Kerajaan Demak Kerajaan Pajang

182 Istana Pajang. Hal ini berarti pusat kerajaan pindah dari Demak yang dekat dengan pantai ke pedalam- an yang agraris. Sultan Hadiw ijaya menyerang Arya Penang- sang di Jipang. Dalam pasukan Pajang tersebut tu-rut serta Ki Ageng Pemanahan Ki Ageng Ma- taram. Danang Sutaw ijaya putera Pemanahan ikut juga dalam pasukan Pajang itu. Dalam sebuah pertem-puran, Sutaw ijaya berhasil membunuh Arya Pe-nangsang. Dengan wafatnya Arya Penangsang, Pajang menjadi kerajaan paling kuat dan mewarisi kekua- saan Demak. Sedangkan, Kerajaan Demak semakin merosot. Arya Pangiri menantu Sultan, diangkat sebagai bupati di Demak. Daerah-daerah yang memberikan pengakuan atas kekuasaan Pajang, antara lain: Demak, Pati, Tu- ban, Surabaya, Madiun, Blitar, Pemalang, Kra-pyak, dan Kedu Selatan. Tiap wilayah ini diperin-tah oleh seorang bupati. Ki Ageng Pemanahan Ki Ageng Mataram di- angkat menjadi bupati Mataram. Sutaw ijaya Raden Bagus atau Raden Ngabei Loring Pasar di-pungut sebagai anak angkat oleh Sultan Hadiw ija-ya. Ia dibesarkan di dalam istana bersama Pange-ran Benawa putera mahkota. Pada tahun 1575, Ki Ageng Pemanahan mening- gal, dan dimakamkan di makam Pasar Gede. Sultan Hadiw ijaya memilih Sutawijaya mengganti-kan Ki Ageng Pemanahan menjadi semacam bupa-ti petinggi Mataram. Pada tahun 1582, Sultan Hadiw ijaya mangkat. Kerabat Keraton Demak, khususnya trah keturun- an Trenggana, mengangkat Pangeran Arya Pangiri sebagai Sultan Pajang. Namun, usaha ini ditentang oleh rakyatnya. Pangeran Benawa pewaris tahta minta bantuan kepada Sutaw ijaya untuk mengusir Arya Pangiri dan mengembalikannya ke Demak se-bagai bupati. Pangeran Benawa merasa tidak mampu memegang tampuk pemerintahan Keraja- an Pajang. Oleh karena itu, mahkota kerajaan di- serahkan kepada Sutaw ijaya. Dengan demikian, tamatlah riwayat Kerajaan Pajang tahun 1586 dan selanjutnya timbul Kerajaan Mataram.

E. Kerajaan Mataram Islam

Sutaw ijaya memperoleh hak dan mahkota Ke- rajaan Pajang dari Pangeran Benawa. Atas permin- taan Sutaw ijaya, semua alat upacara kerajaan dan pusaka Majapahit dipindahkan dari Pajang ke Ma- taram tahun 1586. Sutawijaya menjadi Raja Mataram pertama bergelar Panembahan Senopati Ingalaga Sayidina Panatagama 1586-1601. Gelar itu menunjukkan bahwa selain sebagai seorang raja, Panembahan Senopati sekaligus adalah panglima perang dan pe-mimpin agama. Panembahan Senopati bercita- cita ingin mempersatukan Pulau Jawa di bawah Mata-ram, sehingga ia memerlukan penasihat. Oleh ka-rena itu, Juru Martani pamannya diangkat sebagai penasihat. Dalam usaha mencapai cita-citanya, Senopati segera melakukan ekspedisi ke Jawa Timur yakni ke Surabaya 1586, Madiun, Ponorogo, Pasuruan 1587, Panarukan, dan Blambangan yang masih menganut agama Hindu. Daerah-daerah itu berha- sil ditaklukkan. Akan tetapi, setelah ditinggalkan mereka kemudian melepaskan diri lagi. Jawa Barat dan Jawa Tengah pun tidak luput dari pandangannya. Pada tahun 1595, Cirebon dan Galuh ditundukkan. Demikian juga Pati dan Demak, yang pada saat itu mencoba untuk mem- berontak. Namun, Banten belum berhasil ditak- lukkan. De-ngan keberhasilan yang telah diraih, berarti Pa-nembahan Senopati sudah meletakkan dasar yang kokoh dan kuat untuk mempersatukan seluruh Ja-wa dengan Kebudayaan Islam Jawa sebagai kelan-jutan dari kesatuan Majapahit yang berbudaya Hindu Jawa. Pada mulanya Panembahan Senopati menga- lami kesulitan dalam memerintah rakyat di pesisir utara Jawa. Hal ini disebabkan rakyat semula biasa berdagang, sedangkan Panembahan Senopati ber- pola pedalaman yang mementingkan pertanian. Akibatnya, perdagangan mengalami kemunduran. Selanjutnya, Panembahan Senopati meningkatkan bidang pertanian sehingga kian maju dan rakyat menjadi makmur sehingga Mataram dikenal seba- gai “lumbung padi”. Panembahan Senopati wafat pada tahun 1601. Ia dimakamkan di Kota Gede. Mas Jolang putera Panembahan Senopati menggantikannya sebagai sultan. Mas Jolang juga melakukan banyak pepe- rangan. Di zaman Senopati peperangan dilakukan untuk menaklukkan daerah-daerah. Pada zaman Mas Jolang, peperangan dilakukan untuk menum- pas daerah-daerah yang bermaksud melepaskan diri dengan cara memberontak. Mas Jolang berperang menumpas dan mena- klukkan Demak, Ponorogo, dan Surabaya 1612. Namun, ketika Surabaya belum berhasil ditunduk- kan, Mas Jolang wafat 1613. Ia dimakamkan di Kota Gede. Ia dikenal dengan sebutan Panembahan Seda Krapyak. Pengganti Mas Jolang ialah Mas Rangsang, yang terkenal dengan sebutan Sultan Agung. Dalam masa pemerintahannya, Sultan Agung membagi Mata- ram menjadi beberapa wilayah yaitu:  Wilayah Kraton 183 Sumber: Indonesian Heritage 2: 2002. Wilayah ini adalah pusat pemerintahan. Wila- yah kraton disebut juga Kutanagara atau Kuta- gara.  Wilayah sekitar Kraton Wilayah sekitar kraton disebut Negara Agung. Yang termasuk wilayah sekitar kraton adalah Kedu, Bagelan, dan Pajang.  Wilayah di luar Negara Agung Wilayah di luar Negara Agung disebut Pasisir- an. Wilayahnya meliputi daerah pantai.  Wilayah di luar Mataram Wilayah di luar Mataram disebut Mancanega- ra. Sultan Agung bercita-cita dan berusaha mem- persatukan seluruh Nusantara. Wilayah Nusan-tara yang sudah berhasil ditaklukkan antara lain Jawa Tengah, Jawa Timur, sebagian Jawa Barat ter-masuk Banten. Sedangkan Batavia belum berhasil ditak- lukkan. Pada tahun 1628 dan 1629, Sultan Agung me- ngerahkan ribuan prajurit untuk menyerang VOC di Batavia. Akan tetapi, kedua serangan itu gagal. Oleh karena itu, Mataram harus selalu waspada terhadap rongrongan VOC. Kegagalan kedua se- rangan tersebut antara lain disebabkan:  jarak Batavia dan pusat kekuatan Mataram di Jawa Tengah terlalu jauh;  kurangnya makanan;  serangan penyakit menular yang menimpa para prajurit. Sultan Agung, sebagai seorang muslim, tidak lupa memperhatikan bidang keagamaan. Tradisi Grebekan Maulud dan perayaan Sekatenan diadakan setiap tahun. Grebekan Maulud dan Sekatenan adalah upacara memperingati hari lahirnya Nabi Mu- hammad SAW. Setiap Jumat, Sultan Agung sholat bersama dengan rakyatnya di Masjid Agung di lingkungan keraton. Demikian pula pada hari-hari raya Islam, Sultan Agung merayakannya bersama dengan rakyat. Kedisiplinan, kejujuran, ketertiban, tanggung jawab dan keadilan sangat d ijunjung tinggi dan selalu diwujudkan oleh Sultan Agung dalam setiap kesempatan. Sikap-sikap tersebut juga diterapkan kepada para pembesar kerajaan dan lingkungan keluarganya. Misalnya, pada suatu ketika Prabu Anom, putra mahkota berbuat sesuatu yang ku- rang terpuji. Sultan Agung sangat malu dan selama 40 hari ia tidak melakukan sholat di masjid. Para pembesar dan rakyat Mataram sangat sedih. Sete- lah putra mahkota meminta maaf dan menyadari kesalahannya, barulah Sultan Agung kembali tam- pil di muka umum. Pada tahun 1633, Sultan Agung menciptakan kalender Jawa yang merupakan perpaduan antara kalender Saka dan kalender H ijriyah. Beliau menetap- kan tanggal 1 Muharam 1043 H menjadi tanggal 1 Mu-haram Suro tahun 1555 tahun Jawa. Tahun 1633 bertepatan dengan tahun 1043 H dan tahun 1555 Saka. Perhatian Sultan Agung terhadap perkem- bangan sastra sangat besar. Ia sendiri bahkan meru- pakan seorang sastrawan. Di dalam bidang sastra, Sultan Agung mengarang kitab Serat Sastra Gending yang berisi ajaran filsafat Jawa. Sultan Agung wafat pada tahun 1645. Ia dima- kamkan di Imogiri. Sepeninggal Sultan Agung, Mataram mengalami kemunduran karena raja-raja penggantinya lemah dalam menghadapi Belanda. Sultan Agung digantikan oleh putranya yang ber- gelar Amangkurat I. Amangkurat I memerintah Mataram dari ta-hun 1645-1677 M. Ketika ia menduduki tahta Kera-jaan Mataram, Belanda mulai masuk ke daerah Ke-rajaan Mataram. Amangkurat I bersekutu dengan Belanda. Bahkan Belanda diperbolehkan men-dirikan ben- teng di Kerajaan Mataram. Tindakan Belanda semakin sewenang-wenang. Pada masa pemerintahan Amangkurat I muncul pemberontakan yang dipimpin oleh Trunajaya dari Madura. Ibukota Mataram bahkan hampir dikuasai Trunajaya. Akhirnya pemberontakan Trunajaya dapat dipatahkan karena persenjataan Trunajaya kalah dari pasukan Belanda. Dalam sebuah pertem- puran di ibukota Kerajaan Mataram, Amangkurat I terluka. Ia dilarikan ke Tegalwangi oleh putranya. Amangkurat I akhirnya meninggal di Tegalwangi. Amangkurat I digantikan oleh Amangkurat II. Amangkurat II memerintah Mataram dari tahun 1677-1703 M. Di bawah pemerintahannya, wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram semakin sempit. Sa-tu per satu daerah-daerah kekuasaan Mataram ja-tuh ke tangan Belanda. Mataram hanya menjadi negara kecil di bawah kekuasaan Belanda. Sebagian besar daerah-daerah kekuasaan Mataram diambil Gambar 5.2.4 Tradisi Mauludan di Keraton Yogyakarta. Ini merupakan salah satu warisan budaya yang dipengaruhi oleh agama Islam.