20
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
belajar matematika sehingga membuat persepsinya terhadap pembelajaran yang dilakukan menjadi positif.
3.
Metode Penelitian
Di dalam penelitian kuasi eksperimen ini terdapat dua kelas yang mendapat perlakuan yang berbeda. Kelas yang satu terdiri dari dari 40 orang siswa merupakan kelas yang memperoleh
pembelajaran heuristic dengan pendekatan silang budaya, sedangkan kelas yang satunya lagi yang terdiri dari 41 orang siswa memperoleh pembelajaran biasa. Sebelum dan sesudah pembelajaran
kepada seluruh siswa diberikan skala sikap untuk melihat tingkat nasionalismenya dan peningkatannya. Pada akhir pembelajaran siswa di kelas yang memperoleh pembelajaran heuristic
dengan pendekatan silang budaya juga memperoleh angket untuk melihat persepsi mereka terhadap pembelajaran yang dilakukan. Sehingga pada akhirnya dapat dideskripsikan bagaimana
perningkatan soft skills nasionalisme siswa dan persepsi siswa terhadap pembelajaran heuristic dengan pendekatan silang budaya, yang diharapkan dapat memberikan masukan terhadap
pengembangan soft skills siswa untuk kemudian dikembangkan dengan hard skills-nya secara bersamaan dan seimbang.
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Setelah kedua kelompok siswa memperoleh pembelajaran heuristic dengan pendekatan silang budaya serta pembelajaran biasa, soft skill nasionalisme siswa dapat dideskrpsikan sebagai berikut:
Tabel 1. Deskripsi Soft Skill dan Persepsi pada kedua kelompok Siswa Variabel
Dat Stat
Pembelajaran Heuristik dengan Pendekatan Silang Budaya
Pembelajaran Biasa N
Pretes Poste
s G
N Prete
s Poste
s G
Soft skills nasionalisme
� 40
32,91 11,8
87,63 84,4
0,97 41
32,77 11,08
66,77 63,1 0,63
s 3,12
- 3,17
- -
3,09 -
2,91 -
- Persepsi
� 40
- -
97,89 78,8
- -
s -
- 5,96
- -
Dari Tabel 1 di atas bahwa rata-rata pretest kelas yang menggunakan pembelajaran heuristic dengan silang budaya dengan kelas yang menggunakan pembelajaran biasa tidak terlalu jauh
berbeda yaitu 32,91 dan 32,77. Dengan menggunakan SPSS diperoleh sig = 0, 476 lebih besar dari α= 0,05 artinya tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara soft skill nasionalisme siswa yang
menggunakan pembelajaran heuristic dengan pendekatan siang budaya dengan yang menggunakan pembelajaran biasa. Berarti sebelum pembelajaran dialkukan soft skill nasionalisme mereka sama.
Dari hasil post test soft skill nasionalisme siswa yang menggunakan pembelajaran heuristic silang budaya meningkat lebih tinggi dari yang menggunakan pembelajaran biasa yaitu 87,63 dan 66, 7
atau rata-rata gainnya 0,97 dan 0,63. Dengan menggunakan SPSS diperoleh sig= 0,000 dan sig=0,03 untuk gainnya, keduanya ebih ke
cil α= 0,05 artinya pencapaian dan peningkatan soft skill nasionalisme siswa yang menggunakan pembelajaran heuristic dengan pendekatan silang budaya
lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran biasa. Berdasarkan wawancara penulis dengan siswa, siswa yang menggunakan pembelajaran heuristic
dengan pendekatan silang budaya selain bisa lebih memahami materi matematika yang diajarkan mereka juga bisa lebih mengetahui keaneka ragaman budaya baik dari negaranya sendiri maupun
negara orang lain, dan mereka bangga bahwa kebudayaan Indonesia tidak kalah beragam dan menariknya dibandingkan dengan Negara lain, dan itu yang membuat mereka bangga sebagai
bangsa Indonesia dan lebih mencintai Negara ini. Hal ini berarti bahwa pembelajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran heuristic dengan pendekatan silang budaya menjadi
pembelajaran bermakna bagi siswa. Dengan menggunakan materi budaya berdasarkan teori
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
21 Ausubel Trianto, 2007:25 bisa membantu siswa menanamkan pengetahuan baru dalam suatu
materi dengan menggunakan konsep-konsep awal yang sudah dimiliki siswa yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari. Ausubel Ruseffendi, 1991: 172 menyatakan bahwa belajar
bermakna ialah belajar yang untuk memahami apa yang sudah diperolehnya itu dikaitkan dengan keadaan lain sehingga belajarnya itu lebih mengerti.
Dengan membuat siswa lebih memahami materi karena diantarkan dengan materi budaya maka hal ini sejalan dengan Teori gestalt bahwa dalam menyajikan suatu konsep, pembelajaran hendaknya
lebih mengutamakan pengertian. Teori Gestalt yang sering pula disebut dengan
field theory
atau
insight full learning
Purwanto, 1990:101 menyatakan bahwa belajar bukan hanya sekedar merupakan proses asosiasi antara stimulus respons yang makin lama makin kuat karena adanya
latihan-latihan atau ulangan-ulangan. Belajar terjadi jika ada pengertian. Pengertian atau
insight
muncul apabila seseorang setelah beberapa saat mencoba memahami suatu masalah, tiba-tiba muncul adanya kejelasan, terlihat olehnya hubungan antara unsur-unsur yang satu dengan yang lain
kemudian dipahami sangkut pautnya dan dimengerti maknanya. Selanjutnya teori ini juga menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses rentetan penemuan dengan bantuan pengalaman-
pengalaman yang sudah ada. Manusia belajar memahami dunia sekitarnya dengan jalan mengatur dan menyusun kembali pengalaman-pengalamannya yang banyak dan berserakan menjadi suatu
struktur dan kebudayaan yang berarti dan dipahami olehnya. Keberagaman kebudayaan beserta keunikannya yang menyiratkan kekhasan masing-masing budaya
merupakan potensi bagi pengembangan pembelajaran di sekolah. Pendekatan multikultural Rohidi, 2002 didesain dengan menekankan pentingnya pluralisme sosial, keberagaman budaya,
etnik dan kontekstualisme. Berdasarkan pendekatan ini pembelajaran dipandang sebagai intervensi sosial dan budaya, sehingga pada saat mengajar guru tidak hanya mempertentangkan tetapi secara
konsisten menyadari bias sosial budayanya. Melalui pendekatan ini pula penggunaan pendidikan disarankan tanggap budaya, yang secara lebih tegas dapat menunjukkan perbedaan etnik dan sosio
budaya di kelas, masyarakat, nasional dan internasional. Dari tabel 1 dengan rata-rata 97,89 atau perolehan 78,8 juga terlihat bahwa persepsi siswa
terhadap pembelajaran heuristic dengan pendekatan silang budaya pada umumny positif karena membuat pembelajaran berlndaskan konstruktivisme dimana:
1
Guru memulainya dengan memperbaiki sikap negatif yang mungkin mereka miliki terhadap pluralisme sosial, keagamaan dan etnis.
2 Guru dan siswa melakukan analisa situasi agar akrab dengan masyarakat.
3 Guru dan siswa memilih materi yang relevan dan sekaligus menarik
4 Guru dan siswa bersama-sama menyelidiki persoalan yang berkaitan dengan materi yang
dipilih. Dalam hal ini disarankan mengidentifikasi persoalan sosial yang berkaitan dengan agama , suku, kehidupan ekonomi, kemampuan, mental serta fisik. Dengan memanfaatkan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, guru dan siswa bisa juga berselancar di dunia maya untuk studi komparatif terhadap persoalan dan solusi yang bisa dikemukakan di dunia
internasional.
5. Kesimpulan dan Rekomendasi
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan dan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa: 1.
Pencapaian dan peningkatan soft skill nasionalisme siswa yang menggunakan pembelajaran heuristic dengan pendekatan silang budaya lebih baik daripada yang
menggunakan pembelajaran biasa. 2.
Persepsi siswa pada pembelajaran heuristic dengan pendekatan silang budaya, pada umumnya positif.
22
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
5.2. Rekomendasi
Untuk itu direkomendasikan: 1
Dalam pembelajaran matermatika hendaknya selalu diawali dengan masalah yang kontekstual dengan kehidupan siswa diantaranya dengan mengenalkan beragam kebudayaan Negara kita
dengan Negara lain, sehingga selain membuat siswa lebih memamahmi materi matematika juga menambah wawasannya tentang budaya tersebut.
2 Selalu ditekankan kepada siswa bahwa pelajaran matematika adalah ratu dan pelayan ilmu
sehingga bisa luwes memasukkan berbagai pluralisme budaya dan perkembangan informasi terkini sehingga pembelajaran bisa mengikuti perkembangan zaman. Sehingga siswa bisa
menyadari bahwa banyak permasalahan yang dapat diselesaikan dengan matematika, dan dengan mengintegrasikan materi budaya membuat pelajaran matematika lebih menarik.
DAFTAR PUSTAKA
Banks, J.A 1993. ‖Multicultural Education: Historical Development, Dimentions and Practice‖. In Review of Research Education, vol. 19, edited by L. Darling-Hammond. Washington,
DC: American Educational Research Assosiaciation. Banks, J.A. 1994.
Multiethnic Education: Theory and Practice
, 3rd ed. Boston: Allyn and Boston.Bennett,C. Spalding,E. 1992. ―Teaching the Social Studies: Multiple Approaches
for Multiple Perspectives‖. In Theory and Reseach in Social Education. XX:3263-292 Ernest, P. 1991.
The Philosophy of Mathematics Education.
Hamisphere: The Parmer Press.
Hendra 2007.
Komunikasi.
[Online]. Tersedia:
http:indonesia.siutao.comtetesankomunikasi.php. 12 Desember 2008 Purwanto, N 1990.
Psikologi Pendidikan.
Bandung: Remaja Rosda Karya. [4] Rohidi,
T.R 2002.
Pendidikan Seni
Multikultural.
[Online]. Tersedia:
http:www.suaramerdeka.comharian020923kha2.htm 19 Februari 2009 Ruseffendi, E.T 1988.
Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran matematika untuk Meningkatkan CBSA.
Bandung: Tarsito.
Tim MKPBM 2001.
Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
UPI: JICA.Tim 2003.
Komunikasi.
[Online]. Tersedia: http:www.kmpk.ugm.ac.iddataSPMKK3d- 11Desember 2008.
Tim Bochalas
2008.
Membangun Komunikasi
yang Efektif.
[Online]. Tersedia:
http:bocahalas.lingkungan.org?p=19 Trianto 2007.
Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.
Jakarta: Prestasi Pustaka.
Wurianto, A.B2002.
Pendekatan Silang Budaya sebagai Pencitraaan Budaya Indonesia melalui Pengajaran BIPA.
[Online]. Tersedia: www.ialf.edukipbipapapersArifBudiWurianto.doc - 13
Februari 2009
Yusup, P.M 2002.
Teori dan Penemuan Ilmiah dalam Lingkungan Ilmu Informasi, Komunikasi dan Kelembagaan Informasi termasuk Perpustakaan.
Jakarta:Kompas Zainudin, R.B. 2008.
Pembelajaran Berbasis Multikultur sebagai Gerakan Pembaharuan dalam Pendidikan.
[Online].Tersedia: http:waykanan.go.idindex.php?option=com_contenttask=viewid=78Itemid=2
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
23
PENGARUH PENERAPAN KONTEKSTUAL TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR MATEMATIS TINGKAT
TINGGI SISWA SMP
Asep Ikin Sugandi
STKIP Siliwangi asepikinsugandiyahoo.co.id
ABSTRAK
Artikel ini melaporkan hasil temuan suatu kuasi eksperimen dengan disain tes akhir kelompok kontrol untuk menelaah pengaruh pembelajaran Kontekstual dengan, level sekolah, dan
kemampuan awal matematika siswa terhadap kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi siswa. Studi ini melibatkan 282 siswa dari tiga SMP level rendah, menengah, dan tinggi di kota
Cimahi. Instrumen penelitian terdiri dari satu set tes yaitu satu set soal kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi. Penelitian menemukan bahwa pembelajaran Kontekstual
memberikan pengaruh terbesar dibandingkan dengan pengaruh pembelajaran konvensional, level sekolah, dan kemampuan awal matematika siswa terhadap pencapaian kemampuan
berpikir matematis tingkat tinggi. Ditemukan pula bahwa terdapat interaksi antara pembelajaran dengan level sekolah dan tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dengan
level kemampuan awal matematika siswa terhadap kemampuan kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi
Kata Kunci: Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi, Pembelajaran Konstektual
1. Pendahuluan
Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi KBMTT merupakan hal yang penting dalam pendidikan matematika, perlu dilatihkan pada siswa dari mulai jenjang pendidikan dasar sampai
menengah. Siswa perlu dibekali keterampilan seperti itu supaya siswa mampu memecahkan permasalahan yang dihadapi secara kritis dan kreatif. Pentingnya Kemampuan Berpikir
Matematika Tingkat Tinggi KBMTT dilatihkan kepada siswa, didukung oleh tujuan pendidikan matematika yang mempunyai dua arah pengembangan yaitu memenuhi kebutuhan masa kini dan
masa yang akan datang Sumarmo, 2002, 2004, 2005. Tujuan pertama untuk kebutuhan masa kini, pembelajaran matematika mengarah pada pemahaman
konsep-konsep yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematik dan ilmu pengetahuan lainnya. Tujuan kedua untuk kebutuhan masa yang akan datang atau mengarah ke masa depan,
mempunyai arti lebih luas yaitu pembelajaran matematika memberikan kemampuan nalar yang logis, sistematis, kritis, dan cermat serta berpikir objektif dan terbuka yang sangat diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari serta untuk menghadapi masa depan yang selalu berubah. Kemudian ditegaskan pula oleh Kurikulum 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
KTSP serta Badan Standar Nasional Pendidikan 2006: 1 bahwa peserta didik dari mulai sekolah dasar perlu dibekali dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, dan
kemampuan bekerja sama. Secara rinci dikemukakan bahwa pembelajaran matematika selain menekankan penguasaan konsep, tujuan lainnya adalah:
1
Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan; kegiatan eksplorasi; eksperimen; menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsisten,
dan inkonsistensi.