Abd. Kadir 245 DIRASAT ISLAMIYAH.

246 Dirasat Islamiyah Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishak, dan Yakub. Dan masing-masingnya Kami angkat men- jadi nabi. QS: Maryam: 19:49. Ada juga yang pendapat bahwa nama tersebut diambil dan timbul dalam lapangan pertentangan politik, terutama pada masa Ali dan Mu’awiyah. Nama itu dipakai untuk nama orang-orang yang menjauhkan diri dari peperangan. Orang seperti ini pada hakikatnya menjauhkan diri dari masyarakat umum dan memusatkan pemikirannya pada ilmu pengetahuan dan amal. Sedangkan nama yang lebih mereka sukai adalah Ahl al-‘Adl, yakni golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan; Ahl at-Tawhid wa al-‘Adl, yakni golongan yang mempertahankan keesaan dan keadilan Tuhan. Para tokoh Mu’tazilah sebagian dapat disebutkan: a. Pendiri Mu’tazilah adalah Washil bin ‘Atha 81- 131, lahir di Madinah, belajar pada Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad bin Hanafiah, lalu pindah ke Basrah dan belajar pada Hasan al- Basri. Washil mempunyai dua murid utama, Bisyr bin Sa’id dan Abu Utsman al-Za’farani. Dari keduanya muncul dua tokoh lainnya Abu al-Hudzail al-‘Allaf dan Bisyr bin Mu’tamar. b. Penerusnya, Abu al-Hudzail 135-235 dan Abu Ishaq Ibrahim bin Sayar an-Nadham 185-221.

H. Abd. Kadir 247

Abu al-Hudzail menjadi pemimpin kedua dari cabang Basrah setelah Washil wafat. Salah satu muridnya yang kemudian menjadi pemuka Mu’tazilah adalah an-Nadham, lahir di Basrah. c. Generasi terakhir, Abu ‘Ali Muhammad bin Abd al-Wahhab al-Jubba’i w. 295 dan anaknya Abu Hasyim ‘Abd al-Salam w. 321. d. Tokoh-tokoh lainnya, Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Aiyasy al-Bashri, ‘Abd al-Jabbar dan az-Zamakh- syari, tetapi mereka lepas dari persoalan institusi politik maupun paham. Mereka sebagai ulama murni dan menggunakan paham Mu’tazilah sebagai metode berfikirnya. Kelompok Mu’tazilah ini pula lah yang sebenar- nya paling banyak mengembangkan ilmu Kalam dengan pendekatan rasional. Kelompok ini adalah golongan yang membawa persoalan- persoalan teologi bersifat filosofis. Dalam pem- bahasan teologi mereka banyak memakai akal, sehingga mereka dijuluki kaum rasional Islam. Kelompok Mu’tazilah tidak banyak berpegang pada sunnah dan tradisi, karena mereka ragu akan keaslian hadits-hadits Nabi. Dengan demikian, kelompok ini selain sebagai golongan minoritas, mereka juga golongan yang tidak berpegang teguh kepada sunnah. Salah satu pokok persoalan yang menjadi bahan perbincangan para teolog termasuk kelompok Mu’tazilah adalah tentang ketergantungan manusia terhadap Tuhan dalam hal menentukan 248 Dirasat Islamiyah perjalanan hidupnya. Adakah manusia dalam segala aktivitasnya terikat pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, atau Tuhan telah berkenan memberi kemerdekaan dan kebebasan kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan- perbuatannya serta mengatur perjalanan hidup- nya? Pemikiran keterpaksaan atau kebebasan manusia untuk memilih adalah merupakan masalah klasik yang banyak menyita perhatian para pemikir ilmu kalam. Manusialah yang menetapkan per- buatan-perbuatannya, manusia mampu berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri sebagaimana dinyatakan oleh salah seorang tokoh mu’tazilah AI-Jubbai. Daya untuk mewu- judkan kehendak itu telah diciptakan oleh Tuhan dalam diri manusia. Sebelum perbuatan itu dilakukan daya potensial untuk berbuat itu telah ada di dalam dirinya. Jika seseorang ingin berbuat sesuatu, maka perbuatan tersebut terjadi. Sebaliknya jika dia tidak ingin berbuat sesuatu, maka perbuatan tidaklah terjadi. Jika sekiranya perbuatan tersebut perbuatan Tuhan, maka per- buatan tersebut tidak akan terjadi sungguh pun manusia menginginkannya, dan demikian pula sebaliknya; perbuatan tersebut akan tetap terjadi sungguhpun manusia sangat tidak mengingin- kannya. Di antara ayat yang digunakan untuk memperkuat pendapatnya adalah ayat 17 surat al-Sajadah yang berbunyi sebagai berikut: