Abd. Kadir 345 DIRASAT ISLAMIYAH.

346 Dirasat Islamiyah Pada abad IV pengaruh tasawuf falsafi semakin kuat, tetapi reaksi aliran tasawuf sunni juga menguat dengan semakin banyaknya penulis kitab tasawuf . Masa ini ditandai semakin berkembangnya ajaran tasawuf yang menisbatkan manusia dengan Tuhan. Tasawuf yang semacam ini disebut tasawuf falsafi, karena pemiki- rannya berasal dari teori-teori filsafat. Dan ini sangat bertentangan dengan pandangan sufi dari aliran sunni. Tokoh-tokoh sufi pada zaman ini: Abu Yazid al- Bustami, al-Hallaj, Abu Nashr al-Sarraj al-Ţhusi, al Kalabadzi wafat di Bukhara 380 H, Abu Thalib al- Makki wafat di Bagdad 386 H. al-Junayd al-Baghdadi wafat di Baqdad 279 H 910 M. Disinyalir bahwa perkembangan tasawuf pada abad V H. dilakukan tanpa memerhatikan doktrin Islam yang lain, seperi: ilmu fiqh dan atau ilmu tawhid. Pertentangan yang tajam antara tokoh-tokoh ulama non sufi dengan ahli tasawuf disatu sisi, dan pertentangan antara sufi sunni dengan sufi falsafi disisi lain menjadi ajang yang menimbulkan fitnah yang sangat merugikan umat Islam. Mereka memisahkaan secara tegas antara keilmuan dan praktik tasawuf dengan doktrin ilmu keislaman yang lain. Akibatnya timbul anggapan bahwa pelaksanaan doktrin keislaman itu dilaksanakan sesuai dengan domein yang ditekuninya. Sebagian ahli tasawuf beranggapan bahwa ajaran tasawuf yang terpisah itu tidak perlu disinergikan dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Para mutasawifin ahli tasawuf beranggapan bahwa tidak perlu memerhatikan prinsip-prinsip yang terdapat dalam ilmu lain dalam pengembangan ilmu

H. Abd. Kadir 347

tasawuf maupun praktik asketiknya. Pola pemikiran yang lebih mengedepankan dikotomi ilmu keislaman ini sangat merugikan Islam dan umat Islam. Seperti yang terjadi pada al Hallaj yang memperkenalkan doktrin tasawufnya dengan bahasa yang eksklusif dan tidak dipahami oleh ulama non tatsawuf, sehingga akhirnya al Hallaj dianggap kafir. Hal ini terjadi karena tidak ada ketersapaan antara ilmu tasawuf dengan ilmu lainnya. Untuk menjembatani kesenjangan paham dikotomi seperti tersebut di atas, maka dilakukan konsolidasi keilmuan. Dengan premis-premis bahwa seorang peserta tasawuf al-mutashawwif yang akan memasuki dunia tasawuf harus menjalankan prinsip-prinsip yang terdapat dalam ilmu tawhid, fiqh dan akhlaq dsb. Konsolidasi lebih lanjut antara doktrin sufisme dan non sufisme berlanjut pada abad V H. dan konsolidasi itu merupakan ciri khas perkembangan tasawuf di abad V H. Pada abad ini disadari bahwa orang yang akan memasuki lorong tasawuf harus dilandasi oleh pengetahuan dan penga- laman yang cukup tentang domien-domein doktrin keislaman lainnya. Pengusaan terhadap domein-domein keislaman menjadi prasyarat untuk menjadi mutasawif. Kitab-kitab yang ditulis pada masa ini sudah memuat secara integral doktrin-doktrin keislaman secara menye- luruh. Maka mulai tumbuhlah ulama-ulama yang tidak hanya ahli dalam satu bidang ilmu tasawuf, tetapi ulama yang menekuni tasawuf juga ahli dalam bidang ilmu lainnya. Tokoh sufi pada abad ini: al-Qusyairi yang mengajar banyak ilmu keislaman seperti: ilmu tasawuf, 348 Dirasat Islamiyah ilmu tata bahasa, sastra, dan sejarah juga diajarkannya. Abu Na’im Al-Ashbahani menganjurkan murid-muridnya untuk memahami tentang asma’ dan af’al-Nya, ilmu jiwa dan faktor-faktor kejiwaan yang menjadi pendo- rong dan penghambat perjalanan seorang sufi dll. Sufi lainnya adalah al-Hujwiri dengan pokok pikirannya bahwa ilmu tasawuf harus bersandar pada ilmu tauhid, ilmu fiqh dan diamalkan sesuai dengan tuntunan yang ada di dalamnya. Seorang sufi harus bertolak dari pan- dangan bahwa seorang sufi untuk mencapai tujuannya harus melalui langkah-langkah dan tahap-tahap sebagai- mana terdapat dalam maqamat. Tasawuf dimulai dengan perbuatan baik dan berujung pada perbuatan baik. Bilamana tujuan tasawuf dicapai melalui kebaikan, maka kebaikan itu tetap dipertahankan setelah penca- paian tujuan. Ulama lainnya adalah al-Ghazali. Kitab Ihya’ Ulum al Din merupakan salah satu bukti kepedulian al Ghazali untuk menyatukan ilmu-ilmu keislaman secara integral. Kemahirannya dalam berbagai ilmu menyebab- kan ia tidak hanya menulis kitab dari berbagai cabang ilmu, tetapi ia juga mengkritik epistemologi berbagai ilmu yang dipelajarinya. Kemampuan semacam ini ha- nya bisa dilakukan oleh seseorang bilamana ia mempu- nyai konpetensi dalam bidang yang diitekuninya secara memadai sehingga kritiknya dapat diterima sebagai seorang yang mempunyai kapasitas dalam ilmu itu. Perkembangan Tasawuf Abad VI Dan VII H merupakan masa kelanjutan konsolidasi tasawuf yang dilakukan oleh sufi di abad V H dan berlanjut sampai