Abd. Kadir 183 DIRASAT ISLAMIYAH.

184 Dirasat Islamiyah K. Perkembangan Hukum Islam 1. Periode Abad I H. Ketika Nabi masih hidup persoalan hukum yang dihadapi umat Islam ditentukan sendiri oleh Nabi berdasarkan apa yang diterimanya dari Allah. Atau Nabi menetapkan sendiri hukum yang menjadi kebutuhan umat Islam pada waktu itu. Nabi menjadi tokoh sentral dalam merespon semua permasalahan agama yang dihadapi umat. Tidak ada pihak manapun yang mewakili Nabi dalam penetapan hukum. Hal ini ditopang oleh keter- bukaan Nabi dan kedekatannya dengan umat. Semua orang boleh beraudensi dengannya dan menanyakan segala sesuatu kepadanya hattapun hal itu yang bersifat privat, rahasia dsb. Sumber hukum yang berupa al Qur-an maupun hadits terputus sepeninggal Nabi. Al Qur-an mau- pun hadits ketika Nabi masih hidup bersifat aktif menjadi sumber hukum, kini para shahabat hanya mengandalkan peninggalan Nabi yang berupa al Qur-an dan Hadits dalam menetapkan keperluan hukum yang berkembang di kalangan umat, de- ngan cara mereka mereproduksi ingatannya terha- dap isi al Qur-an atau haditsnya. Bila tidak mampu melakukannya mereka bertanya kepada shahabat lain, sampai akhirnya tidak ditemukan jejak-jejak hukum dalam al Qur-an maupun hadits. Dalam keadaan seperti ini sebagian shahabat melakukan musyawarah untuk mencapai kesepakatan dalam bentuk ijma’ kesepakatan para ulama untuk

H. Abd. Kadir 185

menetapkan suatu hukum. Ketika Abu Bakar menghadapi masalah dalam menanggapi gagasan Umar bin Khattab untuk mengumpulkan al Qur-an dia melakukan musyawarah dengan shahabat yang lain. Hasil keputusan musyawarah diterima secara bulat oleh umat Islam tanpa ada klaim dari pihak manapun. Tetapi kalau tidak terjadi musyawarah, maka shahabat melakukan ijtihad daya upaya untuk mengistinbath produk hukum. Umar bin Khattab berdasarkan ijtihadnya sendiri menetapkan hukum pencuri tidak dipotong tangannya kalau dilakukan dalam keadaan terpaksa. Demikian pula Ali bin Abi Thalib menetapkan hukum iddah orang yang ditinggal mati suaminya. Menurut Ali bahwa iddah orang seperti itu harus dipilih yang lebih lama antara sampai melahirkan atau empat bulan sepuluh hari. 2. Priode Abad II-IV H. Priode ini ditandai dengan lahirnya para mujtahid ulama yang mampu melakukan ijtihad dari berbagai kalangan. Issue-issue hukum yang berkem- bang di kalangan umat semakin kompleks dan semakin variatif dan hukumnya sulit dikenali secara langsung dalam al Qur-an maupun hadits. Hal ini mendorong ulama yang mempunyai kompetensi sebagai mujtahid untuk mengerahkan segala kemam- puannya untuk mencari istinbath hukum sesuai dengan pendekatan, cara dan tekniknya masing- masing. Pada priode ini berkembang metodologi 186 Dirasat Islamiyah pengembangan hukum Islam sebagaimana dilaku- kan oleh al Syafi’i dengan kitab al Risalahnya. Ulama lain mencukupkan intinbath hukum berda- sarkan hadits-hadits Nabi kalau masalahnya tidak ditemukan secara jelas dalam al Qur-an, walaupun kualitas hadits itu lemah. Hal ini dilakukan oleh ulama yang banyak mengenal hadits, tetapi ulama yang tidak banyak mengenal hadits menggunakan pendekatan ra’y rasional dengan memperguna- kan berbagai metodologi yang ia kuasai. Konse- kwensi dari kondisi seperti ini adalah beragamnya produk hukum yang di lempar ke tengah-tengah umat melalui berbagai versi pendapat yang ter- tuang dalam kitabnya masing-masing. Banyaknya produk hukum menyebabkan banyaknya juga pilihan umat untuk berkiblat pada suatu pendapat, sehingga tumbuh-tumbuh madzhab-madzhab yang berbeda khilafiyah. Hal ini sebagai indikator bah- wa pada priode ini produktivitas karya ilmiah para ulama berkembang. Efek samping dari perkemba- ngan ini adalah perselisihan pendapat di kalangan umat. 3. Priode Abad V sampai Sekarang Pada priode ini perkembangan produk hukum Islam mencapai anti klimak. Para ulama mujtahid mulai jarang menuangkan originalitas karyanya dalam kitabnya. Kebanyakan dari mereka yang produktif mengikuti karya yang telah ada sebagai produk pengembangannya. Banyak ulama sebagai