Abd. Kadir 193 DIRASAT ISLAMIYAH.

194 Dirasat Islamiyah dengan masalah keyakinan agama belum muncul di zaman Nabi. Umat Islam di masa itu menerima sepe- nuhnya apa yang disampaikan oleh Nabi. Mereka tidak mempertanyakan secara filosofis apa yang diterima itu. Kalau terdapat kesamaran pemahaman mereka langsung bertanya kepada Nabi dan umat pun merasa puas dan tenteram atas jawaban Nabi. Maka perkembangan pemikiran teologi Islam tidak nampak menonjol pada zaman itu. Tidak banyak orangshahabat yang memper- soalkan tentang teologi rasional. Perselisihan yang terjadi pada masalah keyakinan pada zaman itu tidaklah menyentuh inti keyakinan lubbul ‘aqidah; bahwa yang diberitakan oleh Nabi adalah semuanya benar. Bahkan Nabi melarang shahabat yang menpersoalkan dan men- diskusikan masalah qadla’ dan qadar dalam perdebatan yang didasarkan pada rasionalitas. Otoritas Nabi sebagai pembawa risalah islamiyah tidak pernah dilampaui oleh pemikiran sebagian shahabat-shahabatnya, walaupun mereka sebelum masuk Islam adalah para pemuka agamanya dan paham betul tentang ajaran agamanya masing-masing. Pada masa Nabi akidah bukanlah sebuah disiplin ilmu tersendiri, dan pada masa itu tidak pernah terjadi perbedaan-perbedaan faham. Permasalahan akidah tidak pernah muncul apalagi berkembang; kalaupun terjadi perbedaan paham langsung diterangkan oleh Nabi. Setelah Nabi wafat, maka tempat bertanya sudah tidak ada. Hal-hal yang seharusnya diterima secara imani mulai dipertanyakan, berdasarkan pengetahuan dan budaya umat yang semakin berkembang pesat karena

H. Abd. Kadir 195

terjadi persentuhan dengan berbagai umat dan budaya lain. Diantara mereka ada yang mengintrodusir paham lamanya melalui pemikiran dan penafsiran agama Islam menurut faham lama mereka. Pemikiran yang dinisbat- kan pada agama-agama di luar Islam bermunculan, se- hingga Khalifah Abu Bakar –pengganti Nabi- mengambil prakarsa untuk memerangi mereka dalam rangka mengembalikan aqidah Islamiyah sesuai dengan apa yang pernah diajarkan Nabi. Perkembangan disiplin keilmuan teologi Islam sangat erat kaitannya dengan skisme dalam Islam. Sebelum dekade 40-an tahun hijriyah, ilmu kalam tidak banyak menjadi perhatian kaum muslimin walaupun kaum muslimin terdiri kebanyakan dari golongan muallaf yang pindah dari agama lamanya ke agama Islam. Perbedaan akidah bagi mereka bukan menjadi persoalan pokok, tetapi yang menjadi fokus persoalan bagaimana seorang muslim –termasuk yang baru masuk Islam- bisa menjalankan praksis keagamaan dalam bidang ibadah dan muamalah. Persoalan teologi lebih kental dengan konflik yang dimulai pada saat terjadinya pergolakan-pergolakan politik. Pergolokan politik umat Islam menyebabkan terbunuhnya Khalifah Utsman. Per- juangan politik untuk merebut kekuasaan selalu dibing- kai dengan ajaran agama, sebagai payung pelindung. Peristiwa terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan menjadi titik pangkal perkembangan teologi secara pesat ketika persoalan teologi bercampur baur dengan ranah politik. Peristiwa menyedihkan yang dalam sejarah Islam sering disebut dengan al-Fitnah al-Kubra Fitnah Besar 196 Dirasat Islamiyah merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat dan agama Islam di berbagai bidang khususnya bidang- bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan pena- laran paham keagamaan juga secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu. Ketika Utsman bin Affan terbunuh dalam peristiwa al-Fitnah al- Kubra, maka persoalan pertama adalah para pembunuh itu yang menolak kebijakan politik pemerintahan Utsman bin Affan itu melakukan bai’at untuk mengang- kat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Para pembunuh Utsman itu menurut beberapa petunjuk kesejarahan menjadi pendukung kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Persoalan berkembang ketika Muawiyah bin Abi Sufyan menuntut Khalifah Ali bin Abi Thalib mengadili para pembunuh itu. Ali bin Tahlib tidak menghiraukan permintaan Muawiyah bin Abi Sufyan –kerabat Utsman yang menjadi gubernur di Siria- untuk mengadili pem- bunuh itu. Dilemetis yang dihadapi Ali bin Abi Thalib karena mereka orang-orang pertama yang bai’at kepa- danya; dan Ali tidak mungkin mengkhiati bai’at mereka. Maka terjadilah perang Shiffin antara pendukung Ali dan pendukung Muawiyah. Dipandang bahwa peperangan itu tidak akan menyelesaikan masalah dan hanya mengibatkan jatuh- nya kurban di kedua belah pihak, maka peperangan itu diakhiri dengan arbitrase perjanjian damai yang di gelar di Daimatul Jandal. Dalam perundingan masing- masing pihak mengirimkan delegasinya. Pada mulanya