Sistem kemasyarakatan Ilmu Pengetahuan Sosial IPS 1 Kelas 7 Atang Husein C Suprijadi CH Supatmiyarsih M 2008

23 diri pada kondisi alam. Daerah-daerah yang di- diami harus memberikan persediaan makanan untuk kelangsungan hidupnya. Tempat-tempat se-perti itu harus mengandung bahan makanan dan air. Manusia hidup dalam kelompok-kelompok dan membekali dirinya untuk menghadapi lingkungan sekelilingnya. Masyarakat sebagai kumpulan indi- vidu membentuk ikatan-ikatan yang perlu di-patuhi oleh individu kelompok tersebut. Individu yang hidup sendiri-sendiri tak mungkin memben-tuk suatu kehidupan sosial karena bagi mereka hal itu memang tidak diperlukan. Pada masa kehidupan mengembara nomaden mereka terdiri dari kelompok-kelompok kecil yang hidup di gua-gua. Gua-gua yang mereka pilih terle- tak di daerah yang sangat dekat dengan sumber makanan seperti daerah di tepi-tepi pantai dan su- ngai. Mereka mempunyai seorang pemimpin yang dianggap paling tua sesepuh. Kehidupan keluarga tidak jelas, yang pasti mereka mengenal hidup ber- keluarga. Hal ini penting untuk melanjutkan ketu- runan. Sistem pembagian kerja di antara mereka sudah ada. Kaum pria bertugas mencari makanan. Hal ini didasarkan pada kondisi alam yang kasar dan didukung fisik yang relatif lebih kuat diban- dingkan dengan kaum wanita. Sedangkan tugas kaum wanita antara lain: 5 Mengumpulkan makanan yang memerlukan tenaga yang tidak terlalu besar. 5 Mengurus anak-anak. 5 Memilih seleksi tumbuh-tumbuhan yang da- pat dimakan. 5 Membimbing anak-anak dalam meramu ma- kanan. 5 Berkewajiban memelihara api setelah ditemu- kan. 5 Meningkatkan cara-cara menyiapkan makan- an. Kehidupan mengembara nomaden berlang- sung terus dari zaman batu tua sampai zaman batu tengah mesolithikum. Baru pada zaman batu mu-da ada tanda-tanda bahwa mereka telah hidup me-netap sedenter. Ini merupakan suatu revolusi besar pertama dalam kehidupan manusia, bersa- maan dengan revolusi di bidang ekonomi. Proses peru-bahan tata kehidupan tersebut ditandai den- gan perubahan cara memenuhi kebutuhan hidup, yang berlangsung secara perlahan-lahan. Demikian pula bentuk tempat-tempat tinggal yang dibangun se-cara tidak beraturan. Bentuk rumah pada tingkat permulaan agak kecil, berbentuk bulat, atap dari daun-daunan dan langsung ke tanah. Setelah itu, bentuk rumah berkembang ke bentuk-bentuk yang lebih besar, yang dibangun di atas tiang. Rumah- rumah itu biasanya dibangun berdekatan dengan ladang. Pendirian rumah bertiang itu dimaksud- kan untuk menghindarkan diri dari bahaya banjir atau gangguan binatang buas. Pembuatan rumah ini dilakukan dengan cara gotong royong yang disertai berbagai upacara yang bertingkat-tingkat dan pantangan. Pada masa ini mereka telah memelihara hewan peliharaan beternak. Hewan yang penting pada masa itu ialah anjing dan babi. Anjing dipelihara untuk berburu sedangkan babi untuk dimakan da-gingnya. Anjing juga sangat penting sebagai bina-tang korban dalam upacara keagamaan. Pada masa perundagian manusia hidup di desa-desa daerah pegunungan, dataran rendah, dan tepi-tepi pantai. Tata kehidupan mereka semakin teratur dan ter-pimpin. Kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam berba- gai bidang teknologi, yang bertujuan me-ningkatkan kesejahteraan hidup, mengakibatkan bertambahnya masyarakat yang sudah teratur. Namun demikian, perburuan binatang-binatang liar seperti harimau dan k ijang masih dilakukan. Perburuan ini dimak- sudkan untuk menunjukkan tingkat keberanian seseorang dalam lingkungan masyarakat tersebut. Coba kamu bandingkan sistem kemasyarakat zaman sekarang dengan sistem kemasyarakatan za- man dahulu. Apa saja unsur-unsur kesamaan-nya? Apa perbedaan yang paling mencolok dalam sistem kemasyarakatan zaman dahulu dengan za-man sekarang? Apa manfaat teknologi bagi masya-rakat? Apakah manfaat teknologi tersebut meng-alami perubahan dan pergeseran dewasa ini?

B. Sistem kepercayaan

Kehidupan kepercayaan masa prasejarah baru dimulai pada masa batu muda, sejalan dengan tingkat kehidupan mereka yang telah menetap. Sebelum masa itu, bukti-bukti adanya kehidupan kepercayaan masih sangat samar-samar. Adanya lukisan di gua-gua pada masa akhir batu tengah mungkin merupakan petunjuk adanya kehidupan kepercayaan. Lukisan-lukisan di gua-gua membe- rikan petunjuk, bahwa masyarakat pada waktu itu sudah mengenal adanya kekuatan gaib yang dianggap lebih berkuasa. Petunjuk lain dari masa sebelum kehidupan menetap ialah adanya pengu- buran mayat. Kiranya penguburan ini menunjuk- kan bahwa mereka telah menghargai kehidupan setelah mati. Mereka juga mempunyai anggapan bahwa roh orang yang sudah mati mempunyai pe- ngaruh terhadap kehidupan manusia yang masih ada di dunia ini. Bukti-bukti tentang penguburan ditemukan di Gua Lawa Lampung, Sodong, dan di Bukit Kerang Sumatera Utara. Upacara yang paling mencolok adalah upacara pada waktu penguburan, terutama 24 bagi mereka yang dianggap tetua sesepuh oleh masyarakat. Tradisi mendirikan bangunan mega- litik selalu berkaitan dengan kepercayaan bahwa ada hubungan antara yang masih hidup dan yang telah mati. Bangunan batu didirikan sebagai peng- hormatan kepada roh nenek moyang dan simbol bagi kedatangannya. Bangunan-bangunan ini dite- mukan di daerah-daerah Laos, Nankin, Indonesia, Pasifik sampai Polinesia. Tradisi megalitik yang masih hidup hingga sekarang antara lain di As- sam, Burma suku Naga, Khori, dan Ischim, dan Indonesia Nias, Toraja, Flores, dan Sumba.

C. Pertanian

Pola bercocok tanam dikerjakan dengan amat sederhana dan dilakukan secara berpindah-pindah menurut kadar kesuburan tanah. Hutan yang akan d ijadikan tanah pertanian dibakar terlebih dahulu serta dibersihkan, kemudian ditanami umbi-umbian seperti keladi. Mereka sudah menanam suatu jenis padi liar yang terdapat di hutan dan kemudian mengetam dengan menggunakan pisau-pisau batu yang tajam. Setelah musim panen, tanah pertanian yang sederhana tersebut ditinggalkan. Pola pertanian amat sederhana yang dilakukan secara berpindah- pindah ini ditemukan di daerah Asia Tenggara. Jenis tanam-tanaman itu pada umumnya tumbuh secara liar, tetapi ada juga yang sengaja ditanam dengan jalan memisahkan tunas-tunasnya atau dengan langsung menanam pokok-pokok batangnya. Tanaman lain yang mungkin sudah dikenal adalah tanaman jenis rumput-rumputan yang di- tanam di sawah kering yaitu dengan menaburkan b iji-bijian. Perlu diingat bahwa, alam tidak sela- manya menyediakan tanah yang subur. Pada suatu ketika semua itu akan berkurang dan tanah-tanah makin habis kesuburannya. Akibatnya, tanah yang kurang subur tersebut ditinggalkan. Kemu-dian, tanah baru dibuka di tempat lain dengan menebangi hutan-hutan dan membakar semak belukar yang telah mengering. Alat-alat yang di-gunakan pada masa itu terbuat dari batu, tulang-tulang binatang, tanduk, dan kayu. Di tempat-tempat tandus muncul industri- industri lokal yang menghasilkan alat-alat kerja un- tuk kepentingan masyarakat. Bukti-bukti ten-tang hal ini kita temukan di beberapa tempat seperti di Punung, Kendeng, Lembu, Wonogiri, sekitar Bo-gor, Purwakarta, dan di Lahat Sumatera Selatan.

D. Bahasa

Pada masa berburu dan mengumpulkan ma- kanan, mereka selalu bergerombol. Untuk me- nangkap binatang diperlukan sikap gotong royong, alat-alat berburu, pemikiran, komunikasi, daya ingat, kemampuan merancang, dan koordinasi otot. Hasil buruan tersebut tentu tidak habis di-makan di tempat, sehingga makanan itu harus di-bawa ke pangkalan tempat tinggal dan disimpan. Dalam kegiatan sosial tersebut tentu diperlukan alat ko- munikasi. Ada dugaan bahwa bahasa dalam ben- tuk sederhana sudah dipakai oleh pithecanthropus, walaupun harus dibantu dengan isyarat wajah dan anggota badan. Timbulnya komunikasi dalam evolusi budaya dicerminkan dalam perkembangan otak dan ben- tuk tenggorokan. Bahasa sebagai alat komunikasi ma-nusia sudah mulai terbentuk pada tingkat berburu. Kemungkinan adanya bentuk-bentuk komunikasi dengan bahasa yang masih sederhana dapat di-buktikan melalui penelitian endokranial pada pi-thecanthropus. Pada tingkat homo sapiens telah tercipta bahan yang menjadi alat komunikasi utama dalam kehidupan sosial manusia. Hasil-hasil penyelidikan menunjukkan bahwa bahasa-bahasa yang digunakan di Kepulauan Indonesia termasuk rumpun Melayu Polinesia. Kese-rumpunan ini didasarkan atas penelitian Basic Vocabulary pada berbagai bahasa yang diperguna- kan di Kepulauan Austronesia hingga Polinesia. Bahkan, ciri-ciri keserumpunan itu d ijumpai pada bahasa-bahasa Mon Khmer-Thai di daratan Asia Tenggara.

E. Pelayaran

Masyarakat prasejarah Indonesia telah menge- nal astronomi. Ilmu yang sangat membantu pada saat mereka berlayar dari pulau ke pulau dengan memakai perahu yang sangat sederhana. Pem- buatan perahu dilakukan secara gotong royong. Sebatang pohon besar yang ditumbangkan ber- sama-sama untuk keperluan pembuatan perahu dipotong-potong dengan alat batu dan disesuaikan dengan ukuran perahu yang dikehendaki. Setelah potongan batang pohon itu kering, kulitnya diku- pas dengan alat beliung dan belicung. Untuk pem- buatan rongga, dilakukan pembakaran sedikit demi sedikit. Selanjutnya perahu dihaluskan, kemudian disiapkan cadik-cadik di kedua belah sisi badan perahu. Perahu-perahu cadik merupakan bentuk yang paling umum dikenal pada waktu itu. Perahu cadik merupakan elemen terpenting yang tidak dapat dipisahkan dari penyebaran tradisi beliung persegi dengan segala aspeknya sosial ekonomi dan keper- cayaan. Pada masa bercocok tanam telah muncul bentuk perdagangan yang bersifat barter. Barang-barang yang ditukarkan itu dibawa dengan jarak tempuh yang jauh melalui sungai, laut dan darat. Perahu