Abd. Kadir 367 DIRASAT ISLAMIYAH.

368 Dirasat Islamiyah segala sesuatu mesti didahului oleh sebab-sebab tertentu. Sebab-sebab itu tidak lain adalah Tuhan sendiri yang tidak berpermulaan dan tidak akan berakhir. Dalil semacam ini dapat meneguhkan pemikiran Aristoteles tentang causa prima. Causa prima bagi Aristoteles adalah rangkaian sebab akibat yang tidak berakhir. Sebab yang tidak berakhir ini adalah mustahil bagi akal, maka sebab akibat itu harus diakhiri pada satu sebab sebagai sebab pertama. Sebab pertama itu tidak lain adalah Tuhan. Selain itu untuk pembuktian keberadaan Tuhan al Kindi mengajukan pemikiran keragaman dan kesa- tuan alam. Sesuatu yang terdapat dalam alam tidak mungkin memiliki keragaman tanpa keseragaman; dan adanya keseragaman tanpa keragaman. Hu- kum keseragaman dan keragaman ini bukan meru- pakan sebuah kebetulan, tetapi ada penyebabnya. Penyebabnya ini mesti sesuatu yang tidak dapat di- sebabkan, yaitu Tuhan. Keteraturan hukum-hukum alam, sehingga alam ini terpelihara sedemikian rupa disebabkan alam berjalan di atas hukum- hukumnya. Wujud pengendali alam yang meme- liharanya tentulah wujud yang tidak sama dengan yang dikendalikannya. Jika alam dan hukum- hukum alam adalah baharu, maka pengendali tidaklah baharu. Jika alam dan hukum-hukumnya merupakan hasil ciptaan, maka pengendali alam ini bukanlah wujud yang diciptakan. Sesuatu yang mengendalikan mesti berbeda dengan yang diken-

H. Abd. Kadir 369

dalikannnya, kesamaan keduanya hanya akan melahirkan ketidakteraturan. Tuhan yang mengatur dan mengendalikan alam ini, sehingga pengenda- lian dan pemeliharaan alam berjalan secara harmonis. Tuhan tidak bergerak, sebab bilamana Tuhan bergerak mengandung implikasi bahwa Tuhan itu melakukan perubahan dan perubahan itu hanya terjadi dalam ruang dan waktu. Peristiwa sebelum terjadinya perubahan dan sesudah terjadinya perubahan adalah peristiwa yang terjadi dalam waktu yang berbeda, sedangkan Tuhan tidak memerlukan ruang dan waktu. Namun yang lebih penting untuk dibahas dalam filsafat menurut alKindi adalah hakikat. Dalam suatu benda terdapat aspek mahiyah materi yang juz-iyah bagian-bagian yang bersifat partikular. Mahiyah terdiri dari materi dan bentuk dari matter dan form dan mempunyai genus dan species. Tuhan berbeda dengan benda, karena Dia tidak bisa dikenal melalui juz-iyah. Tuhan bukan pula mahiyah karena tidak tersusun form and matter. Pengenalan terhadap Tuhan diprakarsai oleh akal, ketika akal menangkap fenomena-fenomena yang dapat ditanggap melalui istrumen inderawi dan pikiran. fenomena-fenomena yang ada itu mengin- dikasikan adanya Tuhan. Tetapi noumenanya hakikat bersifat suprarasional dan sesuatu yang bersifat suprarasional masuk dalam sistem keya- 370 Dirasat Islamiyah kinan. Keyakinan bukan kinerja pikiranakal tetapi bagian kinerja hati. b. Jiwa dan Kapasitasnya Pemikiran al Kindi tersebut di atas ingin meya- kinkan banyak orang bahwa organ-organ fisik, psikis dan spiritual manusia itu bersifat fungsional, bekerja secara sinegik dan inklusif antara satu dengan lainnya. Pengetahuan dan pengalaman se- bagai salah satu sarana dalam upaya mengapresiasi keyakinan pada dasarnya adalah keterbukaan terhadap kenyataan yang tampak pada aspek penginderaan, penalaran, dan hati. 5 Pengalaman empirik didasarkan pada tanggapan- tanggapan indera terhadap berbagai macam rang- sang objek. Pengalaman itu berhubungan dengan aspek juziyah dan diperoleh dari rangsang dan respon. Terdapat pula pengetahuan rasional mela- lui akal ketika ia melakukan penalaran argumen- tatif. Ketika akal dapat mencermati objek-objek secara logis maka terciptalah pengetahuan tashaw- wur konsepsional yang diperoleh dan dikonsep 5 Sesuai dengan tingkatan penerimanya, kesadaran untuk mencerap pengetahuan terdiri dari : 1. Kesadaran inderawi menghasilkan pengetahuan dan pengalaman yang empirik sensual. 2. Kesadaran rasional menghasilkan pengetahuan yang eksak dan logis. 3. Kesadaran spiritual menghasilkan pengetahuan dan pengalaman yang berbeda dengan keduanya, tetapi secara epistemologis mengetahui dengan jalan emanasi wujud awal ke dalam diri seseorang. Mehdi Ha’iri Yazdi, IlmuHudluri , penterj. : Ahsin Muhammad, Bandung : Mizan, 1994, hlm. 210.