Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
125 dapat memberikan kontribusi dalam mencapai tujuan belajar. Kegiatan
organizing
pembelajaran juga berkontribusi terhadap SRL dalam aspek kegiatan refleksi dan kemajuan belajar siswa.
Kegiatan
reflecting
dalam pembelajaran membentuk SRL dalam aspek melakukan refleksi belajar. Siswa berupaya mengontrol dirinya dalam belajar melalui kegiatan refleksi yang bertujuan untuk
memastikan langkah belajar yang dilakukannya telah sesuai dengan aturan dan memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan.
Kegiatan
extending
yang memperluas wawasan materi pembelajaran berdampak terhadap SRL dalam melakukan berbagai strategi pengembangan belajar siswa maupun dalam melakukan
aktivitas evaluasi internal belajar. Evaluasi tersebut dilakukan siswa, agar kegiatan pengembangan materi maupun wawasan tetap berada dalam konteks pencapaian tujuan belajar.
Keterkaitan pembelajaran CORE dengan SRL siswa dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2. Keterkaitan Pembelajaran CORE dengan SRL
Pembelajaran CORE menawarkan sebuah proses pembelajaran yang memberi ruang bagi siswa untuk berpendapat, mencari solusi serta membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini memberikan
pengalaman langsung kepada siswa untuk berbuat dan berpikir sehingga diharapkan SRL siswa dapat meningkat.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Curwen,
et.al
. 2010, Wijayanti 2012, dan Azizah 2012. Curwen,
et.al
, 2010 menemukan bahwa model pembelajaran CORE merupakan salah satu model pembelajaran yang efektif dalam pengembangan profesi guru yang mendukung
pengembangan metakognisi mereka. Hasil penelitian Wijayanti 2012 menyimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelas dengan pembelajaran CORE lebih
baik dari pada kelas dengan pembelajaran konvensional. Azizah 2012 hasil penelitiannya menunjukkan bahwa siswa di kelas yang menggunakan pembelajaran CORE bernuansa
konstruktivistivisme pada materi persamaan lingkaran mencapai tuntas belajar dengan nilai rata- rata kelas 73 dan terdapat 87,5 siswa melampaui batas nilai KKM sebesar 70.
Self-Regulated Learning
SRL
Aspek yang diukur dalam SRL meliputi aspek menetapkan tujuan belajar, menumbuhkan motivasi, menggunakan strategi belajar, mengatur dan memonitor belajar, serta mengevaluasi kemajuan
belajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencapaian dan peningkatan SRL siswa yang mendapat pembelajaran CORE lebih tinggi dari siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
Hasil penelitian ini sesuai dengan Nindiasari 2013 yang mengatakan bahwa peningkatan kemandirian belajaran siswa yang mendapat pembelajaran metakognitif lebih besar dari siswa yang
Connecting
Organizing
Reflecting Extending
Tahapan Pembelajaran CORE
Menetapkan tujuan Menumbuhkan motivasi
Mengevaluasi Mengatur dan memonitor
Aspek Kemandirian Belajar Matematis
Menggunakan strategi
126
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
mendapat pembelajaran biasa. Peningkatan SRL siswa yang mendapat pembelajaran CORE sebesar 0,11, dan peningkatan SRL siswa yang mendapat pembelajaran konvensional sebesar
– 0,02. Peningkatan ini tergolong rendah. Rendahnya peningkatan SRL sesuai dengan hasil penelitian
Fauzi 2011, Izzati 2013, dan Nindiasari 2013 yang menemukan bahwa secara keseluruhan peningkatan SRL siswa tergolong rendah. Rendahnya peningkatan SRL siswa di dalam
pembelajaran CORE tidaklah mengherankan. SRL seseorang dapat terbentuk melalui proses yang panjang. Hal ini sesuai dengan Schunk Zimmerman Soemarmo, 2004 bahwa latihan
menerapkan SRL secara ekstensif diberikan dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, sangatlah beralasan bahwa peningkatan SRL siswa masih rendah mengingat penelitian ini dilakukan dalam
waktu yang singkat sekitar 3 bulan. 4.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian adalah: 1 SRL awal siswa sebelum pembelajaran tidak berbeda secara signifikan antara siswa kelompok pembelajara CORE dan siswa kelompok
Pembelajaran konvensional; 2 Pembelajaran CORE lebih efektif dalam pencapaian dan peningkatan SRL siswa dibandingkan pembelajaran konvensional.
Rekomendasi yang diberikan sebagai akibat dari hasil penelitian ini adalah: 1 Pembelajaran CORE dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pembelajaran yang digunakan dalam dalam rangka
meningkatkan SRL siswa. Meskipun tidak ada model pembelajaran yang paling baik untuk diterapkan di dalam situasi kelas yang heterogen, namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pembelajaran CORE lebih baik dibandingkan pembelajaran konvensional dalam meningkatkan SRL siswa; 2 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran CORE lebih efektif dalam
rangka peningkatan SRL siswa dibandingkan pembelajaran konvensional, namun peningkatan tersebut masih tergolong rendah. Oleh karena itu, perlu dikaji lagi lebih lanjut mengapa
peningkatannya rendah. DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L., Mariani, S., Rochmad, R. 2012. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Model Core Bernuansa Konstruktivistik untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis.
Unnes Journal of Mathematics Education Research.
Vol 1, No 2. Curwen, M., Miller, R., White-Smith, K. A., Calfee, R. C. 2010. Increasing Teachers
Metacognition Develops Students Higher Learning during Content Area Literacy Instruction: Findings from the Read-Write Cycle Project.
Issues In Teacher Education
,
19
2, 127-151. Darr, C. Fisher, J. 2004.
Self-Regulated Learning in The Mathematics Class
. [Online]. Tersedia: http:www.nzcer.org.nzpdfs13903.pdf. [2 Maret 2012].
Fauzi, M.A. 2011.
Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa dengan Pembelajaran Metakognitif di Sekolah Menengah Pertama
. Disertasi pada PPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Hake, R. R. 1999 . ―Interactive Engagement Versus Traditional Methods: A Six-Thousand-
Student Survey of Mechanics Test Data for Introductory Physics Courses‖.
American Journal Physics
. 66, 64 – 74.
Izzati, N. 2012.
Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik
. Disertasi pada PPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Montalvo, F.T. Maria, C.G.T. 2004. Self-Regulated Learning: Current and Future Directions.
Electronic Journal of Research in Educational Psychology
, 21, 1-34.ISSN:1696-2095. Nindiasari 2013.
Meningkatkan Kemampuan dan Disposisi Berpikir Reflektif Matematis, serta Kemandirian Belajar Siswa SMA melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif
. Disertasi pada PPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan
Sugiyono. 2011.
Metode Penelitian Kombinasi Mixed Methods
. Bandung: Alfabeta.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
127 Sumarmo, U. 2004. Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa, dan Bagaimana dikembangkan pada
Peserta Didik. Makalah disajikan pada
Seminar Nasional di FPMIPA UNY Yogyakarta pada tanggal 8 Juli 2004
. Sumarmo, U. 2012. Pendidikan Karakter serta Pengembangan Berfikir dan Disposisi Matematik
dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan pada
Seminar Nasional di NTT pada tanggal 25 Februari 2012.
Tandilling 2011.
Peningkatan Pemahaman dan Komunikasi Matematis serta Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Atas melalui Strategi P4QR dan Bacaan Reputation Text.
Disertasi. Bandung: Pascasarjana UPI. Tidak diterbitkan. Wijayanti, A. 2012. Penerapan Model
Connecting
,
Organizing
,
Reflecting
,
Extending
CORE untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. [Online].
Tersedia: http:wijayantianisa.
blogspot.com201207penerapan-model-connecting- organizing.html. [12 Oktober 2012].
Wolters, C.A., Pintrich, P.R., dan Karabenick, S.A. 2003. ―Assessing Self Regulated Learning‖. Makalah
pada the Confeence on Indicators of Positive Development: Definition, Measures, and Prospective Validity
, National Institutes of Healthy.
128
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
ANALISIS KORELASI MOTIVASI BERPRESTASI TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH
MATEMATIKA SISWA SMPN 3 LURAGUNG, KUNINGAN- JAWA BARAT
Risqi Rahman
1
, Krisna Satrio Perbowo
2
1,2
Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA, Jakarta.
1
risqirahmanyahoo.co.id
ABSTRAK
Matematika memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan. Pelajaran matematika merupakan sarana latihan untuk mengembangkan kemampuan seseorang dalam berfikir dan
menyelesaikan masalah perhitungan, seperti ketika peserta didik melakukan operasi hitung pada bilangan pecahan. Salah satu kemampuan yang dikembangkan dalam proses
pembelajaran matematika di tingkat SMP adalah kemampuan pemecahan masalah matematika. Dengan menggunakan kemampuan kemampuan pemecahan masalah matematika, siswa terlatih
untuk
―bermain‖ dengan bilangan. Belajar matematika hanya akan berhasil, jika seseorang mampu meningkatkan motivasi berprestasi secara komprehensif. Dengan demikian seorang
siswa yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan kepekaan berprestasi mereka dalam melaksanakan kegiatan belajar matematika, sehingga dapat memberikan solusi dari masalah
yang dihadapi. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 3 Luragung, Kuningan, Jawa Barat, sedangkan sampel yang diambil adalah siswa kelas VIII A SMP Negeri
3 Luragung, Kuningan, Jawa Barat yang dipilih secara purposive sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket motivasi berprestasi dan tes pemecahan masalah
matematika. Penelitian ini menyimpulkan, terdapat korelasi positif antara motivasi berprestasi dengan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Selanjutnya siswa yang memiliki
motivasi berprestasi yang baik juga memiliki pemecahan masalah matematika yang baik pula.
Kata Kunci: Pemecahan Masalah
,
Motivasi Berprestasi
1. Pendahuluan
Matematika sering dianggap sebagai ilmu yang hanya menekankan pada kemampuan berpikir logis dengan penyelesaian yang tunggal dan pasti. Hal ini yang menyebabkan matematika menjadi mata
pelajaran yang ditakuti dan dijauhi siswa. Padahal, matematika dipelajari pada setiap jenjang pendidikan dan menjadi salah satu pengukur indikator keberhasilan siswa dalam menempuh suatu
jenjang pendidikan, serta menjadi materi ujian untuk seleksi penerimaan menjadi tenaga kerja di bidang tertentu. Melihat kondisi ini berarti matematika tidak hanya digunakan sebagai acuan untuk
melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi saja namun juga digunakan dalam mendukung karir seseorang.
Oleh karena itu, pengajaran matematika di sekolah juga harus didesain sedemikian rupa sehingga memberikan kesempatan kepada siswa untuk menumbuhkembangkan kemampuan mereka secara
maksimum. Selain itu, motivasi yang kuat untuk berprestasi juga dibutuhkan oleh siswa agar mereka menjadi individu yang optimis dan percaya diri dalam belajar. Agar hal tersebut dapai
dicapai maka dibutuhkan seorang guru yang tepat dalam proses pembelajaran matematika. Guru yang tepat adalah guru yang bisa mengkondisikan pengajaran trampil dan dapat membuat siswa
memacu motivasi ingin berprestasi serta menerapkan kemampuan memecahkan masalah yang dihadapinya.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
129 Kegiatan pembelajaran matematika pada dasarnya merupakan kegiatan yang menemukan pola,
aturan atau algoritma yang ada. Untuk mencapai hal itu siswa harus memiliki kemampuan memecahkan masalah.
Problem solving
dalam pembelajaran matematika merupakan bagian tak terpisahkan dalam pembelajaran matematika dan perlu mendapat perhatian serius bagi para guru.
Karena dengan adanya
problem solving
siswa diharapkan menjadi terampil dalam menjawab soal- soal yang ada di dalam matematika.
Dengan menggunakan kemampuan memecahkan masalah dalam matematika, siswa mengenal cara berpikir, kebiasaan untuk tekun, dan keingintahuan yang tinggi, serta percaya diri dalam situasi
yang tidak biasa, yang akan melayani mereka para siswa secara baik di luar kelas matematika. Sehingga siswa mempunyai kemampuan yang baik di luar pembelajaran seperti kemampuan
memimpin dan menjalankan suatu kegiatan. Dalam pemecahan masalah terkait aspek
attitudes
sikap, Kaur dan Yeap AME, 2009 menyampaikan bahwa diperlukan adanya
interest
minat dan
confidence
kepercayaan diri yang merupakan komponen penting dalam diri siswa, sehingga siswa memiliki motivasi untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi.
2.
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Albert B. Bennet 2001 menyatakan bahwa ―
Problem solving is the process by which the
unfamiliar situation is resolved.”. Yang artinya pemecahan masalah adalah proses di mana keadaan yang tidak familiar teratasi. Atau keadaan yang sulit atau tidak rutin bisa teratasi dengan
baik. Pemecahan masalah ini berimplikasi kepada bagaimana seoarng siswa bisa memecahkan masalah
yang ada dalam matematika. Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaian, siswa dimungkinkan
memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. Melalui kegiatan ini aspek-aspek
kemampuan matematika penting seperti penerapan aturan pada masalah yang tidak rutin, penemuan pola, penggeneralisasian, komunikasi matematika, dan lain-lain dapat dikembangkan
secara lebih baik Suherman, 2003.
Sebagaimana pendapat diatas, diketahui bahwa kemampuan memecahkan masalah dalam matematika itu diperoleh atas dasar bagaimana siswa mampu menggunakan keterampilan serta
pengalaman ilmunya untuk menyelesaikan soal-soal matematika. Selain itu, Siswa juga ditntut agar menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan dalam matematika. Karena matematika dapat
diselesaikan dengan bagaimana kita menggunakan kemampuan mengurutkan, menafsirkan hingga menginterpretasikan hal yang kita ketahui.
Matematika itu sendiri diperoleh melalui pengalaman-pengalaman pengetahuan yang telah kita pelajari dan membutuhkan keterampilan dalam mengerjakan penyelesaian soal-soal yang ada.
Terlebih lagi soal-soal matematika juga disusun dengan masalah-masalah yang bersifat tidak rutin, yang artinya siswa diberikan kompetensi yang tidak mereka pelajari serta membutuhkan
penalaraan yang tinggi. Kemampuan memecahkan masalah adalah salah satu kemampuan yang wajib dimiliki siswa,
karena dengan hal itu siswa menjadi bisa mengembangkan kemampuannya dalam matematika terutama dalam hal keterampilan. Karena matematika itu ilmu yang diperoleh melalui kerjasama
yang intensif, keterampilan dan kemandirian dalam memperoleh pengalaman. Nugroho 2002 mengatakan bahwa akumulasi dari pengetahuan, keterampilan, kemandirian dan kemampuan
bekerja sama tersebut merupakan modalitas bagi kemampuan untuk memecahkan masalah
problem solving
. Pemecahan masalah adalah proses menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya ke
dalam situasi baru yang belum dikenal. Suherman 2003 berpendapat bahwa penilaian terhadap
130
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
kemampuan siswa dalam pemecahan masalah disarankan mencakup kemampuan yang terlibat dalam proses memecahkan masalah, yaitu memahami masalah, merencanakan pemecahan masalah,
menyelesaikan masalah melaksanakan rencana pemecahan masalah, menafsirkan hasilnya.
Dari hasil karya siswa dalam memecahkan masalah, dapat dilihat seberapa jauh kemampuan siswa dalam memecahkan masalah sesuai dengan kemampuannya yang diperoleh. Pada kenyataannya,
siswa sering terhalang dalam memecahkan masalah karena lemahnya tidak terbiasa mengembangkan strategi pemecahan masalah dan kurangnya pemahaman konsep atau prosedur
yang terkandung dalam penyelesaian masalah. Indikator keberhasilan memecahkan masalah ditunjukkan olehkemampuan PPG Matematika,
2005 : a. Menunjukkan pemahaman masalah. b Menyajikan masalah secara matematik dalam berbagai bentuk. c Mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan
masalah. d Memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat. e Mengembangkan strategi pemecahan masalah. f Membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah
menyelesaikan masalah yang tidak rutin. Setiap informasi yang kita terima harus kita seleksi dahulu, karena belum tentu informasi yang kita
terima bermanfaat untuk diri kita. Dengan adanya pemecahan masalah siswa menjadi terampil dalam menyeleksi informasi yang didapat, selain itu siswa juga bisa menganalisis hal yang dia
dapat untuk dikembangkan kemudian. pemecahan masalah juga menuntut siswa untuk meningkatkan potensi yang dimiliki karena secara tidak langsung siswa belajar ekstra untuk
memecahkan penyelesaian soal-soal yang tidak rutin. Frederick H. Bell 2001 menyatakan bahwa ada beberaapa strategi siasat untuk mengajarkan dan
belajar dalam
problem solving
yaitu : ”
Present the problem in a general form. Restart the problem in an operational solvable representation. Formulate alternative hypotheses and procedures for attacking the problem.
Test hypotheses and carry out procedures to obtain a solution or sets of potential solutions. Analyze and evaluate the solutions, the solution strategis, and the methods which led to
discovering strategies for solving the the problem.“ Masalah dihadirkan dalam bentuk umum. Mengulang kembali masalah dalam sebuah representasi
dapat dipecahkan operasional. Formulasikan hipotesis alternative dan prosedur untuk menyelesaikan masalah. Uji hipotesis alternatif dan jalankan prosedur untuk mendapatkan
penyelesaian atau sekumpulan penyelesaian yang memungkinkan. Analisa dan evaluasi solusi, solusi strategis, dan metode yang mengantarkan dalam penemuan strategi untuk menemukan
pemecahan masalah. Semua hal itu dapat kita terapkan apabila kita tertib dan terampil dalam mengembangkan
kemampuan yang kita miliki, salah satunya kemampuan
problem solving
. Selain itu dituntut juga orang yang kreatif dalam masalah. Menurut Hermann Maier 1985 berpendapat bahwa kegiatan
yang ada dalam pemecahan masalah yaitu meliputi berpikir menurut logika, berpikir heuristis, dan bersiasat atau berstrategi. Berpikir menurut logika disimpulkan sebagai usaha menggunakan
kemampuan penalaran yang berkaitan dengan teorema, aksioma dan desinisi serta sifa-sifat yang ada, sedangkan berpikir heurestis merupakan wujud aplikasi dari berpikir logika dengan
kemampuan-kemampuan yang dimiliki dan siasat atau strategi merupakan sarana untuk mencapai hal tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas yang dimaksud dengan kemampuan
problem solving
matematika adalah kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika yang sifatnya tidak rutin yang
ditunjukkan dengan pemahaman siswa terhadap masalah yang diberikan, menyajikan masalah secara matematik dalam berbagai bentuk, mengorganisasi data, memilih informasi yang relevan
dalam memecahkan masalah, dan menggunakan konsep matematika dalam memecahkan masalah.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi
131
3.
Tahap Pelaksanaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara motivasi berprestasi dengan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Siswa diberikan angket
motivasi berprestasi dan tes pemecahan masalah matematika, kemudian data ditelaah untuk dilakukan uji korelasi antara data motivasi berprestasi siswa dengan data kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa. 4.
Hasil Penelitian
Data motivasi berprestasi siswa diperoleh dari hasil angket motivasi berprestasi siswa. Dari hasil perhitungan motivasi berprestasi didapat mean skor sebesar 75,83. Dengan jumlah soal sebanyak
27 item maka motivasi berprestasi siswa adalah baik. Sedangkan, data kemampuan pemecahan masalah matematika siswa diperoleh dari hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematika
berbentuk uraian. Hasil perhitungan tes kemampuan pemecahan masalah pada pokok bahasan bilangan bulat didapat mean skor sebesar 16,78. Dengan jumlah soal sebanyak 10 item maka
kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik SMPN 3 Luragung adalah baik. Dari dua buah data yang ada selanjutnya didapat persamaan regresi dari penelitian ini adalah
Y = 10,352 + 0,087 �
, pengolahan data dilanjutkan dengan pengujian kelinieran regresi dengan menggunakan analisis Varians ANAVA, didapat
ℎ �
= 1,031 2,030 =
�
. Hal ini berarti regresi adalah linier. Untuk pengujian keberartian regresi didapat
ℎ �
= 5,265 4,130 =
�
maka regresi signifikan. Sedangkan berdasarkan hasil perhitungan diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,366, kemudian pengolahan data dilanjutkan dengan uji t-student.
Karena
ℎ �
= 2,294 2,036 =
�
, maka
�
ditolak. Hal ini berarti terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi berprestasi dengan kemampuan memecahkan masalah matematika
siswa. Berdasarkan perhitungan koefisien determinasi dengan menggunakan uji t diperoleh sebesar 0,134
hal ini berarti motivasi berprestasi memberikan kontribusi rendah sebesar 13,4 terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika.
5.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi positif antara motivasi berprestasi dengan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dan motivasi berprestasi
memberikan kontribusi rendah sebesar 13,4 terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika. Dengan demikian seorang siswa yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan
kepekaan berprestasi mereka dalam melaksanakan kegiatan belajar matematika, sehingga dapat memberikan solusi dari masalah yang dihadapi. Selanjutnya siswa yang memiliki motivasi
berprestasi
yang baik juga memiliki pemecahan masalah matematika yang baik pula
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M. 2003.
Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar
. Jakarta : Rineka Cipta. Alhadza, A. 2003.
Pengaruh Motivasi Berprestasi dan Perilaku Komunikasi antarpribadi Terhadap Efektivitas Kepemimpiman Kepala Sekolah.
Jurnal pendidikan dan kebudayaan, No. 040, Tahun ke-9,Januari.
AME. 2009.
Mathematical Problem Solving: Yearbook 2009
. Singapore : World Scientific. Arikunto, S. 2006.
Prosedur Penelitian ; Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: PT Rineka Cipta. Bell, F. H. 1978.
Teaching And Learning Mathematics In Secondary School
. Iowa: Wm. C. Brown Company Publishers.