Abd. Kadir 327 DIRASAT ISLAMIYAH.

328 Dirasat Islamiyah Tuhan tidak diikuti oleh kehadiran dirinya karena dirinya telah terserap dalam cahaya ketuhanan. Pengenalan terhadap Tuhan marifah bukan karena informasi atau pengetahuan yang diperoleh oleh aspek inderawi maupun nalar, kecuali pemenuhan eksis- tensial seseorang agar supaya bisa dekat dengan-Nya dan mendapatkan petunjuk dari-Nya. Walaupun puncak marifah mengambil bentuk penyempurnaan terhadap beragam pengetahuan, tetapi marifah tidak sama dengan pengetahuan empirik maupun rasional. Namun penggunaan istilah pengalaman dan pengetahuan marifah sebagai ungkapan keterbatasan bahasa untuk mewakili kandungan makna yang ada di dalamnya. Seorang yang ber mujahadah belum tentu sampai pada marifah bila tanpa penguatan dari Tuhan, karena itu marifah didapat melalui karunia yang diberikan oleh- Nya semata. Tetapi kadang-kadang terjadi secara bersa- maan antara usaha dengan anugerah-Nya. Oleh karena itu kadang-kadang marifah dikenal dengan terminologi al-jud دﻮﳉا pemberian dan badzl al-majhud دﻮﻬ ا لﺬﺒﻟا berusaha dengan sungguh-sungguh, dalam arti bahwa seseorang harus berusaha keras dan berdaya upaya mengerahkan apa yang ada pada dirinya, lalu ia menye- rahkan dirinya kehendak-Nya semata. Pengalaman batin dialami oleh suatu instrumen yang tidak terikat oleh tubuh dan eksistensinya tidak bergantung pada tubuh, dan seringkali disebut dengan hati. Kemampuan hati melihat sesuatu yang bersifat batin tidak terbatas pada limitasi material, karena ia bersifat batin. Marifah mendorong lenyapnya kekuatan

H. Abd. Kadir 329

indera dan penalaran yang menyebabkan seorang merasa tidak memiliki apapun, karena simbol-simbol dan identitas dirinya telah lenyap, sehingga marifah mengandung makna pengenalan terhadap ketiadaan dirinya sendiri. Seseorang yang masih merasakan berada dalam keadaan dapat merasakan kehadiran dirinya, dapat dipastikan ia belum marifah. Ketika seseorang lepas dari perasaan keberadaan dirinya, maka wujud yang Maha benar dengan rahasia-rahasianya didapatkan melalui kilatan-kilatan cahaya-Nya. Maka marifah bukanlah suatu pengetahuan kognitif yang dapat ditransfer melalui definisi dan deskripsi. Mengenal Tuhan adalah fitrah seseorang dan kemurniannya memungkinkan ia mengenal sesuatu yang tidak kasat mata dan tidak melalui penalaran tetapi berupa ilham. Siapapun mungkin mampu menerima rangsang batin semacam itu apabila diupayakan dengan disiplin diri yang memadai. Seseorang yang dapat menyaksikan sifat-sifat-Nya ia dapat melihat sesuatu melalui esensinya, sehingga ia dapat menyaksikan pula sesuatu yang dapat dinalar. Pengalaman ma’rifah memantulnya sifat-sifat-Nya kepada setiap orang yang mengalaminya dan orang itu merasa sampai pada tingkat yang sangat dekat dengan- Nya. Pengalaman ma’rifah hadir serentak dalam konteksnya dan muatan maknanya tidak bisa dipahami semata dengan menyederhanakan logikanya, melainkan juga harus dilihat dari latar belakang yang ada di balik ungkapan itu. Pada tingkat yang lebih jauh aspek spiri- tual dapat mencapai ketinggian di atas ukuran kata-kata 330 Dirasat Islamiyah sebab setiap kata yang dipakai pastilah mengandung salah paham yang tak mungkin dihindari. 13 Tingkat pengenalan kepada-Nya menggambarkan kedekatannya; dan tingkat kedekatannya menggambarkan kesempur- naannya. Pengalaman ma’rifah itu didapat dengan peran- taraan cahaya. Secara tiba-tiba seseorang diliputi dengan tajalli cahaya-Nya yang membakar segala yang dapat dicerap oleh instrumen inderawi dan nalar. Ia meng- gapai cahaya itu dan dengan cahaya itu ia melihat alam spiritual. Ia dapat menyaksikan alam itu dalam keadaan terang benderang sebagai hasil tingkatan mujahadah dan riyadlah yang dikerjakan dan atau mukasyafah yang dicapai. Dengan cahaya itu ia semakin menghayati alam spiritual. Kesempurnaan pendakian seseorang sampai ia mengenal Tuhan secara langsung bahwa tidak ada sesuatu yang mawjud melainkan Tuhan. Orang yang menempati kedudukan sebagai ‘ arif –orang ma’rifah- ia mampu mengetahui segala yang ada terlepas dari kesadaran biasanya. Dengan pandangan ma’rifah me- mungkinkan seseorang mengetahui rahasia-rahasia-nya dan bentuk form tentang segala yang ada. Pengeta- huan ini lebih tinggi kualitasnya dibandingkan dengan pengetahuan yang manapun yang didapatkan dari persepsi inderawi maupun penalaran. 13 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali , al-Munqidz min al-Dlalal, opcit. hlm. 41.