Abd. Kadir 165 DIRASAT ISLAMIYAH.

166 Dirasat Islamiyah mani’ adalah keberadannya meniadakan hukum atau membatalkan sebab. Dalam suatu masalah, kadang sebab syara’ sudah jelas dan memenuhi syarat-syaratnya, tetapi dite- mukan adanya mani’ penghalang yang mengha- langi konsekuensi hukum atas masalah tersebut. Halangan disini mempunyai arti sesuatu yang dapat menghalangi konsewensi hukum, yaitu sifat keberadaannya menyebabkan tidak berlakunya hukum, seperti pelaksanaan perintah shalat ter- halangdicegah karena yang bersangkutan lagi haidl atau nifas. Berpuasa wajib di bulan Ramadlan bisa ditinggalkan bila dalam adanya penghalang yang berupa sakit. Pembunuh tidak mendapatkan wari- san dari yang terbunuh sungguhpun mereka masih kerabat dan masuk ahli waris. a. Mani’ al-hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum. Misalnya, keadaan haid bagi wanita ditetapkan Allah sebagai mani’ bagi wanita untuk melaku- kan shalat, dan oleh karena itu shalat tidak wajib dilakukannya ketika haid dan suami dila- rang berkumpul dengan isterinya karena haid. ﺾﻴﶈا ﰲ ءﺎﺴﻨﻟا اﻮﻟﺰﺘﻋﺎﻓ ىذأ ﻮﻫ ﻞﻗ ﺾﻴﶈا ﻦﻋ ﻚﻧﻮﻟﺄﺴﻳو ﻢﻛﺮﻣأ ﺚﻴﺣ ﻦﻣ ﻦﻫﻮﺗﺄﻓ نﺮﻬﻄﺗ اذﺈﻓ نﺮﻬﻄﻳ ﱴﺣ ﻦﻫﻮﺑﺮﻘﺗ ﻻو ﻦﻳﺮﻬﻄﺘﳌا ﺐﳛو ﲔﺑاﻮﺘﻟا ﺐﳛ ﷲا نإ ﷲا Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Kata- kanlah: Haid itu adalah kotoran. Oleh sebab

H. Abd. Kadir 167

itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apa- bila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada- mu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. QS:al baqarah: 2:222 b. Mani’ al-sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai pengahalang bagi berfungsinya suatu sebab, sehingga dengan demikian sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum. Contoh- nya, sampainya harta satu nisab, menjadi sebab seseorang mengeluarkan zakat, bilamana orang tersebut dalam keadaan berhutang dan bila hutang itu dibayar akan mengurangi hartanya dari satu nisab, maka dalam kajian fikih hutang itu menjadi mani’ bagi wajib zakat harta itu. F. Rukhsah dan ‘Azimah 1. Azimah Secara etimologi ‘azimah berarti tekad yang kuat; dan secara terminologi azimah adalah hukum yang disyariatkan semenjak semula bersifat umum untuk semua orang mukallaf dalam semua keadaan tanpa ada pengecualian. Azimah ini adalah hukum syara’ dan bersifat umum, tidak ditentukan untuk suatu golongan tertentu yang diistimewakan atau sebalik- nya kelompok inferior, dalam suatu keadaan 168 Dirasat Islamiyah tertentu atau dikecualikan. Hukum yang disyariat- kan ini bersifat premordial dan perenial yang be- lum mengalami rekayasa atau perubahan apapun dalam bentuknya maupun pemberlakukannya baik yang berhubungan dengan materi, waktu maupun tempat, sehingga dapat diartikan azimah ini meru- pakan hukum yang telah disyariatkan kepada selu- ruh hamba-Nya sejak semula atau sejak pertama kali, dalam arti ia disyariatkan sebagai aturan umum bagi seluruh orang mukallaf dalam keadaan normal. Umpamanya shalat lima waktu diwajibkan kepada setiap orang, semua keadaan orang mukal- laf dipandang mampu melakukannya. Termasuk azimah adalah kelima hukum taklifi wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah, karena kelima hu- kum ini disyariatkan bagi umat Islam sejak semula. Akan tetapi, sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa yang termasuk azimah itu hanya hukum wajib, sunah, makruh, dan mubah saja. Ada pula yang membatasi hukum wajib dan sunah saja, serta ada pula yang membatasi dengan wajib dan haram saja. 2. Rukhsah Secara etimologi rukhshah berarti kemudahan, kelapangan, dan kemurahan. Sedangkan kata rukhshah menurut terminologi adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan suatu dalil tertentu tetapi diberlakukan tidak sebagaimana mestinya karena adanya udzur. Hal ini dimaksudkan untuk mem-