Abd. Kadir 247 DIRASAT ISLAMIYAH.

248 Dirasat Islamiyah perjalanan hidupnya. Adakah manusia dalam segala aktivitasnya terikat pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, atau Tuhan telah berkenan memberi kemerdekaan dan kebebasan kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan- perbuatannya serta mengatur perjalanan hidup- nya? Pemikiran keterpaksaan atau kebebasan manusia untuk memilih adalah merupakan masalah klasik yang banyak menyita perhatian para pemikir ilmu kalam. Manusialah yang menetapkan per- buatan-perbuatannya, manusia mampu berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri sebagaimana dinyatakan oleh salah seorang tokoh mu’tazilah AI-Jubbai. Daya untuk mewu- judkan kehendak itu telah diciptakan oleh Tuhan dalam diri manusia. Sebelum perbuatan itu dilakukan daya potensial untuk berbuat itu telah ada di dalam dirinya. Jika seseorang ingin berbuat sesuatu, maka perbuatan tersebut terjadi. Sebaliknya jika dia tidak ingin berbuat sesuatu, maka perbuatan tidaklah terjadi. Jika sekiranya perbuatan tersebut perbuatan Tuhan, maka per- buatan tersebut tidak akan terjadi sungguh pun manusia menginginkannya, dan demikian pula sebaliknya; perbuatan tersebut akan tetap terjadi sungguhpun manusia sangat tidak mengingin- kannya. Di antara ayat yang digunakan untuk memperkuat pendapatnya adalah ayat 17 surat al-Sajadah yang berbunyi sebagai berikut:

H. Abd. Kadir 249

اﻮﻧﺎﻛ ﺎﲟ ءاﺰﺟ ﲔﻋأ ةﺮﻗ ﻦﻣ ﻢﳍ ﻲﻔﺧأ ﺎﻣ ﺲﻔﻧ ﻢﻠﻌﺗ ﻼﻓ نﻮﻠﻤﻌﻳ Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu bermacam- macam nikmat yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. QS: al Sajdah:32:17 Ayat ini mengisyaratkan bahwa sekiranya per- buatan manusia adalah perbuatan Tuhan, maka pada hakikatnya perbuatan itu adalah perbuatan Tuhan sendiri, maka manusia tidak pantas untuk mendapatkan balasan. Oleh karena itu, perbuatan tersebut harus diartikan sebagai per- buatan manusia dalam arti yang sebenarnya dan hakiki. Mu’tazilah juga berpendapat tentang peniadaan sifat-sifat Tuhan nafy al-sifat. Dalam arti bahwa apa-apa yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri di luar zat Tuhan, tetapi sifat yang merupakan esensi Tuhan. Paham ini kemudian dikembang- kan oleh pengikut-pengikut Washil setelah mem- pelajari filsafat Yunani. Salah satu pengikutnya yang berhasil mengokohkan paham ini adalah Abu al-Huzail. Menurut pendapat meraka bahwa Tuhan itu esa dan keesaan-Nya tidak terbagi menjadi sifat dan 250 Dirasat Islamiyah dzat. Adalah satu kemustahilan bilamana Tuhan mempunyai sifat, karena implikasi pemikiran demikian berarti Tuhan itu terdiri dari dzat dan sifat. Keesaan-Nya tidak terbagi pada dzat dan sifat; walaupun pemikiran demikian membawa implikasi bahwa sifat kalam Tuhan firman Tuhan yang berupa al Qur-an itu bukan bagian dari Tuhan dan dianggap sebagai makhluk. Secara pasti bahwa al Qur-an itu bukan dzat- Nya, tetapi menurut mereka Tuhan tidak bersi- fat, maka al Qur-an bukan sifat-Nya. Kalau al Qur-an bukan dzat dan sifat-Nya maka al Qur- an itu adalah makhluk-Nya. َنﻮُﻠِﻘْﻌَـﺗ ْﻢُﻜﱠﻠَﻌﱠﻟ ًﺎّﻴِﺑَﺮَﻋ ًﺎﻧآْﺮُـﻗ ُﻩﺎَﻨْﻟَﺰﻧَأ ﺎﱠﻧِإ Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. QS. Yusuf:12: 2. Lafadh munazzal, qur’anan, dan ‘arabiyan ada- lah sifat. Sedangkan sifat tidak mungkin qadim. Jika tidak qadim berarti hadits, dengan demikian al Qur-an adalah hadits. Karena al Qur-an ber- sifat hadits berarti makhluk, maka kalam Tuhan itu hadits. Al Qur-an bukanlah qadim atau kekal, tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan oleh Tuhan, karena kalam adalah suara yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Sehingga dengan demikian, mereka berpendapat bahwa al-Qur-an bukanlah qadim atau kekal. Tuhan