Abd. Kadir 169 DIRASAT ISLAMIYAH.

170 Dirasat Islamiyah melakukan tuntutan hukum asalnya dalam keadaan darurat. Dengan sendirinya hukum itu menjadi mubahboleh, baik dalam mengerjakan sesuatu yang terlarang maupun meninggalkan sesuatu yang diperintah. Namun dalam hal menggunakan hukum rukhshah bagi orang yang telah memenuhi syarat untuk itu terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tergantung kepada bentuk udzur yang menyebabkan adanya rukhshah itu. Menggu- nakan hukum rukhshah dapat menjadi wajib seperti memakan bangkai bagi orang yang tidak mendapatkan makanan yang halal, sedangkan ia khawatir bila ia tidak menggunakan rukhshah akan mencelakakan dirinya. Bangkai menurut hukum aslinya adalah haram dimakan oleh semua mukallaf, akan tetapi bagi yang keadaan terpaksa diperkenankan memakannya, asal tidak berlebih- lebihan. Haramnya bangkai dalam contoh di atas adalah azimah, sedangkan boleh memakannya dalam keadaan terpaksa adalah rukhsah. Akhirnya rukhsah terjadi pada saat mukallaf me- ngalami masa-masa yang sulit dan darurat, sehing- ga memerlukan adanya kemudahan dari Allah. Orang yang tidak mampu melaksanakan shalat dengan berdiri maka dia boleh shalat sesuai dengan kemampuannya, duduk, terlentang atau berbaring dsb. Tujuan rukhshah adalah memberikan keringanan dan menolak kesulitan. Baik kesulitan yang tidak dapat dipikul manusia apalagi kesulitan yang sudah

H. Abd. Kadir 171

tidak mampu dipikul manusia. Kesulitan yang dapat dipikul manusia umpamanya: sungguhpun seseorang dalam perjalanan panjang ia tetap mem- pertahankan ibadah puasanya, sekalipun ibadah puasanya itu tidak menjadi halangan baginya ia pun boleh mengambil rukhshah dengan berbuka dan menggantinya pada hari yang lain. Kesulitan yang tidak dapat ditanggung manausia umpama- nya seseorang yang karena usianya semakin tua tidak mampu melaksanakan ibadah puasa, maka baginya dibolehkan meninggalkan puasa dengan menggantinya dengan fidyah. Diperkenankannya tidak berpuasa dan membayar fidiyah merupakan penggunaan rukhshah dan meninggalkan azimah. Namun kalau rasa beratkesulitan yang ditemui dalam melaksanakan ‘azimah dapat diatasi dan ia sanggup melaksanakan hukum ‘azimahnya, maka dalam hal ini diperbolehkan memilih antara melak- sanakan ‘azimah atau menggunakan rukhshah. Seperti contoh di atas maka seseorang boleh ber- puasa sebagaimana hukum asalnya atau mening- galkan puasa dengan menggantinya dengan yang lain. Rukhshah dilihat dari pelaksanaan hukum taklifi: a. Wajib bilamana dengan rukhsah itu mukallaf terhindar malapetaka yang berat seperti, makan makanan harampun menjadi kewajiban bilama- na menyebabkan orang akan meninggal kalau tidak makan sesuatu apapun. 172 Dirasat Islamiyah ِﻪْﻴَﻠَﻋ َْﰒِإ ﻼَﻓ ٍدﺎَﻋ ﻻَو ٍغﺎَﺑ َﺮْـﻴَﻏ ﱠﺮُﻄْﺿا ِﻦَﻤَﻓ Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa memakannya sedang ia tidak menginginkan- nya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. QS: al Baqarah:2:173 b. Sunah seperti shalat jama’ adalah rukhshah, teta- pi apabila dikerjakan di awal waktunya jama’- taqdim maka rukhshah itu berbuah sunnah. c. Ibahah, seperti jual-beli dengan salam pesanan yang didasarkan pada sifat-sifat barang yang di pesan, sehingga jual beli ini tanpa serah terima secara langsung. G. Shah dan Bathal Amal perbuatan adakalanya shah benar dan adakalanya bathal. Secara etimologi, kata shah berarti benarvalid. Pengertian shah menurut ulama ushul fiqh adalah tercapainya sesuatu yang memberikan pengaruh secara syara’ karena dilakukan sesuai dengan syarat dan rukunnya. Perbuatan itu mempunyai akibat hukum, dan suatu perbuatan dinilai shah ketika sejalan dengan kehendak hukum. Kalau suatu pelaksanaan hukum dinilai shah maka pelakunya bebas dari tuntutan hukum itu dan tidak perlu mengulang. Shalat orang yang telah memenuhi syarat dan rukunnya, maka tidak perlu diulang maupun diganti. Sedangkan istilah bathal merupakan lawan dari shah, yakni: terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan