Abd. Kadir 265 DIRASAT ISLAMIYAH.

266 Dirasat Islamiyah kah glongan itu tersebut? beliau menjawab: yaitu jamaah, yaitu jamaah. HR Ahmad. Ketika Baghdad jatuh ke tangan dinasti Buwaihi yang beraliran Syi’ah, kelompok Asy’ariah menemui kendala untuk berkembang. Dan kelompok Mutazilah punya kesempatan lagi untuk berkembang dengan dukungan pemuka- pemuka pemerintahan, bahkan orang-orang Mutazilah menduduki posisi penting dalam pemerintahan, seperti Abu Muhammad bin Ma’ruf, hakim kepala kerajaan dan Abd al- Jabbar seorang hakim kepala daerah Ray. Ketika dinasti Buwaihi digulingkan oleh Turgil dari dinasti Saljuk 1055 M aliran Mutazilah masih tetap bertahan. Hal ini karena Turgil mempunyai Perdana Menteri yang juga pengi- kut aliran Mutazilah yaitu Abu Nashr Muham- mad Bin Manshur al-Kunduri 416-456 H. Di bawah pemerintahan al-Kunduri dilakukan tekanan-tekanan politik, kutukan-kutukan dan cacian-cacian dan penangkapan terhadap pemuka-pemuka kelompok Asy’ariah. Akhirnya banyak pemuka Asy’ariah yang melarikan diri dari Bagdad untuk mencari perlindungan. Langkah yang ditempuh Nidham al Mulk perdana menteri yang menggantikan al Kunduri membangun lembaga-lembaga pendidikan yang mengajarkan paham al Asy’ariyah. Bila di Baghdad ajaran al-Asy’ariah dikembangkan oleh

H. Abd. Kadir 267

Nizam al-Mulk sang perdana menteri, tetapi di Mesir aliran ini dikembangkan Shalah al Din al- Ayyubi pemimpin dinasti Ayyubiyyah. Shalahud- din mengganti aliran Syi’ah yang dibawa pengu- asa Mesir 969-1171 M, yaitu dinasti Fatimiyah dengan aliran Sunni. Di samping itu dia juga mendirikan sekolah-sekolah yang mengajarkan madzhab Syafi’i dan Maliki yang bercorak sunni- Asy’ariah. Beberapa ajaran penting kaum Asy’ariah, antara lain; Pertama, Ada tujuh sifat azali yang wajib ada pada dzat Tuhan dalam keqadiman-Nya bahwa Allah Mahatahu dengan sifat ilmu- Nya, Maha berkehendak dengan sifat iradah-Nya, Maha berkuasa dengan sifat qudrah-Nya, Maha berfirman dengan sifat kalam-Nya, Maha melihat dengan sifat bashar-Nya. Baik dzat maupun sifat-Nya kedua-duanya bersifat qadim, dan sifat- sifat ini melekat pada zat Tuhan. Akan tetapi sifat-sifat itu tidak dapat diartikan identik dengan dzat-Nya. Kedua, al Qur-an itu kalam Allah bukan makh- luk. Sekiranya kalam Allah itu makhluq niscaya seperti makhluk yang memiliki kecenderungan akan berakhir dengan kehancuran. Menurut al-Asy’ari tidak boleh dikatakan bahwa Tuhan menciptakan kehendak-Nya pada sebagian makhluk 268 Dirasat Islamiyah sebagaimana juga tidak boleh dikatakan bahwa Tuhan menciptakan kalimat-Nya pada sebagian makhluk. Ketiga, kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan menurut al-Asy’ari bahwa Tuhan menghen- daki segala sesuatu yang mungkin diken- daki-Nya. Manusia dalam pandangan al- Asy’ari tidak bisa menghendaki sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki manusia supaya berkehendak sesuatu itu. Pernya- taan ini mengandung pengertian bahwa kehendak yang ada dalam diri manusia sebenarnya tiada lain dari kehendak Tuhan tersebut. Keempat, menurut al-Asy’ari perbuatan manusia didasarkan pada al-kasb; bahwa kehendak dan daya upaya untuk berbuat adalah kehendak dan daya Tuhan juga. Per- buatan itu sendiri bukan kehendak dan daya upaya manusia semata. Untuk meng- gambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, al-Asy’ari memakai kata al-kasb acquisition, perolehan. Menurut al-Asy’- ari sesuatu itu terjadi dengan perantaraan kasb. Bahwa daya upaya dan perbuatan timbul dari diri al-muktasib acquirer, orang yang memperoleh melalui peranta- raan penciptaan. Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia