Abd. Kadir 223 DIRASAT ISLAMIYAH.

224 Dirasat Islamiyah Kelompok Murjiah yang muncul pada abad I H. dalam pimpinan Hasan bin Bilal 152 H. mela- kukan kegiatan reaktif terhadap pendapat kelom- pok Syiah yang mengkafirkan shahabat. Menurut kelompok Syiah shahabat-shahabat Nabi yang pernah memangku jabatan khulafa’ al rasyidun telah merampas jabatan kekhalifahan dari Ali bin Abi Thalib. Di pihak lain kelompok Murji’ah juga mereaksi pendapat kelompok Khawarij yang mengkafirkan kelompok Ali dan Muawiyah. Mereka berpendapat bahwa orang Islam selama masih beriman kepada Allah dan rasulmya tetap dianggap sebagai mukmin walaupun melakukan dosa besar. Dosa yang mereka lakukan diserahkan pada kehendak Allah dan pertanggungjawabannya nanti di alam akhirat. Kelompok ini ingin men- jauhkan dari pertikaian, dan tidak mau ikut mengkafirkan atau menghukum salah orang-orang yang terlibat dalam pertikaian akidah maupun politik, tetapi menangguhkan persoalannya sampai di hadapan Allah SWT. Hal ini dimaksudkan me- redam gejolak politik dan pertentangan teologis yang semakin berkembang. Mereka tak mengkafirkan seorang muslim yang berdosa besar, sebab yang berhak menjatuhkan hukuman terhadap seorang pelaku dosa hanyalah Allah, sehingga seorang muslim, sekalipun berdosa besar, tetap diakui sebagai muslim dan punya harapan untuk bertobat.

H. Abd. Kadir 225

Kelompok Murjiah sebagai oposan Khawrij mau- pun Syiah tercermin dari ajarannya yang bertolak belakang dengannya. Pada mulanya kelompok Murjiah membenci soal-soal politik, tetapi kemu- dian Berdasarkan ajaran pokok Murji’ah yang ber- sumber dari gagasan atau doktrin irja’ atau arja’a mereka mengimplementasikannya dalam berbagai persoalan, baik persoalan politik maupun per- soalan teologis. Dibidang politik, mereka bersikap netral dan hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam, sehingga kelompok Murji’ah dikenal pula dengan sebutan kelompok bungkam. Tetapi kelompok ini secara independen membangun dalil-dalil keaga- maan sebagai dasar pemikirannya. Sebagaimana dimaksudkan dalam premis-premis mereka bahwa penangguhan atau penundaan masalah proble- matik yang berhubungan dengan dosa besar tidak perlu dihukum dan dalam pengadilan yang diba- ngun oleh manusia, karena Tuhan akan mengadili persoalan yang dihadapi manusia dengan pera- dilan yang seadil-adilnya secara mutlak. Jika dike- hendaki oleh-Nya maka orang yang bersalah dan berdosa dapat diampuni tanpa harus mendapat- kan siksa sedikitpun. Kalaupun mereka mengalami siksaan, tetapi mereka tidak selamanya berada dalam neraka. Pada suatu waktu mereka akan dilepaskan dari siksa neraka dan dimasukkan ke dalam surga. Dengan dasar premis bahwa iman yang pertama dan utama, maka amal perbuatan 226 Dirasat Islamiyah manusia tidak berpengaruh terhadap keimanan ini walaupun mereka meninggalkan kewajiban agama dan melakukan perbuatan-perbuatan dosa besar. Setiap maksiat yang dilakukan tidak akan menda- tangkan efek terhadap keimanan dan keimanan itu sebagai dasar untuk mendapatkan pengampunan. Jadi perbuatan lahir yang dilakukan anggota badan bukan merupakan gambaran prilaku batin dan tidak berpengaruh terhadap prilaku batin yang berupa keimanan. Hanya syiriklah yang me- nyebabkan manusia akan masuk ke dalam neraka selamanya dan tidak pernah akan mendapatkan ampunan dari-Nya, sehingga mereka tidak akan pernah merasakan nikmatnya surga. Imanlah yang menentukan indikator seorang muslim atau mukmin. Selama orang itu masih beriman maka mereka masih dalam lindungan Tuhan untuk masuk surga, sedangkan perbuatan jahatnya bisa saja diampuni oleh Allah. Dengan demikian mere- ka memberikan pengaharapan kepada mukmin dan muslim yang berdosa besar untuk mempe- roleh ampunan dan rahmat dari Allah. Peristiwa politik antara Ali dan Mu’awiyah tidak patut diputuskan di dunia ini siapa yang berssalah dan melakukan dosa besar hingga Allah memu- tuskannya di akhirat. Oleh karena itu hukuman atas Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah, Amr bn Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat tahkim harus ditunda dan menyerahkannya kepadaAllah di hari kiamat kelak.