Abd. Kadir 195 DIRASAT ISLAMIYAH.

196 Dirasat Islamiyah merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat dan agama Islam di berbagai bidang khususnya bidang- bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan pena- laran paham keagamaan juga secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu. Ketika Utsman bin Affan terbunuh dalam peristiwa al-Fitnah al- Kubra, maka persoalan pertama adalah para pembunuh itu yang menolak kebijakan politik pemerintahan Utsman bin Affan itu melakukan bai’at untuk mengang- kat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Para pembunuh Utsman itu menurut beberapa petunjuk kesejarahan menjadi pendukung kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Persoalan berkembang ketika Muawiyah bin Abi Sufyan menuntut Khalifah Ali bin Abi Thalib mengadili para pembunuh itu. Ali bin Tahlib tidak menghiraukan permintaan Muawiyah bin Abi Sufyan –kerabat Utsman yang menjadi gubernur di Siria- untuk mengadili pem- bunuh itu. Dilemetis yang dihadapi Ali bin Abi Thalib karena mereka orang-orang pertama yang bai’at kepa- danya; dan Ali tidak mungkin mengkhiati bai’at mereka. Maka terjadilah perang Shiffin antara pendukung Ali dan pendukung Muawiyah. Dipandang bahwa peperangan itu tidak akan menyelesaikan masalah dan hanya mengibatkan jatuh- nya kurban di kedua belah pihak, maka peperangan itu diakhiri dengan arbitrase perjanjian damai yang di gelar di Daimatul Jandal. Dalam perundingan masing- masing pihak mengirimkan delegasinya. Pada mulanya

H. Abd. Kadir 197

pihak Ali memilih Abdullah bin Abbas 1 –saudara misanannyaanak pamannya dan kolega politiknya ketika Nabi masih sakit- ditentang oleh pengikutnya yang kemudian dikenal dengan nama kaum Khawarij. Kelompok ini menginginkan Abu Musa yang mempu- nyai pengalaman di bidang birokrasi –gubernur Kufah pada zamannya khalifah Abu Bakar dan Umar- sebagai juru rundingnya. Pihak Muawiyah mengirimkan dele- gasinya yang dipimpin oleh Amr bin Ash. Hasil perudingan mencapai kesepakatan bahwa kedua pemimpin umat Islam harus dimakzulkan dari kedudukan mereka masing-masing, kemudian dipilih pemimpin baru yang dikehendaki rakyat. Namun realitas politiknya berbicara lain karena kedua pimimpin itu tidak dapat mengimplementasikan isi perjanjian itu, sehingga permusuhan keduanya tetap berlanjut. Kelompok yang diuntungkan maupun yang dirugi- kan oleh peristiwa tahkim arbitrase itu dengan motivasi mempertahankan kekuasaannya menyebarkan hadits-hadits palsu dan menyampaikan fatwa-fatwa keberpihakan untuk kepentingan dan mendukung politik masing-masing kelompok. Keberpihakan kelompok pada pertentangan ini memunculkan kelompok lainnya yang menentang dan beroposisi terhadapnya. Begitu pula terdapat orang-orang yang netral, baik karena mereka mengganggap perang saudara ini sebagai seuatu fitnah bencana lalu mereka berdiam diri atau mereka bimbang untuk menentukan sikapnya pada kelompok 1 Abu al Fath Muhammad Abd al karim Abi Bakr al Syahrastani, al Milal wa al Nihal, Juz I, Birut: Dar al Fikr, 2005, hlm. 92. 198 Dirasat Islamiyah tetentu. Dari persolan ini berkembang menjadi aliran- lairan teologi dalam Islam lahir disertai dengan konflik politik yang berkepanjangan. Beberapa prinsip yang menjadi dasar perkem- bangan aliran teologi berkenaan dengan qadla qadar dan keadilan Tuhan, yang dihubungkan dengan asas taklif, pahala dan siksa; serta mereka pun berselisih dalam menentukan fungsi perbuatan manusia. Di satu pihak sebagian mereka beranggapan bahwa Tuhan adalah pencipta segala sesuatu termasuk di dalamnya perbuatan manusia itu sendiri, Tuhan juga bersifat Maha Kuasa dan memiliki kehendak yang bersifat mutlak dan absolut, tetapi di pihak lain mereka berpendapat yang sebaliknya. Manusia terikat secara total pada kehendak dan kekuasaan Tuhan yang absolut. Manusia itu mene- rima kodratnya yang telah ditentukan oleh Tuhan sejak zaman azali. Manusia tidak bisa menghindar dari keten- tuan itu. Usaha manusia untuk menghindar atau menuju pada ketentuan itu adalah bagian dari ketentuan itu sendiri. Pemikiran semacam ini untuk menunjukkan kekuasan dan kehendak mutlak Tuhan bahwa kekuasaan dan kehendaknya tidak bisa diintervensi oleh siapapun dan oleh apapun. Demikian pula banyak ayat al Qur-an yang mengisyaratkan bahwa manusia itu dikuasai sepe- nuhnya oleh Tuhan. Batas-batas ketergantungan manusia pada kehen- dak dan kekuasaan mutlak-Nya dalam menentukan per- jalanan hidupnya oleh sebagian lainnya dianggap mem- belenggu kebebasan manusia untuk mengatur hidupnya. Berbagai ayat al Qur-an yang menunjukkan kebebasan