Abd. Kadir 395 DIRASAT ISLAMIYAH.

396 Dirasat Islamiyah lebih rendah pada prinsip–prinsip terdekatnya, baik yang berada dalam tingkat pertama maupun terakhir. Wujud emanatif tidak pernah dilepaskan dari sumbernya dengan berdiri sendiri sebagai entitas yang mandiri. Wujud emanatif tetap eksis dalam ketergantungannya pada sumbernya, yaitu ketergantungan murni terhadap yang lain, karena ia tidak mempunyai realitas dalam dirinya sendiri selain sebagai subordinat dari suatu realitas. Proses emanasi tidak menyerah pada kehampaan total, tetapi ada keterkaitan tak terputus antara berbagai level wujud emanatif dengan prinsip terdekatnya. 15 Wujud emanatif tidak pernah mengalami perubahan substansi menjadi hakikat sumbernya, karena wujud emanatif mempunyai prinsip bersifat wujud mungkin dalam hubungannya dengan sumbernya; dalam pengertian secara mutlak ia bukanlah apa-apa tanpa berhubungan secara emanatif dengan sumbernya. tetapi dia menjadi wajib al wujud bilamana dilihat dari wujudnya sendiri sebagai sumber emanasi bagi wujud yang lain. Prinsip wajib al-wujud bagi dirinya sendiri dalam hubungannya dengan esensi dan tindakannya serta dengan prinsip emanatif yang lebih rendah. Dengan jalan emanasi terjadilah penciptaan dari al aql mahdlah; dan wujud emanatif level teratas ditempati oleh al-’aql al-awwal akal pertama. Akal yang merupakan substansi malaikat, dibuat dari substansi yang terpisah dari sumber segala 15 Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu …., hlm. 223.

H. Abd. Kadir 397

bentuk dan secara penuh terpisah dari materi. 16 Akal ini sebagai substansi yang wujudnya tunggal, tetapi menerima bentuk dari wujud lain yang berasal dari Wajib al-Wujud yang esensi dan eksis- tensinya satu, yaitu kebenaran murni, dan sebagai sumber dan asal segala wujud. 17 Karena akal pertama adalah wujud mungkin, ia dapat menurunkan multiplisitas dalam dirinya sendiri 18 sehingga ia menjadi sebab bagi yang lain. Ketika akal pertama ini berpikir wujud yang di atasnya wajib al wujud, maka timbullah wujud akal kedua, ketika ia berpikir tentang dirinya sebagai wajib al wujud maka timbullah jiwa-jiwa, tetapi ketika ia berpikir tentang dirinya sendiri sebagai mumkin al wujud, maka timbullah langit- langit dan bintang-bintang.Dengan cara yang sama seperti di atas maka akal-akal itu mengadakan multiplisitas sampai akal kesepuluh atau al-‘aql al- fa’al akal aktif. 19 Sementara al-‘aql hanya menggerakkan alam semestaal falak dari jauh dan jiwa yang timbul dari emanasi akal sebagai wujud mumkin itu meng- gerakkan falak secara langsung. Oleh karena itu akal terasing dari falaksemesta, sehingga ia tidak mengikuti kehancuran falak, sedangkan jiwa berhu- bungan langsung dengan falak mengikuti falak. 16 Ibid. hlm. 204. 17 Ibid. 18 Ibid ., hlm. 203. 19 M.M. Syarif, Para Filosof Muslim , Bandung: Mizan, 19930 hlm. 70-71. 398 Dirasat Islamiyah 5. Filsafat Jiwa Dalam pandangan Ibn Sina bahwa manusia itu terdiri dari aspek jasmani dan ruhani atau jiwa dan raga. Aspek jasmani terbuat dari materi, sedangkan jiwa adalah limpahan emanatif akal-akal. Salah satu argumen Ibn Sina untuk membuktikan keberadan jiwa seperti manusia terbang. Jika manusia lahir secara sempurna dengan kekuatan jasmani dan akalnya kemudian berada di suatu tempat yang tidak memungkinkan semua indera- nya menanggap sesuatu, maka tanpa keraguan apapun ia mengatakan bahwa “aku ada.” Kemampuan mengenali seperti itu bukan atas dasar rangsang-rangsang yang diterima secara fisikal, karena semua efektifitas instrumen fisikal tidak berfungsi. Pernyataan “aku ada” timbul dari kesadaran jiwa yang tidak memerlukan aktivitas jasmani. Hal ini menandakan bahwa pengetahuan manusia tidak semata didasarkan pada pengalaman empirik jasmaniah, tetapi melalui pengetahuan rasional bahkan supra rasional . Tingkatan jiwa itu menurut Ibn Sina: a. Jiwatumbuh-tumbuhan ﺔـﻴﺗﺎﺒﻨﻟا ﺲﻔﻨـﻟاvegitative soul dengan daya: 1. Makan ﺔﻳ دﺎﻐﻟاnutrion; 2. Berkembang dan tumbuh ﺔﻴﻤﻨﳌاgrowth; 3. Beranak pinak ةﺪﻟﻮﳌاreproduction; b. Jiwa binatang ﺔﻴﻧاﻮﻴﳊا ﺲﻔﻨﻟا yang mempunyai daya: