Abd. Kadir 191 DIRASAT ISLAMIYAH.

192 Dirasat Islamiyah Mahaesa dan sebagai simpul pengikat dirinya dengan ajaran Islam. Seorang muslim tidak harus terlepas simpul- nya dengan ajaran ini. Disebut ilmu ushuludin karena ilmu ini membahas pokok-pokok agama tentang keimanan semisal iman kepada Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya, iman kepa- da hari kebangkitan dan lain-lain. Dalam pandangan ahli ushuludin bahwa keimanan merupakan inti pokok per- soalan ajaran agama dan pemeluk agama Islam. Ajaran agama Islam harus memuat keimanan dan pemeluk suatu agama harus menjadikan keimanan sebagai fondasi dari seluruh padangan hidupnya, sikap dan amalannya. Keimanan itu faktor yang menentukan keberagamaan seseorang. Seorang muslim harus mengimani ajaran keimanan dalam Islam, dan tidak dianggap sebagai seorang muslim bilamana keimanannya tidak sesuai dengan ajaran Islam, walaupun amalan dan sikapnya menunjukkan sebagaimana orang muslim. Disebut ilmu tauhid karena ilmu ini membahas keesaan Allah dari berbagai sudut pandang dengan mencari pembenarannya dari dalil naqli maupun dalil aqli. Keislaman seseorang ditentukan pula sejauhmana ia mengimani Tuhan sebagai Dzat Yang Mahaesa. Orang yang menyimpang dari keimanan semacam ini dianggap kufur, musyrik atau murtad sesuai dengan konteksnya. Disebut dengan ilmu kalam sebagai konsekwensi pembicaraan ilmu ini yang banyak memakan energi umat Islam pada zaman klasik. Persoalaan pokoknya adalah apakah kalam Allah itu baharu huduts atau qadim dahulu. Firman itu bisa dianggap sebagai bagian

H. Abd. Kadir 193

dari esensi Tuhan dan karena itu tidak diciptakan. Atau apakah kalam itu dibuat menjadi kata-kata karena ia adalah makhluk. Persoalan ini pernah masuk dalam ranah politik secara intens ketika khilafah Abbasiyah melakukan mihnah terhadap umat Islam, dan sampai sekarang persoalan ini tidak pernah selesai sebagai akibat legitimasi kebenarannya diserahkan kepada kemampuan rasio. Ilmu Kalam adalah suatu sistem kepercayaan Islam yang mencakup di dalamnya keyakinan kepada Allah dengan jalan memahami nama-nama dan sifat- sifat-Nya, keyakinan terhadap malaikat, ruh, setan, iblis dan makhluk-makhluk gaib lainnya, kepercayaan terha- dap nabi-nabi, kitab-kitab suci serta hal-hal eskatologis lainnya, seperti hari kebangkitan al-ba’ts, hari kiamat hari akhir yaum al-qiyamahyaum al-akhir, surga, neraka, syafa’at, jembatan lurus al-shirath al-mustaqim, dan sebagainya. Banyak kalangan orientalis yang menyamakan ilmu kalam dengan istilah teologi, yaitu pembahasan atau pemikiran tentang Tuhan. Atas dasar objek ilmu ini selalu bersentuhan dengan masalah ketuhanan, maka banyak orang muslim mempergunan istilah teologi sebagai padanan dari ilmu kalam. C. Sejarah Pertumbuhan Ilmu Kalam Sama halnya dengan disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya ilmu kalam juga tumbuh beberapa dekade setelah Nabi wafat. Pembahasan ilmu kalam sebagai hasil disiplin pengembangan ilmu yang berhubungan 194 Dirasat Islamiyah dengan masalah keyakinan agama belum muncul di zaman Nabi. Umat Islam di masa itu menerima sepe- nuhnya apa yang disampaikan oleh Nabi. Mereka tidak mempertanyakan secara filosofis apa yang diterima itu. Kalau terdapat kesamaran pemahaman mereka langsung bertanya kepada Nabi dan umat pun merasa puas dan tenteram atas jawaban Nabi. Maka perkembangan pemikiran teologi Islam tidak nampak menonjol pada zaman itu. Tidak banyak orangshahabat yang memper- soalkan tentang teologi rasional. Perselisihan yang terjadi pada masalah keyakinan pada zaman itu tidaklah menyentuh inti keyakinan lubbul ‘aqidah; bahwa yang diberitakan oleh Nabi adalah semuanya benar. Bahkan Nabi melarang shahabat yang menpersoalkan dan men- diskusikan masalah qadla’ dan qadar dalam perdebatan yang didasarkan pada rasionalitas. Otoritas Nabi sebagai pembawa risalah islamiyah tidak pernah dilampaui oleh pemikiran sebagian shahabat-shahabatnya, walaupun mereka sebelum masuk Islam adalah para pemuka agamanya dan paham betul tentang ajaran agamanya masing-masing. Pada masa Nabi akidah bukanlah sebuah disiplin ilmu tersendiri, dan pada masa itu tidak pernah terjadi perbedaan-perbedaan faham. Permasalahan akidah tidak pernah muncul apalagi berkembang; kalaupun terjadi perbedaan paham langsung diterangkan oleh Nabi. Setelah Nabi wafat, maka tempat bertanya sudah tidak ada. Hal-hal yang seharusnya diterima secara imani mulai dipertanyakan, berdasarkan pengetahuan dan budaya umat yang semakin berkembang pesat karena