bahwa di satu sisi partisipasi pemilih yang tinggi dalam suatu pemilu sangat penting untuk diupayakan dan dipelihara sebagai penanda kuatnya legitimasi
kekuasaan bagi kandidat atau partai yang terpilih dan indikator kualitas demokrasi, tetapi di sisi lain partisipasi pemilih yang tinggi itu telah terancam oleh politik uang. Inilah salah satu dilema bagi
pelaksanaan pemilu dan pembangunan demokrasi Indonesia yang berkualitas saat ini.
Bagaimana gambaran partisipasi pemilih dalam pemilu-pemilu secara nasional itu tadi juga berlaku dalam penyelenggaraan pemilu di Kabupaten Pesisir Selatan. Partisipasi pemilih yang terekam sekurang-
kurangnya dalam tiga pemilu di Kabupaten Pesisir Selatan, yaitu 2004, 2009, dan 2014 nampak juga mengalami fluktuasi naik-turun. Sebaran angka fluktuasi partisipasi pemilih dan “golput” dalam tiga
pemilu tersebut dapat
dilihat pada Tabel 1.2 berikut ini.
Tabel 1.2: Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu Legislatif 2004-2014 di Kabupaten Pesisir Selatan
Pemilu Legislatif 2004
2009 2014
Partisipasi memilih 164.485 63.53
206.504 74.29 238.193 73.71
Golput 94.443 36.47
71.459 25.71 84.956 26.29
Total 100
100 100
Partisipasi Pilpres 214.216 72
206.888 63 Golput
83.578 28 119.109 37
Sumber: KPU Kabupaten Pesisir Selatan 2014
Pada pemilu 2004 partisipasi pemilih nampak hanya mencapai angka 63,53 dengan angka “golput” 36,47, sedangkan pada pemilu 2009 naik menjadi 74,29 dengan angka “golput” yang menurun menjadi
25,71, tetapi pada pemilu 2014 kembali menurun tipis menjadi 73,71 dengan angka “golput” kembali naik menjadi 26,29. Fluktuasi partisipasi pemilih juga terjadi pada Pemilu Presiden 2009 yaitu 72 dengan angka
“golput” 28, kemudian menurun pada Pilpres 2014 menjadi 63 dengan angka “golput” naik menjadi 37.
Kenyataan fluktuasi partisipasi pemilih dan “golput” ini barangkali berhubungan dengan sejumlah faktor seperti kondisi demografi antara lain umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan, asal
871
Penguatan Ilmu Sosial Dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia
Pemilu dan Parlemen
kecamatan, agama, suku bangsa mengingat daerah ini tidak hanya dihuni oleh etnik Minangkabau tetapi juga etnik Jawa, Batak, Nias, Cina, dan etnik-etnik lainnya. Faktor-faktor ini mungkin berpengaruh terhadap partisipasi
masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan dalam mengikuti pemilu, dan alasan-alasan masyarakat menjadi “golput”.
Di samping itu, berbeda dengan sebagian besar daerah lain di Sumatera Barat, Kabupaten Pesisir Selatan baru saja lepas dari status “daerah miskin dan tertinggal” pada tahun 2013 dengan topografi daerah memanjang
dari utara ke selatan sepanjang pantai barat Sumatera Barat, dan dengan mata pencaharian pokok pertanian dan nelayan. Dengan topografi ini, sering kali membuat kesulitan bagi KPU Kabupaten Pesisir Selatan untuk
melakukan sosialisasi pemilu karena jauhnya jarak yang harus ditempuh dari ibu kota kabupaten, yaitu Painan ke 15 Kecamatan dan 182 Nagari hingga ke perbatasan Provinsi Bengkulu di Selatan. Karena kenyataan ini ada
kemungkinan para pemilih sebelum memilih tidak memiliki informasi yang memadai baik tentang partai, calon maupun isu-isu yang diangkat oleh calon dan partai peserta pemilu.
Selain itu, sebagaimana penelitian-penelitian yang pernah dilakukan oleh Schaffer 2007 dan Kramon 2009, menunjukkan bahwa daerah-daerah miskin dan relatif tertinggal adalah rentan terhadap politik uang.
Schaffer 2007 misalnya dalam penelitiannya di Filipina menyimpulkan bahwa sebanyak 29 persen dari kelompok miskin mengaku menerima politik uang karena mereka membutuhkannya Schaffer,Ed., 2007. Sementara Eric
Kramon 2009 dalam penelitiannya di Kenya menunjukkan bahwa partai atau kandidat pemilu yang melakukan praktik politik uang atau vote-buying cenderung bergerak di wilayah-wilayah yang secara sosial-ekonomi relatif
lebih tertinggal dibandingkan wilayah lainnya. “Pemilih yang lebih miskin kemungkinan lebih rentan terhadap vote-buying karena transfer dalam jumlah kecil saja sangat berharga bagi mereka Kramon, 2009. Oleh karena itu
Aspinall et.al 2015 yang melakukan penelitian tentang politik uang dalam pemilu di Indonesia — dari Aceh hingga Papua — menunjukkan bahwa politik uang dalam Pemilu Legislatif 2014 dengan beragam jenisnya, yang
dibagikan kandidat baik kepada pemilih ataupun penyelenggara pemilu telah mencapai taraf yang sebelumnya tidak pernah terjadi sepanjang sejarah pemilu di Indonesia Aspinall et.al.,2015. Pertanyaannya adalah bagaimana
sikap masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan terhadap politik uang dan apakah berpengaruh terhadap partisipasi mereka dalam Pileg 2014?
Berdasarkan pemikiran-pemikiran di atas, maka tulisan ini sengaja diangkat dari hasil penelitian mengenai partisipasi masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan dalam Pemilu Legislatif 2014 dan hubungannya dengan politik
uang. Tujuannya adalah pertama, untuk memetakan partisipasi masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan dalam Pileg 2014 berdasarkan latar belakang social-ekonomi seperti umur, jenis kelamin, asal kecamatan, agama,
suku bangsa, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan tingkat pendapatan. Kedua, untuk menggambarkan pengetahuan dan sikap masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan terhadap politik uang dalam Pileg 2014. Ketiga,
untuk menggambarkan jenis-jenis dan proses politik uang yang terjadi dalam Pileg 2014 di Kabupaten Pesisir Selatan. Keempat, untuk menjelaskan pengaruh sikap masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan tentang politik uang
terhadap partisipasi pemilih dalam Pileg 2014.
2. KERANGKA KONSEPSUAL
2.1 Konsep Partisipasi Pemilu
Sebagaimana sudah dikedepankan tulisan ini diangkat dari hasil penelitian tentang partisipasi pemilih dan sikap terhadap politik uang vote buying dalam Pileg 2014 di Kabupaten Pesisir Selatan. Konsep penting dan
utama yang dipakai dalam penelitian tersebut adalah konsep partisipasi pemilu atau dalam arti yang lebih luas konsep partisipasi politik, konsep perilaku memilih, dan konsep politik uang.
Tiga konsep ini akan dijelaskan secara berurutan berikut ini. Pertama, konsep partisipasi pemilu. Pada dasarnya konsep partisipasi dalam pemilu merupakan turunan atau bagian dari konsep partisipasi politik. Herbert McClossky
misalnya memberikan pengertian bahwa “partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, baik secara langsung ataupun tidak
langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum” McClosky dalam Miriam,2008. Sedangkan Gabriel A. Almond membagi partisipasi politik menjadi dua pola, yaitu pola konvensiaonal dan pola non-konvensional. Pola
872
Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
Pemilu dan Parlemen
konvensional merupakan bentuk-bentuk partisipasi yang umum dan lazim ditemui, yaitu berupa pemberian suara, diskusi politik, kegiatan kampanye, bergabung dengan kelompok kepentingan, berkomunikasi secara individual
dengan pejabat-pejabat politik maupun adminisitratif. Sedangkan pola non-konvensional merupakan bentuk- bentuk partisipasi yang tidak umum dan tidak lazim ditemui berupa pengajuan petisi, demonstrasi, konfrontasi,
mogok, tindak kekerasan, perang grilya, makar, dan revolusi Almond dalam Miriam, 2008.
Sementara itu Michael Rush dan PhillipAlthoff menggambarkan partisipasi politik sebagai sebuah piramida dengan sepuluh tingkat bentuk partisipasi politik. Bentuk paling rendah dari partisipasi politik adalah apatis,
kemudian tingkat kedua adalah voting atau pemberian suara, tingkat ketiga adalah partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam politik; tingkat keempat adalah partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan
lain-lain; tingkat kelima adalah keanggotaan pasif dalam organisasi semu politik seperti kelompok penekan dan kelompok kepentingan; tingkat keenam adalah keanggotan aktif dalam organisasi semu politik; tingkat ketujuh
adalah keanggotaan pasif dalam organisasi politik seperti partai politik; tingkat kedelapan adalah keanggoataan aktif dalam organisasi politik; tingkat kesembilan adalah mencari jabatan politik atau administratif; dan tingkat
kesepuluh adalah menduduki jabatan politik atau administratif Rush dan Althoff, 2009.
Berdasarkan pendapat McClosky, Almond, Rush dan Althoff di atas dapat difahami bahwa partisipasi politik pada tingkat yang paling rendah adalah keikutsertaan seseorang dalam proses pemberian suara dalam suatu
pemilihan umum. Dan dalam konteks partisipasi dalam pemilihan umum ini terdapat pula bentuk-bentuknya yang lain yaitu keikutsertaan dalam kampanye, memberikan sumbangan untuk kegiatan kampanye, bekerja
sebagai penyelenggara pemilu, mencari dukungan bagi seorang calon atau menjadi tim sukses, dan melakukan tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi hasil proses pemilu, dan sebagainya.
2.2 Konsep Perilaku Memilih
Perilaku memilih adalah bentuk dari partisipasi pemilu atau partisipasi politik dan merupakan bentuk partisipasi yang paling elementer dari demokrasi. Pertanyaan penting mengenai partisipasi politik dalam pemilu
adalah mengapa seseorang memilih partai politik atau calon tertentu dan bukan partai atau calon yang lain. Dalam kajian-kajian perilaku memilih yang dikenal selama ini, mengikuti Evans 2004, Bartels 2008, dan Antunes
2010 telah dibentuk oleh tiga mazhab school of thought utama, yaitu mazhab sosiologi, mazhab psikologi, dan mazhab ekonomi atau rasional. Mazhab soiologi kerap diidentifikasikan sebagai School of Columbia yang
bersumber pada hasil-hasil penelitian Lazarsfeld, Berelson, dan Gaudet yang dibukukan di bawah judul The People’s Choice 1944, yang berfokus pada pengaruh faktor-faktor sosial terhadap perilaku memilih. Disebut
School of Columbia karena peneliti-peneliti dalam mazhab ini seperti Lazarsfeld, Berelson, dan Gaudet berasal dari Universitas Columbia, Amerika Serikat.
Mazhab kedua disebut mazhab psikologi yang diidentifikasikan sebagai School of Michigan dengan rujukan utama karya-karya Campbell, Coverse, Miller dan Stokes yang berjudul The American Voter 1960, yang
mengasumsikan bahwa identifikasi partai merupakan faktor utama dibalik perilaku memilih. Disebut School of Michigan karena para peneliti yang berhimpun dalam mazhab ini berasal dari Universitas Michigan, Amerika Serikat.
Mazhab ketiga adalah mazhab ekonomi atau rasional yang merujuk kepada model memilih ekonomi model of economic voting yang dikenali sebagai School of Rochester yang didasarkan pada karya besar Anthony Downs yang
berjudul An Economic Theory of Democracy 1957, yang menekankan pada variabel-variabel seperti rasionalitas, pilihan, ketidakpastian dan informasi sebagaimana dikembangkan dalam teori-teori ekonomi mengenai pasar.
Disebut School of Rochester karena para peneliti dalam mazhab ini berasal dari Universitas Rochester, Amerika Serikat.
Para sarjana lain ada yang menambahkan mazhab keempat, yaitu model ideologi dominan the dominat ideology model yang digagas oleh Heywood 2007. Tetapi model keempat ini yang percaya bahwa proses
manipulasi dan kontrol ideologi akan sangat berpengaruh terhadap preferensi pemilih dalam pemilu, relatif kurang berkembang dibandingkan dengan tiga mazhab atau model terdahulu. Model ini berasal dari negara-negara sosialis
yang memiliki jumlah pilihan yang sangat terbatas Heywood dalam Ali Nurdin, 2014.