Abd. Kadir 379 DIRASAT ISLAMIYAH.

380 Dirasat Islamiyah terhadap kemampuan akal yang sangat tinggi al Razi berkeyakinan bahwa manusia akan sampai pada pengenalan kepada Tuhan melaluki akalnya. Label bahwa dia seorang rasionalis kelihatan dari pemiki- rannya ini. Tanpa harus melalui perantaran berita yang dibawa oleh para nabi manusia mampu beriman kepada-Nya melalui kecerdasan akalnya. Para filosof yang mempunyai akal yang cerdas tidak memerlukan berita-berita yang dibawa nabi dan doktrin yang disampaikannya. Dengan kemampuan akalnya pula manusia bisa menulis tulisan yang seindah al Qur-an baik dalam bahasanya maupun isinya. Maka mukjizat al Qur-an yang sering dibahas dalam doktrin agama dianggapnya isapan jempol belaka. Oleh karena itu ia lebih menyukai buku ilmiah yang membawa manfaat bagi kehidupan manusia daripada al Qur-an. Dengan akalnya pula manusia bisa meng- apresiasi perbuatan yang dikategorikan baik maupun jahat. Konsep moral dapat dikembangkan melalui analisis logis rasional. Bila manusia menempatkan rasio sebagai pengendali hawa nafsu, maka dengan sendirinya moral manusia menjadi baik. Dengan kemampuan akal sudah cukup bagi manusia untuk berbuat baik, sehingga tidak diperlukan pihak lain sebagai pemberi petunjuk. Berita-berita eskatologis yang biasa dibawakan oleh para nabi tidak mempunyai kebenaran sedikit pun karena bagi al Razi hancurnya tubuh diikuti dengan hancurnya ruh. Setelah kematian tidak ada

H. Abd. Kadir 381

peristiwa yang akan dihadapi manusia. Dengan penuh optimisme al Razi menyatakan bahwa setelah kema- tian manusia akan mendapatkan ke tempat yang lebih baik. H. AL-FARABI Al Farabi sebagai panggilan untuk nama Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Auzlag. al Farabi lahir di distrik Farab sekarang Atrar Turkistan pada tahun 870 M257 H. Ia meninggal dunia di Siria 339 H950 M. Ia menyelesaikan pendidikan bahasa Arab, logika, dan filsafat di Baghdad. Keahliannya dalam bidang baha- sa, matematika, kimia, astronomi, tata negara, politik, musik, ilmu-ilmu alam, ketuhanan, fiqh, logika dan filsafat menyebabkan ia mempunyai konsern dalam studi filsafat dan sering melakukan ulasan filsafat dalam tulisannya. Saif al-Daulah al-Hamadzani, sultan dari dinasti Hamadzan di Aleppo memberikan kehor- matan sebagai ulama istana pada zamannya. Tetapi yang sangat fenomenal dalam hidup dan kehidupan- nya adalah melakukan hidup salibat tanpa isteri, hidup sederhana dan suka menyendiri. Oleh teman sejawatnya ia dipanggil dengan al Muallim al Tsani guru kedua, yaitu gelar yang menempatkannya sebagai ahli filsafat setelah Aristoteles. Peninggalan terbesarnya bukan berupa harta yang memang ia tidak punya kecuali karya-karya tulis untuk generasi berikutnya. 382 Dirasat Islamiyah 1. Pemikiran Filsafat al-Farabi Al-Farabi ingin memadukan pandangan filsafat idealismenya Plato dan realismenya Aristoteles sebagaimana dituangkan dalam karyanya al-Jam’u baina Ra’yay al-Hakimaini Aflathun al-Ilahi wa Aristhu.Ia mencari persamaan pemikiran dua filosof itu bahwa keduanya sama-sama mencari kebenaran umum dengan perspektif epistemologi berbeda. Banyak kritikus filsafat beraanggapan bahwa karya- nya yang satu ini tidak mencapai sasarannya, karena al Farabi dianggap salah mengidentifika- sikan kitab Plotinus yang dianggap kitabnya Aristetoles. Bagi al Farabi Tuhan itu al wujud al awwal. Al- wujud al-awwal ini menjadi sebab segala wujud. Al-wujud al-awwal adalah Wajib al-Wujud, yaitu ada dengan sendirinya. Gagasan itu ingin menun- jukkan bahwa keberadaan Tuhan sebagai keharu- san dan ketiadaannya menimbulkan kemustahilan dalam pkikiran. Hanya pada Wajib al Wujud esensi dan eksistensi satu, sedangkan pada yang lain kesatuan esensi dan eksistensi adalah aksiden yang ditambahkan pada esensi. Kesatuan esensi dan eksistensi ini sebagai sumber dan asal segala wujud. Hanya pikiran yang bisa membedakan antara esensi dan eksistensi dan dalam realitasnya adalah satu dan sama. 9 9 Mir Valiudin, Tasawuf dalam al Qur-an, penterj.: Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, hlm. 58.